PERAN
PERJUANGAN HIZBUT TAHRIR MEMBANGUN
PERADABAN
ISLAM KE DEPAN
Prof. Dr. Hassan Ko Nakata
(Sekolah Teologi, Universitas Doshisha, Jepang)
Pendahuluan
Tujuan
dari presentasi saya kali ini adalah untuk menunjukan, bahwa pesan penting dan
mendasar dari Hizbut Tahrir merupakan sesuatu yang mudah dipahami, bahkan bagi
kaum non-Muslim di dunia Barat, jika pesan ini disampaikan dengan cara yang memadai
dan menggunakan metode penyampaian yang menarik.
Karena
saat ini saya hidup di negeri non-Islam dan tugas saya adalah untuk
menyampaikan (pesan) Islam kepada masyarakat yang tidak mengenal Islam, adalah
sangat jelas bagi saya bahwa cara menyampaikan Islam kepada kalangan non-Muslim
seharusnya berbeda dengan cara penyampaian Islam kepada sesama Muslim. Rasullah
SAW bersabda:
«خَاطِبُوْا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ»
Serulah
manusia itu sesuai dengan kadar intelektualis mereka.
1.
Posisi Hizbut
Tahrir di Tengah Umat Islam
Hizbut
Tahrir adalah salah satu gerakan politik dari kelompok-kelompok Islam yang
tergabung dalam Islahi-Salafi-Sunni. Ajaran Islam itu sendiri mempunyai beberapa
level. Level paling rendah, secara umum dapat dipahami oleh seluruh kaum Muslim. Namun level tertinggi merupakan segmentasi
khusus yang hanya diajarkan oleh Hizbut Tahrir.
Sebagai
gerakan Sunni, Hizbut Tahrir percaya bahwa kepemimpinan politik tidak didasarkan
pada penunjukan yang ditetapkan di dalam wahyu (petunjuk langsung dari Allah)
yang diterima oleh seorang Imam ma‘sum yang suci. Tetapi berdasarkan
pemilihan umat Islam itu sendiri.
Sebagai
gerakan Sunni-Salafi, gerakan ini mengacu pada pemaknaan secara tekstual
(secara langsung) dari ayat-ayat al-Quran dan Hadith tanpa mengacu pada mazhab-mazhab
Sunni yang telah terlebih dahulu ada (seperti Hanafi, Maliki, Syafi‘i
dan Hambali).
Sebagai
gerakan Sunni-Salafi-Islahi, gerakan ini menolak segala bentuk gagasan sosial-politik
yang berasal dari luar Islam—tetapi, murni sebagaimana yang diajarkan oleh para
Salaf Salih (para generasi shalih terdahulu)—baik nilai-nilai
tradisional dari masa pra-Islam yang bertentangan dengan Islam, maupun konsep modern
dari Barat, sebagai dasar ideologis dari perubahan.
Aspek Sunni
dari gerakan ini bisa dipahami bersama oleh seluruh kaum Muslim Sunni, kecuali
oleh Muslim Syiah. Aspek Salafi dari gerakan ini diikuti oleh seluruh Muslim
Salafi, namun tidak oleh Muslim yang mengikuti mazhab atau Muslim
“tradisional”. Aspek Salafi dan Islahi dari gerakan ini dilakukan
secara simulkan oleh seluruh gerakan Salafi Islahi, namun tidak oleh
kalangan non-politis dan pro-status quo dari golongan Muslim Salafi.
Di atas
4 level (Islami, Sunni, Salafi, Islahi) ini ada satu seruan khas yang
melekat pada Hizbut Tahrir, yaitu seruan Tahriri (kelompok pembebasan),
yang menjadi level tertinggi di antara berbagai level sebelumnya. Level seruan Tahriri
(kelompok pembebasan) ini merupakan inti
dari doktrin Khilafah.
Setiap level
dibangun berdasarkan level yang ada di bawahnya. Contoh, menjadi seorang Sunni,
mengharuskan seseorang menjadi Muslim; menjadi seorang Salafi mengharuskan
seseorang untuk menjadi Sunni; menjadi seorang Islahi, seseorang
perlu menjadi seorang Salafi; dan menjadi seorang Tahriri, mengharuskan
seseorang menjadi Islahi terlebih dahulu.
