Dua Tahapan
dari Tahapan
Dakwah
Rasul saw
menjalani aktivitas dakwahnya di Makkah dalam dua tahapan. Pertama, adalah tahap
pengajaran, pembinaan, penyiapan pemikiran dan ruhiyah. Kedua, adalah
tahap penyebaran dakwah dan perjuangan. Tahap pertama adalah tahap pemahaman
pemikiran dan kristalisasi ke dalam pribadi-pribadi serta menghimpun mereka
dalam kutlah berdasarkan pemikiran tersebut. Tahap kedua adalah transfer
pemikiran menjadi kekuatan potensial di masyarakat yang dapat mendorong
diterapkannya pemikiran itu dalam realitas kehidupan. Sebab, pemikiran akan
tetap sekadar informasi selama belum diterapkan. Sehingga tidak ada perbedaan
antara informasi yang masih terdapat di dalam berbagai buku dengan yang ada
dalam otak, yaitu hanya tersimpan di sebuah tempat. Karena itu, berbagai
pemikiran tidak akan memiliki nilai apapun, selama belum diterapkan dalam
kehidupan. Agar berbagai pemikiran tersebut bisa diterapkan, maka harus
berjalan melalui tahap-tahap yang mampu mengubahnya dari bentuk pemikiran
menjadi kekuatan yang dapat memotivasi manusia. Dengan cara seperti itu
sebagian besar masyarakat akan mengimaninya, memahaminya, mengembannya, dan
memperjuangkannya untuk diterapkan. Dengan demikian penerapannya menjadi sebuah
keniscayaan
dan merupakan hasil akhir yang alami.
|
Dua Tahapan dari Tahapan Dakwah
|
41
|
Demikianlah, Rasul saw telah melaksanakan
dakwah di Makkah dalam dua tahapan tersebut. Tahap pertama adalah dakwah
mengajak manusia memeluk Islam, membina mereka dengan pemikiran-pemikiran
Islam, membimbing mereka dengan hukum-hukumnya, dan menghimpun siapa saja yang
dapat dibentuk dalam sebuah kutlah dengan asas akidah Islam. Tahap ini
adalah tahap pembentukan kutlah dakwah secara rahasia. Hal ini
menunjukkan bahwa Rasul tidak pernah lepas dari dakwah dan senantiasa
bersungguh-sungguh membina siapa pun yang telah masuk Islam dengan pemikiran-pemikiran
tersebut. Beliau mengumpulkan mereka di rumah al-Arqam, dan mengirim seseorang
yang akan membina mereka sebagai kutlah dalam berbagai halaqah. Kaum
Muslim berkumpul di rumah-rumah mereka, di bukit-bukit, dan di rumah al -Arqam
secara rahasia disertai upaya mereka untuk membentuk sebuah kutlah.
Setiap hari keimanan mereka bertambah, hubungan mereka satu dengan yang lainnya
semakin erat. Begitu juga kesadaran mereka tentang hakikat penting atas apa
yang mereka emban setiap hari semakin kuat. Mereka mempersiapkan diri untuk
berkorban di jalan Islam, hingga dakwah terhunjam di dalam jiwa mereka dan
Islam mengalir seiring dengan aliran darah dalam tubuh mereka. Mereka menjadi
sosok Islam yang berjalan.
Dengan demikian dakwah tidak bisa
terkurung terus menerus dalam jiwa mereka, meskipun mereka berusaha
menyembunyikan diri mereka, merahasiakan keberadaan kutlah mereka dan
selalu menjaga rahasia pertemuan mereka. Lalu mereka berdialog dengan siapa
saja yang percaya dan simpati kepada mereka untuk dipersiapkan menerima dakwah,
sehingga masyarakat dapat merasakan dakwah dan keberadaan mereka. Dengan
demikian, dakwah telah melewati titik awal (nuqthah al-ibtida) sehingga
harus berlanjut ke arah titik tolak (nuqthah al-inthilaq). Berbagai
upaya untuk menjalani titik tolak dakwah dan menyeru semua manusia pun
dilakukan. Ini berarti tahap pertama telah berakhir, yaitu tahap pembentukan kutlah
secara rahasia dan pembinaan untuk membangun kerangka kutlah. Dengan
sendirinya tahap dakwah harus beralih menuju tahap kedua,
42
Daulah
Islam
yaitu
tahap interaksi dan perjuangan dengan memahamkan Islam kepada masyarakat,
sehingga mereka dapat berinteraksi dengan Islam dan menerimanya, lalu Islam
menyatu dengan jiwa mereka. Atau sebaliknya mereka menolak Islam, lalu
menyerangnya sehingga terjadi perbenturan dengan pemikiran-pemikirannya.
Benturan itu telah menghasilkan serangan terhadap kekufuran dan kerusakan.
Menghasilkan kemantapan iman, hingga akhirnya pemikiran yang benar memperoleh
kemenangan. Hal ini karena akal itu, sesombong apa pun, tidak mungkin akan
tertutup di hadapan pemikiran yang benar dan pasti tidak dapat menolaknya,
walaupun dia melarikan diri darinya jauh sekali sehingga tidak terpengaruh
lagi.
Dengan demikian, tahap interaksi dan perjuangan
di antara satu pemikiran (Islam) dengan pemikiran lainnya (kufur), juga antara
kaum Muslim dan orang-orang kafir telah dimulai. Hal itu dimulai dari kutlah
hizbiyah (kelompok politik), saat Rasul saw bersama para sahabatnya keluar
dalam sebuah barisan rapi, yang belum pernah disaksikan sebelumnya oleh bangsa
Arab, dalam sebuah kutlah. Beliau thawaf di seputar Ka’bah dan
mengekspose Islam. Sejak saat itu Rasul saw terus menyebarkan dakwah di
tengah-tengah umat manusia secara terang-terangan, siang-malam, terus menerus,
dan dengan cara menantang.
Awalnya,
ayat-ayat yang turun kepada Rasul saw mengajak pada tauhid, mengingkari
paganisme dan kemusyrikan serta mengutuk keduanya dan mencela bersikap taqlid
kepada bapak-bapak dan nenek moyang mereka tanpa berpikir. Lalu turun pula
ayat-ayat yang mencela berbagai muamalah yang rusak, menyerang aktivitas riba,
serta menghantam perdagangan yang rusak dan penipuan dalam takaran dan
timbangan. Rasul menjadi sosok yang berbicara kepada masyarakat tentang Islam
dalam bentuk jamaah. Beliau mengumpulkan kaumnya dalam jamuan makan di
rumahnya, kemudian beliau berbicara kepada mereka seluruhnya. Beliau meminta
mereka untuk masuk Islam dan mendukungnya, namun mereka menolak dengan keras.
Pada kesempatan lain beliau mengumpulkan penduduk Makkah di bukit Shafa seraya
|
Dua Tahapan dari Tahapan Dakwah
|
43
|
mengajak mereka berdialog. Serta merta emosi
para pemimpin kafir Quraisy terbakar dan Abu Lahab pun menolak dengan keras
ajakan tersebut. Permusuhan antara Nabi Muhammad saw dan kafir Quraisy semakin
tajam, begitu juga antara beliau dengan bangsa Arab non Quraisy.
Demikianlah, yang asalnya dakwah itu
berkelompok dalam bentuk pembinaan yang terpusat melalui berbagai halaqah di
rumah-rumah, di celah antara bukit-bukit, dan di rumah al-Arqam; menjadi
pembinaaan secara berkelompok. Begitu juga dakwah beralih dari tahap dakwah
sebatas kepada orang-orang yang simpati dan siap menerima Islam, menuju tahap
dakwah mengajak manusia secara umum. Dakwah jama’iy dan pembinaan
jama’iy tersebut memiliki pengaruh yang amat kuat dalam diri kaum Quraisy.
Kedengkian kafir Quraisy pun semakin bertambah dan mereka makin merasakan
bahaya yang mendekati mereka. Mereka mulai mengambil langkah-langkah permusuhan
yang lebih serius untuk melakukan perlawanan, setelah sebelumnya tidak peduli
dengan Muhammad dan dakwahnya. Sehingga penganiyaan dan siksaan yang menimpa
Nabi saw beserta para sahabatnya semakin meningkat. Dakwah jama’iy itu sendiri
sebenarnya memiliki pengaruh yang kuat dalam dakwah sendiri. Hal ini terbukti
bahwa kata Islam terdengar oleh semua orang dan dakwah kepada agama Allah telah
menyebar luas di tengah-tengah seluruh penduduk Makkah. Tidak ada hari kecuali
sebagian dari mereka masuk Islam karena Allah semata. Setiap orang, baik yang
berwatak keras, lemah, maupun yang dihalang-halangi mulai beriman. Semua orang
yang tidak pernah disibukan oleh perdagangan dan jual-beli melakukan pendalaman
terhadap apa yang diserukan Rasul saw kepada mereka. Sebagian saudagar Makkah,
tokoh-tokohnya, para pemimpinnya, dan orang-orang yang jiwanya mengetahui
kesucian, kebeningan hati, dan kebenaran telah beriman. Mereka menanggalkan
permusuhan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Mereka telah menyerahkan
seluruh jiwa raganya kepada Allah, semata-mata karena menyadari kebenaran
dakwah dan kejujuran juru dakwahnya. Islam tersebar luas di
44
Daulah
Islam
Makkah
dan masyarakat, baik pria maupun wanita, banyak yang masuk Islam. Dakwah
jama’iy mempunyai pengaruh yang mampu mengantarkan dakwah ke seluruh penjuru
dunia yang lebih luas, meski hal itu membawa para pengembannya dalam kesulitan,
siksaan, dan berbagai jenis penganiayaan. Hal tersebut semakin menambah api
dendam yang membakar jiwa para pemimpin kafir Quraisy untuk lebih meningkatkan
lagi serangan kepada Rasul dengan penganiayaan, kekerasan, dan penindasan yang
hampir menyeliputi seluruh Makkah. Beliau pun semakin mudah menjadi sasaran
sepak terjang dan tingkah laku orang-orang kafir.
Antara Rasul dan para sahabatnya di satu sisi,
dengan kafir Quraisy pada sisi lain, mulai memasuki tahapan yang paling sulit
dan keras. Walaupun peralihan dari tahap pembinaan ke tahap interaksi merupakan
tahapan yang sangat krusial, karena membutuhkan hikmah (hujah),
kesabaran, dan kecermatan berperilaku. Maka, tahap interaksi adalah tahap
dakwah yang paling sulit karena membutuhkan sikap terus terang dan menantang,
tanpa memperhitungkan akibat maupun situasi kondisinya. Dalam kondisi seperti
ini, terjadilah fitnah kaum kafir terhadap kaum Muslim tentang agamanya; juga
harus ditampakkan Iman, kemampuan menanggung resiko serta menampakkan sikap
kejujuran.
Dalam kondisi seperti inilah Rasul saw berjalan
dalam tahapan dakwahnya. Beliau dan para sahabatnya menanggung beban yang amat
berat, layaknya beban yang ditanggung gunung-gunung yang menjulang tinggi;
dalam bentuk penganiayaan, pembodohan, penyiksaan, dan perusakan. Akibatnya, di
antara mereka ada yang hijrah ke Habsyi untuk menyelamatkan agamanya. Ada yang
mati di bawah penyiksaan, ada juga yang menanggung siksaan yang sangat keras
dan menyakitkan. Namun, mereka tetap melanjutkan dakwah dalam kondisi seperti
ini, dalam waktu lama, yang cukup untuk mempengaruhi masyarakat Makkah dengan
cahaya Islam, sekaligus mencerai-beraikan berbagai bentuk kezaliman. Rasul
tinggal di Daar al-Arqam selama tiga tahun untuk berdakwah, lalu mengakhiri
tahap pertama ini. Beliau membentuk kutlah secara
|
Dua Tahapan dari Tahapan Dakwah
|
45
|
rahasia dan melakukan pembinaan sepanjang tiga
tahun tersebut. Setelah itu, Rasul saw menghabiskan waktu selama 8 tahun untuk
melakukan perjuangan (dengan ditampakkannya kemukjizatan kepada masyarakat)
secara terang-terangan. Sementara itu, tekanan kafir Quraisy untuk melakukan
penyiksaan kepada kaum Muslim dan semangat mereka untuk memerangi Islam tidak
berkurang.
Memang benar, gesekan yang terjadi
antara kaum Muslim dan kafir Quraisy menyebabkan seluruh pelosok Jazirah Arab
mendengar Islam. Atmosfer dakwah berhembus ke seluruh penjuru Jazirah sambil
menerbangkan aroma dakwah kepada mereka dengan hujjah- hujjah, dan berdiskusi
seputar perkara-perkara itu. Akan tetapi, bangsa Arab pada waktu itu hanya
berdiri sebagai penonton, belum melangkah ke arah keimanan. Reaksi mereka hanya
sebatas usaha meredam kemarahan kafir Quraisy sekaligus menjauhi Rasul saw,
sehingga mereka terhindar dari kemarahan kafir Quraisy. Keadaan tersebut
semakin menguatkan Rasul saw dan para sahabatnya sekaligus untuk segera
berpindah ke tahap ketiga, yaitu tahap penerapan Islam. Tetapi, kerasnya sikap
masyarakat Makkah tidak memungkinkan upaya penerapan tersebut. Meningkatnya
penganiayaan terhadap kaum Muslim tidak memungkinkan mereka untuk mencurahkan
semua daya dalam berdakwah, bahkan hal tersebut menjadi penghalang antara
mereka dengan dakwah. Menjauhnya masyarakat dari dakwah semakin menambah
penderitaan dan kesedihan mereka.[]
46
Daulah
Islam
Perluasan Medan
Dakwah
Kejahatan-kejahatan
kafir Quraisy terhadap Rasul saw dan kaum Muslim semakin bertambah. Akibatnya, medan
dakwah mereka menjadi semakin sempit. Tidak ada lagi pertolongan yang bisa
diharapkan Rasul dari kabilah-kabilah Arab setelah terjadi penolakan yang
menyakitkan dan pengusiran yang dilakukan Bani Tsaqif terhadap beliau dari
Thaif. Begitu juga setelah penolakan Bani Kindah, Kilab, Bani ‘Amir bin
Sha’sha’ah, dan Bani Hanifah, pada saat beliau menjelaskan kerasulannya kepada
mereka di musim haji. Tidak ada harapan untuk mengarahkan seorang pun dari
orang-orang Quraisy kepada Islam.
Kabilah-kabilah selain Quraisy yang
bertetangga dengan Makkah dan kabilah yang datang ke Makkah dari berbagai
penjuru negeri Arab, memandang perlu untuk mengisolir Muhammad saw. Permusuhan
kafir Quraisy yang mengepung beliau, menganggap siapa saja yang menolongnya
sebagai musuh mereka dan harus dibalas. Kafir Quraisy semakin menjauhi beliau.
Sementara itu beliau saw melihat bahwa risalah Tuhannya hanya beredar di
seputar pengikutnya sampai saat itu. Hari-hari terus berlalu, keberadaan Rasul
saw di tengah-tengah kaumnya semakin terkucil. Dendam kafir Quraisy terhadap
beliau semakin dalam dan masyarakat semakin menjauh. Meskipun demikian,
keyakinan beliau saw dan
|
Perluasan Medan Dakwah
|
47
|
para
sahabatnya semakin kuat terhadap pertolongan Allah dan kemenangan agama-Nya
atas seluruh agama-agama yang ada. Beliau tanpa kenal lelah terus mengajak
manusia, di setiap kesempatan.
Apabila datang musim haji dan banyak orang dari
berbagai penjuru Jazirah Arab datang berkumpul di Makkah, beliau mendatangi
kabilah-kabilah tersebut dan mengajak mereka kepada Islam, tanpa mempedulikan lagi
apakah kabilah-kabilah itu menerima dakwahnya atau berpaling dengan cara yang
tidak simpatik. Sebagian orang -orang bodoh kafir Quraisy berusaha mengganggu
beliau tatkala menyampaikan risalah Tuhannya kepada manusia dan mereka berhasil
menimpakan keburukan kepadanya. Keridhaan diri beliau dan ketenangan menghadapi
hari esoknya tidak berhasil mengubah kejahatan-kejahatan mereka.
Sesungguhnya Allah mengutus beliau dengan
membawa Islam dan beliau tidak pernah ragu-ragu terhadap pertolongan dan
bantuan-Nya serta kemenangan untuk agama-Nya. Beliau selalu setia menanti
pertolongan Allah, padahal saat itu beliau berada dalam kesulitan akibat
terhalanginya dakwah, menerima berbagai kesulitan dan kesempitan hidup dari
orang-orang kafir Quraisy. Penantian itu tidak lama hingga kabar gembira akan
kemenangan tiba dari Madinah. Hal itu terjadi tatkala beberapa orang Khazraj
datang ke Makkah di musim haji. Rasul menemui mereka, mengajaknya berdialog,
menanyakan keadaan mereka, dan mengajak mereka kepada agama Allah. Mereka
saling berpandangan satu sama lain, “Demi Allah, sesungguhnya dia seorang Nabi
yang pernah dijanjikan kepada kalian oleh orang-orang Yahudi. Karena itu,
jangan sampai ada orang yang akan mendahului kalian.” Mereka menerima dakwah
Rasul dan masuk Islam sambil berkata kepada beliau, “Sesungguhnya kami
meninggalkan kaum kami (Aus dan Khazraj). Tidak ada kaum yang permusuhan
dan kejahatannya seperti permusuhan dan kejahatan mereka. Semoga melalui
engkau, Allah mempersatukan mereka. Jika Allah berhasil mempersatukan mereka
dengan kepemimpinanmu, maka tidak ada orang yang lebih mulia darimu.”
48
Daulah
Islam
Merekapun kembali ke Madinah dan
menceritakan keislaman mereka kepada kaumnya. Terjalinlah hubungan batin yang
melapangkan dada dan mempertautkan jiwa, penuh dengan kesyahduan terhadap agama
yang baru itu. Sejak saat itu, tidak satu rumah pun di perkampungan Aus dan
Khazraj kecuali di dalamnya disebut-sebut nama Muhammad saw. []
|
Baiat ‘Aqabah Pertama
|
49
|
Bait ‘Aqabah
Pertama
T atkala tahun
berikutnya tiba dan musim haji datang, 12 orang laki-laki dari penduduk Madinah datang. Mereka
dan Nabi saw bertemu di ‘Aqabah, lalu mereka membai’at beliau dalam peristiwa
Bai’at ‘Aqabah Pertama. Mereka membai’at beliau bahwa seorang pun di antara
mereka tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri,
tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak akan mendatangkan bukti
-bukti yang direkayasa di antara dua tangan dan kakinya dan tidak akan
melakukan maksiat dalam hal yang ma’ruf. Jika dia memenuhinya, maka baginya
surga dan jika dia mengingkari sedikt saja dari hal tersebut, maka urusannya
dikembalikan kepada Allah. Bila Allah menghendaki, maka Dia akan mengadzabnya
dan jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya. Setelah mereka
menyempurnakan bai’at tersebut dan musim haji berakhir, mereka
seluruhnya
kembali ke Madinah.[]
50
Daulah
Islam
Dakwah di
Madinah
Ibnu
Ishaq berkata, “Ketika orang-orang Madinah itu hendak kembali,
Rasulullah saw mengutus Mush’ab bin ‘Umair menemani mereka. Mush’ab
diperintahkan beliau agar membacakan al-Quran, mengajarkan Islam, dan memberi
pemahaman agama kepada mereka. Sehingga dia dinamakan Muqarri’ Madinah:
Mush’ab.
Mush’ab tinggal di rumah As’ad bin Zurarah.”
Mush’ab mendatangi orang-orang di
rumah-rumah dan di kabilah-kabilah mereka, mengajaknya masuk Islam dan
membacakan al-Quran kepada mereka. Seorang demi seorang masuk Islam hingga
Islam mulai tampak dan menyebar di rumah-rumah orang Anshar, kecuali di
pemukiman orang Aus, yaitu Khuthmah, Waail, dan Waaqif.
Mush’ab membacakan al-Quran dan
mengajari mereka, lalu dia menulis surat kepada Rasulullah saw untuk meminta
izin shalat Jum’at bersama mereka. Rasul saw mengizinkan, dan membalas
suratnya: “Kemudian daripada itu perhatikan hari di mana kaum Yahudi membacakan
Zaburnya dengan keras karena datangnya hari Sabtu ....
Apabila siang hari telah condong lebih dari
separuhnya, maka bertaqarrublah kalian kepada Allah dengan menunaikan shalat
dua rakaat dan engkau berkhutbah di tengah-tengah mereka.”
|
Dakwah di Madinah
|
51
|
Mush’ab bin ‘Umair kemudian shalat Jum’at dengan
mereka di rumah Sa’ad bin Khaitsamah, sebanyak 12 orang. Pada hari itu tidak
ada yang disembelih kecuali seekor kambing. Jadi, Mush’ab adalah orang yang
pertama kali melaksanakan shalat Jum’at dalam Islam. Mush’ab terus berkeliling
Madinah menemui orang-orang dan mengajak mereka masuk Islam serta mengajarkan
Islam pada mereka.
Pada suatu hari, As’ad bin Zurarah keluar
bersama Mush’ab bin ‘Umair ke pemukiman Bani ‘Abdul Asyhal dan pemukiman Bani
Zhafar (Sa’ad bin Mu’adz adalah anak bibi As’ad bin Zurarah). Keduanya masuk ke
sebuah kebun di antara kebun-kebun Bani Zhafar dan berada di dekat sumur yang
bernama sumur Muraq. Keduanya duduk di kebun itu sementara kaum Muslim
datang dan berkumpul dengan mereka. Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair
ketika itu menjadi pemuka dari Bani Abdul Asyhal. Keduanya adalah orang musyrik
pemeluk agama kaumnya. Tatkala keduanya mendengarkan ucapan Mush’ab, Sa’ad bin
Mu’adz berkata kepada Usaid bin Hudhair: “Saya tidak benci padamu. Temuilah
dua orang itu yang datang ke tempat kita hanya untuk membodohi
orang-orang lemah di antara kita. Usirlah dan cegahlah keduanya karena keduanya
hendak datang ke tempat kita. Seandainya As’ad bin Zurarah tidak berasal dari
kaum saya sebagaimana yang telah kamu ketahui, tentu saya sendiri yang akan
melakukannya. Dia adalah anak bibi saya, dan saya tidak menemukan alasan untuk
mencegahnya.” Usaid bin Hudhair mengambil tombak pendeknya, kemudian
berangkat menemui keduanya. Ketika As’ad bin Zurarah melihatnya, maka dia
berkata kepada Mush’ab bahwa orang itu adalah pemuka kaumnya yang datang
kepadamu, mudah-mudahan dia membenarkan Allah. Mush’ab menjawab, jika dia
bersedia duduk, aku akan berbicara padanya.
Usaid bin Hudhair akhirnya duduk di depan
keduanya dengan wajah cemberut sambil menggerutu, lalu berkata, “Apa yang
kalian bawa kepada kami? Kalian hanya akan membodohi orang-orang lemah kami!
Menyingkirlah kalian dari kami, jika memang kalian memiliki kepentingan yang
berhubungan dengan diri kalian sendiri!” Muash’ab
12
Daulah
Islam
berkata: “Atau sebaiknya engkau duduk dan
mendengarkan dulu? Jika engkau menyukainya maka engkau bisa menerimanya.
Dan jika engkau membencinya, maka cukuplah bagimu apa yang engkau benci,” Usaid
menjawab: “Boleh juga.”
Kemudian dia menancapkan tombak
pendeknya dan duduk di hadapan keduanya. Lalu Mush’ab menjelaskan Islam dan
membacakan al-Quran kepadanya. Keduanya (Mush’ab dan As’ad bin Zurarah) berkata
–berkenaan dengan yang dibicarakan tentang keduanya–: “Demi Allah, sungguh
kami telah mengetahui Islam ada di wajahnya, sebelum dia berkata untuk
menerimanya dengan suka cita”. Tidak berapa lama Usaid berkata, “Alangkah
bagus dan indahnya kalimat ini! Apa yang kalian lakukan ketika akan
memeluk agama ini?” Keduanya menjelaskan kepadanya: “Mandi, lalu
sucikan dirimu dan pakaianmu, kemudian ucapkanlah syahadat, setelah itu
shalatlah dua rakaat”. Usaid berdiri, lalu mandi dan menyucikan
pakaiannya. Dia membaca syahadat, kemudian berdiri menunaikan shalat dua
rakaat. Usaid berkata, “Bersamaku ada seorang laki-laki. Jika dia mengikuti
kalian, maka tidak seorang pun dari kaumnya yang akan menentangnya.
Sekarang aku akan mengajak Sa’ad bin Mu’adz menemui kalian berdua.”
Usaid mencabut tombak pendeknya dan
segera pergi menemui Sa’ad serta kaumnya. Ketika itu mereka sedang duduk-duduk
di tempat pertemuan, maka ketika Sa’ad bin Mu’adz melihatnya segera
menyambutnya dan berkata, “Aku bersumpah atas nama Allah. Sungguh
Usaid bin Hudhair telah datang pada kalian bukan dengan wajah seperti ketika
dia pergi dari kalian”.
Ketika Usaid telah duduk di hadapan
orang yang menyambutnya itu, Sa’ad bertanya kepadanya, “Apa yang telah
engkau lakukan?” Usaid menjawab, “Aku memang telah berbicara
kepada dua orang laki-laki itu. Demi Allah, aku tidak melihat rencana jahat
pada keduanya. Aku telah melarang keduanya, namun keduanya berkata, ‘Kami akan
melakukan apa yang engkau kehendaki.’ Aku juga telah menceritakan bahwa Bani
Haritsah keluar dari perkampungannya menemui As’ad bin Zurarah untuk
membunuhnya. Hal itu karena mereka mengetahui bahwa As’ad adalah putra bibimu.
Tujuannya agar mereka bisa melindungimu.”
|
Dakwah di Madinah
|
53
|
Sa’ad spontan berdiri penuh amarah. Dia khawatir
terhadap apa yang dikabarkan kepadanya tentang Bani Haritsah. Dia mengambil
tombak pendek yang berada di tangan Usaid, lalu berkata, “Demi Allah, aku melihatmu
sama sekali tidak berguna!”. Kemudian dia segera keluar dan menemui mereka
berdua. Tatkala Sa’ad melihat keduanya dalam keadaan tenang, dia menyadari
bahwa Usaid hanya menginginkan dia mendengar perkataan dua orang yang ada di
hadapannya. Dia berdiri tegak menghadap keduanya dengan wajah memendam
kemarahan dan berkata, “Wahai Abu Umamah!, seandainya antara
aku dan engkau tidak ada hubungan kerabat, tentu tombak ini sudah aku hunjamkan
ke dadamu. Engkau datang ke tempat kami dengan membawa apa yang kami benci.”
As’ad menoleh kepada Mush’ab seraya berkata, “Wahai
Mush’ab, telah datang kepadamu seorang tokoh. Demi Allah, di belakangnya ada
kaumnya. Jika dia mengikutimu, maka tidak seorang pun dari mereka yang akan
menentangmu.”
Mush’ab berkata kepadanya, “Lebih baik anda
duduk dan dengarkan. Jika anda suka dan menginginkannya maka anda bisa
menerimanya. Namun, jika anda membencinya, kami akan menjauhkan dari anda
segala hal yang anda benci.” Sa’ad berkata, “Boleh juga, aku terima.” Tombak
pendek di tangannya ditancapkan di tanah, lalu ia duduk. Lalu Mush’ab
menyampaikan Islam dan membacakan al-Quran kepadanya. Keduanya bergumam, “Demi
Allah, kami melihat Islam di wajahnya sebelum dia berbicara untuk
menerimanya dengan suka cita.” Sa’ad bertanya kepada keduanya, “Apa yang
kalian lakukan ketika kalian memeluk Islam dan masuk agama ini?” Keduanya
menjawab, “Mandi dan sucikan diri dan pakainmu, kemudian bacalah syahadat
dan shalat dua rakaat”
Sa’ad berdiri, lalu mandi dan menyucikan
pakaiannya, kemudian membaca syahadat dan shalat dua rakaat. Setelah itu ia
mencabut tombak pendeknya, dan segera menghampiri kaumnya. Dia berjalan dengan
tegap disertai oleh saudara sepupunya, Usaid bin Hudhair. Ketika kaumnya
melihat dia, mereka berkata, “Kami bersumpah dengan nama Allah,
sungguh Sa’ad telah kembali kepada kalian
14
Daulah
Islam
bukan dengan wajah seperti waktu dia pergi dari
kalian!”
Tatkal Sa’ad berdiri menghadap kaumnya,
dia berkata, “Wahai Bani ‘Abdul Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang
kedudukanku di tengah-tengah kalian?” Mereka menjawab serentak, “Engkau
adalah pemimpin kami dan yang paling cerdas di antara kami serta memiliki
pribadi paling baik”. Sa’ad kembali berkata, “Sesungguhnya ucapan kaum
laki-laki dan wanita kalian kapadaku adalah haram, hingga kalian semua beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Tidak berapa lama, keduanya (Usaid bin
Hudhair dan Sa’ad bin Muadz) berkata, “Demi Allah, tidak akan ada seorang
laki-laki maupun wanita, saat sore hari di pemukiman Bani ‘Abdul Asyhal,
kecuali dia akan jadi muslim dan muslimah”.
Mush’ab kembali ke rumah As’ad bin
Zurarah dan tinggal bersamanya. Dia tidak pernah berhenti mengajak orang-orang
kepada Islam, sehingga tidak satu pun rumah kaum Anshar kecuali di dalamnya
dihuni laki-laki dan wanita-wanita Muslim. Mush’ab tinggal di Madinah selama
setahun. Dia hidup di tengah-tengah Bani Aus dan Khazraj. Setiap waktu dia
mengajari mereka agama Islam; menyaksikan perkembangan penolong-penolong agama
Allah dan kalimat kebenaran yang tumbuh dengan pesat. Dia tidak bosan-bosannya
mengetuk pintu masyarakat agar dapat berhubungan dengan mereka dan menyampaikan
dakwah Allah kepada mereka. Dia mendatangi kebun-kebun untuk melakukan kontak dengan
para petani saat mereka bekerja dan mengajak mereka masuk Islam. Dia juga
menemui pemilik tanah dan mengajak mereka kepada agama Allah. Dia melakukan
gerakan yang terencana untuk meraih target, seperti halnya yang dia lakukan
bersama As’ad bin Zurarah dalam menggunakan berbagai sarana untuk berhubungan
dengan masyarakat, sehingga mampu menggiring mereka untuk mendengar suara
kebenaran.
Dengan demikian, dalam waktu satu
tahun, Mush’ab berhasil membalikkan pemikiran di Madinah dari penyembahan
berhala yang hina dan berbagai perasaan yang keliru menjadi wacana tauhid dan
keimanan, serta perasaan Islami. Keberhasilan itu menjadikan
|
Dakwah di Madinah
|
55
|
mereka
benci terhadap kekufuran dan menjauhkan diri dari praktek-praktek curang dalam
takaran dan timbangan. Demikianlah, keberhasilan Mush’ab dan orang-orang yang
memeluk Islam bersamanya dalam merubah Madinah dari suasana musyrik menjadi
Islami dalam tempo satu tahun.[]
16
Daulah
Islam
Baiat ‘Aqabah Kedua
Baiat ‘Aqabah pertama berhasil dengan baik dan
penuh berkah.
Orang yang masuk Islam jumlahnya memang
tidak banyak. Tetapi cukup bagi mereka bersama seorang sahabat Rasul, Mush’ab,
untuk mengubah kondisi Madinah, mejungkirbalikkan pemikiran kafir, dan
perasaan-perasaan yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Berbeda
halnya dengan yang terjadi di Makkah, meski jumlah mereka yang masuk Islam
cukup banyak, namun sebagian besar masyarakat memisahkan diri dari kaum Muslim,
karena mereka belum beriman. Masyarakat Makkah belum terpengaruh dengan
pemikiran dan perasaan Islam. Sebaliknya di Madinah, mayoritas masyarakatnya
telah masuk Islam. Mereka telah terpengaruh Islam, baik pemikiran maupun
perasaannya. Ini menunjukkan dengan gamblang bahwa keimanan individu-individu
yang terpisah dari masyarakat dan mayoritas anggota masyarakat, tidak akan
memberikan pengaruh terhadap masyarakat dan mayoritas anggotanya, sekuat apa
pun individu-individu tersebut. Interaksi-interaksi yang terjadi di antara
manusia apabila terpengaruh oleh pemikiran dan perasaan, pasti akan memunculkan
perubahan dan revolusi, sesedikit apa pun jumlah pengemban dakwahnya. Hal itu
menunjukkan bahwa bila masyarakat berada dalam kondisi jumud (beku)
dengan kekufuran, seperti masyarakat Makkah, maka jauh
|
Baiat ‘Aqabah Kedua
|
57
|
lebih
sulit diubah daripada masyarakat yang belum dikuasai oleh pemikiran-pemikiran
rusak, seperti masyarakat Madinah, walaupun di dalamnya terdapat
pemikiran-pemikiran tersebut. Karena itu, masyarakat Madinah lebih banyak
terpengaruh oleh Islam daripada masyarakat Makkah. Penduduk Madinah bisa
merasakan kesalahan pemikiran-pemikiran yang mereka emban dan mencoba membahas
pemikiran-pemikiran dan sistem-sistem lain bagi kehidupan mereka. Sementara
itu, penduduk Makkah justru lebih senang dengan kehidupan yang tengah mereka
jalani. Mereka berusaha keras untuk mempertahankan status quo, terutama para
pemuka kekufuran yang ada, seperti Abu Lahab, Abu Jahal, dan Abu Sufyan. Karena
itu, selama tinggal di Madinah dalam waktu yang singkat, dakwah Mush’ab
disambut dengan baik. Dia mengajak manusia kepada Islam dan membina mereka
dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam. Seketika dia merasakan
sambutan yang cepat dan menyaksikan masyarakat menerima Islam serta kesediaan
mereka untuk memahami hukum-hukum Islam dengan sangat mudah. Dia juga
menyaksikan semakin bertambahnya jumlah kaum Muslim dan pesatnya perkembangan
Islam di Madinah. Karena itu Mush’ab sangat gembira, dan semakin meningkatkan
upaya pemberdayaan melalui pengajaran dan penyebaran dakwah.
Ketika
datang musim haji, Mush’ab kembali ke Makkah dan menceritakan kepada Rasul
tentang kaum Muslim, kekuatan mereka, berita-berita Islam, dan perkembangan
penyebarannya. Dia juga menggambarkan masyarakat Madinah kepada Rasul, yaitu
tidak ada hal lain yang terwacanakan di tengah- tengah masyarakat kecuali
Islam. Kekuatan dan posisi kaum Muslim di sana memberikan pengaruh yang
melahirkan kemampuan Islam untuk mengalahkan segala hal. Pada tahun itu
sebagian kaum Muslim akan datang dan mereka adalah yang paling tinggi
keimanannya kepada Allah, siap mengemban risalah Allah, dan mempertahankan
agama-Nya. Nabi saw amat gembira mendengarkan kabar yang cukup banyak dari
Mush’ab, hingga beliau berpikir keras mengenai persoalan ini. Beliau
membandingkan antara masyarakat Makkah
(2)
Daulah
Islam
dan Madinah. Di Makkah, beliau telah
menghabiskan waktu selama 12 tahun berturut-turut untuk mengajak penduduk
Makkah kepada Allah, berusaha keras menyebarkan dakwah, tidak pernah
meninggalkan kesempatan sedikit pun kecuali mencurahkan segenap kemampuannya
untuk dakwah, dan menanggung semua jenis penganiayaan. Akan tetapi, masyarakat
tetap membatu dan dakwah tidak menemukan jalan apapun untuk menuju ke
sana. Hal itu karena hati penduduk Makkah sangat keras, jiwa mereka penuh
kebencian, dan akal mereka membeku bersama masa lalunya.
Hal ini berarti masyarakat Makkah keras
seperi batu dan potensi penerimaannya terhadap dakwah sangat lemah. Penyebabnya
adalah karena jiwa penduduknya telah dikuasai berhala kemusyrikan yang memang
Makkah merupakan pusatnya. Adapun masyarakat Madinah, seiring dengan perjalanan
Islam, beberapa orang dari Khazraj masuk Islam, kemudian terjadi bai’at 12
orang laki-laki, diikuti aktivitas Mush’ab bin ‘Umair selama setahun. Semua itu
sudah cukup untuk mewujudkan suasana Islami di Madinah dan masuknya banyak
orang ke dalam agama Allah dengan kecepatan yang menakjubkan.
Di Makkah risalah Allah berhenti hanya
sebatas pada orang-orang yang telah masuk Islam dan kaum Muslim banyak menemui
penganiayaan dan perlakukan kejam dari kafir Quraisy. Sedangkan di Madinah
risalah Allah ini justru berkembang dengan cepat. Kaum Muslim di Madinah tidak
menemui penganiayaan sedikit pun, baik dari kaum Yahudi maupun orang-orang
musyrik. Keadaan ini menjadikan Islam mantap dalam jiwa dan membuka jalan di
hadapan kaum Muslim. Karena itu, jelas sudah bagi Rasulullah saw bahwa Madinah
jauh lebih layak daripada Makkah untuk pengembangan dakwah Islam. Masyarakat
Madinah lebih berpotensi sebagai tempat terpancarnya cahaya Islam daripada
Makkah. Berdasarkan hal ini, beliau berpikir keras untuk berhijrah ke Madinah
beserta para sahabatnya menemui saudara-saudara mereka sesama kaum Muslim,
sehingga mereka memperoleh keamanan di sisi saudara-saudaranya tersebut dan
selamat dari penganiayaan kafir Quraisy.
|
Baiat ‘Aqabah Kedua
|
59
|
Mereka
dapat leluasa mengembangkan dakwah dan melanjutkan tahapan dakwah kepada
tahapan praktis, yaitu penerapan Islam dan mengemban risalahnya dengan kekuatan
negara dan penguasanya. Inilah satu- satunya yang menjadi penyebab hijrah ke
Madinah, bukan yang lain.
Harus diingat bahwa Rasul saw tidak pernah
berpikir untuk hijrah dari Makkah hanya karena beliau menemukan banyak
kesulitan di hadapan dakwah tanpa mampu bersabar, atau tidak berupaya untuk
menanggulangi hambatan-hambatan tersebut. Sesungguhnya beliau saw telah
bersabar selama 10 tahun di Makkah. Selama itu beliau tidak pernah merubah
pikirannya dari dakwah. Beliau dan para pengikutnya memang mengalami berbagai
teror dalam aktivitas dakwahnya, namun kejahatan-kejahatan kafir Quraisy tidak
pernah bisa melemahkan dirinya sedikit pun. Perlawanan mereka tidak menyurutkan
tekad beliau dalam berdakwah. Bahkan, keimanan beliau semakin bertambah pada
dakwah, yang datang dari Tuhannya. Keyakinannya terhadap pertolongan Allah
semakin kokoh dan kuat. Akan tetapi, beliau saw menyimpulkan bahwa setelah
mencoba berbagai langkah untuk merubah keadaan masyarakat Makkah, ternyata
mereka berpikiran dangkal, berhati bebal, dan berkubang dalam kesesatan, yang
seluruhnya dapat melemahkan cita-cita dakwah dalam dirinya, sehingga
melanjutkan langkah-langkah tersebut dalam dakwahnya akan menjadi upaya yang
sia-sia. Karena itu, beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi
masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat lainnya. Lalu beliau berpikir
tentang kemungkinan hijrah dari Makkah. Pikiran inilah yang membawa beliau
untuk hijrah ke Madinah, bukan karena beliau dan para sahabatnya sering
mendapatkan siksaan.
Memang benar, Rasul saw pernah memerintahkan
para sahabatnya hijrah ke Habsyi untuk menjauhi siksaan kafir Quraisy, karena
boleh bagi kaum Muslim melakukan hijrah dari wilayah yang penuh dengan fitnah
untuk menyelamatkan agama mereka. Meskipun sesungguhnya berbagai penganiayaan
itu justru akan menyucikan iman. Berbagai tekanan dalam dakwah
18
Daulah
Islam
juga akan mengobarkan keikhlasan dan berbagai
perlawanan akan menajamkan tekad. Keimanan akan membawa pemiliknya bersikap
menghinakan segala hal dan memunculkan kesediaan berkorban di jalan-Nya dengan
harta, kehormatan, waktu, dan jiwa. Memang benar, bahwa iman kepada Allah akan
menjadikan seorang Mukmin mampu mengorbankan dirinya dalam menghadapi ancaman
bahaya di jalan Allah. Akan tetapi penganiayaan yang terus-menerus dan
pengorbanan yang tidak henti-hentinya, akan menjadikan seorang Mukmin lebih
menyibukkan diri dengan kesabaran menahan cobaan. Juga akan memusatkan
perhatian terhadap bermacam-macam pengorbanan tersebut, daripada berpikir
cermat yang akan meningkatkan cakrawala pandangnya, sekaligus kesadarannya
kepada kebenaran yang semakin kuat dan dalam. Dengan demikian, kaum Mukmin
harus hijrah dari wilayah-wilayah yang penuh dengan fitnah tersebut. Hanya
saja, konsep hijrah seperti itu hanya dapat diterapkan pada peristiwa hijrah
kaum Muslim ke Habsyi.
Adapun hijrah ke Madinah dilakukan agar
memungkinkan mereka mampu perpindahan dari risalahnya ke dalam suatu keadaan
yang menjadikan risalah itu hidup di tengah-tengah masyarakat yang baru,
sekaligus menyebar luas di seluruh permukaan bumi demi meninggikan kalimat
Allah. Dari sini Rasul saw berpikir untuk memerintahkan para sahabatnya hijrah
ke Madinah, setelah masuk dan tersebarnya Islam di sana. Sebelum beliau
memerintahkan mereka hijrah ke Yatsrib (Madinah) dan memutuskan untuk hijrah ke
sana, beliau harus lebih dahulu melihat jamaah haji dari Madinah; melihat
kondisi kaum Muslim yang datang untuk berhaji; memperhatikan sejauh mana
kesiapan mereka untuk melindungi dakwah; menyaksikan sejauh mana kesiapan
mereka berkorban di jalan Islam; dan melihat apakah kedatangan mereka ke Makkah
siap untuk membai’at beliau dengan bai’at perang, yaitu bai’at yang akan
menjadi batu pijakan untuk mendirikan Negara Islam. Beliau menunggu kedatangan
rombongan haji tersebut dan itu terjadi pada tahun ke-12 sejak beliau diutus,
yang bertepatan dengan tahun 622 M.
|
Baiat ‘Aqabah Kedua
|
61
|
Akhirnya rombongan haji itu benar-benar datang
ke Makkah dengan jumlah yang cukup banyak. Mereka terdiri dari 75 orang kaum
Muslim, yaitu 73 laki-laki dan dua orang wanita. Kedua orang wanita itu adalah
Nasibah binti Ka’ab Ummi ‘Imarah salah seorang wanita dari Bani Mazin bin
an-Najjar, dan Asma’ binti ‘Amru bin ‘Adiy salah seorang wanita dari Bani
Salamah yang tidak lain adalah Ummu Mani’. Rasul saw menemui mereka secara
rahasia dan membicarakan tentang bai’at yang kedua. Pembicaraannya tidak
sebatas masalah dakwah dan kesabaran dalam menghadapi semua kesengsaraan saja,
tapi juga mencakup tentang kekuatan yang akan mampu mempertahankan kaum Muslim.
Bahkan lebih jauh dari itu, yaitu mewujudkan cikal bakal yang akan menjadi
pondasi dan pilar pertama dalam mendirikan Negara Islam. Sebuah negara yang
akan menerapkan Islam di dalam masyarakat, mengembannya sebagai risalah universal
ke seluruh umat manusia dengan membawa serta kekuatan yang akan menjaganya dan
menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi di jalan penyebaran dan
penerapannya.
Beliau membicarakan hal itu kepada mereka dan
akhirnya mengetahui kesiapan mereka yang baik, lalu membuat janji dengan mereka
agar menemuinya di Aqabah pada tengah malam saat pertengahan hari-hari tasyriq.
Beliau berpesan kepada mereka, “Janganlah kalian membangunkan seorang pun
yang sedang tidur dan jangan pula kalian menunggu orang yang tidak ada!”
Pada hari yang telah dijanjikan dan setelah
sepertiga awal dari malam telah berlalu, mereka keluar dari penginapannya
dengan mengendap-endap dan sembunyi-sembunyi, karena khawatir persoalan mereka
terbongkar. Mereka pergi ke Aqabah dan mendakinya secara bersama-sama termasuk
dua orang wanita yang menyertai mereka. Kemudian mereka menunggu kedatangan
Rasul saw, maka dalam waktu yang tidak lama beliau beserta pamannya, ‘Abbas
(yang belum masuk Islam saat itu) datang menemui mereka. ‘Abbas datang hanya
untuk mengawasi dan menjaga keselamatan keponakannya. Dialah orang pertama yang
berbicara dengan
(14)
Daulah
Islam
ucapan, “Wahai kaum Khazraj, sebagaimana yang
kalian ketahui, sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami. Kami
telah menjaganya dari ancaman kaum kami yang juga memiliki kesamaan pandangan
dengan kami tentang dirinya. Dia dimuliakan kaumnya dan disegani di negerinya.
Akan tetapi semuanya dia tolak, kecuali untuk pergi mendatangi kalian dan
bergabung dengan kalian. Jika kalian menganggap diri kalian dapat memenuhi
segala hal yang dia dakwahkan, maka penuhilah itu dengan sempurna dan jagalah
dia dari siapa pun yang menyalahinya. Maka itu semua menjadi tanggung jawab
kalian. Jika kalian melihat diri kalian akan melalaikan dan menelantarkannya
setelah kalian keluar bersamanya menunju tempat kalian, maka mulai saat ini
tinggalkan dia.” Mendengar pernyataan ‘Abbas tersebut, maka mereka
berkata, “Kami mendengar apa yang telah engkau katakan.” Lalu
mereka berpaling kepada Rasul saw, “Bicaralah, wahai Rasul, maka ambillah
apa yang engkau sukai untuk dirimu dan Tuhanmu”. Setelah membaca
al-Quran dan mengharapkan mereka masuk ke dalam Islam, Rasul saw menjawab, “Aku
bai’at kalian agar kalian melindungiku seperti kalian melindungi
istri-istri dan anak-anak kalian.” Lalu al-Barra’ mengulurkan tangannya
untuk membai’at beliau seraya berkata, “Kami membai’atmu, wahai Rasulullah.
Demi Allah, kami adalah generasi perang dan pemilik medannya. Kami
mewarisinya dengan penuh kebanggaan”. Namun, belum selesai ia mengucapkan
pernyataannya, al-Barra’ sudah disela oleh Abu al-Haitsam bin at-Tiihan
dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, di antara kami dan orang-orang
Yahudi ada ikatan perjanjian. Kami berniat memutuskannya. Jika kami melakukan
hal itu, kemudian Allah memenangkanmu, apakah engkau akan kembali kepada kaummu
dan meninggalkan kami?” Rasul saw tersenyum dan berkata, “Bahkan,
darah akan dibalas dengan darah, pukulan dibalas dengan pukulan!
Sesungguhnya aku adalah bagian dari kalian, dan kalian adalah bagian dari
diriku. Aku akan memerangi siapa pun yang kalian perangi dan aku berdamai
dengan siapa pun yang kalian berdamai dengannya.”
Orang-orang Madinah itu pun sangat
bersemangat untuk memberikan bai’at. Namun, ‘Abbas bin ‘Ubadah segera berdiri
dan berkata, “Wahai kaum Khazraj, apakah kalian menyadari makna
|
Baiat ‘Aqabah Kedua
|
63
|
membai’at
laki-laki ini? Sesungguhnya kalian membai’atnya untuk memerangi manusia baik
yang berkulit putih maupun hitam. Jika kalian menyaksikan harta benda kalian
habis diterjang musibah, dan tokoh-tokoh kalian mati terbunuh, apakah kalian
akan menelantarkannya? Maka mulai sekarang, demi Allah, jika kalian
melakukannya itu adalah kehinaan dunia dan akhirat. Namun, jika kalian melihat
bahwa diri kalian akan memenuhinya dengan segala hal yang telah kalian janjikan
kepadanya walau harus kehilangan harta dan terbunuhnya para pemuka, maka
ambillah dia, dan demi Allah hal itu merupakan kebaikan dunia dan akhirat!” Kaum Khazraj
pun menjawab, “Sesungguhnya kami akan mengambilnya meski dengan
resiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya para pemuka.” Kemudian mereka
berkata, “Wahai Rasulullah, apa bagian kami bila kami memenuhi hal
itu?”. Rasul menjawab dengan tenang dengan ucapan, “Surga”.
Seketika itu juga mereka beramai-ramai
mengulurkan tangannya masing-masing lalu menggengam tangan beliau dan
membai’atnya dengan kata-kata, “Kami membai’at Rasulullah saw untuk
mendengar dan mentaati dalam keadaan sukar, mudah, senang, benci, maupun
musibah tengah menimpa kami. Kami tidak akan merampas (kekuasaan) dari
pemiliknya serta akan mengucapkan kebenaran di mana pun kami berada. Kami juga
tidak akan takut di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang suka mencela.”
Tatkala mereka selesai, Nabi saw berkata, “Ajukanlah kepadaku
dari kalian 12 orang wakil yang akan bertanggung jawab terhadap kaumnya
dalam segala urusan mereka!” Mereka memilih sembilan orang dari Khazraj dan
tiga orang dari Aus, lalu Nabi berkata kepada para wakil tersebut, “Kalian
bertanggung jawab atas kaum kalian dalam segala urusan mereka, seperti
Hawariyyun melindungi Isya bin Maryam, dan aku adalah penanggung jawab kaumku”.
Mereka menjawab, “Ya”.
Setelah itu mereka kembali ke perkemahan mereka,
mengemasi barang-barangnya, lalu pulang ke Madinah. Tidak lama berselang, Rasul
saw memerintahkan kaum Muslim hijrah ke Madinah dan mereka berangkat secara
terpisah-pisah. Kaum Muslim memulai hijrah mereka orang per orang atau dalam
kelompok kecil. Sementara itu, kaum Quraisy akhirnya mengetahui
20
Daulah
Islam
bai’at tersebut dan berusaha mengembalikan siapa
saja yang dapat mereka kembalikan ke Makkah. Mereka berusaha menghalangi antara
kaum Muslimin dan hijrah layaknya menghalangi seorang suami dari istrinya.
Meskipun demikian, teror- teror semacam
itu tidak mempengaruhi kelangsungan hijrah. Bahkan gelombang hijrah kaum Muslim
ke Madinah datang susul-menyusul. Sedangkan Rasul saw sendiri masih tinggal di
Makkah. Tidak seorang pun bisa memastikan apakah Muhammad akan hijrah ke
Madinah atau akan tetap di Makkah? Namun yang nampak memang beliau menginginkan
hijrah ke Madinah. Abu Bakar pernah mencoba meminta izin kepadanya untuk turut
berhijrah ke Madinah, namun beliau menjawab, “Janganlah kau terburu-buru!,
semoga Allah menjadikan bagimu seorang teman.” Dengan demikian Abu
Bakar mengetahui bahwa beliau akan juga hijrah.
Sementara itu kafir Quraisy berhitung
seribu kali tentang kemungkinan hijrahnya Nabi saw ke Madinah, setelah jumlah
kaum Muslim di sana semakin banyak yang menjadikan memungkinkan mereka memiliki
kekuatan yang luar biasa di Madinah. Hal itu pun menjadikan mereka beserta
orang-orang yang hijrah dari Makkah membentuk kekuatan yang sangat dahsyat.
Jika kemudian Nabi bergabung dengan mereka dalam keadaan mereka kuat seperti
itu, maka keadaan tersebut akan menjadi kecelakaan besar dan kehancuran bagi
kafir Quraisy. Atas perhitungan itu, maka kafir Quraisy berpikir keras untuk menemukan
cara mencegah Rasul saw hijrah ke Madinah. Tetapi dalam waktu yang bersamaan,
mereka juga khawatir jika Muhammad tetap di Makkah. Hal ini akan menghadapkan
diri mereka kepada perlawanan kaum Muslim di Madinah saat bangunan mereka
semakin kokoh, setelah memiliki kekuatan; lalu mereka bersama-sama datang ke
Makkah untuk mempertahankan Rasulullah saw yang telah diimaninya. Karena itu,
kafir Quraisy berpikir untuk membunuh Muhammad agar tidak sempat menyusul kaum
Muslim di Madinah, dan supaya di sana tidak ada suatu perkara yang menyebabkan
konflik antara mereka
|
Baiat ‘Aqabah Kedua
|
65
|
dengan
penduduk Madinah, demi Islam dan demi Muhammad saw.
Berbagai buku sirah telah menyatakan bahwa telah
disampaikan hadits ‘Aisyah ra. dan Abu Umamah bin Sahm, “Ketika muncul
70 orang dari sisi beliau saw, maka jiwanya menjadi lapang. Allah telah
menjadikan baginya dukungan dan keberanian dari penduduk ahli perang”. Teror
dan siksaan kaum musyrik kepada kaum Muslim yang menyatakan diri untuk
hijrah makin bertambah berat dan keras. Mereka mempersempit ruang gerak para
sahabat Nabi dan menguntitnya kemana pun mereka pergi. Kaum Muslim memperoleh
siksaan dalam bentuk yang belum pernah mereka peroleh sebelumnya, baik berupa
celaan maupun penganiayaan. Mereka mengadu kepada Nabi saw. Lalu beliau
menjawab, “Telah ditunjukkan kepadaku tempat hijrah kalian dengan
jelas.” Kemudian beliau masih tinggal di Makkah beberapa hari, lalu
keluar menemui para sahabat dengan gembira sambil berkata, “Telah dikabarkan
kepadaku tentang tempat hijrah kalian yaitu Yatsrib, Karena itu siapa saja
di antara kalian yang ingin pergi ke sana maka pergilah ke sana”.
Mereka bersiap-siap untuk hijrah. Mereka saling
menjalin kekerabatan dan persahabatan, saling berwasiat, kemudian berangkat
hijrah dengan sembunyi-sembunyi. Mereka berangkat dengan cara berpencar dan
berkelompok-kelompok yang saling terpisah. Sementara beliau saw masih tinggal
di Makkah menanti izin baginya untuk hijrah. Sahabat karibnya adalah yang
paling sering meminta izin kepada Rasulullah saw untuk hijrah ke Madinah,
setelah kaum Muslim semakin banyak yang hijrah ke sana. Maka beliau berkata, “Janganlah
kau terburu-buru!, semoga Allah menjadikan bagimu seorang teman.” Abu
Bakar sangat berharap bahwa orang yang dimaksud adalah beliau.
Tatkala kafir Quraisy menyaksikan hijrahnya para
sahabat Muhammad, dan mereka mengetahui bahwa Muhammad sedang menghimpun
kekuatan untuk memerangi mereka, maka mereka segera mengadakan pertemuan di Daar
an-Nadwah untuk memusyawarahkan apa yang akan mereka lakukan terhadap
22
Daulah
Islam
urusan Muhammad saw. Mereka sepakat untuk
membunuhnya dan berpencar untuk melaksanakan keputusan itu. Tidak berapa lama,
Jibril datang menemui Nabi dan memerintahkan beliau agar malam itu tidak tidur
di rumahnya sendiri. Jibril memberitahukan Rasul tentang rencana jahat kaum
Quraisy. Pada malam itu, beliau tidak tidur di rumahnya dan Allah mengizinkan
baginya hijrah ke Madinah.
Berdasarkan hal ini, keberadaan
kekuatan Islam yang ada di Madinah dan kesiapan Madinah untuk menerima Rasul
saw, serta pendirian Negara Islam di sana, merupakan perkara yang mendorong
Rasul saw untuk hijrah. Ini adalah penyebab langsung hijrahnya Rasul. Dengan
demikian, amat keliru bila ada yang menduga bahwa Muhammad saw hijrah dari
Makkah karena khawatir dengan ancaman orang-orang kafir Quraisy yang hendak
membunuhnya dan melarikan diri dari hal itu. Dalam aktivitas dakwah, beliau saw
tidak pernah memperhitungkan masalah penderitaan sedikit pun. Kematian bukan
menjadi pertimbangan beliau di jalan dakwah kepada Islam. Beliau pun tidak
pernah menyibukkan dirinya demi keselamatan jiwa dan kehidupannya. Karena itu,
hijrah belilau ke Madinah semata-mata karena dakwah Islam dan untuk mendirikan
Negara Islam. Sedangkan pertemuan kafir Quraisy yang menghasilkan
keputusan untuk membunuh Muhammad, semata-mata karena didasari rasa takut akan
hijrahnya Rasul ke Madinah dan keberhasilannya memperkokoh dakwah di sana.
Kenyataannya, memang beliau saw berhasil mengalahkan mereka dan hijrah ke
Madinah walaupun mereka menghalanginya. Mereka sama sekali tidak mampu
mencegahnya walau sudah bersepakat membunuh beliau.
Dengan demikian, hijrah merupakan
pembatas dalam Islam yang memisahkan antara tahapan-tahapan dakwah dengan upaya
mewujudkan masyarakat dan negara yang memerintah dengan Islam, menerapkannya,
dan mendakwahkannya dengan hujjah, bukti, dan dengan kekuatan yang melindungi
dakwah ini dari kekuatan jahat dan kekufuran.[]
|
Mendirikan Daulah Islam
|
67
|
Mendirikan
Daulah Islam
Nabi saw tiba di
Madinah. Sejumlah sahabat dari penduduk Madinah, kaum Muslim, bahkan orang-orang Musyrik
dan kaum Yahudi menyambut kedatangannya. Seluruh kaum Muslim berkumpul
mengelilingi beliau. Mereka semua sangat antusias dan ingin menyambut
kedatangan beliau. Kaum Muslim sangat senang dalam memberikan pelayanan dan
penghormatan kepadanya. Mereka siap mempersembahkan jiwa mereka di jalan yang
beliau
tempuh
dan agama yang datang bersamanya.
Setiap sahabat menginginkan Nabi saw tinggal di
rumahnya. Beliau menanggapi hal itu dengan melepaskan tali kekang untanya dan
membiarkannya mencari tempat berhenti. Akhirnya unta itu berhenti di tempat
unta milik Sahal dan Suhail, dua anak yatim putra ‘Amru. Beliau kemudian
membeli tanah itu dan di atasnya didirikan masjid dan di sekitarnya dibangun
bilik-bilik rumah beliau. Beliau membangun masjid dan rumah tanpa menyakiti
orang. Bentuknya sangat sederhana, tidak membutuhkan biaya yang banyak, dan
tidak memerlukan kerja besar. Masjidnya berupa halaman luas yang empat sisi
temboknya dibangun dari batu merah dan tanah liat. Sebagian atapnya dari
pelepah kurma dan sebagian yang lain dibiarkan terbuka. Salah satu pojok
serambinya dikhususkan untuk tempat bermukimnya kaum fakir yang tidak memiliki
tempat tinggal. Di
24
Daulah
Islam
waktu malam, masjidnya tidak diberi cahaya lampu
kecuali pada waktu shalat ‘isya. Penerangannya diambil dari jerami yang dibakar
di tengah-tengah masjid. Tempat tinggal Nabi saw juga tidak lebih baik dari
masjid yang dibangunnya, kecuali penerangannya yang lebih banyak. Di
tengah-tengah penyelesaian pembangunan masjid dan bilik-bilik rumahnya, beliau
saw tinggal di rumah Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshariy hingga
pembangunannya selesai. Kemudian beliau saw pindah ke tempat tinggalnya yang
baru dan menetap di sana. Di tempat tersebut beliau memikirkan kehidupan baru
yang baru saja beliau mulai, yang telah mengalihkan dirinya serta dakwahnya
dalam sebuah langkah besar dari satu tahapan ke tahapan lainnya. Dakwahnya
beralih dari tahap pembinaan dan interaksi ke tahap penerapan hukum Islam
kepada masyarakat, yang mengatur berbagai hubungan yang ada di dalamnya.
Langkah itu pun telah memindahkan dari tahapan dakwah yang semata-mata menuntut
kesabaran dalam menghadapi penderitaan menuju tahap pemerintahan, kekuasaan,
dan kekuatan yang dapat melindungi dakwah tersebut.
Sejak tiba di Madinah, Rasul saw memerintahkan
para sahabat membangun masjid sebagai tempat shalat, berkumpul, bermusyawarah,
dan mengatur berbagai urusan kaum Muslim sekaligus memutuskan perkara yang ada
di antara mereka. Beliau menjadikan Abu Bakar dan Umar sebagai dua orang
pembantunya. Beliau saw bersabda, “Dua (orang) pembantuku di bumi adalah Abu
Bakar dan Umar.” Kaum Muslim senantiasa berkumpul di sekitar beliau
dan merujuk semua persoalan kepada beliau.
Dengan demikian, beliau berkedudukan
sebagai kepala negara, qadli dan panglima militer. Beliau saw memelihara
berbagai urusan kaum Muslim dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan di
antara mereka. Di samping itu, beliau mengangkat beberapa komandan ekspedisi
dan mengirimkannya ke luar Madinah. Jadi, sejak tiba di Madinah, beliau telah
mendirikan Daulah Islam. Negara tersebut dijadikan pusat pembangunan
masyarakat yang berdiri di atas pondasi yang kokoh dan pusat persiapan kekuatan
|
Mendirikan Daulah Islam
|
69
|
yang
cukup untuk melindungi negara dan menyebarkan dakwah. Setelah seluruh persoalan
stabil dan terkontrol, beliau mulai menghilangkan rintangan-rintangan fisik
yang menghadang di tengah jalan penyebaran Islam.[]
26
Daulah
Islam
Membangun
Masyarakat
Allah
menciptakan gharizah
baqa’ (naluri untuk
mempertahankan diri)
dalam diri manusia. Di antara penampakannya adalah kecenderungan manusia untuk
berkumpul dengan sesamanya. Kecenderungan ini merupakan hal yang alami dan
bersifat naluriah. Hanya saja, kumpulan manusia itu tidak otomatis menjadikan
mereka sebuah masyarakat, melainkan sekadar kumpulan orang saja. Mereka tetap
dianggap sebagai kumpulan saja apabila aktivitasnya sebatas berkumpul. Jika di
antara mereka terjadi interaksi untuk merealisir kemaslahatan dan menolak
kerusakannya, maka interaksi yang timbul dari kelompok ini akan membentuk
sebuah masyarakat. Namun, interaksi ini tidak akan menjadikan mereka sebuah
masyarakat, kecuali jika pandangan mereka tentang interaksi tersebut disatukan
oleh kesatuan pemikiran. Pandangan tersebut juga harus menyatukan keridhaan dan
kemarahan mereka dengan kesatuan perasaan. Juga harus menyatukan cara-cara
pemecahan masalah mereka dalam berinteraksi, dengan kesatuan sistem yang
akan memecahkan masalah tersebut.
Dengan demikian, tatkala menyoroti
sebuah masyarakat, harus mengarah pada unsur-unsur pemikiran, perasaan, dan
sistem (aturan). Sebab, unsur-unsur itulah yang akan membentuk masyarakat yang
khas dan memiliki corak tertentu. Berdasarkan
|
Membangun Masyarakat
|
71
|
hal
ini, kami mengkaji masyarakat yang tumbuh di Madinah, pada saat Rasul saw tiba
di sana, agar kami mengetahui seperti apa eksistensinya.
Pada waktu itu, Madinah dihuni oleh tiga
kelompok besar. Pertama, kelompok Muslim dari kalangan Muhajirin dan
Anshar, mereka adalah mayoritas penduduk Madinah. Kedua, kelompok
Musyrik yang terdiri dari Bani Aus dan Khazraj yang belum memeluk Islam, dan
jumlah mereka sedikit di antara kaumnya. Ketiga, kelompok Yahudi yang
terbagi dalam empat golongan. Satu bermukim di dalam kota Madinah dan
tiga golongan lainnya di luar kota Madinah. Yahudi yang tinggal di dalam kota
adalah Bani Qainuqa’, sedangkan yang tinggal di luar kota adalah Bani Nadhir,
Yahudi Khaibar, dan Bani Quraizhah.
Orang-orang Yahudi sebelum kedatangan Islam
merupakan kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat di Madinah.
Pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan berbagai solusi yang mereka gunakan
untuk menyelesaikan persoalannya juga berbeda dari yang lainnya. Karena itu,
masyarakat Yahudi tidak bisa dianggap sebagai bagian dari masyarakat Madinah,
meskipun mereka tinggal di dalam kota Madinah dan dekat dengan masyarakat di
sana.
Sedangkan orang- orang Musyrik, jumlah mereka
sedikit. Suasana keislaman yang menyelimuti Madinah telah menutupi eksistensi
mereka. Dengan demikian, ketundukkan mereka terhadap pemikiran, perasaan, dan
sistem peraturan Islam dalam berinteraksi menjadi sebuah keniscayaan, walaupun
mereka tidak memeluk Islam.
Sementara kaum Muhajirin dan Anshar sendiri
telah disatukan oleh akidah Islam, dan Islam pun telah mengikat (persatuan) di
antara mereka. Karena itu, pemikiran dan perasaan mereka satu, sehingga
pengatur hubungan di antara mereka dengan menggunakan Islam sudah menjadi
kepastian. Maka dari itu, Rasul saw mulai membangun interaksi di antara mereka
atas dasar akidah Islam, dan mengajak mereka untuk menjalin persaudaraan karena
Allah, yaitu bentuk persaudaraan yang memiliki pengaruh kuat,
28
Daulah
Islam
menyentuh aspek mu’amalah, harta, dan
seluruh urusan mereka. Beliau mempersaudarakan antar kaum Muslimin. Beliau
memper-saudarakan dirinya dengan ‘Ali bin Abi Thalib. Demikian juga pamannya,
Hamzah beserta Zaid (maula beliau) dipersaudarakan olehnya. Menyatukan Abu
Bakar dengan Kharijah bin Zaid sebagai saudara. Beliau juga mempersaudarakan
kaum Muhajirin dan Anshar. ‘Umar bin al-Khaththab dengan ‘Atban bin Malik
al-Khazrajiy. Thalhah bin ‘Ubaidillah dengan Abu Ayyub al-Anshariy. Abdurrahman
bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Persaudaraan semacam ini mempunyai pengaruh
kuat dalam aspek materi. Orang-orang Anshar sangat dermawan kepada
saudara-saudara mereka dari Muhajirin, sehinggga menambah kuat dan eratnya
hubungan persaudaraan. Mereka memberikan harta dan pendapatannya serta bersama-sama
dalam memenuhi kebutuhan dunia. Para saudagar dan petani sama-sama
menyumbangkan keahliannya masing-masing kepada mereka. Adapun para saudagar
mengajak mereka untuk menyibukkan diri dalam perdangangan. Abdurrahman bin Auf
memulai usahanya dengan menjual mentega dan keju. Demikian juga banyak sahabat,
selain Abdurrahman, melakukan hal yang sama dan sangat berperan dalam perdangan
mereka, yaitu mereka menjadi pengendali dalam urusan perdagangan. Para sahabat
yang tidak memiliki kesibukan dagang seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali bin Abi
Thalib dan yang lainnya, menggarap lahan petanian di kebun-kebun pemberian kaum
Anshar. Rasul saw bersabda: “Barang siapa yang memiliki tanah, maka
tanamilah atau berikan kepada saudaranya.” Mereka semua bekerja
untuk memperoleh kekuatan mereka masing-masing.
Ada juga sekelompok kecil masyarakat
yang tidak memiliki harta sama sekali dan tidak memiliki pekerjaan. Mereka
tidak mempunyai tempat tinggal. Hidup dalam kemiskinan dan butuh perawatan.
Mereka ini bukan dari golongan Muhajirin, juga bukan dari Anshar. Mereka adalah
orang-orang Arab yang datang ke Madinah dan memeluk Islam. Rasul saw
memperhatikan nasib mereka dan menyediakan tempat khusus bagi mereka di serambi
|
Membangun Masyarakat
|
73
|
Masjid.
Mereka tinggal dan berlindung di tempat itu. Karena itu, mereka dinamakan Ahlu
Shuffah (penghuni serambi). Nafkah mereka diambil dari harta kaum Muslim,
baik dari orang Muhajirin ataupun Anshar yang memiliki kelebihan harta.
Dengan demikian, Rasul saw berhasil
menyelesaikan peleburan dan penyatuan seluruh kaum Muslim hingga kondisinya
stabil dan kokoh. Beliau juga berhasil menyolidkan interaksi di antara mereka
atas dasar pondasi yang sangat kuat. Berarti, Rasul saw berhasil membangun
masyarakat di Madinah di atas landasan yang kokoh, serta dalam kondisi siaga
menghadapi kaum kafir. Mereka memiliki pegangan yang sangat kuat dalam
menghadapi berbagai provokasi samar dan kelicikan yang tersembunyi dari kaum
Yahudi dan Munafik. Mereka berdiri kokoh di bawah payung kesatuan Islam. Rasul
saw merasa tenang melihat wujud masyarakat dan kesatuannya.
Kaum Musyrik sendiri tunduk pada sistem hukum
Islam. Keberadaan mereka berangsur-angsur lenyap. Mereka tidak memiliki
pengaruh dalam pembentukan masyarakat.
Sedangkan orang-orang Yahudi, sebelum kehadiran
Islam, mereka merupakan masyarakat yang memiliki bentuk tersendiri. Setelah
Islam datang, gambaran dan pola hubungan antara masyarakat Yahudi dan Islam
semakin tampak perbedaannya. Di antara dua golongan ini terdapat perbedaan yang
sangat jauh. Karena itu, harus dibuat aturan yang mengatur hubungan mereka
dengan kaum Muslim, berdasarkan asas tertentu. Maka, Rasul saw pun menetapkan
posisi kaum Muslim terhadap mereka dan menetapkan bagi mereka aturan yang harus
mendasari interaksi mereka dengan kaum Muslim. Rasul saw kemudian membuat
perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar. Di dalamnya disebutkan juga kaum
Yahudi dan syarat-syarat yang harus mereka penuhi. Perjanjian itu merupakan
satu manhaj yang mengatur interaksi antara kabilah-kabilah Yahudi dan
kaum Muslim, setelah sebelumnya ditetapkan aturan main yang mendasari ineraksi
di antara kaum Muslim sendiri dan siapa saja yang mengikuti mereka. Teks
perjanjian itu
30
Daulah
Islam
diawali dengan sabda Rasul: “Bismillaahir-rahmaanirrahiim.
Ini adalah perjanjian dari Muhammad Nabi saw antara kaum Mukmin yang
Muslim dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta orang-orang yang mengikuti
mereka. Mereka satu dengan lainnya telah bergabung dan berjuang bersama-sama.
Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yang berbeda dengan seluruh umat
manusia lainnya.”
Perjanjian itu menyebutkan apa yang
harus dilakukan di antara sesama kaum Mukmin. Hubungan kaum Yahudi dengan kaum
Mukmin diletakkan di bagian tengah teks perjanjian. Selanjutnya Rasul saw
bersabda, “Orang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin demi
(membela) orang kafir, juga tidak boleh menolong orang kafir untuk menghadapi
orang Mukmin. Sesungguhnya jaminan Allah adalah satu. Dia melindungi orang-orang
yang lemah (atas orang-orang yang kuat). Kaum Mukmin, sebagian mereka adalah
penolong sebagian yang lain. Orang yang mengikuti kami dari kalangan Yahudi,
akan mendapatkan pertolongan dan keteladanan. Mereka tidak dianiaya dan tidak
saling menolong di antara mereka. Sesungguhnya keselamatan kaum Mukmin adalah
satu. Orang Mukmin tidak saling menyerahkan (urusannya) kepada selain Mukmin
dalam perang di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara
mereka.”
Yang dimaksud dengan kaum Yahudi di sini, bukan
kabilah-kabilah Yahudi yang hidup bertetangga, tetapi mencakup setiap orang
yang ingin menjadi warga negara Daulah Islam. Mereka berhak memperoleh
perlindungan dan hak yang sama dalam mu’amalah bersama- sama kaum
Muslim. Sebab, saat itu mereka adalah ahlu dzimmah.
Kabilah-kabilah Yahudi sendiri, yang tercakup dalam perjanjian, disebutkan
nama-nama kabilah mereka di bagian akhir dari perjanjian tersebut, yaitu
setelah tuntasnya pengaturan interaksi antar kaum Mukmin. Perjanjian itu
menyebutkan Yahudi Bani ‘Auf, Yahudi Bani Najjar, dan seterusnya. Perjanjian
tersebut juga mengatur hubungan mereka dengan Daulah Islam disertai
syarat-syarat tertentu. Dalam teks perjanjian ditunjukkan dengan jelas hubungan
antara kaum Yahudi dengan kaum Muslim atas dasar berhukum kepada Islam. Juga
berlandaskan ketundukan
|
Membangun Masyarakat
|
75
|
kaum Yahudi pada kekuasaan Islam, serta
ketundukan mereka untuk bekerja sama demi kemaslahatan Daulah Islam.
Dalam teks perjanjian tersebut ada beberapa
point yang menunujukkan hal tersebut, di antaranya:
32
Bahwa kedekatan Yahudi berlaku antar
mereka. Tidak seorang pun dari mereka yang boleh keluar (Madinah) kecuali
dengan izin Muhammad saw.
33
Bahwa kota Yatsrib harus dihormati oleh
pihak yang menerima perjanjian.
34
Bahwa kejadian dan perselisihan yang
timbul di antara pihak-pihak (yang menyetujui) perjanjian ini, yang
dikhawatirkan kerusakannya, maka tempat kembalinya adalah kepada Allah dan
Muhammad Rasulullah saw.
35
Bahwa tidak boleh menjalin kerja sama
dengan kafir Quraisy dan tidak boleh memberi pertolongan kepada mereka.
Demikianlah perjanjian Rasul saw
mengatur semua kabilah Yahudi yang bertetangga dengan Madinah. Mereka
disyaratkan tidak boleh keluar dari Madinah kecuali dengan izin Rasul saw atau
izin negara. Mereka diharamkan merusak kehormatan kota Madinah, baik memerangi
atau memberi bantuan kepada siapa pun yang memerangi Islam. Mereka juga
diharamkan menjalin hubungan dengan kafir Quraisy dan tidak pula dibolehkan
siapa pun dari mereka yang menolong Quraisy. Pelanggaran apapun yang dilakukan
mereka terhadap perjanjian tersebut, maka Rasulullah saw akan menyelesaikannya.
Banyak kabilah Yahudi yang sepakat dengan isi perjanjian ini, yaitu Yahudi Bani
‘Auf, Bani Najjar, Bani Harits, Bani Sa’adah, Bani Jasyim, Bani Aus, dan Yahudi
Bani Tsa’labah. Namun, ada juga kabilah-kabilah Yahudi yang tidak ikut
menandatangani teks perjanjian ini, yaitu Yahudi Bani Quraizhah, Bani Nadhir,
dan Bani Qainuqa’. Tetapi, tidak lama kemudian mereka turut menandatangani
perjanjian tersebut. Mereka juga tunduk pada syarat-syarat yang sama
sebagaimana yang disebutkan dalam perjanjian di atas.
>
Daulah
Islam
Dengan ditandatanganinya teks
perjanjian ini, Rasul saw lebih leluasa memusatkan interaksi di dalam tubuh
Daulah Islam yang tumbuh di atas dasar yang kokoh. Beliau juga memusatkan
hubungan antara negara dengan kabilah-kabilah Yahudi yang bertetangga dengan
kota Madinah. Hubungannya dibentuk di atas dasar yang jelas, yaitu menjadikan
Islam sebagai aturan penyelesaiannya. Dengan demikian, Rasul saw laluasa untuk
membangun masyarakat Islam dan mengamankannya hingga pada batas-batas yang
dikhawatirkan akan munculnya bahaya dan serangan dari tetangganya, kaum Yahudi.
Beliau melakukan aktivitas untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang bersifat
fisik, yang menghalangi jalan dakwah Islam dengan mempersiapkan perang.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar