PENANGANAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Sekian banyak para cendekia dan
pengamat memandang bahwa persoalan penegakan hukum khususnya dalam penanganan
perkara yang lemah menjadi penyebab utama keterpurukan negara Indonesia dewasa
ini. Hal ini tidak dapat dipungkiri apabila melihat fenomena yang terjadi
seperti isu penanganan perkara yang bersifat tebang pilih, kurangnya political
will dan moral hazard dari pemegang kekuasaan serta belum
harmonisasinya seluruh ketentuan perundang-undangan yang ada. Lebih dari itu,
maka mudah ditebak bahwa akhir dari penegakan hukum tidak mencerminkan rasa
keadilan masyarakat.Dampak dari semua itu tentu membawa keterpurukan negara
yang berkepanjangan dalam berbagai segi, diantaranya rendahnya pertumbuhan
ekonomi, dan meningkatnya pengangguran, dan kemiskinan yang pada akhirnya
memicu peningkatan angka kriminalitas. Di samping itu, dapak lainnya antara
lain adalah relatifnya rendahnya tingkat kompetisi perdagangan, dan kurangnya
insentif yang menyebabkan iklim berusaha tidak dapat berjalan secara
kondusif.
Dari sisi penegakan hukum,
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk pencegahan dan pemberantasan
berbagai tindak pidana, seperti tindak pidana korupsi. Berbagai upaya tersebut
antara lain penerbitan Keppres No.228/1967, pembentukan TGTPK dan KPKPN dan
terakhir adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun demikian,
dengan upaya ini belum dapat dikatakan kita telah berhasil mengatasi
permasalahan penegakan hukum, tercermin dari publikasi yang memuat
pemeringkatan negara terkorup yang dikeluarkan oleh Transparancy
International dan PERC (Political and Economic Research Consulting)
yang selalu menempatkan Indonesai dalam posisi terburuk[1].
Sementara itu, Country Manager International Finance Corporation (IFC),
German Vegarra dalam laporan Doing Business in 2006 yang disusun International
Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia (World Bank) menyatakan
bahwa dari hasil survey kemudahan berbisnis di 166 negara, Indonesia menduduki
peringkat bawah. Survei yang dilakukan mencakup tujuh paket indikator iklim
bisnis, yaitu memulai bisnis, mempekerjakan, menghentikan pegawai,
menetapkan kontrak kerja, mendaftarkan property, memperoleh kredit, melindungi
investor dan menutup usaha. Di samping itu, indikator lain adalah pembayaran
pajak, lisensi usaha dan perdagangan antar batas Negara. Hal-hal yang
melemahkan posisi Indonesia (tahun lalu Indonesia masuk urutan 115 negara dari
145 negara) adalah tingkat kesadaran membayar pajak, dan jumlah hari
serta prosedur untuk menetapkan kontrak cukup lama, yaitu 570 hari dengan 34
prosedur (sementara Malaysia hanya 300 hari dan 31 prosedur, dan Singapura
hanya 69 hari dengan 23 prosedur)[2].
Apa yang telah dilakukan di atas masih terbatas dalam lingkup korupsi dan belum
menyentuh tindak pidana lain khususnya tindak pidana yang menghasilkan uang
atau harta kekayaan seperti penyuapan, penyelundupan, perbankan, pasar modal,
dan lainnya, baik yang melibatkan sektor pemerintahan maupun swasta. Diakui
atau tidak bahwa dalam pemberantasan tindak pidana selama ini menghadapi
kendala baik teknis maupun non teknis. Pendekatan dalam pemberantasan tindak pidana
– tindak pidana selama ini lebih menitikberatkan bagaimana menjerat pelaku
tindak pidana dengan mengidentifikasi perbuatan pidana yang dilakukan. Sejak
April 2002 telah diperkenalkan sistem penegakan hukum yang relatif baru sebagai
salah satu alternatif dalam memecahkan persoalan di atas bukan hanya karena
metode yang digunakan berbeda dengan penegakan hukum secara konvensional tetapi
juga memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya. Sistem dimaksud adalah
rezim anti pencucian uang, dimana pengungkapan tindak pidana dan pelaku
tindak pidana lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow
the money trial) atau transaksi keuangan. Pendekatan ini tidak terlepas
dari suatu pendapat bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan
“life blood of the crime”, artinya merupakan darah yang menghidupi
tindak kejahatan sekaligus titik terlemah dari rantai kejahatan yang paling
mudah dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah
dilakukan juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan
karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi
atau sulit dilakukan. Makalah ini akan membahas bagaimana penanganan perkara
tindak pidana pencucian uang melalui penerapan Undang-undang No.15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No.25 Tahun 2003 dan peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) dalam membantu upaya memerangi tindak pidana asal (predicate
crime) di Indonesia.
B. Skema Rezim Anti
Pencucian Uang di Indonesia
Sebelum lebih spesifik membahas
bagaiamana penanganan tindak pidana pencucian uang, perlu terlebih dahulu
secara singkat diuraikan mengenai rezim anti pencucian uang di Indonesia.
Rezim anti pencucian uang di Indonesia dibangun dengan melibatkan berbagai komponen,
yaitu :
1. Sektor keuangan
(financial sector) yang terdiri dari pihak pelapor (reporting parties-penyedia
jasa keuangan) dan pengawas & pengatur industri keuangan. Walaupun tidak
termasuk dalam sistem keuangan dan pihak pelapor, Ditjen Bea dan Cukai dapat
dikelompokkan dalam sektor ini karena berperan dalam menyampaikan laporan
kepada PPATK. Namun apabila dilihat dari kewenangannya, dapat juga Ditjen Bea
dan Cukai dimasukkan dalam sector law enforcement.
2. PPATK sebagai
intermediator (penghubung) antara financial sector dan law
enforcement/judicial sector. Dalam kedudukan ini, PPATK berada di tengah-tengah
antara sektor keuangan dan sector penegakan hukum untuk melakukan seleksi
melalui kegiatan analisis terhadap laporan (informasi) yang diterima, yang
hasil analisisnya untuk diteruskan kepada penegak hokum. Dalam
kegiatan analisis tersebut, PPATK menggali informasi keuangan dari berbagai
sumber baik dari instansi dalam negeri maupun luar negeri.
3. Sektor penegakan
hukum (law enforcement/judicial sector) yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan
Peradilan. Hasil analisis yang diterima dari PPATK, inilah yang menjadi dasar
dari penegak hokum untuk diproses sesuai hokum acara yang
berlaku.
Di samping itu, terdapat pihak lain yang mendukungnya
yaitu Presiden, DPR, Komite Koordinasi TPPU, Publik, lembaga internasional dan
instansi terkait dalam negeri seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat
Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Kehutanan dan
sebagainya.
Di bawah ini diuaraikan secara singkat peran, tugas
dan tanggung jawab setiap komponen tersebut.
1. Pihak Pelapor atau Penyedia Jasa
Keuangan (Reporting Parties)UU TPPU mendefinisikan Penyedia Jasa Keuangan (PJK)
adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya
yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga
pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodion, wali amanat,
lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun,
perusahaan asuransi, dan kantor pos.PJK memiliki kewajiban menyampaikan kepada
PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan Laporan
Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) sebagaimana diatur dalam pasal 13 UU
TPPU. 2. Pengawas dan Pengatur Industri
Keuangana. Bank Indonesia
Bank Indonesia adalah bank sentral yang memiliki tugas
dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Sesuai UU tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab
utama menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan
tersebut, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan kebijakan moneter,
memelihara dan mengatur system pembayaran dan mengatur serta mengawasi bank.
Dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, sesuai UU No. 7 tahun
1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10 tahun 1998 Bank Indonesia memiliki
kewenangan memberikan izin, mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap
bank (Bank Umum dan BPR).
Sebagai otoritas pengawas bank,
Bank Indonesia bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan anti-money
laundering (AML) policy, termasuk didalamnya adalah pelaksanaan KYC
principles b. BAPEPAM (Capital Market Supervisory Agency) Lembaga
KeuanganPedoman, pengaturan dan pengawasan terhadap pasar modal dan lembaga
keuangan non bank menjadi tanggung jawab BAPEPAM – Lembaga Keuangan agar
kegiatan pasar modal dan lembaga keuangan dilaksanakan secara fair dan efisien
serta dapat melindungi kepentingan investor dan public sebagaimana diatur dalam
UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk kegiatan pasar modal dan
peraturan perundang-undangan lain untuk kegiatan lembaga keuangan non
bank. Di samping itu, sebagai regulator Bapepam- Lembaga Keuangan juga
turut berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan KYC Principles bagi industri
pasar modal dan lembaga keuangan. 2. Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi keuangan (PPATK)PPATK adalah lembaga independen, bertanggung jawab
langsung kepada Presiden yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang sesuai dengan UU TPPU. PPATK merupakan lembaga intelijen di
bidang keuangan (financial intelligence unit-FIU) yang dipimpin oleh
seorang Kepala dan dibantu oleh 4 Wakil Kepala. Dalam Pasal 26, PPATK antara
lain bertugas mengumpulkan informasi, melakukan analisis dan mengevaluasi
informasi. Dalam pengumpulan informasi, disamping menerima laporan transaksi
keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan tunai, PPATK juga menerima
dari Ditjen Bea dan Cukai berupa laporan pembawaan uang tunai keluar masuk
wilayah pabean Republik Indonesia senilai Rp 100 juta atau lebih. Apabila dari
hasil analisis terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang, maka hasil
analisis tersebut disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. 3. Aparat
Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan)Berdasarkan laporan hasil
analisis PPATK, Kepolisian selaku penyidik melakukan penyelidikan dan
penyidikan untuk membuat terang suatu kasus dengan mencari bukti untuk
menentukan apakah terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang atau tidak.
Apabila dalam penyidikan diperoleh bukti yang cukup, selanjutnya berkas perkara
diteruskan kepada Kejaksaan untuk pembuatan dakwaan atau tuntutan dalam sidang
pengadilan.4. Presiden, DPR, Publik dan Komite Koordinasi TPPUDi
samping DPR, setiap 6 bulan sekali Presiden menerima laporan kinerja
pembangunan rezim anti pencucian uang dari PPATK. Laporan ini akan digunakan
oleh Pemerintah dan DPR dalam mengevaluasi pembangunan rezim anti pencucian
uang guna menetapkan kebijakan umum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang. Sementara itu, laporan kinerja PPATK khususnya dan
pembangunan rezim anti pencucian uang pada umumnya juga dilaporkan ke publik dalam
rangka transparansi dan akuntabilitas PPATK. Mengingat badan pelaksana (implementing
agency) pembangunan rezim anti pencucian uang cukup banyak, diperlukan
koordinasi yang efektif dan berkesinambungan. Oleh karena itu, melalui
Keputusan Presiden No.1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004 dibentuk Komite
Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, yang diketuai oleh Menko Polhukkam, Wakil Ketua Menko Perekonomian,
sekeretaris Kepala PPATK, dan beranggotakan 17 pimpinan instansi terkait.
C. Pengertian dan Pola
Tindak Pidana Pencucian Uang serta Hubungannya dengan Tindak Pidana
Asal1.
Pengertian
Pencucian uang secara umum
merupakan suatu cara menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
yang diperoleh dari hasil tindak pidana sehingga nampak seolah-olah harta
kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut sebagai hasil kegiatan yang sah.
Lebih rinci di dalam Pasal 1 angka 1 UU TPPU, pencucian uang didefinisikan
sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan,
atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah. UU TPPU telah membatasi bahwa hanya harta kekayaan yang
diperoleh dari 24 jenis tindak pidana dan tindak pidana lainnya yang diancam
dengan hukuman 4 tahun penjara atau lebih sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2,
yang dapat dijerat dengan sanksi pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam
pasal 3 dan Pasal 6.
2. Pola tindak pidana
pencucian uang
Modus kejahatan pencucian uang
dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa
keuangan yang cukup complicated. Secara sederhana, kegiatan ini pada
dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan, yakni : placement,
layering dan integration. Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari
suatu aktifitas kejahatan ke dalam system keuangan. Dalam hal ini
terdapat pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan, baik melalui penyeludupan
uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai
yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang
sah, ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil
ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya
saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer
uang kedalam valuta asing. Layering, diartikan sebagai memisahkan
hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan yang terkait melalui
beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana
dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat
lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk
menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula
dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening
perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank,
terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan
pencucian uang. Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai
suatu ’legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang
yang di ‘cuci’ melalui placement maupun layering dialihkan kedalam
kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan
aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry.
Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi
dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.
3. Hubungan tindak pidana
pencucian uang dengan tindak pidana lainnya
Hubungan tindak pidana pencucian
uang dengan tindak pidana asal (predicate crime) dapat dilihat pada Pasal 2
ayat (1) huruf a bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh
dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di
luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Sehingga tepat sekali pendapat
bahwa tidak akan ada money laundering kalau tidak ada kejahatan yang
menghasilkan uang/harta kekayaan (“no crime no money laundering”). Sesuai
dengan Pasal 1 UUTPPU yang telah diuraikan di atas, semua harta kekayaan yang
diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan
merupakan pidana pencucian uang.Di lain pihak, pidana pencucian uang merupakan
tindak pidana yang beridiri sendiri (independent crime) karena delik pidana
pencucian uang telah dirumuskan secara mandiri sesuai Pasal 3 dan 6 UU TPPU.
Proses tindak pidana pencucian uang tidak harus menunggu adanya putusan pidana atas
tindak pidana asal (predicate crime). Hal ini tepat sekali karena memang di
dalam Pasal 3 dan 6 UUTPPU, perumusannya “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga
berasal dari hasil kejahatan” dan bukan “harta kekayaan yang berasal dari hasil
kejahatan”. Dengan demikian, hanya cukup dengan dugaan bahwa harta kekayaan
tersebut berasal dari hasil tindak pidana maka pidana pencucian uang dapat
diterapkan sepanjang seluruh unsur pidananya dan proses acara pidananya telah
terpenuhi (lihat penjelasan Pasal 3 ayat 1 UUTPPU).
D. Mekanisme Penanganan
Perkara Pencucian Uang
Proses penanganan
perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan
penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara
tindak pidana pencucian uang melibatkan satu institusi yang relatif baru yaitu
PPATK. Keterlibatan PPATK lebih pada pemberian informasi keuangan yang bersifat
rahasia (financial intelligence) kepada penegak hukum terutama kepada
penyidik tindak pidana pencucian uang, yaitu penyidik Polisi. Proses penanganan
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Peran
Penyedia Jasa Keuangan (PJK), FIU dan MasyarakatPeran utama PJK, FIU negara
lain dan masyarakat dalam penanganan perkaran pencucian uang adalah memberikan
informasi awal. Laporan dan informasi tersebut adalah a. Laporan dari PJK Sebagaimana telah disinggung dalam uraian sebelumnya
bahwa sesuai Pasal 13 UU TPPU, diatur kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK
berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction
Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction
Report (CTR) kepada PPATK. Di dalam internal PPATK, laporan-laporan ini
diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat
Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud. Sesuai Pasal
1 angka 7 UUTPPU, LTKM adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari profil,
karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang
bersangkutan- transaksi
keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang, transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan
dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana.Apabila PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan
mencurigakan, sudah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai
LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum
memiliki kualitas sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak
memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh
karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk
mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana
lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT
dari PJK.Dalam kaitan ini, maka didalam penanganan perkara tindak pidana
pencucian uang peran PJK sangat membantu baik di dalam memberikan keterangan
mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK dan instansi penegak
hukum untuk mentrasir aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan
instansi penegak hukum.b. Laporan dari masyarakatWalaupun UU tidak
mengatur kewenangan PPATK untuk menerima informasi dari masyarakat, namun
berbagai informasi adanya indikasi tindak pidana sering diterima PPATK. Atas
informasi ini, Direktorat Hukum PPATK melakukan analisis untuk mengidentifikasi
ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya.
Informasi dari masyarakat ini diterima PPATK melalui surat secara tertulis dan
melalui media internet (www.ppatk.go.id icon contuct-us@ppatk.go.id) .c.
Informasi dari aparat penegak hukumDalam penanganan suatu perkara
oleh penyidik, seringkali harta kekayaan hasil tindak pidana terindikasi oleh
pelakunya disembunyikan atau disamarkan melalui berbagai perbuatan
khususnyamelalui institusi keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk
deposito, giro atau tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian
polis asuransi; pembelian surat berharga pasar uang dan pasar modal; atau
perbuatan lain seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri.
d. Informasi dari Financial Intelligence Unit negara
lainBerdasarkan hasil analisis PPATK, banyak informasi penting dari FIU negara
lain yang menghasilkan kasus pencucian uang dan kasus pidana lainnya. Informasi
ini baik diminta atau tidak diminta sesuai dengan standar pertukaran informasi
dalam prinsip paguyuban FIU seluruh dunia yang tergabung dalam suatu wadah yang
dikenal dengan Egmont Group. 2.
Peran PPATK Menurut Pasal 26 UU
TPPU tugas PPATK antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menganalisis,
mengevaluasi laporan dan informasi-informasi di atas. Di samping itu, PPATK
dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap
transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada
Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan
penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai kegiatan
analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada
Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi
Penyedia Jasa Keuangan (PJK).Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan
informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi
dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MOU dengan PPATK agar hasil
analisis tersebut memeiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan
hukum. Pada dasarnya dalam kegiatan analisis adalah kegiatan untuk menghubungkan
(”association)” antara uang atau harta hasil kejahatan dengan kejahatan
asal melalui identifikasi transaksi-transaksi yang dilakukan, yang pada
akhirnya akan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat si penjahat.
Proses pendeteksian kegiatan pencucian uang baik pada tahap placement, layering
maupun integration akan menjadi dasar untuk merekontruksi asosiasi antara uang
atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat.
Apabila telah terdeteksi dengan
baik, proses hukum dapat segera dimulai baik dalam rangka mendakwa tindak
pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang terkait. Inilah yang
menjadi alasan utama mengapa PJK di wajibkan melaporkan transaksi keuangan
mencurigakan (STR-suspicious transaction report) dan transaksi keuangan
tunai (CTR-cash transaction report).Sedangkan Pasal 27 UUTPPU memberikan
kewenangan kepada PPATK antara lain: meminta dan menerima laporan dari PJK,
meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap
tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau
penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas terdapat dua tugas
utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang
dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan
tindak pidana yang melahirkannya (predicate crimes) khusunya korupsi.
Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisa
(mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian menyerahkan laporan hasil
analisisnya kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan (Pasal 27). Untuk memperoleh
laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK harus menjalin kerjasama
yang baik dengan penyedia jasa keuangan dan instansi terkait lainnya atau
dengan FIU dari negara lain. Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK
dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan
informasi yang dimiliki. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK,
sharing informasi dengan instansi pemerintah atau dapat juga berasal dari
sharing information dengan FIU dari negara lain sebagaimana telah diuraikan di
atas.Berdasarkan angka statistik per 31 Agustus 2005, PPATK telah menerima
sebanyak 2.561 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dari 95 bank umum
dan 1 BPR, 4 perusahaan efek, 9 pedagang valas, 1 dana pensiun, 3 lembaga
pembiayaan, 1 manajer investasi dan 5 perusahaan asuransi. Jumlah
penyedia jasa keuangan yang telah menyampaikan laporan tersebut dirasakan belum
optimal dibandingkan dengan jumlah PJK lebih dari 2.000 perusahaan. Dari 2.561
laporan transaksi keuangan mencurigakan tersebut, PPATK telah melakukan
analisis dengan menambahkan data dan informasi yang mendukung, dan hasilnya telah
diserahkan kepada Kepolisian sebanyak 330 kasus yang merupakan hasil analisis
dari 616 LTKM dan kepada Kejaksaan sebanyak 3 kasus yang merupakan hasil
analisis dari 11 LTKM.
E. Proses Hukum Tindak
Pidana Pencucian Uang
Setelah menerima hasil analisis dari
PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Penyelidikan dan penyidikan tidan pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana seperti proses penanganan tindak pidana
lainnya, kecuali yang secara khusus diatur dalam UU TPPU. Ketentuan-ketentuan
khusus ini tentu memberikan keuntungan atau kemudahan bagi penyidik, yaitu :
1. Dari hasil analisis PPATK yang bersumber dari berbagai
laporan atau informasi, seperti LTKM, LTKT dan laporan pembawaan uang tunai ke
dalam atau ke luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum dalam
mendeteksi upaya penjahat untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang atau harta
yang merupakan hasil tindak pidana korupsi pada sistem keuangan atau
perbankan. Hal ini karena hasil analisis tersebut merupakan filter dari seluruh
laporan-laporan yang ada dan memberikan informasi mengenai indikasi hasil
tindak pidana, perbuatan pidana, dan pelaku serta jaringan pidana yang terkait.
2.
Pasal 39 sampai 43 UU TPPU memberikan perlindungan saksi dan pelapor
dalam tindak pidana pencucian uang pada setiap tahap pemeriksaan: penyidikan,
penuntutan dan peradilan, sehingga mendorong masyarakat untuk menjadi saksi
atau melaporkan tindak pidana yang terjadi. Hal tersebut mengakibatkan upaya
pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi lebih efektif.
Perlindungan ini antara lain berupa kewajiban merahasiakan identitas
saksi dan pelapor dengan ancaman pidana bagi pihak yang membocorkan
dan perlindungan khusus oleh negara terhadap kemungkinan ancaman
yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya termasuk keluarganya.
3. Adanya pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang
pengadilan wajib membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU
TPPU).
4. Dalam penyidikan, dapat memanfaatkan FIU/PPATK untuk
memperoleh keterangan dari FIU negara lain atau memanfaatkan data base dan
hasil analisis yang dimiliki FIU/PPATK.Di samping ketentuan yang telah
diuraikan di atas, pasal 30 sampai dengan 38 UU TPPU secara khusus telah
mengatur proses hukum tindak pidana pencucian uang sejak penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketentuan mengenai hukum acara (proses
hukum) tersebut sengaja dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian
uang merupakan tindak pidana baru yang memiliki kharakteristik tersendiri
dibandingkan dengan tindak pidana pada umumnya. Hal ini tercermin dari
ketentuan mengenai pemblokiran harta kekayaan, permintaan keterangan atas harta
kekayaan, penyitaan, alat bukti dan tata cara proses di
pengadilan.1. PemblokiranUU TPPU tidak mengenal pemblokiran
rekening, yang diatur dalam UU TPPU adalah harta kekayaan, oleh karena itu yang
dapat diblokir oleh penyidik, penuntut umum atau hakim adalah harta kekayaan
dan bukan rekening (vide Pasal 32 UU TPPU).
Nilai atau besarnya harta
kekayaan yang diblokir adalah senilai atau sebesar harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau
penghasilan lain yang didapat dari dana/harta kekayaan yang diblokir dimasukkan
dalam klausula Berita Acara pemblokiranDalam hal dana dalam suatu rekening
jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana yang diketahui atau patut diduga berasal
dari tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam
rekening dimaksud pada saat pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada
dalam rekening lebih besar dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal
dari hasil tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui
atau patut diduga berasal dari tindak pidana.Oleh karena yang diblokir bukanlah
suatu rekening, melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui
atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak
terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening tersebut
tidak boleh berkurang.Jumlah dana yang ada pada rekening untuk sementara
diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik/PU/Hakim dalam surat perintah
pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan mengenai “kepastian
jumlah harta kekayaan/uang yang seharusnya diblokir, masih dalam proses
penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan kemudian.”Mengenai tata caranya,
perintah pemblokiran dibuat secara tertulis dan jelas dengan menyebutkan
point-point yang diatur dapal Pasal 32 ayat (2) UU TPPU dengan tembusan ke
PPATK, dan mencantumkan secara jelas pasal UU TPPU yang diduga dilanggar.
Tembusan perlu juga dikirim ke
Bank Indonesia apabila predicate crime-nya tindak pidana perbankan.
2. Permintaan keterangan
(membuka rahasia bank)Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk meminta
keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan tentang Harta Kekayaan setiap orang yang
telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, tidak diperlukan permohonan
dari Kapolri/Jaksa Agung/Ketua Mahkamah Agung untuk meminta izin dari Gubernur
BI (Pasal 33 UU TPPU). Sementara itu, untuk kasus korupsi, menurut UU No. 31
Tahun 1999, tetap diperlukan permohonan dari Kapolri, Jaksa Agung dan
Ketua Mahkamah Agung untuk meminta keterangan tentang keadaan keuangan seorang
tersangka korupsi (Pasal 29). Dengan demikian, ketentuan dalam UU TPPU
dapat mempercepat upaya untuk memperoleh barang bukti dalam rangka memberantas
tindak pidana korupsi.Pasal 33 UU TPPU menjelaskan kriteria para pihak yang
dapat dimintakan informasi rekeningnya tanpa harus berlaku ketentuan rahasia
bank yaitu : 1) pihak yang telah dilaporkan oleh PPATK, 2) tersangka dan
3) terdakwa. Di luar tiga kategori tersebut di atas, tidak bisa dimintakan
kepada bank mengenai informasi suatu rekeningnya, kecuali menggunakan mekanisme
umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan instansi kepada Gubernur
Bank Indonesia.Jika dalam perkembangan penyidikan diketahui adanya pihak lain
yang diduga terkait dengan aliran dana atau terkait dengan suatu tindak pidana,
sedangkan orang tersebut tidak termasuk dalam tiga kategori di atas, maka
hal-hal yang perlu dilakukan penyidik, antara lain, Penyidik menginformasikan ke PPATK dan selanjutnya
PPATK memberitahukan ke PJK untuk dilaporkan sebagai STR. STR ini selanjutnya
dianalisis oleh PPATK dan hasil analisisnya dilaporkan ke penyidik untuk
ditindaklanjuti. Penyidik menginformasikan ke PJK,
dan oleh PJK dilaporkan ke PPATK sebagai STR. Kemudian STR dianalisis oleh
PPATK dan hasilnya dilaporkan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
Penyidik meminta izin kepada
Gubernur BI untuk membuka rahasia bank.Permintaan informasi/keterangan harus
dibuat dalam bentuk surat tertulis dengan syarat,
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai Pasal 33 ayat (4) UU TPPU, menyebutkan maksud dan tujuan permintaan informasi,
antara lain : status permintaan informasi (untuk penyidikan atau penuntutan);
tindak pidana yang disangkakan/ didakwakan (dugaan TPPU berikut predicate
crime-nya); identitas seseorang; tempat harta kekayaan (cabang Bank tertentu);
nomor rekening (jika ada); dan periode transaksi yang dilakukan.Surat dari
penyidik ke bank/PJK perihal permintaan informasi/keterangan terkait dengan tindak
lanjut STR dengan tembusan ke PPATK. Dalam hal tindak lanjut STR tersebut
terkait dengan tindak pidana perbankan, surat tersebut ditembuskan baik ke
PPATK dan Bank Indonesia.Untuk mengurangi intensitas hubungan langsung penegak
hukum ke PJK dalam rangka TPPU, sebisa mungkin hubungan langsung tersebut
dilakukan sejak nasabah bank yang bersangkutan telah dijadikan tersangka kasus
TPPU. Selama masih dalam penyelidikan, PPATK menjadi fasilitator antara PJK
dengan penegak hukum.3. PenyitaanDana yang disita tetap berada
dalam rekening di bank yang bersangkutan (bank tempat dilakukannya pemblokiran)
dengan status barang sitaan atas nama penyidik atau pejabat yang berwenang. Hal
ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia,
Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia
No.KEP-126/JA/11/1997, No.KEP/10/XI/1997, No.30/KEP/GBI Tanggal 6 November 1997
tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana Di Bidang Perbankan.
Dalam mengungkap fakta bahwa seseorang
mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan dimaksud berasal dari hasil
tindak pidana, penyidik dapat menjelaskan dengan pendekatan bahwa Diketahui sama dengan dolus atau sengaja, artinya
seseorang itu benar mengetahui bahwa harta kekayaan untuk bertransaksi berasal
dari hasil tindak pidana, terlepas apakah tindak pidana dilakukan sendiri,
dilakukan bersama-sama dengan orang lain atau dilakukan orang lain Patut menduga artinya culva atau alfa, subyek lalai
dalam menilai terhadap harta kekayaan. Di
samping itu, patut menduga dapat dilihat pula dari kecakapan seseorang, artinya
seseorang tersebut harus memiliki kapasitas untuk dapat dinilai apakah lalai
atau tidak Secara praktis, untuk dapat
menilai bahwa suatu harta kekayaan diketahuinya atau patut diduganya berasal
dari hasil tindak pidana, dapat dilihat dari apakah
transaksi yang dilakukan sesuai profile? apakah
seseorang tersebut melakukan transaksi sesuai kapasitasnya? apakah transaksi yang dilakukan terdapat underlying
transaksinya?Terlepas dari hal tersebut di atas, sesuai penjelasan Pasal 3 UU
TPPU, untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU, terhadap unsur “harta kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” tidak
perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya Pembuktian tersebut
menjadi tanggung jawab (beban) terdakwa saat pemeriksaan di sidang
pengadilan. Hal ini sesuai Pasal 35 UU TPPU bahwa terdakwa wajib membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.Berkenaan dengan pendakwaan
dalam sidang pengadilan, terhadap dakwaan komulatif tidak ada masalah, tetapi
terhadap dakwaan alternatif (primer subsidier) akan muncul masalah karena
dipisah pemberkasannya. Seringkali satu alat bukti digunakan terhadap kedua
kasus (predicate crime dan money laundering). Dalam common law system, apabila
proses pidana menyimpang dari due process of law (hukum acara) maka proses
hukum gugur/batal. Selanjutnya, setelah selesai penyidikan dilakukan,
penyidik meneruskan pada Jaksa Penuntut Umum. Terdapat berbagai keuntungan bagi
Jaksa selaku penuntut umum dalam menyusun dakwaan dan melakukan penuntutan
dalam sidang pengadilan dalam menerapkan UU TPPU terutama adanya ketentuan
pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU TPPU). Di samping
itu, JPU juga lebih leluasa dalam menyusun dakwaan dengan menerapkan pasal
pidana baik secara komulatif (tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian
uang) atau alternatif (tindak pidana asal atau pidana pencucian uang)Dalam hal
penyusunan dakwaan selesai dilakukan, kegiatan selanjutnya adalah proses
persidangan di pengadilan. Beberapa keuntungan dalam menerapkan UUTPPU dalam
proses pemeriksaan oleh hakim di sidang pengadilan, antara lain :
1. Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum
putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang
bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat
mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita dirampas
untuk negara (Pasal 37 UU TPPU).
2. Berdasarkan Pasal 6 UU TPPU setiap orang yang menerima
atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana (tindak pidana
pencucian uang pasif). Ketentuan untuk cukup mudah diterapkan dalam
proses pemeriksaan karena hakim lebih banyak menilai pada kebenaran formal
daripada material.
3. Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencantumkan
nama pelapor dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya
identitas pelapor maupun saksi; atau BAP dibuat dalam bentuk Berita Acara
Pendapatan oleh penyidik. Hal ini terkait dengan Perlindungan khusus bagi saksi
dan Pelador. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi pelapor dan saksi serta
perlindungan bagi penyidik, hal-hal yang musti dilakukan antara lain, Permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis
kepada bank (permintaan bukan ditujukan pada nama pejabat bank) kapasitas saksi
adalah mewakili institusi (bukan
individu)- tidak menyebutkan
identitas pelapor dan saksi, atau identitasnya disamarkan (a.l. laki-laki jadi
perempuan, atau sebaliknya).
F. Penutup
PPATK sebagai lembaga intelijen
keuangan cukup membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang terutama memberikan hasil analisis dan informasi keuangan
lainnya kepada aparat penegak hukum. Di samping itu, PPATK juga dapat memenuhi
informasi yang diminta oleh penyidik lainnya yang dapat dipakai dalam rangka
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melalui mekanisme tukar-menukar
informasi. Ketentuan yang mengatur mengenai
proses hukum (hukum acara) tindak pidana pencucian uang menjadi kunci sukses
dalam menindak lanjuti setiap hasil analisis PPATK untuk dapat diajukan dalam
sidang pengadilan, sehingga pelaku tindak pidana tidak bisa menghindar dari
ancaman hukuman dan hasil tindak pidananya dapat dirampas untuk negara.