Maka satu
hal yang sangat sulit bagi Muslim Syiah untuk menerima ideologi Hizbut
Tahrir secara menyeluruh, ataupun menjadi bagian dari gerakan ini tanpa
meninggalkan ajaran Syiah-nya. Mereka harus terlebih dahulu menerima
ajaran Sunni, lalu ajaran Salafi, kemudian ajaranan Islahi,
dan terakhir adalah ajaran Tahriri.
Namun
demikian, doktrin Khilafah—pemahaman yang melekat erat pada pandangan Hizbut
Tahrir dan merupakan inti dari pandangan ini—tidak diperuntukan terbatas hanya
pada kaum Islahi saja—namun juga untuk mereka yang ada pada level yang lain.
2.
Konsep Khilafah
Hizbut Tahrir
Berikut
ini saya rangkumkan konsep Khilafah (negara penerus Rasulullah) Hizbut Tahrir,
yaitu:
(1) Khilafah adalah satu-satunya sistem politik Islam yang
sah.
(2) Khilafah adalah pemerintahan berdasarkan pada hukum
Syari’ah (Islam) dan dijalankan melalui kepemimpinan yang dipilih oleh umat Islam.
(3) Hanya ada satu Khilafah yang berdiri di seluruh dunia.
(4) Menegakkan Khilafah adalah kewajiban seluruh umat Islam.
(5) Cara untuk menegakkan Khilafah adalah dengan memberikan
pemahaman tentang konsep ini kepada mereka yang berkuasa, dan memberikan
kewenangan kepadanya untuk menjalankan hukum Syari’ah, ketika seluruh wilayah Muslim
telah berubah menjadi Dar al-Harb dan seluruh peninggalan kekhilafan
telah sirna.
Menurut
pendapat saya, konsep ini bisa dipahami bersama, bahkan oleh seluruh lapisan Muslim
Sunni Tradisional,[1]
sebab konsep Khilafah Hizbut Tahrir tidak bertentangan dengan konsep Khilafah
dari mazhab-mazhab Sunni—hanya saja, doktrin Sunni tidak secara
eksplisit, atau hanya secara implisit saja mengemukakan sistem ini.
3. Nilai Universal Konsep Khilafah
Sebagaimana
telah saya utarakan sebelumnya, bahwa konsep Hizbut Tahrir memiliki 5 level,
yaitu: (1) Islam, (2) Sunni, (3) Salafi, (4) Islahi,
(5) Tahriri. Namun kenyataannya, konsep ini memiliki level lain, yang
dapat kita kenali dengan sebutan “Risalah Ibrahim” dan “Risalah Nuh”.
Risalah
Ibrahim adalah ajaran yang dianut oleh kaum Yahudi, kaum Nasrani, dan umat Islam.
Risalah Nuh adalah pemahanan yang dianut oleh seluruh umat manusia di dunia ini
yang percaya kepada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kebebasan dan kebenaran.
Dewasa
ini, Hizbut Tahrir mendapat sorotan tajam di dunia Barat karena perjuangannya
untuk menegakan Khilafah. Karena propaganda anti-Islam yang menggambarkan
perjuangan Hizbut Tahrir ini sebagai bentuk dari terorisme global yang sangat
mengacam dunia Barat, maka persaingan antara dunia Barat dan Hizbut Tahrir
menjadi tak terelakan.
Walaupun
demikian, prinsip dari konsep Hizbut Tahrir, dalam hal ini adalah konsep Khilafah,
berkaitan dengan Risalah Ibrahim dan Risalah Nuh. Karenanya, konsep ini sebenarnya
dapat diterima, bukan hanya oleh kalangan umat Islam, namun juga oleh kalangan Kristen.
Bahkan oleh mereka yang Sekuler sekalipun, selama penyampaian konsep ini
dibahasakan dengan cara yang mudah dimengerti oleh mereka.
Dalam
hal ini, mereka yang “menerima” konsep Khilafah Hizbut Tahrir tidak serta merta
membuat mereka wajib berkomitmen secara penuh ataupun menyetujui seluruh
argumentasi syariah Hizbut Tahrir ---yang berdasar pada al-Quran dan Hadits---
untuk memperjuangkan Khilafah. Karena argumentasi syariah hanya berlaku untuk
umat Islam dan tidak kepada mereka yang menganut Islam Syiah —mereka memiliki
Hadits dan usul fiqih yang lain. Karena itu, argumentasi syariah Hizbut Tahrir
untuk menegakkan Khilafah, sepatutnya hanyalah ditujukan kepada Muslim Sunni.
Lebih
lanjut, pendapat saya, bahwa “Konsep Hizbut Tahrir bisa diterima oleh semua
manusia termasuk di dalamnya kaum Sekuler” berarti bahwa pemerintahan yang
menganut sistem Khilafah adalah pemerintahan yang masuk akal, dapat digambarkan
dan diterima bahkan oleh kalangan Sekuler yang hidup di dalam wilayah hukum ini
(karena mereka hampir tidak akan menemui kesulitan).
Mereka bisa
memilih sikap pasif terhadap Islam—dalam hal ini adalah tidak perlu berkomitmen
pada konsep yang mendasari dan menjadi tujuan pendirian Khilafah itu sendiri.
4. Keduniaan Khilafah
Dalam konteks
ini, saya mencoba untuk menjelaskan sistem pemerintahan Khilafah tidak
menggunakan sistem pengetahuan tradisional Islam, yaitu Syariah, namun menggunakan
istilah dalam ilmu politik dunia Barat.
Pertama, Khilafah adalah suatu sistem pemerintahan “bersifat
keduniaan” yang aturannya berdasarkan
pada hukum, bukan teokrasi atau “pemerintahan bersifat ketuhanan”. Ini tentu
berbeda dengan pemahaman kaum Syiah tentang imamah atau
pemerintahan Imam ma‘sum yang bersifat teokratik.
Imam ma’sum
dalam konteks ini dapat bertindak dan memerintah berdasarkan bimbingan langsung
dari Allah. Keputusan yang diambil oleh imam hanya dia saja yang bisa memahami.
Sedangkan bagi umat Islam yang lain, mereka hanya bisa menerima dan dilarang
membantah, sebagaimana Nabi Muhammad memerintah pada masanya.
Berbeda
dengan konsep Imamah Syiah, Khilafah kaum Sunni adalah sistem
pemerintahan yang “membumi” atau “bersifat keduniaan”, bukan “bersifat teokratik”,
karena sistem pemerintahannya berdasarkan hukum, dan tak ada ruang sekecil
apapun bagi hal-hal mistik atau pengambilan keputusan secara irrasional
oleh seorang pemimpin yang memerintah berdasarkan wahyu atau petunjuk Tuhan
secara langsung.
Sangat
menyesatkan, bila tidak bisa dikatakan menyimpang, untuk menyebut “Hukum Islam”
sebagai sebuah pemerintahan teokratik yang dibangun berdasarkan petunjuk
langsung dari Tuhan. Bagaimanapun juga Hukum Islam adalah suatu sistem
peraturan, sama dengan sistem hukum Inggris. Maka, baik hukum Islam maupun
sistem hukum Inggris bukanlah sistem yang misterius, melainkan sistem yang
sangat rasional. Dalam pengertian, bahwa dalam menjalankan keduanya tidak ada
hubungannya dengan petunjuk langsung dari Tuhan. Maka, yang diperlukan adalah
untuk memahaminya secara logis berdasarkan proses penalaran hukum (legal
reasoning) secara professional, bukan hanya berdasarkan keimanan semata.
Dalam
konteks sumber hukum, fakta bahwa sumber hukum Islam adalah wahyu Allah itu
tidak serta merta menjadikan sistem politik dan hukum Islam menjadi sistem
pemerintahan berdasarkan wahyu atau ilham (pentunjuk langsung dari Tuhan),
ataupun sebaliknya. Yang menganggap bahwa sumber seluruh hukum ini berhubungan
dengan mitos pendirian suatu bangsa, yang selanjutnya dapat dikategorikan
sebagai sesuatu yang suci dan irrasional, baik dalam sistem hukumnya
dianggap berdasarkan pada suatu agama ataupun bukan (Sekuler).[2]
5. Sistem Pemerintahan Islam
Sistem
hukum Islam sendiri bersifat dualistik, terdiri atas hukum publik—setiap orang
harus mematuhi—dan hukum komunal—memberikan otonomi pada masyarakat yang
berbasis agama untuk mengatur cara hidupnya berdasarkan pada hukum yang berlaku
di dalam agamanya. Ini sekaligus menunjukan, bahwa hukum Islam juga
mengakomodasi pluralitas atau keragaman masyarakat.
Lebih
lanjut, Khilafah adalah sistem pemerintahan keduniaan membumi yang menjamin
perlindungan seluruh masyarakat berdasarkan hukum publik Islam dan memberikan
kebebasan kepada komunitas berbasis agama di bidang keagamaan. Bukan hanya
dalam ritus keagamaan, namun juga dalam hal-hal yang menyangkut hukum keluarga,
cara berpakaian dan sebagainya.
Fakta
menunjukan, Khilafah merupakan konsep yang membumi karena konsep ini
dipengaruhi oleh karakter dari misi keIslaman itu sendiri. Misi Islam ini
berlipat ganda dalam (1) menyebarkan sistem pemerintahan Islam atau Khilafah,
yang merupakan kewajiban, dan (2) menyebarkan agama Islam, yang merupakan
pilihan selanjutnya atau opsional. Ini karena misi keIslaman dibangun dengan
tegas, ketika kepatuhan terhadap hukum publik Islam yang disertai dengan
pembayaran pajak jizyah ditolak[3],
bukan ketika mereka menolak agama Islam itu sendiri.
Sebagaimana
tertulis dalam al-Quran, Allah berfirman:
﴿قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ
بِالْيَوْمِ الآخِرِ.... حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ عَنْ يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ﴾
“Perangilah Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian…sampai mereka membayar Jizyah dengan patuh sedang mereka
mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah
[09]: 29)
Sebagai
tambahan, al-Mughirah menuturkan, bahwa dia pernah berkata kepada pasukan
Persia dalam peperangan Nahawand:
«أَمَرَنَا نَبِيُّنَا r أَنْ نُقَاتِلَكُمْ حَتَّى تَعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ
أَوْ تُؤَدُّوا الْجِزْيَةَ»
“Nabi kami Muhammad (SAW)
memerintahkan kami untuk memerangimu sampai engkau beriman pada Allah atau
membayar pajak (jizyah)”
Adalah sangat jelas, bahwa misi dari agama Islam adalah
untuk menegakkan sistem pemerintahan Islam, bukan memaksakan agama Islam ke seluruh
dunia.
6. Tanggungjawab Politik dalam Khilafah
Akibat
dari karakter yang ada dalam misi keislaman ini, tanggungjawab politik untuk
memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian dalam sistem Khilafah tidak
dibebankan kepada semua orang—sebagaimana yang digagas dalam kerangka berpikir
keliru tentang perwakilan bangsa-bangsa; dalam hal ini, sekedar contoh, sebut
saja sistem pemerintahan demokratis—melainkan berada di bawah pengelolaan umat Islam
di bawah pimpinan puncaknya, Khalifah, menurut kemampuan mereka masing-masing.
Dengan
kata lain, sistem Khilafah, tidak mewajibkan kalangan non-Muslim untuk
memberikan komitmen politik kepada Islam—karena mereka tidak mengimaninya—dan
mereka hanya diwajibkan mematuhi aturan hukum publik Islam dengan membayar jizyah
sebagai warga negara “pasif”. Berbeda dengan kaum Muslim, mereka diwajibkan
untuk berpartisipasi dalam perpolitikan Khilafah sebagai warga “aktif”
berdasarkan kemampuan mereka karena keimanan mereka kepada Islam.
Maka,
kali ini kita dapat mendefinisikan Khilafah sebagai “sistem politik Islam yang
tumbuh bersama dalam keragaman masyarakat berbasis agama—berikut dengan masing-masing
otonominya di bidang keagamaan—yang direalisasikan di bawah pengelolaan kaum Muslim melalui kepemimpinan Khalifah yang
bertanggungjawab untuk menjalankan hukum publik Islam yang bertujuan untuk
menjamin ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat majemuk yang
beragam.
7. Darul Islam
Kita
menamai wilayah di mana sistem Khilafah berdiri, dengan istilah Darul Islam (Rumah
Islam). Karena itu, misi keislaman adalah untuk memperluas Darul Islam ini
ke seluruh dunia dengan berbagai cara yang memungkinkan, dengan tujuan untuk
mencabut segala aturan buatan manusia yang memperbudak manusia lain. Tujuan
dari misi keislaman tentu bukanlah memaksakan agama Islam kepada orang lain,
melainkan untuk menegakkan pemerintahan Islam kepada mereka, dengan tetap
memberikan mereka kewenangan untuk hidup secara mandiri dalam komunitas mereka
sendiri. Dengan kata lain, sistem ini tidak murni “keagamaan”, tetapi sangat
“membumi” atau bersifat “keduniaan”.
Karenanya,
inilah yang menjadi alasan mengapa sistem ini dapat diterima tidak hanya oleh kaum
Muslim, tetapi juga oleh seluruh umat manusia yang berjuang demi keadilan,
kemanusiaan, dan kebebasan, sebagaimana yang telah terjadi dalam misi
pembebasan Islam di abad ketujuh—ketika masyarakat tertindas di wilayah selatan
Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia menerima misi pembebasan pasukan
Islam tanpa perlawanan yang berarti.
Darul Islam juga terbuka bagi siapa
saja; siapa saja boleh hidup di dalamnya, bahkan kalangan non-Muslim
sekalipun—tidak perduli ras, tempat lahir, suku dan seterusnya—selama mereka
mematuhi hukum publik Islam. Ketika mereka memutuskan untuk hidup di dalamnya,
mereka dapat dengan bebas bepergian di dalam wilayah ini tanpa dipungut jizyah.[4]
Allah
berfirman:
﴿وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ
فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْلَمُونَ﴾
Dan jika seorang diantara orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempar mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum
yang tidak mengetahui. (Q.s.
at-Taubah [09]: 6)
Allah
adalah sang Maha Pencipta alam semesta. Karenanya, seluruh isi bumi ini adalah
milik-Nya, dan Dia telah mengizinkan manusia untuk bepergian dengan bebas di dunia
ini. Tidak seorang pun ataupun satu pun institusi yang berhak untuk membatasi
bumi ini ataupun mengasingkan seseorang dari sesamanya. Dalam sistem negara-bangsa
(nation state) Barat, setiap negara-bangsa dengan terirorialnya adalah
penjara besar dan batas negara adalah temboknya yang memenjarakan bangsanya di
dalam negara tersebut, serta mencegah bangsa lain untuk masuk ke dalamnya.
8. Khilafah Kebalikan dari Sistem Negara Bangsa (Nation
State)
Sekarang
semakin jelas, bahwa Khilafah bukanlah kelompok yang terdiri dari berbagai negara-bangsa,
namun merupakan satu pemerintahan universal yang bertentangan dengan sistem negara
bangsa, dan juga sistem yang membebaskan bangsa-bangsa dari penjara buatan
mereka.
Kenyataannya,
konsep negara-bangsa Barat tidak hanya bertentangan dengan ajaran Islam, namun
juga bertentangan dengan premis dasar agama-agama Ibrahim yang menyatakan,
bahwa Tuhan adalah penguasa sekalian alam, dan juga konsep ini bertentangan
dengan etika ajaran Nuh tentang kemanusiaan, kesetaraan, keadilan dan
kebebasan.
Walaupun
demikian, para penguasa dari kalangan Yahudi-Kristen Barat, yang menangguk keuntungan
dari sistem negara-bangsa melalui eksploitasi bangsa yang miskin, tetap berkilah
dengan berpura-pura melakukan memperjuangkan kesetaraan, perdamaian, kebebasan
dan kemanusiaan. Mereka berpaling dari ketidakkonsistenan yang sangat jelas
ini. Bahkan sebaliknya, untuk memperkeruh masalah, mereka menuduh dengan tegas
pihak-pihak yang ingin membebaskan manusia dari penjara sistem negara-bangsa ini
dengan sebutan “teroris global”.
Kemudian,
Islam adalah satu-satunya agama terbesar di dunia yang memperjuangkan
kemanusiaan dengan menolak sistem negara-bangsa dengan teritorialnya. Karena
sistem ini sendiri jelas bertentangan dengan kemanusiaan.
Dalam
konteks ini, Islam memperjuangan globalisasi dengan membebaskan manusia dari
penjara sistem negara-bangsa. Ini tentu berseberangan dengan konsep
“globalisasi” yang menyesatkan, yang melarang pergerakan manusia di perbatasan satu
dan lainnya dengan leluasa, serta memaksakan arus modal untuk mengeksploitasi negara
yang tertindas demi mendukung kekuatan negara Barat.
9.
Keunikan Hizbut
Tahrir di Antara Gerakan Islam Kontemporer
Sayangnya,
kecuali Hizbut Tahrir, di tengah-tengah umat Islam sendiri tidak ada gerakan
international sejati yang menentang secara terang-terangan sistem negara-bangsa
(nation state), dan membela kewajiban untuk menegakkan kembali Khilafah
sebagai satu-satunya sistem politik Islam yang sah. Jangankan kaum Muslim
biasa, para aktivis yang tergabung dalam gerakan Islam itu sendiri kerap tidak
peduli dengan perjuangan menegakkan kembali Khilafah beserta peran penting mendasarnya
dalam membebaskan manusia. Mereka umumnya melakukan kompromi dengan sistem negara-bangsa
(nation state); apakah karena mereka terpengaruh dan disesatkan oleh
pemikiran keliru tentang logika politik Barat, atau karena mereka takut akan tekanan
penguasa zalim di dalam negeri mereka sendiri—yang sedang mempertahankan
statusnya karena kepatuhannya kepada penjaga sistem dari Barat, atau negara
adikuasa Barat. Mereka berpikir, bahwa mereka akan memperoleh simpati ataupun
pengakuan dari Barat bila mereka melakukannya. Namun, perlu dipahami bahwa
semua itu ternyata hanyalah ilusi belaka.
Faktanya adalah, mereka akan kehilangan dukungan moral dari para pemeluk
sejati agama-agama Ibrahim dan juga kehilangan dukungan dari para pemikir dari
ajaran Nuh yang telah memahami karakter eksploitatif, penindas, dan anti kemanusiaan
dari sistem negara-bangsa dengan teritorialnya tersebut. Bila hal ini terus
berlangsung, mereka tidak hanya akan menghianati tujuan mulia dari pendirian
Khilafah, namun juga akan kehilangan dukungan terhadap panggilan universalnya
kepada para pemeluk agama sejati serta mereka yang menyadari hal ini.
Karena
itu, menurut hemat saya, dalam konteks dunia Islam kontemporer, hanya Hizbut
Tahrirlah yang bisa dikatakan sebagai “gerakan politik Islam” yang
memperjuangkan terealisasinya Khilafah—yang merupakan panggilan universal;
tidak hanya untuk umat Islam, tetapi lebih dari itu. Konsekuensinya, keberhasilan
Hizbut Tahrir tentu tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam, tetapi juga untuk
seluruh umat manusia. Karena itu, peran dari Hizbut Tahrir manjadi berlipat
ganda, yaitu:
(1) Mencerahkan umat Islam (khhususnya, Ahlussunnah) akan
kewajiban mereka dalam mendirikan kembali Khilafah sesuai dengan hukum syari‘ah.
(2) Menjelaskan misi Islam universal dari sistem Khilafah
kepada dunia Barat dengan sudut pandang ilmu sosial negara Barat.
10. Peran Hizbut Tahrir di Indonesia
Kecuali
Indonesia, kebebasan berekspresi dan beraktivitas politik—berserikat dan
berkumpul—di banyak negeri Muslim tidak dijamin oleh negara. Karena itu, Hizbut
Tahrir Indonesia memiliki posisi terbaik dalam mewujudkan misi ini. Bahkan,
berkat kebebasan ini, Hizbut Tahrir Indonesia telah berhasil mewujudkan
berbagai karya intelektual, tidak hanya penerjemaahan teks Arab Hizbut Tahrir,
namun juga telah menghasilkan berbagai artikel asli di dalam situs internet dan
majalah terbitannya. Lebih lanjut, mereka juga berhasil melakukan
peregenerasian anggotanya melalui berbagai kegiatan sosial budaya.
Namun
perlu digarisbawahi, karaktek yang sangat mencolok dari Hizbut Tahrir Indonesia
adalah keberhasilannya dalam membangun jaringan kerja di antara berbagai
organisasi Islam di Indonesia, seperti mendirikan Forum Umat Islam, yang di dalamnya
tergabung 31 organisasi yang antara lain, masing-masing sangat berbeda secara
idelogis, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta mereka yang ikut menyelenggarakan
Konferensi Internasional Khilafah ini.
Jaringan
kerja di antara kelompok Muslim yang dikelola oleh Hizbut Tahrir di Indonesia
ini adalah sesuatu yang belum terealisir di negeri Muslim lainnya, karena
adanya tekanan dari pemerintahan yang anti Islam atau konflik di antara sesama
Muslim itu sendiri. Indonesia adalah tempat yang memenuhi persyaratan untuk
mendirikan kembali Khilafah, karena negeri ini adalah negeri muslim terbesar di
dunia bila dilihat dari segi populasinya. Terdapat harapan bahwa, Hizbut Tahrir
Indonesia akan berhasil dalam mendirikan kembali Khilafah atau Darul Islam
di kawasan Malayu (Indonesia Raya). Karena selain dari kesamaan ideologi Khilafah,
juga terdapat kesamaan bahasa, budaya dan sejarah di Nusantara ini yang
merupakan langkah pertama dalam menyatukan umat Islam dan penyebarluasan misi
keislaman di seluruh dunia.
Kesimpulan
Khilafah
tidak hanya dapat diterima oleh komunitas non-Muslim, namun juga sangat
diinginkan oleh mereka yang percaya kepada kesetaraan, keadilan, kebebasan dan
kemanusiaan. Karena sistem ini memiliki pemerintahan “membumi” atau “bersifat
keduniaan” yang menjamin otonomi komunitas beragama dalam konteks sosial yang
sangat beragam. Sistem ini juga berfungsi sebagai sarana pembebasan untuk
mengentaskan sistem negara-bangsa yang eksplotitatif yang memenjarakan manusia
dalam penjara “negara bangsa”.
Hizbut
Tahrir adalah satu-satunya gerakan Islam yang memperjuangkan konsep Khilafah
dan menentang secara terang-terangan sistem negara-bangsa. Karena itu, mereka
memiliki kewajiban ganda:
(1)
Mencerahkan
umat Islam (khususnya, Ahlussunnah) akan kewajiban mereka dalam mendirikan
kembali Khilafah sesuai dengan hukum syari‘ah.
(2)
Menjelaskan
misi Islam universal dari sistem Khilafah dalam mempromosikan globalisasi
sejati dan perannya sebagai pembebas dari sistem negara-bangsa yang
eksplotitatif—yang memenjarakan manusia dalam kerangka negara-bangsa dengan teritorialnya—kepada
dunia Barat dengan sudut pandang ilmu sosial Barat.
Terakhir,
Indonesia adalah tempat terbaik untuk menjalankan misi Islam ini karena jaminan
negara terhadap kebebasan beraktivitas politik. Berserikat dan berkumpul seperti
ini tidak ditemukan di negeri Muslim yang lainnya.
[1] Bagaimanapun, hal
ini tidak dapat diterima oleh kaum Muslim Syi’i, karena sistem kepemimpinannya
(Imamah) berdasarkan konsep teologi yang berbeda secara mendasar.
[2] Contoh, dalam
konstitusi Perancis, tertulis “……des droits inaliénables et sacrés (hak-hak
yang tak dapat dicabut dan keramat)” dan dalam deklarasi kemerdekaan Amerika
Serikat yang menyatakan, “We hold these truths to be self-evident, that all
men are created equal, that they are endowed, by their Creator, with certain
unalienable Rights (Kita menganggap kebenaran ini untuk menjadi terbukti
dengan sendirinya, bahwa semua laki-laki diciptakan setara, bahwa mereka
dikaruniai oleh Pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tak dapat
dicabut).”
[3] Jizyah
adalah kompensasi yang harus dibayar, sebesar 4 dinar (senilai 400$) pertahun
untuk mereka yang kaya, 2 dinar untuk mereka yang berkecukupan, dan 1 dinar
untuk mereka yang berekonomi lemah. Sedangkan mereka yang fakir tidak
diwajibkan, sesuai dengan hukum mazhab Syafi‘i.
[4] Khusus dalam
perniagaan, pedagang Muslim harus membayar zakat, sedangkan bagi non-Muslim
hanya diwajibkan membayar sepersepuluhnya tanpa ada pembayaran tambahan
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar