Minggu, 17 Maret 2019

Dua Tahapan dari Tahapan Dakwah


Dua Tahapan

dari Tahapan Dakwah


Rasul saw menjalani aktivitas dakwahnya di Makkah dalam dua tahapan. Pertama, adalah tahap pengajaran, pembinaan, penyiapan pemikiran dan ruhiyah. Kedua, adalah tahap penyebaran dakwah dan perjuangan. Tahap pertama adalah tahap pemahaman pemikiran dan kristalisasi ke dalam pribadi-pribadi serta menghimpun mereka dalam kutlah berdasarkan pemikiran tersebut. Tahap kedua adalah transfer pemikiran menjadi kekuatan potensial di masyarakat yang dapat mendorong diterapkannya pemikiran itu dalam realitas kehidupan. Sebab, pemikiran akan tetap sekadar informasi selama belum diterapkan. Sehingga tidak ada perbedaan antara informasi yang masih terdapat di dalam berbagai buku dengan yang ada dalam otak, yaitu hanya tersimpan di sebuah tempat. Karena itu, berbagai pemikiran tidak akan memiliki nilai apapun, selama belum diterapkan dalam kehidupan. Agar berbagai pemikiran tersebut bisa diterapkan, maka harus berjalan melalui tahap-tahap yang mampu mengubahnya dari bentuk pemikiran menjadi kekuatan yang dapat memotivasi manusia. Dengan cara seperti itu sebagian besar masyarakat akan mengimaninya, memahaminya, mengembannya, dan memperjuangkannya untuk diterapkan. Dengan demikian penerapannya menjadi sebuah

keniscayaan dan merupakan hasil akhir yang alami.

Dua Tahapan dari Tahapan Dakwah
41

Demikianlah, Rasul saw telah melaksanakan dakwah di Makkah dalam dua tahapan tersebut. Tahap pertama adalah dakwah mengajak manusia memeluk Islam, membina mereka dengan pemikiran-pemikiran Islam, membimbing mereka dengan hukum-hukumnya, dan menghimpun siapa saja yang dapat dibentuk dalam sebuah kutlah dengan asas akidah Islam. Tahap ini adalah tahap pembentukan kutlah dakwah secara rahasia. Hal ini menunjukkan bahwa Rasul tidak pernah lepas dari dakwah dan senantiasa bersungguh-sungguh membina siapa pun yang telah masuk Islam dengan pemikiran-pemikiran tersebut. Beliau mengumpulkan mereka di rumah al-Arqam, dan mengirim seseorang yang akan membina mereka sebagai kutlah dalam berbagai halaqah. Kaum Muslim berkumpul di rumah-rumah mereka, di bukit-bukit, dan di rumah al -Arqam secara rahasia disertai upaya mereka untuk membentuk sebuah kutlah. Setiap hari keimanan mereka bertambah, hubungan mereka satu dengan yang lainnya semakin erat. Begitu juga kesadaran mereka tentang hakikat penting atas apa yang mereka emban setiap hari semakin kuat. Mereka mempersiapkan diri untuk berkorban di jalan Islam, hingga dakwah terhunjam di dalam jiwa mereka dan Islam mengalir seiring dengan aliran darah dalam tubuh mereka. Mereka menjadi sosok Islam yang berjalan.

Dengan demikian dakwah tidak bisa terkurung terus menerus dalam jiwa mereka, meskipun mereka berusaha menyembunyikan diri mereka, merahasiakan keberadaan kutlah mereka dan selalu menjaga rahasia pertemuan mereka. Lalu mereka berdialog dengan siapa saja yang percaya dan simpati kepada mereka untuk dipersiapkan menerima dakwah, sehingga masyarakat dapat merasakan dakwah dan keberadaan mereka. Dengan demikian, dakwah telah melewati titik awal (nuqthah al-ibtida) sehingga harus berlanjut ke arah titik tolak (nuqthah al-inthilaq). Berbagai upaya untuk menjalani titik tolak dakwah dan menyeru semua manusia pun dilakukan. Ini berarti tahap pertama telah berakhir, yaitu tahap pembentukan kutlah secara rahasia dan pembinaan untuk membangun kerangka kutlah. Dengan sendirinya tahap dakwah harus beralih menuju tahap kedua,

42            Daulah Islam

yaitu tahap interaksi dan perjuangan dengan memahamkan Islam kepada masyarakat, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan Islam dan menerimanya, lalu Islam menyatu dengan jiwa mereka. Atau sebaliknya mereka menolak Islam, lalu menyerangnya sehingga terjadi perbenturan dengan pemikiran-pemikirannya. Benturan itu telah menghasilkan serangan terhadap kekufuran dan kerusakan. Menghasilkan kemantapan iman, hingga akhirnya pemikiran yang benar memperoleh kemenangan. Hal ini karena akal itu, sesombong apa pun, tidak mungkin akan tertutup di hadapan pemikiran yang benar dan pasti tidak dapat menolaknya, walaupun dia melarikan diri darinya jauh sekali sehingga tidak terpengaruh lagi.

Dengan demikian, tahap interaksi dan perjuangan di antara satu pemikiran (Islam) dengan pemikiran lainnya (kufur), juga antara kaum Muslim dan orang-orang kafir telah dimulai. Hal itu dimulai dari kutlah hizbiyah (kelompok politik), saat Rasul saw bersama para sahabatnya keluar dalam sebuah barisan rapi, yang belum pernah disaksikan sebelumnya oleh bangsa Arab, dalam sebuah kutlah. Beliau thawaf di seputar Ka’bah dan mengekspose Islam. Sejak saat itu Rasul saw terus menyebarkan dakwah di tengah-tengah umat manusia secara terang-terangan, siang-malam, terus menerus, dan dengan cara menantang.

Awalnya, ayat-ayat yang turun kepada Rasul saw mengajak pada tauhid, mengingkari paganisme dan kemusyrikan serta mengutuk keduanya dan mencela bersikap taqlid kepada bapak-bapak dan nenek moyang mereka tanpa berpikir. Lalu turun pula ayat-ayat yang mencela berbagai muamalah yang rusak, menyerang aktivitas riba, serta menghantam perdagangan yang rusak dan penipuan dalam takaran dan timbangan. Rasul menjadi sosok yang berbicara kepada masyarakat tentang Islam dalam bentuk jamaah. Beliau mengumpulkan kaumnya dalam jamuan makan di rumahnya, kemudian beliau berbicara kepada mereka seluruhnya. Beliau meminta mereka untuk masuk Islam dan mendukungnya, namun mereka menolak dengan keras. Pada kesempatan lain beliau mengumpulkan penduduk Makkah di bukit Shafa seraya

Dua Tahapan dari Tahapan Dakwah
43

mengajak mereka berdialog. Serta merta emosi para pemimpin kafir Quraisy terbakar dan Abu Lahab pun menolak dengan keras ajakan tersebut. Permusuhan antara Nabi Muhammad saw dan kafir Quraisy semakin tajam, begitu juga antara beliau dengan bangsa Arab non Quraisy.

Demikianlah, yang asalnya dakwah itu berkelompok dalam bentuk pembinaan yang terpusat melalui berbagai halaqah di rumah-rumah, di celah antara bukit-bukit, dan di rumah al-Arqam; menjadi pembinaaan secara berkelompok. Begitu juga dakwah beralih dari tahap dakwah sebatas kepada orang-orang yang simpati dan siap menerima Islam, menuju tahap dakwah mengajak manusia secara umum. Dakwah jama’iy dan pembinaan jama’iy tersebut memiliki pengaruh yang amat kuat dalam diri kaum Quraisy. Kedengkian kafir Quraisy pun semakin bertambah dan mereka makin merasakan bahaya yang mendekati mereka. Mereka mulai mengambil langkah-langkah permusuhan yang lebih serius untuk melakukan perlawanan, setelah sebelumnya tidak peduli dengan Muhammad dan dakwahnya. Sehingga penganiyaan dan siksaan yang menimpa Nabi saw beserta para sahabatnya semakin meningkat. Dakwah jama’iy itu sendiri sebenarnya memiliki pengaruh yang kuat dalam dakwah sendiri. Hal ini terbukti bahwa kata Islam terdengar oleh semua orang dan dakwah kepada agama Allah telah menyebar luas di tengah-tengah seluruh penduduk Makkah. Tidak ada hari kecuali sebagian dari mereka masuk Islam karena Allah semata. Setiap orang, baik yang berwatak keras, lemah, maupun yang dihalang-halangi mulai beriman. Semua orang yang tidak pernah disibukan oleh perdagangan dan jual-beli melakukan pendalaman terhadap apa yang diserukan Rasul saw kepada mereka. Sebagian saudagar Makkah, tokoh-tokohnya, para pemimpinnya, dan orang-orang yang jiwanya mengetahui kesucian, kebeningan hati, dan kebenaran telah beriman. Mereka menanggalkan permusuhan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Mereka telah menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada Allah, semata-mata karena menyadari kebenaran dakwah dan kejujuran juru dakwahnya. Islam tersebar luas di

44            Daulah Islam

Makkah dan masyarakat, baik pria maupun wanita, banyak yang masuk Islam. Dakwah jama’iy mempunyai pengaruh yang mampu mengantarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia yang lebih luas, meski hal itu membawa para pengembannya dalam kesulitan, siksaan, dan berbagai jenis penganiayaan. Hal tersebut semakin menambah api dendam yang membakar jiwa para pemimpin kafir Quraisy untuk lebih meningkatkan lagi serangan kepada Rasul dengan penganiayaan, kekerasan, dan penindasan yang hampir menyeliputi seluruh Makkah. Beliau pun semakin mudah menjadi sasaran sepak terjang dan tingkah laku orang-orang kafir.

Antara Rasul dan para sahabatnya di satu sisi, dengan kafir Quraisy pada sisi lain, mulai memasuki tahapan yang paling sulit dan keras. Walaupun peralihan dari tahap pembinaan ke tahap interaksi merupakan tahapan yang sangat krusial, karena membutuhkan hikmah (hujah), kesabaran, dan kecermatan berperilaku. Maka, tahap interaksi adalah tahap dakwah yang paling sulit karena membutuhkan sikap terus terang dan menantang, tanpa memperhitungkan akibat maupun situasi kondisinya. Dalam kondisi seperti ini, terjadilah fitnah kaum kafir terhadap kaum Muslim tentang agamanya; juga harus ditampakkan Iman, kemampuan menanggung resiko serta menampakkan sikap kejujuran.

Dalam kondisi seperti inilah Rasul saw berjalan dalam tahapan dakwahnya. Beliau dan para sahabatnya menanggung beban yang amat berat, layaknya beban yang ditanggung gunung-gunung yang menjulang tinggi; dalam bentuk penganiayaan, pembodohan, penyiksaan, dan perusakan. Akibatnya, di antara mereka ada yang hijrah ke Habsyi untuk menyelamatkan agamanya. Ada yang mati di bawah penyiksaan, ada juga yang menanggung siksaan yang sangat keras dan menyakitkan. Namun, mereka tetap melanjutkan dakwah dalam kondisi seperti ini, dalam waktu lama, yang cukup untuk mempengaruhi masyarakat Makkah dengan cahaya Islam, sekaligus mencerai-beraikan berbagai bentuk kezaliman. Rasul tinggal di Daar al-Arqam selama tiga tahun untuk berdakwah, lalu mengakhiri tahap pertama ini. Beliau membentuk kutlah secara

Dua Tahapan dari Tahapan Dakwah
45

rahasia dan melakukan pembinaan sepanjang tiga tahun tersebut. Setelah itu, Rasul saw menghabiskan waktu selama 8 tahun untuk melakukan perjuangan (dengan ditampakkannya kemukjizatan kepada masyarakat) secara terang-terangan. Sementara itu, tekanan kafir Quraisy untuk melakukan penyiksaan kepada kaum Muslim dan semangat mereka untuk memerangi Islam tidak berkurang.

Memang benar, gesekan yang terjadi antara kaum Muslim dan kafir Quraisy menyebabkan seluruh pelosok Jazirah Arab mendengar Islam. Atmosfer dakwah berhembus ke seluruh penjuru Jazirah sambil menerbangkan aroma dakwah kepada mereka dengan hujjah- hujjah, dan berdiskusi seputar perkara-perkara itu. Akan tetapi, bangsa Arab pada waktu itu hanya berdiri sebagai penonton, belum melangkah ke arah keimanan. Reaksi mereka hanya sebatas usaha meredam kemarahan kafir Quraisy sekaligus menjauhi Rasul saw, sehingga mereka terhindar dari kemarahan kafir Quraisy. Keadaan tersebut semakin menguatkan Rasul saw dan para sahabatnya sekaligus untuk segera berpindah ke tahap ketiga, yaitu tahap penerapan Islam. Tetapi, kerasnya sikap masyarakat Makkah tidak memungkinkan upaya penerapan tersebut. Meningkatnya penganiayaan terhadap kaum Muslim tidak memungkinkan mereka untuk mencurahkan semua daya dalam berdakwah, bahkan hal tersebut menjadi penghalang antara mereka dengan dakwah. Menjauhnya masyarakat dari dakwah semakin menambah penderitaan dan kesedihan mereka.[]

46            Daulah Islam
















Perluasan Medan Dakwah


Kejahatan-kejahatan kafir Quraisy terhadap Rasul saw dan kaum Muslim semakin bertambah. Akibatnya, medan dakwah mereka menjadi semakin sempit. Tidak ada lagi pertolongan yang bisa diharapkan Rasul dari kabilah-kabilah Arab setelah terjadi penolakan yang menyakitkan dan pengusiran yang dilakukan Bani Tsaqif terhadap beliau dari Thaif. Begitu juga setelah penolakan Bani Kindah, Kilab, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, dan Bani Hanifah, pada saat beliau menjelaskan kerasulannya kepada mereka di musim haji. Tidak ada harapan untuk mengarahkan seorang pun dari

orang-orang Quraisy kepada Islam.

Kabilah-kabilah selain Quraisy yang bertetangga dengan Makkah dan kabilah yang datang ke Makkah dari berbagai penjuru negeri Arab, memandang perlu untuk mengisolir Muhammad saw. Permusuhan kafir Quraisy yang mengepung beliau, menganggap siapa saja yang menolongnya sebagai musuh mereka dan harus dibalas. Kafir Quraisy semakin menjauhi beliau. Sementara itu beliau saw melihat bahwa risalah Tuhannya hanya beredar di seputar pengikutnya sampai saat itu. Hari-hari terus berlalu, keberadaan Rasul saw di tengah-tengah kaumnya semakin terkucil. Dendam kafir Quraisy terhadap beliau semakin dalam dan masyarakat semakin menjauh. Meskipun demikian, keyakinan beliau saw dan

Perluasan Medan Dakwah
47

para sahabatnya semakin kuat terhadap pertolongan Allah dan kemenangan agama-Nya atas seluruh agama-agama yang ada. Beliau tanpa kenal lelah terus mengajak manusia, di setiap kesempatan.

Apabila datang musim haji dan banyak orang dari berbagai penjuru Jazirah Arab datang berkumpul di Makkah, beliau mendatangi kabilah-kabilah tersebut dan mengajak mereka kepada Islam, tanpa mempedulikan lagi apakah kabilah-kabilah itu menerima dakwahnya atau berpaling dengan cara yang tidak simpatik. Sebagian orang -orang bodoh kafir Quraisy berusaha mengganggu beliau tatkala menyampaikan risalah Tuhannya kepada manusia dan mereka berhasil menimpakan keburukan kepadanya. Keridhaan diri beliau dan ketenangan menghadapi hari esoknya tidak berhasil mengubah kejahatan-kejahatan mereka.

Sesungguhnya Allah mengutus beliau dengan membawa Islam dan beliau tidak pernah ragu-ragu terhadap pertolongan dan bantuan-Nya serta kemenangan untuk agama-Nya. Beliau selalu setia menanti pertolongan Allah, padahal saat itu beliau berada dalam kesulitan akibat terhalanginya dakwah, menerima berbagai kesulitan dan kesempitan hidup dari orang-orang kafir Quraisy. Penantian itu tidak lama hingga kabar gembira akan kemenangan tiba dari Madinah. Hal itu terjadi tatkala beberapa orang Khazraj datang ke Makkah di musim haji. Rasul menemui mereka, mengajaknya berdialog, menanyakan keadaan mereka, dan mengajak mereka kepada agama Allah. Mereka saling berpandangan satu sama lain, “Demi Allah, sesungguhnya dia seorang Nabi yang pernah dijanjikan kepada kalian oleh orang-orang Yahudi. Karena itu, jangan sampai ada orang yang akan mendahului kalian.” Mereka menerima dakwah Rasul dan masuk Islam sambil berkata kepada beliau, “Sesungguhnya kami meninggalkan kaum kami (Aus dan Khazraj). Tidak ada kaum yang permusuhan dan kejahatannya seperti permusuhan dan kejahatan mereka. Semoga melalui engkau, Allah mempersatukan mereka. Jika Allah berhasil mempersatukan mereka dengan kepemimpinanmu, maka tidak ada orang yang lebih mulia darimu.”

48            Daulah Islam

Merekapun kembali ke Madinah dan menceritakan keislaman mereka kepada kaumnya. Terjalinlah hubungan batin yang melapangkan dada dan mempertautkan jiwa, penuh dengan kesyahduan terhadap agama yang baru itu. Sejak saat itu, tidak satu rumah pun di perkampungan Aus dan Khazraj kecuali di dalamnya disebut-sebut nama Muhammad saw. []

Baiat ‘Aqabah Pertama
49
















Bait ‘Aqabah Pertama


T atkala tahun berikutnya tiba dan musim haji datang, 12 orang laki-laki dari penduduk Madinah datang. Mereka dan Nabi saw bertemu di ‘Aqabah, lalu mereka membai’at beliau dalam peristiwa Bai’at ‘Aqabah Pertama. Mereka membai’at beliau bahwa seorang pun di antara mereka tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak akan mendatangkan bukti -bukti yang direkayasa di antara dua tangan dan kakinya dan tidak akan melakukan maksiat dalam hal yang ma’ruf. Jika dia memenuhinya, maka baginya surga dan jika dia mengingkari sedikt saja dari hal tersebut, maka urusannya dikembalikan kepada Allah. Bila Allah menghendaki, maka Dia akan mengadzabnya dan jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya. Setelah mereka menyempurnakan bai’at tersebut dan musim haji berakhir, mereka

seluruhnya kembali ke Madinah.[]

50            Daulah Islam
















Dakwah di Madinah



Ibnu Ishaq berkata, “Ketika orang-orang Madinah itu hendak kembali, Rasulullah saw mengutus Mush’ab bin ‘Umair menemani mereka. Mush’ab diperintahkan beliau agar membacakan al-Quran, mengajarkan Islam, dan memberi pemahaman agama kepada mereka. Sehingga dia dinamakan Muqarri’ Madinah: Mush’ab.

Mush’ab tinggal di rumah As’ad bin Zurarah.”

Mush’ab mendatangi orang-orang di rumah-rumah dan di kabilah-kabilah mereka, mengajaknya masuk Islam dan membacakan al-Quran kepada mereka. Seorang demi seorang masuk Islam hingga Islam mulai tampak dan menyebar di rumah-rumah orang Anshar, kecuali di pemukiman orang Aus, yaitu Khuthmah, Waail, dan Waaqif.

Mush’ab membacakan al-Quran dan mengajari mereka, lalu dia menulis surat kepada Rasulullah saw untuk meminta izin shalat Jum’at bersama mereka. Rasul saw mengizinkan, dan membalas suratnya: “Kemudian daripada itu perhatikan hari di mana kaum Yahudi membacakan Zaburnya dengan keras karena datangnya hari Sabtu ....

Apabila siang hari telah condong lebih dari separuhnya, maka bertaqarrublah kalian kepada Allah dengan menunaikan shalat dua rakaat dan engkau berkhutbah di tengah-tengah mereka.”
Dakwah di Madinah
51

Mush’ab bin ‘Umair kemudian shalat Jum’at dengan mereka di rumah Sa’ad bin Khaitsamah, sebanyak 12 orang. Pada hari itu tidak ada yang disembelih kecuali seekor kambing. Jadi, Mush’ab adalah orang yang pertama kali melaksanakan shalat Jum’at dalam Islam. Mush’ab terus berkeliling Madinah menemui orang-orang dan mengajak mereka masuk Islam serta mengajarkan Islam pada mereka.

Pada suatu hari, As’ad bin Zurarah keluar bersama Mush’ab bin ‘Umair ke pemukiman Bani ‘Abdul Asyhal dan pemukiman Bani Zhafar (Sa’ad bin Mu’adz adalah anak bibi As’ad bin Zurarah). Keduanya masuk ke sebuah kebun di antara kebun-kebun Bani Zhafar dan berada di dekat sumur yang bernama sumur Muraq. Keduanya duduk di kebun itu sementara kaum Muslim datang dan berkumpul dengan mereka. Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair ketika itu menjadi pemuka dari Bani Abdul Asyhal. Keduanya adalah orang musyrik pemeluk agama kaumnya. Tatkala keduanya mendengarkan ucapan Mush’ab, Sa’ad bin Mu’adz berkata kepada Usaid bin Hudhair: “Saya tidak benci padamu. Temuilah dua orang itu yang datang ke tempat kita hanya untuk membodohi orang-orang lemah di antara kita. Usirlah dan cegahlah keduanya karena keduanya hendak datang ke tempat kita. Seandainya As’ad bin Zurarah tidak berasal dari kaum saya sebagaimana yang telah kamu ketahui, tentu saya sendiri yang akan melakukannya. Dia adalah anak bibi saya, dan saya tidak menemukan alasan untuk mencegahnya.” Usaid bin Hudhair mengambil tombak pendeknya, kemudian berangkat menemui keduanya. Ketika As’ad bin Zurarah melihatnya, maka dia berkata kepada Mush’ab bahwa orang itu adalah pemuka kaumnya yang datang kepadamu, mudah-mudahan dia membenarkan Allah. Mush’ab menjawab, jika dia bersedia duduk, aku akan berbicara padanya.

Usaid bin Hudhair akhirnya duduk di depan keduanya dengan wajah cemberut sambil menggerutu, lalu berkata, “Apa yang kalian bawa kepada kami? Kalian hanya akan membodohi orang-orang lemah kami! Menyingkirlah kalian dari kami, jika memang kalian memiliki kepentingan yang berhubungan dengan diri kalian sendiri!” Muash’ab

12            Daulah Islam

berkata: “Atau sebaiknya engkau duduk dan mendengarkan dulu? Jika engkau menyukainya maka engkau bisa menerimanya. Dan jika engkau membencinya, maka cukuplah bagimu apa yang engkau benci,” Usaid menjawab: “Boleh juga.”

Kemudian dia menancapkan tombak pendeknya dan duduk di hadapan keduanya. Lalu Mush’ab menjelaskan Islam dan membacakan al-Quran kepadanya. Keduanya (Mush’ab dan As’ad bin Zurarah) berkata –berkenaan dengan yang dibicarakan tentang keduanya–: “Demi Allah, sungguh kami telah mengetahui Islam ada di wajahnya, sebelum dia berkata untuk menerimanya dengan suka cita”. Tidak berapa lama Usaid berkata, “Alangkah bagus dan indahnya kalimat ini! Apa yang kalian lakukan ketika akan memeluk agama ini?” Keduanya menjelaskan kepadanya: “Mandi, lalu sucikan dirimu dan pakaianmu, kemudian ucapkanlah syahadat, setelah itu shalatlah dua rakaat”. Usaid berdiri, lalu mandi dan menyucikan pakaiannya. Dia membaca syahadat, kemudian berdiri menunaikan shalat dua rakaat. Usaid berkata, “Bersamaku ada seorang laki-laki. Jika dia mengikuti kalian, maka tidak seorang pun dari kaumnya yang akan menentangnya. Sekarang aku akan mengajak Sa’ad bin Mu’adz menemui kalian berdua.”

Usaid mencabut tombak pendeknya dan segera pergi menemui Sa’ad serta kaumnya. Ketika itu mereka sedang duduk-duduk di tempat pertemuan, maka ketika Sa’ad bin Mu’adz melihatnya segera menyambutnya dan berkata, “Aku bersumpah atas nama Allah. Sungguh Usaid bin Hudhair telah datang pada kalian bukan dengan wajah seperti ketika dia pergi dari kalian”.

Ketika Usaid telah duduk di hadapan orang yang menyambutnya itu, Sa’ad bertanya kepadanya, “Apa yang telah engkau lakukan?” Usaid menjawab, “Aku memang telah berbicara kepada dua orang laki-laki itu. Demi Allah, aku tidak melihat rencana jahat pada keduanya. Aku telah melarang keduanya, namun keduanya berkata, ‘Kami akan melakukan apa yang engkau kehendaki.’ Aku juga telah menceritakan bahwa Bani Haritsah keluar dari perkampungannya menemui As’ad bin Zurarah untuk membunuhnya. Hal itu karena mereka mengetahui bahwa As’ad adalah putra bibimu. Tujuannya agar mereka bisa melindungimu.”

Dakwah di Madinah
53

Sa’ad spontan berdiri penuh amarah. Dia khawatir terhadap apa yang dikabarkan kepadanya tentang Bani Haritsah. Dia mengambil tombak pendek yang berada di tangan Usaid, lalu berkata, “Demi Allah, aku melihatmu sama sekali tidak berguna!”. Kemudian dia segera keluar dan menemui mereka berdua. Tatkala Sa’ad melihat keduanya dalam keadaan tenang, dia menyadari bahwa Usaid hanya menginginkan dia mendengar perkataan dua orang yang ada di hadapannya. Dia berdiri tegak menghadap keduanya dengan wajah memendam kemarahan dan berkata, “Wahai Abu Umamah!, seandainya antara aku dan engkau tidak ada hubungan kerabat, tentu tombak ini sudah aku hunjamkan ke dadamu. Engkau datang ke tempat kami dengan membawa apa yang kami benci.”

As’ad menoleh kepada Mush’ab seraya berkata, “Wahai Mush’ab, telah datang kepadamu seorang tokoh. Demi Allah, di belakangnya ada kaumnya. Jika dia mengikutimu, maka tidak seorang pun dari mereka yang akan menentangmu.”

Mush’ab berkata kepadanya, “Lebih baik anda duduk dan dengarkan. Jika anda suka dan menginginkannya maka anda bisa menerimanya. Namun, jika anda membencinya, kami akan menjauhkan dari anda segala hal yang anda benci.” Sa’ad berkata, “Boleh juga, aku terima.” Tombak pendek di tangannya ditancapkan di tanah, lalu ia duduk. Lalu Mush’ab menyampaikan Islam dan membacakan al-Quran kepadanya. Keduanya bergumam, “Demi Allah, kami melihat Islam di wajahnya sebelum dia berbicara untuk menerimanya dengan suka cita.” Sa’ad bertanya kepada keduanya, “Apa yang kalian lakukan ketika kalian memeluk Islam dan masuk agama ini?” Keduanya menjawab, “Mandi dan sucikan diri dan pakainmu, kemudian bacalah syahadat dan shalat dua rakaat”

Sa’ad berdiri, lalu mandi dan menyucikan pakaiannya, kemudian membaca syahadat dan shalat dua rakaat. Setelah itu ia mencabut tombak pendeknya, dan segera menghampiri kaumnya. Dia berjalan dengan tegap disertai oleh saudara sepupunya, Usaid bin Hudhair. Ketika kaumnya melihat dia, mereka berkata, “Kami bersumpah dengan nama Allah, sungguh Sa’ad telah kembali kepada kalian

14            Daulah Islam

bukan dengan wajah seperti waktu dia pergi dari kalian!”

Tatkal Sa’ad berdiri menghadap kaumnya, dia berkata, “Wahai Bani ‘Abdul Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di tengah-tengah kalian?” Mereka menjawab serentak, “Engkau adalah pemimpin kami dan yang paling cerdas di antara kami serta memiliki pribadi paling baik”. Sa’ad kembali berkata, “Sesungguhnya ucapan kaum laki-laki dan wanita kalian kapadaku adalah haram, hingga kalian semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Tidak berapa lama, keduanya (Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Muadz) berkata, “Demi Allah, tidak akan ada seorang laki-laki maupun wanita, saat sore hari di pemukiman Bani ‘Abdul Asyhal, kecuali dia akan jadi muslim dan muslimah”.

Mush’ab kembali ke rumah As’ad bin Zurarah dan tinggal bersamanya. Dia tidak pernah berhenti mengajak orang-orang kepada Islam, sehingga tidak satu pun rumah kaum Anshar kecuali di dalamnya dihuni laki-laki dan wanita-wanita Muslim. Mush’ab tinggal di Madinah selama setahun. Dia hidup di tengah-tengah Bani Aus dan Khazraj. Setiap waktu dia mengajari mereka agama Islam; menyaksikan perkembangan penolong-penolong agama Allah dan kalimat kebenaran yang tumbuh dengan pesat. Dia tidak bosan-bosannya mengetuk pintu masyarakat agar dapat berhubungan dengan mereka dan menyampaikan dakwah Allah kepada mereka. Dia mendatangi kebun-kebun untuk melakukan kontak dengan para petani saat mereka bekerja dan mengajak mereka masuk Islam. Dia juga menemui pemilik tanah dan mengajak mereka kepada agama Allah. Dia melakukan gerakan yang terencana untuk meraih target, seperti halnya yang dia lakukan bersama As’ad bin Zurarah dalam menggunakan berbagai sarana untuk berhubungan dengan masyarakat, sehingga mampu menggiring mereka untuk mendengar suara kebenaran.

Dengan demikian, dalam waktu satu tahun, Mush’ab berhasil membalikkan pemikiran di Madinah dari penyembahan berhala yang hina dan berbagai perasaan yang keliru menjadi wacana tauhid dan keimanan, serta perasaan Islami. Keberhasilan itu menjadikan

Dakwah di Madinah
55

mereka benci terhadap kekufuran dan menjauhkan diri dari praktek-praktek curang dalam takaran dan timbangan. Demikianlah, keberhasilan Mush’ab dan orang-orang yang memeluk Islam bersamanya dalam merubah Madinah dari suasana musyrik menjadi Islami dalam tempo satu tahun.[]

16            Daulah Islam
















Baiat ‘Aqabah Kedua

Baiat ‘Aqabah pertama berhasil dengan baik dan penuh berkah.
Orang yang masuk Islam jumlahnya memang tidak banyak. Tetapi cukup bagi mereka bersama seorang sahabat Rasul, Mush’ab, untuk mengubah kondisi Madinah, mejungkirbalikkan pemikiran kafir, dan perasaan-perasaan yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Berbeda halnya dengan yang terjadi di Makkah, meski jumlah mereka yang masuk Islam cukup banyak, namun sebagian besar masyarakat memisahkan diri dari kaum Muslim, karena mereka belum beriman. Masyarakat Makkah belum terpengaruh dengan pemikiran dan perasaan Islam. Sebaliknya di Madinah, mayoritas masyarakatnya telah masuk Islam. Mereka telah terpengaruh Islam, baik pemikiran maupun perasaannya. Ini menunjukkan dengan gamblang bahwa keimanan individu-individu yang terpisah dari masyarakat dan mayoritas anggota masyarakat, tidak akan memberikan pengaruh terhadap masyarakat dan mayoritas anggotanya, sekuat apa pun individu-individu tersebut. Interaksi-interaksi yang terjadi di antara manusia apabila terpengaruh oleh pemikiran dan perasaan, pasti akan memunculkan perubahan dan revolusi, sesedikit apa pun jumlah pengemban dakwahnya. Hal itu menunjukkan bahwa bila masyarakat berada dalam kondisi jumud (beku) dengan kekufuran, seperti masyarakat Makkah, maka jauh

Baiat ‘Aqabah Kedua
57

lebih sulit diubah daripada masyarakat yang belum dikuasai oleh pemikiran-pemikiran rusak, seperti masyarakat Madinah, walaupun di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran tersebut. Karena itu, masyarakat Madinah lebih banyak terpengaruh oleh Islam daripada masyarakat Makkah. Penduduk Madinah bisa merasakan kesalahan pemikiran-pemikiran yang mereka emban dan mencoba membahas pemikiran-pemikiran dan sistem-sistem lain bagi kehidupan mereka. Sementara itu, penduduk Makkah justru lebih senang dengan kehidupan yang tengah mereka jalani. Mereka berusaha keras untuk mempertahankan status quo, terutama para pemuka kekufuran yang ada, seperti Abu Lahab, Abu Jahal, dan Abu Sufyan. Karena itu, selama tinggal di Madinah dalam waktu yang singkat, dakwah Mush’ab disambut dengan baik. Dia mengajak manusia kepada Islam dan membina mereka dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam. Seketika dia merasakan sambutan yang cepat dan menyaksikan masyarakat menerima Islam serta kesediaan mereka untuk memahami hukum-hukum Islam dengan sangat mudah. Dia juga menyaksikan semakin bertambahnya jumlah kaum Muslim dan pesatnya perkembangan Islam di Madinah. Karena itu Mush’ab sangat gembira, dan semakin meningkatkan upaya pemberdayaan melalui pengajaran dan penyebaran dakwah.

Ketika datang musim haji, Mush’ab kembali ke Makkah dan menceritakan kepada Rasul tentang kaum Muslim, kekuatan mereka, berita-berita Islam, dan perkembangan penyebarannya. Dia juga menggambarkan masyarakat Madinah kepada Rasul, yaitu tidak ada hal lain yang terwacanakan di tengah- tengah masyarakat kecuali Islam. Kekuatan dan posisi kaum Muslim di sana memberikan pengaruh yang melahirkan kemampuan Islam untuk mengalahkan segala hal. Pada tahun itu sebagian kaum Muslim akan datang dan mereka adalah yang paling tinggi keimanannya kepada Allah, siap mengemban risalah Allah, dan mempertahankan agama-Nya. Nabi saw amat gembira mendengarkan kabar yang cukup banyak dari Mush’ab, hingga beliau berpikir keras mengenai persoalan ini. Beliau membandingkan antara masyarakat Makkah

(2)            Daulah Islam

dan Madinah. Di Makkah, beliau telah menghabiskan waktu selama 12 tahun berturut-turut untuk mengajak penduduk Makkah kepada Allah, berusaha keras menyebarkan dakwah, tidak pernah meninggalkan kesempatan sedikit pun kecuali mencurahkan segenap kemampuannya untuk dakwah, dan menanggung semua jenis penganiayaan. Akan tetapi, masyarakat tetap membatu dan dakwah tidak menemukan jalan apapun untuk menuju ke sana. Hal itu karena hati penduduk Makkah sangat keras, jiwa mereka penuh kebencian, dan akal mereka membeku bersama masa lalunya.

Hal ini berarti masyarakat Makkah keras seperi batu dan potensi penerimaannya terhadap dakwah sangat lemah. Penyebabnya adalah karena jiwa penduduknya telah dikuasai berhala kemusyrikan yang memang Makkah merupakan pusatnya. Adapun masyarakat Madinah, seiring dengan perjalanan Islam, beberapa orang dari Khazraj masuk Islam, kemudian terjadi bai’at 12 orang laki-laki, diikuti aktivitas Mush’ab bin ‘Umair selama setahun. Semua itu sudah cukup untuk mewujudkan suasana Islami di Madinah dan masuknya banyak orang ke dalam agama Allah dengan kecepatan yang menakjubkan.

Di Makkah risalah Allah berhenti hanya sebatas pada orang-orang yang telah masuk Islam dan kaum Muslim banyak menemui penganiayaan dan perlakukan kejam dari kafir Quraisy. Sedangkan di Madinah risalah Allah ini justru berkembang dengan cepat. Kaum Muslim di Madinah tidak menemui penganiayaan sedikit pun, baik dari kaum Yahudi maupun orang-orang musyrik. Keadaan ini menjadikan Islam mantap dalam jiwa dan membuka jalan di hadapan kaum Muslim. Karena itu, jelas sudah bagi Rasulullah saw bahwa Madinah jauh lebih layak daripada Makkah untuk pengembangan dakwah Islam. Masyarakat Madinah lebih berpotensi sebagai tempat terpancarnya cahaya Islam daripada Makkah. Berdasarkan hal ini, beliau berpikir keras untuk berhijrah ke Madinah beserta para sahabatnya menemui saudara-saudara mereka sesama kaum Muslim, sehingga mereka memperoleh keamanan di sisi saudara-saudaranya tersebut dan selamat dari penganiayaan kafir Quraisy.

Baiat ‘Aqabah Kedua
59

Mereka dapat leluasa mengembangkan dakwah dan melanjutkan tahapan dakwah kepada tahapan praktis, yaitu penerapan Islam dan mengemban risalahnya dengan kekuatan negara dan penguasanya. Inilah satu- satunya yang menjadi penyebab hijrah ke Madinah, bukan yang lain.

Harus diingat bahwa Rasul saw tidak pernah berpikir untuk hijrah dari Makkah hanya karena beliau menemukan banyak kesulitan di hadapan dakwah tanpa mampu bersabar, atau tidak berupaya untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut. Sesungguhnya beliau saw telah bersabar selama 10 tahun di Makkah. Selama itu beliau tidak pernah merubah pikirannya dari dakwah. Beliau dan para pengikutnya memang mengalami berbagai teror dalam aktivitas dakwahnya, namun kejahatan-kejahatan kafir Quraisy tidak pernah bisa melemahkan dirinya sedikit pun. Perlawanan mereka tidak menyurutkan tekad beliau dalam berdakwah. Bahkan, keimanan beliau semakin bertambah pada dakwah, yang datang dari Tuhannya. Keyakinannya terhadap pertolongan Allah semakin kokoh dan kuat. Akan tetapi, beliau saw menyimpulkan bahwa setelah mencoba berbagai langkah untuk merubah keadaan masyarakat Makkah, ternyata mereka berpikiran dangkal, berhati bebal, dan berkubang dalam kesesatan, yang seluruhnya dapat melemahkan cita-cita dakwah dalam dirinya, sehingga melanjutkan langkah-langkah tersebut dalam dakwahnya akan menjadi upaya yang sia-sia. Karena itu, beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat lainnya. Lalu beliau berpikir tentang kemungkinan hijrah dari Makkah. Pikiran inilah yang membawa beliau untuk hijrah ke Madinah, bukan karena beliau dan para sahabatnya sering mendapatkan siksaan.

Memang benar, Rasul saw pernah memerintahkan para sahabatnya hijrah ke Habsyi untuk menjauhi siksaan kafir Quraisy, karena boleh bagi kaum Muslim melakukan hijrah dari wilayah yang penuh dengan fitnah untuk menyelamatkan agama mereka. Meskipun sesungguhnya berbagai penganiayaan itu justru akan menyucikan iman. Berbagai tekanan dalam dakwah

18            Daulah Islam

juga akan mengobarkan keikhlasan dan berbagai perlawanan akan menajamkan tekad. Keimanan akan membawa pemiliknya bersikap menghinakan segala hal dan memunculkan kesediaan berkorban di jalan-Nya dengan harta, kehormatan, waktu, dan jiwa. Memang benar, bahwa iman kepada Allah akan menjadikan seorang Mukmin mampu mengorbankan dirinya dalam menghadapi ancaman bahaya di jalan Allah. Akan tetapi penganiayaan yang terus-menerus dan pengorbanan yang tidak henti-hentinya, akan menjadikan seorang Mukmin lebih menyibukkan diri dengan kesabaran menahan cobaan. Juga akan memusatkan perhatian terhadap bermacam-macam pengorbanan tersebut, daripada berpikir cermat yang akan meningkatkan cakrawala pandangnya, sekaligus kesadarannya kepada kebenaran yang semakin kuat dan dalam. Dengan demikian, kaum Mukmin harus hijrah dari wilayah-wilayah yang penuh dengan fitnah tersebut. Hanya saja, konsep hijrah seperti itu hanya dapat diterapkan pada peristiwa hijrah kaum Muslim ke Habsyi.

Adapun hijrah ke Madinah dilakukan agar memungkinkan mereka mampu perpindahan dari risalahnya ke dalam suatu keadaan yang menjadikan risalah itu hidup di tengah-tengah masyarakat yang baru, sekaligus menyebar luas di seluruh permukaan bumi demi meninggikan kalimat Allah. Dari sini Rasul saw berpikir untuk memerintahkan para sahabatnya hijrah ke Madinah, setelah masuk dan tersebarnya Islam di sana. Sebelum beliau memerintahkan mereka hijrah ke Yatsrib (Madinah) dan memutuskan untuk hijrah ke sana, beliau harus lebih dahulu melihat jamaah haji dari Madinah; melihat kondisi kaum Muslim yang datang untuk berhaji; memperhatikan sejauh mana kesiapan mereka untuk melindungi dakwah; menyaksikan sejauh mana kesiapan mereka berkorban di jalan Islam; dan melihat apakah kedatangan mereka ke Makkah siap untuk membai’at beliau dengan bai’at perang, yaitu bai’at yang akan menjadi batu pijakan untuk mendirikan Negara Islam. Beliau menunggu kedatangan rombongan haji tersebut dan itu terjadi pada tahun ke-12 sejak beliau diutus, yang bertepatan dengan tahun 622 M.

Baiat ‘Aqabah Kedua
61

Akhirnya rombongan haji itu benar-benar datang ke Makkah dengan jumlah yang cukup banyak. Mereka terdiri dari 75 orang kaum Muslim, yaitu 73 laki-laki dan dua orang wanita. Kedua orang wanita itu adalah Nasibah binti Ka’ab Ummi ‘Imarah salah seorang wanita dari Bani Mazin bin an-Najjar, dan Asma’ binti ‘Amru bin ‘Adiy salah seorang wanita dari Bani Salamah yang tidak lain adalah Ummu Mani’. Rasul saw menemui mereka secara rahasia dan membicarakan tentang bai’at yang kedua. Pembicaraannya tidak sebatas masalah dakwah dan kesabaran dalam menghadapi semua kesengsaraan saja, tapi juga mencakup tentang kekuatan yang akan mampu mempertahankan kaum Muslim. Bahkan lebih jauh dari itu, yaitu mewujudkan cikal bakal yang akan menjadi pondasi dan pilar pertama dalam mendirikan Negara Islam. Sebuah negara yang akan menerapkan Islam di dalam masyarakat, mengembannya sebagai risalah universal ke seluruh umat manusia dengan membawa serta kekuatan yang akan menjaganya dan menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi di jalan penyebaran dan penerapannya.

Beliau membicarakan hal itu kepada mereka dan akhirnya mengetahui kesiapan mereka yang baik, lalu membuat janji dengan mereka agar menemuinya di Aqabah pada tengah malam saat pertengahan hari-hari tasyriq. Beliau berpesan kepada mereka, “Janganlah kalian membangunkan seorang pun yang sedang tidur dan jangan pula kalian menunggu orang yang tidak ada!”

Pada hari yang telah dijanjikan dan setelah sepertiga awal dari malam telah berlalu, mereka keluar dari penginapannya dengan mengendap-endap dan sembunyi-sembunyi, karena khawatir persoalan mereka terbongkar. Mereka pergi ke Aqabah dan mendakinya secara bersama-sama termasuk dua orang wanita yang menyertai mereka. Kemudian mereka menunggu kedatangan Rasul saw, maka dalam waktu yang tidak lama beliau beserta pamannya, ‘Abbas (yang belum masuk Islam saat itu) datang menemui mereka. ‘Abbas datang hanya untuk mengawasi dan menjaga keselamatan keponakannya. Dialah orang pertama yang berbicara dengan

(14)        Daulah Islam

ucapan, “Wahai kaum Khazraj, sebagaimana yang kalian ketahui, sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami. Kami telah menjaganya dari ancaman kaum kami yang juga memiliki kesamaan pandangan dengan kami tentang dirinya. Dia dimuliakan kaumnya dan disegani di negerinya. Akan tetapi semuanya dia tolak, kecuali untuk pergi mendatangi kalian dan bergabung dengan kalian. Jika kalian menganggap diri kalian dapat memenuhi segala hal yang dia dakwahkan, maka penuhilah itu dengan sempurna dan jagalah dia dari siapa pun yang menyalahinya. Maka itu semua menjadi tanggung jawab kalian. Jika kalian melihat diri kalian akan melalaikan dan menelantarkannya setelah kalian keluar bersamanya menunju tempat kalian, maka mulai saat ini tinggalkan dia.” Mendengar pernyataan ‘Abbas tersebut, maka mereka berkata, “Kami mendengar apa yang telah engkau katakan.” Lalu mereka berpaling kepada Rasul saw, “Bicaralah, wahai Rasul, maka ambillah apa yang engkau sukai untuk dirimu dan Tuhanmu”. Setelah membaca al-Quran dan mengharapkan mereka masuk ke dalam Islam, Rasul saw menjawab, “Aku bai’at kalian agar kalian melindungiku seperti kalian melindungi istri-istri dan anak-anak kalian.” Lalu al-Barra’ mengulurkan tangannya untuk membai’at beliau seraya berkata, “Kami membai’atmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah generasi perang dan pemilik medannya. Kami mewarisinya dengan penuh kebanggaan”. Namun, belum selesai ia mengucapkan pernyataannya, al-Barra’ sudah disela oleh Abu al-Haitsam bin at-Tiihan dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, di antara kami dan orang-orang Yahudi ada ikatan perjanjian. Kami berniat memutuskannya. Jika kami melakukan hal itu, kemudian Allah memenangkanmu, apakah engkau akan kembali kepada kaummu dan meninggalkan kami?” Rasul saw tersenyum dan berkata, “Bahkan, darah akan dibalas dengan darah, pukulan dibalas dengan pukulan! Sesungguhnya aku adalah bagian dari kalian, dan kalian adalah bagian dari diriku. Aku akan memerangi siapa pun yang kalian perangi dan aku berdamai dengan siapa pun yang kalian berdamai dengannya.”

Orang-orang Madinah itu pun sangat bersemangat untuk memberikan bai’at. Namun, ‘Abbas bin ‘Ubadah segera berdiri dan berkata, “Wahai kaum Khazraj, apakah kalian menyadari makna

Baiat ‘Aqabah Kedua
63

membai’at laki-laki ini? Sesungguhnya kalian membai’atnya untuk memerangi manusia baik yang berkulit putih maupun hitam. Jika kalian menyaksikan harta benda kalian habis diterjang musibah, dan tokoh-tokoh kalian mati terbunuh, apakah kalian akan menelantarkannya? Maka mulai sekarang, demi Allah, jika kalian melakukannya itu adalah kehinaan dunia dan akhirat. Namun, jika kalian melihat bahwa diri kalian akan memenuhinya dengan segala hal yang telah kalian janjikan kepadanya walau harus kehilangan harta dan terbunuhnya para pemuka, maka ambillah dia, dan demi Allah hal itu merupakan kebaikan dunia dan akhirat!” Kaum Khazraj pun menjawab, “Sesungguhnya kami akan mengambilnya meski dengan resiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya para pemuka.” Kemudian mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apa bagian kami bila kami memenuhi hal itu?”. Rasul menjawab dengan tenang dengan ucapan, “Surga”.

Seketika itu juga mereka beramai-ramai mengulurkan tangannya masing-masing lalu menggengam tangan beliau dan membai’atnya dengan kata-kata, “Kami membai’at Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaati dalam keadaan sukar, mudah, senang, benci, maupun musibah tengah menimpa kami. Kami tidak akan merampas (kekuasaan) dari pemiliknya serta akan mengucapkan kebenaran di mana pun kami berada. Kami juga tidak akan takut di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang suka mencela.” Tatkala mereka selesai, Nabi saw berkata, “Ajukanlah kepadaku dari kalian 12 orang wakil yang akan bertanggung jawab terhadap kaumnya dalam segala urusan mereka!” Mereka memilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus, lalu Nabi berkata kepada para wakil tersebut, “Kalian bertanggung jawab atas kaum kalian dalam segala urusan mereka, seperti Hawariyyun melindungi Isya bin Maryam, dan aku adalah penanggung jawab kaumku”. Mereka menjawab, “Ya”.

Setelah itu mereka kembali ke perkemahan mereka, mengemasi barang-barangnya, lalu pulang ke Madinah. Tidak lama berselang, Rasul saw memerintahkan kaum Muslim hijrah ke Madinah dan mereka berangkat secara terpisah-pisah. Kaum Muslim memulai hijrah mereka orang per orang atau dalam kelompok kecil. Sementara itu, kaum Quraisy akhirnya mengetahui

20            Daulah Islam

bai’at tersebut dan berusaha mengembalikan siapa saja yang dapat mereka kembalikan ke Makkah. Mereka berusaha menghalangi antara kaum Muslimin dan hijrah layaknya menghalangi seorang suami dari istrinya.

Meskipun demikian, teror- teror semacam itu tidak mempengaruhi kelangsungan hijrah. Bahkan gelombang hijrah kaum Muslim ke Madinah datang susul-menyusul. Sedangkan Rasul saw sendiri masih tinggal di Makkah. Tidak seorang pun bisa memastikan apakah Muhammad akan hijrah ke Madinah atau akan tetap di Makkah? Namun yang nampak memang beliau menginginkan hijrah ke Madinah. Abu Bakar pernah mencoba meminta izin kepadanya untuk turut berhijrah ke Madinah, namun beliau menjawab, “Janganlah kau terburu-buru!, semoga Allah menjadikan bagimu seorang teman.” Dengan demikian Abu Bakar mengetahui bahwa beliau akan juga hijrah.

Sementara itu kafir Quraisy berhitung seribu kali tentang kemungkinan hijrahnya Nabi saw ke Madinah, setelah jumlah kaum Muslim di sana semakin banyak yang menjadikan memungkinkan mereka memiliki kekuatan yang luar biasa di Madinah. Hal itu pun menjadikan mereka beserta orang-orang yang hijrah dari Makkah membentuk kekuatan yang sangat dahsyat. Jika kemudian Nabi bergabung dengan mereka dalam keadaan mereka kuat seperti itu, maka keadaan tersebut akan menjadi kecelakaan besar dan kehancuran bagi kafir Quraisy. Atas perhitungan itu, maka kafir Quraisy berpikir keras untuk menemukan cara mencegah Rasul saw hijrah ke Madinah. Tetapi dalam waktu yang bersamaan, mereka juga khawatir jika Muhammad tetap di Makkah. Hal ini akan menghadapkan diri mereka kepada perlawanan kaum Muslim di Madinah saat bangunan mereka semakin kokoh, setelah memiliki kekuatan; lalu mereka bersama-sama datang ke Makkah untuk mempertahankan Rasulullah saw yang telah diimaninya. Karena itu, kafir Quraisy berpikir untuk membunuh Muhammad agar tidak sempat menyusul kaum Muslim di Madinah, dan supaya di sana tidak ada suatu perkara yang menyebabkan konflik antara mereka

Baiat ‘Aqabah Kedua
65

dengan penduduk Madinah, demi Islam dan demi Muhammad saw.

Berbagai buku sirah telah menyatakan bahwa telah disampaikan hadits ‘Aisyah ra. dan Abu Umamah bin Sahm, “Ketika muncul 70 orang dari sisi beliau saw, maka jiwanya menjadi lapang. Allah telah menjadikan baginya dukungan dan keberanian dari penduduk ahli perang”. Teror dan siksaan kaum musyrik kepada kaum Muslim yang menyatakan diri untuk hijrah makin bertambah berat dan keras. Mereka mempersempit ruang gerak para sahabat Nabi dan menguntitnya kemana pun mereka pergi. Kaum Muslim memperoleh siksaan dalam bentuk yang belum pernah mereka peroleh sebelumnya, baik berupa celaan maupun penganiayaan. Mereka mengadu kepada Nabi saw. Lalu beliau menjawab, “Telah ditunjukkan kepadaku tempat hijrah kalian dengan jelas.” Kemudian beliau masih tinggal di Makkah beberapa hari, lalu keluar menemui para sahabat dengan gembira sambil berkata, “Telah dikabarkan kepadaku tentang tempat hijrah kalian yaitu Yatsrib, Karena itu siapa saja di antara kalian yang ingin pergi ke sana maka pergilah ke sana”.

Mereka bersiap-siap untuk hijrah. Mereka saling menjalin kekerabatan dan persahabatan, saling berwasiat, kemudian berangkat hijrah dengan sembunyi-sembunyi. Mereka berangkat dengan cara berpencar dan berkelompok-kelompok yang saling terpisah. Sementara beliau saw masih tinggal di Makkah menanti izin baginya untuk hijrah. Sahabat karibnya adalah yang paling sering meminta izin kepada Rasulullah saw untuk hijrah ke Madinah, setelah kaum Muslim semakin banyak yang hijrah ke sana. Maka beliau berkata, “Janganlah kau terburu-buru!, semoga Allah menjadikan bagimu seorang teman.” Abu Bakar sangat berharap bahwa orang yang dimaksud adalah beliau.

Tatkala kafir Quraisy menyaksikan hijrahnya para sahabat Muhammad, dan mereka mengetahui bahwa Muhammad sedang menghimpun kekuatan untuk memerangi mereka, maka mereka segera mengadakan pertemuan di Daar an-Nadwah untuk memusyawarahkan apa yang akan mereka lakukan terhadap

22            Daulah Islam

urusan Muhammad saw. Mereka sepakat untuk membunuhnya dan berpencar untuk melaksanakan keputusan itu. Tidak berapa lama, Jibril datang menemui Nabi dan memerintahkan beliau agar malam itu tidak tidur di rumahnya sendiri. Jibril memberitahukan Rasul tentang rencana jahat kaum Quraisy. Pada malam itu, beliau tidak tidur di rumahnya dan Allah mengizinkan baginya hijrah ke Madinah.

Berdasarkan hal ini, keberadaan kekuatan Islam yang ada di Madinah dan kesiapan Madinah untuk menerima Rasul saw, serta pendirian Negara Islam di sana, merupakan perkara yang mendorong Rasul saw untuk hijrah. Ini adalah penyebab langsung hijrahnya Rasul. Dengan demikian, amat keliru bila ada yang menduga bahwa Muhammad saw hijrah dari Makkah karena khawatir dengan ancaman orang-orang kafir Quraisy yang hendak membunuhnya dan melarikan diri dari hal itu. Dalam aktivitas dakwah, beliau saw tidak pernah memperhitungkan masalah penderitaan sedikit pun. Kematian bukan menjadi pertimbangan beliau di jalan dakwah kepada Islam. Beliau pun tidak pernah menyibukkan dirinya demi keselamatan jiwa dan kehidupannya. Karena itu, hijrah belilau ke Madinah semata-mata karena dakwah Islam dan untuk mendirikan Negara Islam. Sedangkan pertemuan kafir Quraisy yang menghasilkan keputusan untuk membunuh Muhammad, semata-mata karena didasari rasa takut akan hijrahnya Rasul ke Madinah dan keberhasilannya memperkokoh dakwah di sana. Kenyataannya, memang beliau saw berhasil mengalahkan mereka dan hijrah ke Madinah walaupun mereka menghalanginya. Mereka sama sekali tidak mampu mencegahnya walau sudah bersepakat membunuh beliau.

Dengan demikian, hijrah merupakan pembatas dalam Islam yang memisahkan antara tahapan-tahapan dakwah dengan upaya mewujudkan masyarakat dan negara yang memerintah dengan Islam, menerapkannya, dan mendakwahkannya dengan hujjah, bukti, dan dengan kekuatan yang melindungi dakwah ini dari kekuatan jahat dan kekufuran.[]

Mendirikan Daulah Islam
67
















Mendirikan Daulah Islam


Nabi saw tiba di Madinah. Sejumlah sahabat dari penduduk Madinah, kaum Muslim, bahkan orang-orang Musyrik dan kaum Yahudi menyambut kedatangannya. Seluruh kaum Muslim berkumpul mengelilingi beliau. Mereka semua sangat antusias dan ingin menyambut kedatangan beliau. Kaum Muslim sangat senang dalam memberikan pelayanan dan penghormatan kepadanya. Mereka siap mempersembahkan jiwa mereka di jalan yang beliau

tempuh dan agama yang datang bersamanya.

Setiap sahabat menginginkan Nabi saw tinggal di rumahnya. Beliau menanggapi hal itu dengan melepaskan tali kekang untanya dan membiarkannya mencari tempat berhenti. Akhirnya unta itu berhenti di tempat unta milik Sahal dan Suhail, dua anak yatim putra ‘Amru. Beliau kemudian membeli tanah itu dan di atasnya didirikan masjid dan di sekitarnya dibangun bilik-bilik rumah beliau. Beliau membangun masjid dan rumah tanpa menyakiti orang. Bentuknya sangat sederhana, tidak membutuhkan biaya yang banyak, dan tidak memerlukan kerja besar. Masjidnya berupa halaman luas yang empat sisi temboknya dibangun dari batu merah dan tanah liat. Sebagian atapnya dari pelepah kurma dan sebagian yang lain dibiarkan terbuka. Salah satu pojok serambinya dikhususkan untuk tempat bermukimnya kaum fakir yang tidak memiliki tempat tinggal. Di

24            Daulah Islam

waktu malam, masjidnya tidak diberi cahaya lampu kecuali pada waktu shalat ‘isya. Penerangannya diambil dari jerami yang dibakar di tengah-tengah masjid. Tempat tinggal Nabi saw juga tidak lebih baik dari masjid yang dibangunnya, kecuali penerangannya yang lebih banyak. Di tengah-tengah penyelesaian pembangunan masjid dan bilik-bilik rumahnya, beliau saw tinggal di rumah Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshariy hingga pembangunannya selesai. Kemudian beliau saw pindah ke tempat tinggalnya yang baru dan menetap di sana. Di tempat tersebut beliau memikirkan kehidupan baru yang baru saja beliau mulai, yang telah mengalihkan dirinya serta dakwahnya dalam sebuah langkah besar dari satu tahapan ke tahapan lainnya. Dakwahnya beralih dari tahap pembinaan dan interaksi ke tahap penerapan hukum Islam kepada masyarakat, yang mengatur berbagai hubungan yang ada di dalamnya. Langkah itu pun telah memindahkan dari tahapan dakwah yang semata-mata menuntut kesabaran dalam menghadapi penderitaan menuju tahap pemerintahan, kekuasaan, dan kekuatan yang dapat melindungi dakwah tersebut.

Sejak tiba di Madinah, Rasul saw memerintahkan para sahabat membangun masjid sebagai tempat shalat, berkumpul, bermusyawarah, dan mengatur berbagai urusan kaum Muslim sekaligus memutuskan perkara yang ada di antara mereka. Beliau menjadikan Abu Bakar dan Umar sebagai dua orang pembantunya. Beliau saw bersabda, “Dua (orang) pembantuku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar.” Kaum Muslim senantiasa berkumpul di sekitar beliau dan merujuk semua persoalan kepada beliau.

Dengan demikian, beliau berkedudukan sebagai kepala negara, qadli dan panglima militer. Beliau saw memelihara berbagai urusan kaum Muslim dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan di antara mereka. Di samping itu, beliau mengangkat beberapa komandan ekspedisi dan mengirimkannya ke luar Madinah. Jadi, sejak tiba di Madinah, beliau telah mendirikan Daulah Islam. Negara tersebut dijadikan pusat pembangunan masyarakat yang berdiri di atas pondasi yang kokoh dan pusat persiapan kekuatan

Mendirikan Daulah Islam
69

yang cukup untuk melindungi negara dan menyebarkan dakwah. Setelah seluruh persoalan stabil dan terkontrol, beliau mulai menghilangkan rintangan-rintangan fisik yang menghadang di tengah jalan penyebaran Islam.[]

26            Daulah Islam

















Membangun Masyarakat


Allah menciptakan gharizah baqa’ (naluri untuk mempertahankan diri) dalam diri manusia. Di antara penampakannya adalah kecenderungan manusia untuk berkumpul dengan sesamanya. Kecenderungan ini merupakan hal yang alami dan bersifat naluriah. Hanya saja, kumpulan manusia itu tidak otomatis menjadikan mereka sebuah masyarakat, melainkan sekadar kumpulan orang saja. Mereka tetap dianggap sebagai kumpulan saja apabila aktivitasnya sebatas berkumpul. Jika di antara mereka terjadi interaksi untuk merealisir kemaslahatan dan menolak kerusakannya, maka interaksi yang timbul dari kelompok ini akan membentuk sebuah masyarakat. Namun, interaksi ini tidak akan menjadikan mereka sebuah masyarakat, kecuali jika pandangan mereka tentang interaksi tersebut disatukan oleh kesatuan pemikiran. Pandangan tersebut juga harus menyatukan keridhaan dan kemarahan mereka dengan kesatuan perasaan. Juga harus menyatukan cara-cara pemecahan masalah mereka dalam berinteraksi, dengan kesatuan sistem yang

akan memecahkan masalah tersebut.

Dengan demikian, tatkala menyoroti sebuah masyarakat, harus mengarah pada unsur-unsur pemikiran, perasaan, dan sistem (aturan). Sebab, unsur-unsur itulah yang akan membentuk masyarakat yang khas dan memiliki corak tertentu. Berdasarkan

Membangun Masyarakat
71

hal ini, kami mengkaji masyarakat yang tumbuh di Madinah, pada saat Rasul saw tiba di sana, agar kami mengetahui seperti apa eksistensinya.

Pada waktu itu, Madinah dihuni oleh tiga kelompok besar. Pertama, kelompok Muslim dari kalangan Muhajirin dan Anshar, mereka adalah mayoritas penduduk Madinah. Kedua, kelompok Musyrik yang terdiri dari Bani Aus dan Khazraj yang belum memeluk Islam, dan jumlah mereka sedikit di antara kaumnya. Ketiga, kelompok Yahudi yang terbagi dalam empat golongan. Satu bermukim di dalam kota Madinah dan tiga golongan lainnya di luar kota Madinah. Yahudi yang tinggal di dalam kota adalah Bani Qainuqa’, sedangkan yang tinggal di luar kota adalah Bani Nadhir, Yahudi Khaibar, dan Bani Quraizhah.

Orang-orang Yahudi sebelum kedatangan Islam merupakan kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat di Madinah. Pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan berbagai solusi yang mereka gunakan untuk menyelesaikan persoalannya juga berbeda dari yang lainnya. Karena itu, masyarakat Yahudi tidak bisa dianggap sebagai bagian dari masyarakat Madinah, meskipun mereka tinggal di dalam kota Madinah dan dekat dengan masyarakat di sana.

Sedangkan orang- orang Musyrik, jumlah mereka sedikit. Suasana keislaman yang menyelimuti Madinah telah menutupi eksistensi mereka. Dengan demikian, ketundukkan mereka terhadap pemikiran, perasaan, dan sistem peraturan Islam dalam berinteraksi menjadi sebuah keniscayaan, walaupun mereka tidak memeluk Islam.


Sementara kaum Muhajirin dan Anshar sendiri telah disatukan oleh akidah Islam, dan Islam pun telah mengikat (persatuan) di antara mereka. Karena itu, pemikiran dan perasaan mereka satu, sehingga pengatur hubungan di antara mereka dengan menggunakan Islam sudah menjadi kepastian. Maka dari itu, Rasul saw mulai membangun interaksi di antara mereka atas dasar akidah Islam, dan mengajak mereka untuk menjalin persaudaraan karena Allah, yaitu bentuk persaudaraan yang memiliki pengaruh kuat,

28            Daulah Islam

menyentuh aspek mu’amalah, harta, dan seluruh urusan mereka. Beliau mempersaudarakan antar kaum Muslimin. Beliau memper-saudarakan dirinya dengan ‘Ali bin Abi Thalib. Demikian juga pamannya, Hamzah beserta Zaid (maula beliau) dipersaudarakan olehnya. Menyatukan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid sebagai saudara. Beliau juga mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. ‘Umar bin al-Khaththab dengan ‘Atban bin Malik al-Khazrajiy. Thalhah bin ‘Ubaidillah dengan Abu Ayyub al-Anshariy. Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Persaudaraan semacam ini mempunyai pengaruh kuat dalam aspek materi. Orang-orang Anshar sangat dermawan kepada saudara-saudara mereka dari Muhajirin, sehinggga menambah kuat dan eratnya hubungan persaudaraan. Mereka memberikan harta dan pendapatannya serta bersama-sama dalam memenuhi kebutuhan dunia. Para saudagar dan petani sama-sama menyumbangkan keahliannya masing-masing kepada mereka. Adapun para saudagar mengajak mereka untuk menyibukkan diri dalam perdangangan. Abdurrahman bin Auf memulai usahanya dengan menjual mentega dan keju. Demikian juga banyak sahabat, selain Abdurrahman, melakukan hal yang sama dan sangat berperan dalam perdangan mereka, yaitu mereka menjadi pengendali dalam urusan perdagangan. Para sahabat yang tidak memiliki kesibukan dagang seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya, menggarap lahan petanian di kebun-kebun pemberian kaum Anshar. Rasul saw bersabda: “Barang siapa yang memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada saudaranya.” Mereka semua bekerja untuk memperoleh kekuatan mereka masing-masing.

Ada juga sekelompok kecil masyarakat yang tidak memiliki harta sama sekali dan tidak memiliki pekerjaan. Mereka tidak mempunyai tempat tinggal. Hidup dalam kemiskinan dan butuh perawatan. Mereka ini bukan dari golongan Muhajirin, juga bukan dari Anshar. Mereka adalah orang-orang Arab yang datang ke Madinah dan memeluk Islam. Rasul saw memperhatikan nasib mereka dan menyediakan tempat khusus bagi mereka di serambi

Membangun Masyarakat
73

Masjid. Mereka tinggal dan berlindung di tempat itu. Karena itu, mereka dinamakan Ahlu Shuffah (penghuni serambi). Nafkah mereka diambil dari harta kaum Muslim, baik dari orang Muhajirin ataupun Anshar yang memiliki kelebihan harta.

Dengan demikian, Rasul saw berhasil menyelesaikan peleburan dan penyatuan seluruh kaum Muslim hingga kondisinya stabil dan kokoh. Beliau juga berhasil menyolidkan interaksi di antara mereka atas dasar pondasi yang sangat kuat. Berarti, Rasul saw berhasil membangun masyarakat di Madinah di atas landasan yang kokoh, serta dalam kondisi siaga menghadapi kaum kafir. Mereka memiliki pegangan yang sangat kuat dalam menghadapi berbagai provokasi samar dan kelicikan yang tersembunyi dari kaum Yahudi dan Munafik. Mereka berdiri kokoh di bawah payung kesatuan Islam. Rasul saw merasa tenang melihat wujud masyarakat dan kesatuannya.

Kaum Musyrik sendiri tunduk pada sistem hukum Islam. Keberadaan mereka berangsur-angsur lenyap. Mereka tidak memiliki pengaruh dalam pembentukan masyarakat.

Sedangkan orang-orang Yahudi, sebelum kehadiran Islam, mereka merupakan masyarakat yang memiliki bentuk tersendiri. Setelah Islam datang, gambaran dan pola hubungan antara masyarakat Yahudi dan Islam semakin tampak perbedaannya. Di antara dua golongan ini terdapat perbedaan yang sangat jauh. Karena itu, harus dibuat aturan yang mengatur hubungan mereka dengan kaum Muslim, berdasarkan asas tertentu. Maka, Rasul saw pun menetapkan posisi kaum Muslim terhadap mereka dan menetapkan bagi mereka aturan yang harus mendasari interaksi mereka dengan kaum Muslim. Rasul saw kemudian membuat perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar. Di dalamnya disebutkan juga kaum Yahudi dan syarat-syarat yang harus mereka penuhi. Perjanjian itu merupakan satu manhaj yang mengatur interaksi antara kabilah-kabilah Yahudi dan kaum Muslim, setelah sebelumnya ditetapkan aturan main yang mendasari ineraksi di antara kaum Muslim sendiri dan siapa saja yang mengikuti mereka. Teks perjanjian itu

30            Daulah Islam

diawali dengan sabda Rasul: “Bismillaahir-rahmaanirrahiim. Ini adalah perjanjian dari Muhammad Nabi saw antara kaum Mukmin yang Muslim dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta orang-orang yang mengikuti mereka. Mereka satu dengan lainnya telah bergabung dan berjuang bersama-sama. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yang berbeda dengan seluruh umat manusia lainnya.”

Perjanjian itu menyebutkan apa yang harus dilakukan di antara sesama kaum Mukmin. Hubungan kaum Yahudi dengan kaum Mukmin diletakkan di bagian tengah teks perjanjian. Selanjutnya Rasul saw bersabda, “Orang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin demi (membela) orang kafir, juga tidak boleh menolong orang kafir untuk menghadapi orang Mukmin. Sesungguhnya jaminan Allah adalah satu. Dia melindungi orang-orang yang lemah (atas orang-orang yang kuat). Kaum Mukmin, sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain. Orang yang mengikuti kami dari kalangan Yahudi, akan mendapatkan pertolongan dan keteladanan. Mereka tidak dianiaya dan tidak saling menolong di antara mereka. Sesungguhnya keselamatan kaum Mukmin adalah satu. Orang Mukmin tidak saling menyerahkan (urusannya) kepada selain Mukmin dalam perang di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.”

Yang dimaksud dengan kaum Yahudi di sini, bukan kabilah-kabilah Yahudi yang hidup bertetangga, tetapi mencakup setiap orang yang ingin menjadi warga negara Daulah Islam. Mereka berhak memperoleh perlindungan dan hak yang sama dalam mu’amalah bersama- sama kaum Muslim. Sebab, saat itu mereka adalah ahlu dzimmah. Kabilah-kabilah Yahudi sendiri, yang tercakup dalam perjanjian, disebutkan nama-nama kabilah mereka di bagian akhir dari perjanjian tersebut, yaitu setelah tuntasnya pengaturan interaksi antar kaum Mukmin. Perjanjian itu menyebutkan Yahudi Bani ‘Auf, Yahudi Bani Najjar, dan seterusnya. Perjanjian tersebut juga mengatur hubungan mereka dengan Daulah Islam disertai syarat-syarat tertentu. Dalam teks perjanjian ditunjukkan dengan jelas hubungan antara kaum Yahudi dengan kaum Muslim atas dasar berhukum kepada Islam. Juga berlandaskan ketundukan

Membangun Masyarakat
75

kaum Yahudi pada kekuasaan Islam, serta ketundukan mereka untuk bekerja sama demi kemaslahatan Daulah Islam.

Dalam teks perjanjian tersebut ada beberapa point yang menunujukkan hal tersebut, di antaranya:

32         Bahwa kedekatan Yahudi berlaku antar mereka. Tidak seorang pun dari mereka yang boleh keluar (Madinah) kecuali dengan izin Muhammad saw.

33         Bahwa kota Yatsrib harus dihormati oleh pihak yang menerima perjanjian.

34         Bahwa kejadian dan perselisihan yang timbul di antara pihak-pihak (yang menyetujui) perjanjian ini, yang dikhawatirkan kerusakannya, maka tempat kembalinya adalah kepada Allah dan Muhammad Rasulullah saw.

35         Bahwa tidak boleh menjalin kerja sama dengan kafir Quraisy dan tidak boleh memberi pertolongan kepada mereka.

Demikianlah perjanjian Rasul saw mengatur semua kabilah Yahudi yang bertetangga dengan Madinah. Mereka disyaratkan tidak boleh keluar dari Madinah kecuali dengan izin Rasul saw atau izin negara. Mereka diharamkan merusak kehormatan kota Madinah, baik memerangi atau memberi bantuan kepada siapa pun yang memerangi Islam. Mereka juga diharamkan menjalin hubungan dengan kafir Quraisy dan tidak pula dibolehkan siapa pun dari mereka yang menolong Quraisy. Pelanggaran apapun yang dilakukan mereka terhadap perjanjian tersebut, maka Rasulullah saw akan menyelesaikannya. Banyak kabilah Yahudi yang sepakat dengan isi perjanjian ini, yaitu Yahudi Bani ‘Auf, Bani Najjar, Bani Harits, Bani Sa’adah, Bani Jasyim, Bani Aus, dan Yahudi Bani Tsa’labah. Namun, ada juga kabilah-kabilah Yahudi yang tidak ikut menandatangani teks perjanjian ini, yaitu Yahudi Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa’. Tetapi, tidak lama kemudian mereka turut menandatangani perjanjian tersebut. Mereka juga tunduk pada syarat-syarat yang sama sebagaimana yang disebutkan dalam perjanjian di atas.

>                Daulah Islam

Dengan ditandatanganinya teks perjanjian ini, Rasul saw lebih leluasa memusatkan interaksi di dalam tubuh Daulah Islam yang tumbuh di atas dasar yang kokoh. Beliau juga memusatkan hubungan antara negara dengan kabilah-kabilah Yahudi yang bertetangga dengan kota Madinah. Hubungannya dibentuk di atas dasar yang jelas, yaitu menjadikan Islam sebagai aturan penyelesaiannya. Dengan demikian, Rasul saw laluasa untuk membangun masyarakat Islam dan mengamankannya hingga pada batas-batas yang dikhawatirkan akan munculnya bahaya dan serangan dari tetangganya, kaum Yahudi. Beliau melakukan aktivitas untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang bersifat fisik, yang menghalangi jalan dakwah Islam dengan mempersiapkan perang.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar