Minggu, 17 Maret 2019

Menyiapkan Suasana Perang


Menyiapkan

Suasana Perang


Setelah Nabi saw berhasil membangun masyarakat dengan gemilang dan membentuk ikatan perjanjian bersama tetangga-tetangganya dari kalangan Yahudi; beliau mulai menyiapkan atmosfer jihad di Madinah. Hal ini karena tugas utama Daulah Islam adalah menerapkan Islam secara total di seluruh negeri yang diperintahnya dan mengemban dakwah Islam ke luar batas

teritorial negara.

Aktivitas dakwah Islam yang diemban Daulah Islam tidak sama dengan program kristenisasi yang dilakukan kaum misionaris. Arti dari aktivitas dakwah Islam adalah mengajak manusia kepada Islam, membina mereka dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukumnya, serta menghilangkan semua rintangan fisik yang berdiri menghalangi dakwah tersebut, dengan kekuatan fisik yang mampu melenyapkannya.

Kaum Quraisy adalah rintangan fisik yang menghadang dakwah Islam, maka Rasul saw harus menyiapkan kekuatan untuk menghilangkan hambatan fisik yang menghalangi dakwah tersebut. Beliau mulai menyiapkan kekuatan militer untuk menyebarkan dakwah ke luar Madinah. Di awal perjuangannya, beliau membuat beberapa langkah gerak yang terencana. Dalam waktu empat bulan, beliau sudah mengirimkan tiga ekspedisi pasukan dari

:                 Daulah Islam

kaum Muhajirin untuk menantang kafir Quraisy, sekaligus untuk menggentarkan kaum Munafik dan Yahudi yang tinggal di Madinah dan sekitarnya. Beliau saw mengutus pamannya, Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, untuk menjadi komandan 30 orang pasukan berkuda (kavaleri), dari kalangan Muhajirin saja tanpa disertai Anshar. Pasukan tersebut bertemu Abu Jahal bin Hisyam bersama 300 penunggang kuda di pesisir pantai yang sepi. Hamzah sebenarnya sudah siap menyergap mereka seandainya tidak ada teguran dari Majdi bin ‘Amru al-Juhni yang berusaha menghalangi pertempuran di antara mereka. Mereka lalu menghindar dan Hamzah pulang ke Madinah tanpa terjadi peperangan.

Rasul saw juga mengutus ‘Ubaidah bin Haris memimpin 60 orang pasukan berkuda dari kaum Muhajirin tanpa kesertaan Anshar. Pasukan ini bertemu ‘Ikrimah bin Abu Jahal yang menjadi pemimpin rombongan kafir Quraisy yang jumlahnya lebih dari

34        orang di lembah Rabigh. Tiba-tiba, Sa’ad bin Abi Waqash melepaskan anak panah ke arah musuh, namun sayang tidak berhasil membunuh. Pada akhirnya, dua kelompok ini pun menarik diri. Nabi mengutus pula Sa’ad bin Abi Waqash bersama 20 orang pasukan berkuda dari kaum Muhajirin menuju Makkah. Mereka kembali juga tanpa peperangan.

Dengan pengiriman beberapa ekspedisi pasukan ini, maka di

Madinah muncul suasana perang. Di kalangan kaum kafir Quraisy sendiri, suasananya juga sama, yaitu suasana perang. Suasana ini sudah barang tentu menimbulkan rasa takut dalam diri kafir Quraisy.

Mereka mulai memperhitungkan kekuatan Rasulullah saw, dengan perhitungan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Mereka memang belum pernah mengetahui sejauh mana kekuatan Rasul yang sebenarnya, seandainya tidak ada ekspedisi-ekspedisi ini. Usaha Nabi saw tidak cukup dengan ini saja. Beliau bahkan keluar memimpin sendiri peperangan. Di awal bulan ke-12 dari kedatangannya di Madinah, Nabi saw keluar dari kota Madinah. Kepemimpinan di kota Madinah diserahkan beliau kepada Sa’ad bin Ubadah. Lalu beliau berjalan menuju Abwa’ hingga sampai

Awal Peperangan
79

di Wadan. Beliau ingin bertemu golongan kafir Quraisy dan bani Dhamrah. Namun, beliau tidak berhasil bertemu dengan Quraisy dan hanya membuat kesepakatan damai dengan bani Dhamrah. Setelah berjalan selama satu bulan, beliau keluar menuju daerah Buwath dengan 200 pasukan dari unsur Muhajirin dan Anshar. Yang menjadi sasaran serangan beliau adalah kafilah dagang yang dipimpin Umayah bin Khalaf yang jumlahnya 2.500 ekor unta. Kafilah tersebut dilindungi oleh 100 orang pasukan. Namun, beliau tidak berhasil menemukannya, karena kafilah itu mengambil jalan lain yang tidak biasa dilewati kafilah-kafilah (Al-Mua’abbad).

Setelah tiga bulan berjalan, sejak beliau kembali ke Madinah dari daerah Buwath di wilayah Radhwa, beliau mengangkat Abu Salamah bin ‘Abdul Asad untuk memimpin Madinah. Sementara beliau sendiri keluar bersama 200 lebih pasukan Muslim hingga sampai di Al-‘Asyirah di pedalaman Yanbu’. Beliau tinggal di sana pada bulan Jumadil Ula hingga beberapa malam Jumadil Akhir di tahun kedua Hijriyah, untuk mencegat kafilah Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan. Namun, kafilah ini telah lewat lebih dulu dan beliau tidak berhasil menghadangnya. Dalam ekspedisi ini, beliau berhasil menjalin hubungan damai dengan bani Mudlij dan sekutu mereka dari bani Dhamrah. Nabi saw hampir-hampir tidak pulang ke Madinah. Beliau sengaja tinggal di sana selama sepuluh malam. Tiba-tiba, Kurza bin Jabir al-Fuhri dari kalangan penghubung kota Makkah dan Quraisy membunuh sejumlah unta dan kambing yang ada di Madinah. Serangan tersebut memaksa Nabi saw keluar Madinah untuk mengejar mereka (pasukan Kurza). Sebelum berangkat, kepemimpinan Madinah diserahkan kepada Zaid bin Haritsah. Kemudian, beliau berangkat dengan menyusuri jejak Kurza hingga akhirnya tiba di suatu lembah yang oleh Sufyan dinamakan Lembah Badar. Akan tetapi, Kurza telah lewat lebih dulu hingga Nabi tidak sempat menemukannya. Ini adalah peristiwa Badar pertama.

Demikianlah, Nabi saw mulai mengarahkan pasukannya untuk menantang Quraisy dan melakukan patroli di wilayah

36            Daulah Islam

jazirah melalui pendekatan perang. Hanya saja, beliau saw belum menjumpai pertempuran yang sebenarnya dalam berbagai ekspedisi militer ini. Dalam berbagai ekspedisi itu, beliau berhasil gemilang mempersiapkan upaya-upaya awal untuk menyambut peperangan yang lebih besar. Dengan ekspedisi ini, berarti beliau telah menyiapkan pasukan yang tangguh untuk menghadapi musuh. Benturan-benturan frontal inilah yang mengantarkan kaum Muslim untuk mempersiapkan diri menghadapi perang. Melalui pengiriman berbagai ekspedisi ini, beliau berhasil menyusupkan rasa takut dalam diri kaum Yahudi dan orang-orang munafik di Madinah dan sekitarnya. Hal tersebut yang mencegah mereka melakukan kekacauan terhadap Nabi saw. Beliau berhasil menghancurkan mental kafir Quraisy melalui tantangan-tantangan yang digelarnya ke hadapan mereka. Beliau pun berhasil memperkuat kewibawaan kaum Muslim di mata musuh-musuh mereka. Beliau juga berhasil mengambil alih berbagai rute yang biasa dilalui kafilah-kafilah Quraisy dalam perjalanannya menuju Syam. Hal itu dilakukan, baik dengan gencatan senjata atau perjanjian damai dengan kabilah-kabilah lainnya yang ada di antara Madinah dan pesisir Laut Merah; seperti Bani Dhamrah, Bani Mudlij, dan yang lainnya.[]

Awal Peperangan
81
















Awal Peperangan


Rasul saw menetap di Madinah. Beliau menerapkan Islam dan wahyu turun berkenaan dengan hukum syara’ (at-tasyri’).

Beliau mendirikan struktur Daulah Islam dan membangun masyarakat Islam dengan pilar-pilar dan aturan-aturan Islam. Beliau juga mempersaudarakan sesama kaum Muslim. Dengan demikian, hukum maupun syari’at Islam, benar-benar hidup di tengah masyarakat, di mana masyarakat itulah yang memelihara sekaligus mengemban dakwahnya. Kaum Muslim terus bertambah, baik dari segi jumlah, persenjataan, kekuatan, maupun daya tahannya. Orang-orang menerima Islam, baik secara individu maupun kelompok, baik dari kalangan Musyrik maupun Yahudi.

Setelah Nabi saw berhasil memantapkan Islam dan dakwahnya di Madinah, beliau mulai berpikir tentang dakwah Islam di luar Madinah, di seluruh Jazirah Arab. Beliau mengetahui bahwa kafir Quraisy adalah penghalang yang berdiri di hadapan dakwah ini. Mereka adalah rintangan fisik di jalan Islam. Menghadapi hal semacam ini, dakwah dengan cara hujjah dan pembuktian tidak ada gunanya, sehingga harus ada kekuatan fisik untuk menghilangkan rintangan-rintangan itu. Sesungguhnya, beliau saw tatkala masih di Makkah, belum mampu menghilangkan rintangan fisik ini, karena tidak adanya Daulah Islam yang mampu mengemban kekuatan fisik yang memadai untuk mehancurkan kekuatan itu. Ketika

38            Daulah Islam

beliau telah berhasil mendirikan Daulah Islam, maka beliau mampu menghancurkan rintangan fisik ini dengan kekuatan fisik yang telah beliau miliki. Karena itu, yang harus beliau lakukan adalah mempersiapkan kekuatan, suasana perang, dan strategi baru bagi dakwah, setelah terlebih dahulu mempersiapkan berbagai sebab dan sarana untuk strategi baru tersebut.

Beliau memulai hal ini dengan pembentukan tim-tim ekspedisi dan melancarkan serangan-serangannya awal. Sebagian di antaranya beliau kirim tanpa kesertaan dirinya dan sebagian lainnya beliau pimpin langsung. Pengiriman pasukan ini bertujuan untuk menantang kafir Quraisy dan memahamkan mereka tentang kekuatan beliau. Ekspedisi militer terakhir adalah ekspedisi Abdullah bin Jahsyi yang menjadi pengantar ke perang Badar.

Kisah ekspedisi tersebut adalah: pada bulan Rajab tahun kedua Hijriyah, Rasulullah saw mengutus Abdullah bin Jahsyi dengan sekelompok orang Muhajirin. Beliau memberinya surat dan diperintahkan untuk tidak membukanya kecuali setelah dua hari dari perjalanannya. Dia melaksanakan apa yang beliau perintahkan kepadanya dan tidak memaksa seorangpun dari sahabatnya. Setelah dua hari, maka Abdullah membuka surat itu dan di dalamnya terdapat tulisan yang menyatakan: “Jika engkau telah melihat suratku ini, maka berjalanlah terus hingga engkau tiba di sebuah pohon kurma di antara Makkah dan Thaif. Lalu intailah kafir Quraisy di sana dan beritahukan kepada kami mengenai (gerak-gerik) mereka.”

Abdullah memberitahukan persoalan itu kepada anggota pasukannya dan dia tidak akan memaksa seorang pun dari mereka untuk ikut terus bersamanya. Mereka semua meneruskan perjalanan menyertainya hingga tiba di pohon kurma yang dimaksud. Tidak seorang pun dari tim ekspedisi ini yang tertinggal kecuali Sa’ad bin Abi Waqash al-Zuhriy dan ‘Utbah bin Ghazwan. Unta kedua orang ini hilang tersesat, sehingga mereka berdua mencarinya dan kafir Quraisy berhasil menawan keduanya. Abdullah bin Jahsyi naik ke pohon kurma itu sambil mengintai kafir Quraisy. Dalam pengintaiannya itu, tiba-tiba kafilah Quraisy yang membawa banyak barang dagangan melintas di dekat mereka. Peristiwa itu terjadi pada

Awal Peperangan
83

akhir bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram. Abdullah dan kawan-kawannya bermusyawarah untuk memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap kafilah Quraisy itu, sementara Nabi tidak memerintahkan apa pun sebelumnya terhadap mereka. Antara satu dengan lainnya saling berkata: “Demi Allah, jika kalian membiarkan kaum ini pada malam ini sungguh bulan haram akan segera masuk, maka bulan itu akan mencegah kalian darinya. Jika kalian memerangi mereka, maka sungguh kalian telah memerangi mereka di bulan haram”. Mereka ragu-ragu untuk memerangi kafilah Quraisy itu, tetapi akhirnya mereka mengambil keputusan. Salah seorang dari kaum Muslim melepaskan anak panah ke arah pemimpin kafilah yaitu ‘Amru bin al-Hadhramiy dan menewaskannya. Kaum Muslim berhasil menawan dua orang kafir Quraisy dan mengambil unta lalu kembali pulang ke Madinah. Ketika Nabi melihat mereka, beliau berkata kepada mereka, “Aku tidak memerintahkan kalian berperang di bulan haram!” Beliau membiarkan unta dan dua orang tawanan tersebut dan menolak untuk mengambil bagian darinya sedikitpun.

Inilah ringkasan ekspedisi Abdullah yang dikirim Rasul saw untuk mencari informasi tentang kafir Quraisy. Namun justru dia memerangi mereka, bahkan berhasil membunuh sebagian dari mereka, menawan beberapa orang dan mengambil hartanya dan semua itu dia lakukan dalam bulan haram. Maka apa sikap Islam terhadap tindakannya itu? Rasulullah saw sendiri berpikir tentang persoalan ini dan menangguhkan pengambilan dua tawanan serta harta rampasan, sambil menanti turunnya hukum dan ayat-ayat Allah mengenai perkara itu. Di pihak lain, peristiwa itu sempat mengguncang kafir Quraisy dan menjadikannya alat untuk melakukan propaganda melawan Muhammad saw di tengah-tengah bangsa Arab. Mereka melancarkan tuduhan di berbagai tempat, bahwa Muhammad dan kawan-kawannya telah menghalalkan bulan haram, menumpahkan darah, merampas harta dan menawan orang. Sehingga di Makkah terjadi perdebatan sengit seputar masalah itu, antara mereka dan kaum Muslim. Mereka meneror kaum Muslim gara-gara peristiwa itu dan menyerang mereka beserta sahabat-sahabatnya. Sementara kaum Muslim di Makkah membantahnya

40            Daulah Islam

dengan mengatakan bahwa saudara-saudara mereka melakukan hal itu di bulan Sya’ban, bukan di bulan Rajab. Akan tetapi, sanggahan ini tidak cukup untuk menghentikan propaganda yang ada. Apalagi kaum Yahudi juga turut ambil bagian dalam propaganda ini dan mereka turut mencela tindakan Abdullah bin Jahsyi tersebut. Keadaan semakin menghimpit kaum Muslim akibat propaganda menentang mereka itu. Sementara Rasul saw masih berdiam diri sambil menunggu wahyu dan hukum Allah dalam masalah ini. Tidak berapa lama turun firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah:

iTX
¸nm¯[°Oj°Ù¸$)W°×#ɰOj°Ù$)W   °°4mWU\Ù­m×M…–¨CÃW
\ 5SWÉWԁdR@
ÈOØ<°%ž°                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             ¯ØFU
ÀNmWØ\¯TX
°4mW       \
»Ù                                                                                                                                                                                                                                                                                                 °iªHԁ-\  Ù   TX                                                                                                                                                                                                                                                                                                               ž°O¯          m     ÙÝÁTX

©#k¯y\W
×1Å5SW   É
°*VÄ
c DSWÅW        scW
YTX
©#Ø)VÙC]°% ÈnW    ÓU                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     ÉR=X   Ø*°ÝÙTX
\i<°ÃÈnWÙU



>                                                                                                                                                                                                                                                                      SÄÈV¼W*Ôy                                                                                                                                                                                                                                                                               ©D¯ ×1Á°=c°j CWà ×1ÅTwjÄmWc ³/O\
“Mereka akan bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: ‘Berperang pada bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjid Al-Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup...” (TQS. Al-Baqarah [2]: 217)

Ketika ayat ini turun, kaum Muslim menyambutnya dengan gembira dan Nabi segera mengambil unta dan dua orang tawanan itu. Ayat itu mengandung jawaban yang mematikan terhadap berbagai propaganda kafir Quraisy. Al-Quran al-Karim telah memberikan jawaban kepada kafir Quraisy tentang pertanyaan mereka seputar berperang di bulan haram. Jawabannya, bahwa hal itu adalah

Awal Peperangan
85

dosa besar, tetapi menghalangi manusia dari Masjidil Haram dan mengusir orang-orang yang sedang berada di dalamnya merupakan dosa yang jauh lebih besar di sisi Allah daripada berperang di bulan haram dan melakukan pembunuhan di dalamnya. Apa yang telah dilakukan kafir Quraisy dan fitnah-fitnah yang telah mereka lancarkan terhadap kaum Muslim dan agamanya, dengan cara bujuk rayu, ancaman, penipuan, dan penyiksaan, adalah jauh lebih besar dosanya daripada pembunuhan dan berperang di bulan haram maupun di luar bulan haram. Kafir Quraisy sendiri selalu berusaha menggoyang dan memusuhi kaum Muslim untuk memerangi mereka di bulan haram. Mereka terus-menerus memerangi kaum Muslim hingga berhasil memurtadkan kaum Muslim dari Islam jika mereka mampu melakukannya.

Jika demikian, perang yang dilakukan kaum Muslim terhadap kafir Quraisy di bulan haram untuk melawan mereka sama sekali bukan dosa. Hal ini karena kafir Quraisy sendirilah yang telah melakukan dosa-dosa besar dengan merintangi dakwah Islam, menghalangi manusia dari jalan Allah, kufur kepada Allah, mengusir jamaah Masjidil Haram dari dalamnya dan memfitnah kaum Muslim dari agamanya, sehingga kafir Quraisy memang pantas untuk diperangi, baik di bulan haram maupun di luar bulan haram. Jadi, perang yang telah Abdullah bin Jahsyi lakukan dalam bulan haram itu tidak membahayakan dirinya maupun kaum Muslim.

Dengan demikian, ekspedisi Abdullah bin Jahsyi merupakan pembuka jalan dalam politik Islam dan strategi dakwah menuju Islam. Dalam peristiwa itu, Waqid bin Abdullah al-Tamimiy berhasil memanah ‘Amru bin al-Hadhramiy, pemimpin kafilah dan membunuhnya. Ini adalah darah pertama yang ditumpahkan kaum Muslim di jalan Allah.

Sebelumnya, perang di bulan-bulan haram selalu dilarang, hingga turun ayat-ayat tentang perang yang memerintahkan perang kapan dan di mana saja. Dengan demikian, hukum larangan perang di bulan-bulan haram telah dihapus dengan keumuman ayat-ayat perang.[]

42            Daulah Islam
















Kehidupan di Madinah


Islam memiliki metode kehidupan yang unik. Metode itu dihasilkan dari kumpulan pemahaman Islam tentang kehidupan. Metode tersebut tiada lain adalah peradaban (hadharah) Islam yang berbeda dengan peradaban dunia dan bertentangan dengan berbagai peradaban lainnya. Metode Islam dalam kehidupan dibangun atas tiga prinsip. Pertama, asas yang mendasarinya adalah akidah Islam. Kedua, tolok ukur perbuatan dalam kehidupan adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Dengan kata lain, gambaran kehidupan dalam pandangan Islam adalah halal dan haram. Ketiga, makna kebahagiaan dalam pandangan Islam adalah menggapai ridha Allah. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah ketenangan yang abadi, yang tidak akan tercapai kecuali dengan menggapai ridha Allah. Inilah metode Islam dalam kehidupan. Ini adalah kehidupan yang dijalani kaum Muslim, di mana mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraihnya serta berjalan dalam

manhajnya.

Supaya kaum Muslim dapat mempertahankan kehidupan ini, maka mereka harus mempunyai negara yang akan menerapkan Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Ketika kaum Muslim hijrah ke Madinah, mereka memulai hidupnya dalam pola kehidupan yang unik, yang berasaskan akidah Islam. Ayat-ayat yang mulia

Kehidupan di Madinah
87

mulai turun untuk menjelaskan hukum Allah dalam muamalah dan uqubat, juga tentang ibadah yang selama ini belum diturunkan. Zakat dan puasa diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah termasuk disyari’atkannya adzan pada tahun yang sama. Sehingga seluruh penduduk Madinah setiap hari mendengar lima kali seruan untuk shalat yang dikumandangkan secara tartil dan bagus dengan suara serak basah nan indah yang disajikan oleh Bilal bin Rabbah seiring hembusan angin yang bertiup ke segala penjuru. Kaum muslimin selalu memenuhi seruan untuk menunaikan shalat tersebut. Belum genap 17 bulan Rasul tinggal di Madinah, maka terjadilah perubahan arah kiblat ke Ka’bah.

Turun pula ayat-ayat hukum secara berturut-turut mengenai ibadah, makanan, akhlak, muamalah dan uqubat. Maka turunlah ayat-ayat yang mengharamkan khamar dan daging babi, seperti halnya turun pula ayat-ayat tentang hudud, jinayat, jual-beli, pengharaman riba dan lainnya. Ayat- ayat hukum turun secara berturut-turut untuk memecahkan berbagai problematika kehidupan, sementara itu Rasul saw memberikan rincian dan penjelasannya. Beliau pula yang memenuhi berbagai kemaslahatan manusia, memutuskan persengketaan-persengketaan di antara mereka, mengatur kepentingan-kepentingan mereka, mengelola urusan-urusan mereka dan menyelesaikan berbagai problematika mereka. Semua itu dilakukan Nabi saw dengan ucapan-ucapannya dalam perbincangan bersama mereka, dengan perbuatan-perbuatan yang beliau lakukan sendiri dan dengan diamnya beliau terhadap perbuatan -perbuatan yang terjadi di hadapannya. Ucapan, perbuatan, dan diamnya Rasul adalah syari’at, karena beliau tidak pernah berbicara dari hawa nafsu melainkan seluruhnya adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.

Kehidupan di Madinah terus berjalan dalam metode tersebut dan sesuai dengan arah pandangan tertentu yaitu arah pandangan Islam. Terwujudlah masyarakat Islam yang khas dalam segala hal yang dikendalikan oleh pemikiran dan perasaan Islami yang diterapkan di dalamnya sistem Islam terhadap seluruh umat

44            Daulah Islam

manusia dalam muamalah dan seluruh interaksi mereka.

Hati Rasul saw menjadi tenang dengan segala keberhasilan yang telah dicapai oleh dakwah. Kaum Muslim juga menjadi tenang dalam agama mereka dan menjalankan kewajiban-kewajiban mereka, kadang secara bersama-sama dan kadang secara sendiri-sendiri. Mereka tidak khawatir terhadap penderitaan dan tidak takut fitnah. Mereka menyelesaikan berbagai urusan dengan hukum -hukum Allah dan mengembalikan apa-apa yang belum mereka ketahui kepada Rasulullah. Mereka tidak melakukan perbuatan apapun, kecil maupun besar, kecuali disesuaikan dengan perintah-perintah Allah. Mereka menjauhkan diri dari segala hal yang dilarang Allah. Mereka merasakan kebahagiaan, sehingga jiwa mereka tentram. Kebanyakan mereka senantiasa menyertai Rasulullah saw agar dapat mempelajari hukum-hukum Allah, menghapalkan ayat-ayat Allah, memperoleh Al-Quran darinya dan membentuk tsaqafah di hadapan beliau secara langsung. Hal ini menjadikan Islam semakin tersebar luas dan kaum muslimin pun setiap hari semakin meningkat kekuatan dan daya tahannya.[]

Polemik dengan Yahudi dan Nasrani
89















Polemik dengan Yahudi dan Nasrani



Orang-orang non Muslim akhirnya merasakan munculnya kekuatan kaum Muslim. Mereka melihat bahwa kekuatan ini terpancar dari lubuk hati yang paling dalam. Yaitu, hati yang

mengetahui makna pengorbanan di jalan Islam dan merasakan bermacam-macam penderitaan yang disebabkan olehnya. Hati yang dikala pagi tidak mempedulikan lagi sore dan dikala sore tidak mempedulikan lagi pagi. Inilah hati yang bisa menikmati beragama dan menampakkannya secara terang-terangan, melaksanakan hukum-hukumnya, meninggikan kalimatnya dan merasakan kebahagiaan.

Di lain pihak, musuh-musuh Islam justru memperlakukan kaum Muslim dengan buruk. Pengaruh-pengaruh ini tampak pada tetangga-tetangga mereka yang Yahudi. Ketakutan mereka mulai tampak. Kaum kafir mulai memikirkan kedudukan mereka yang baru terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya setelah melihat perkembangan kaum Muslim di Madinah baik bangunan maupun kekuatannya. Jumlah manusia yang menerima Islam bertambah banyak, dan kemurkaan mereka juga semakin bertambah dengan adanya sebagian kaum Yahudi yang menerima Islam. Mereka khawatir Islam melebarkan sayapnya hingga menembus barisan mereka dan merusak sebagian besar mereka. Karena itu, mereka mulai menyerang Islam, akidah dan hukum-hukumnya. Sejak saat

46            Daulah Islam

itu, mulai terjadi perang perdebatan antara kaum Muslim dengan Yahudi. Perang ini jauh lebih sengit dan tipu dayanya lebih besar daripada polemik antara kaum Muslim dan kafir Quraisy Makkah. Dalam perang pemikiran ini, berbagai isu, kemunafikan, dan pengetahuan tentang kisah-kisah orang-orang terdahulu, tentang para Nabi dan Rasul, menjadi senjata bagi kaum Yahudi untuk menyerang Muhammad saw, risalahnya dan para sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar. Para rahib mereka meniupkan isu di tengah-tengah masyarakat dengan menampakkan keislaman, atau di tengah-tengah orang yang memungkinkannya dapat duduk di antara kaum Muslim seraya menampakkan ketakwaan. Kemudian setelah itu, mereka memunculkan kebingungan dan keragu-raguan serta melontarkan pertanyaan-pertanyaan pada Muhammad saw yang —menurut mereka— bisa menggoncang akidah kaum Muslim dan risalah kebenaran yang diserukan oleh beliau.

Sekelompok orang dari Bani Aus dan Khazraj yang telah masuk Islam namun bersikap munafik bergabung dengan Yahudi untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan dan menimbulkan kegusaran di tengah-tengah kaum Muslim. Perdebatan antara kaum Yahudi dan kaum Muslim telah melampaui batas, yang kadang- kadang mengantarkan pada adu fisik; padahal di antara mereka masih terikat perjanjian. Untuk menggambarkan rusaknya kaum Yahudi dan kerasnya sikap permusuhan mereka dalam bentuk perdebatan, cukup dengan melihat perbuatan mereka yang sempat mengusik kesabaran dan ketenangan Abu Bakar; padahal dia adalah sahabat Rasul yang dikenal berperangai halus, sangat sabar dan lemah lembut. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah berbicara dengan seorang Yahudi yang dipanggil Fanhash. Beliau mengajaknya masuk Islam, tetapi Fanhash menolaknya dengan mengatakan, “Demi Allah, wahai Abu Bakar, kami tidak fakir di sisi Allah, Dialah yang benar-benar fakir di sisi kami. Kami tidak tunduk kepada-Nya sebagaimana Dia tunduk kepada kami. Sesungguhnya kami benar-benar tidak membutuhkan-Nya, Dialah yang membutuhkan kami. Seandainya Dia tidak membutuhkan kami, tentu Dia tidak akan meminjam harta kami sebagaimana yang diyakini oleh sahabatmu. Dia melarang kalian

Polemik dengan Yahudi dan Nasrani
91

dari riba dan memberikannya kepada kami. Seandainya Dia tidak butuh kami, tentu Dia tidak memberikan riba kepada kami.” Fanhash berkata seperti ini dengan merujuk firman-Nya:

  ?ÙÈ\     Õª                                                                                                         U       àœÄ      V                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          œÈOÝ[    °È²ÄjÙV                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                ;=O\                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          ˜ª×mV                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      ¿º­mÙÄc s°ŠlV   C%@



>                                                                                                                                                                                                                                                                        <QXnm°:


Siapa saja yang memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakannya kepadanya dengan pelipatan yang sangat banyak.” (TQS. al-Baqarah[2]: 245).

Mendengar jawaban ini, Abu Bakar tidak dapat lagi menahan kesabaran. Dia marah dan memukul wajah Fanhash dengan keras dan berkata, “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada perjanjian antara kami dengan kalian, pasti aku akan penggal kepalamu, hai musuh Allah!” Seperti itulah hebatnya perdebatan antara kaum Muslim dengan Yahudi yang memakan waktu cukup panjang.

Pada waktu itu, datang ke Madinah delegasi Nasrani Najran yang berjumlah 60 orang penunggang kuda. Delegasi ini mungkin datang ke Madinah karena mengetahui polemik di antara kaum Muslim dan Yahudi yang semakin memanas, hingga mengantarkan pada permusuhan. Dengan demikian, paham Nasrani tersebar dan menghapuskan agama lama maupun baru yang keduanya pernah saling bersaing dengan paham Nasrani tersebut sesuai dengan dugaan mereka masing-masing. Delegasi ini bertemu dengan Nabi saw dan kaum Yahudi. Nabi sendiri memandang mereka dan kaum Yahudi sebagai Ahli Kitab, lalu beliau mengajak mereka semuanya masuk Islam seraya membacakan kepada mereka firman Allah:

YU
×Å=XØoWTX                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       =X<RØoW    ÄSX  y\                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             R-\¯
 rQ     ¯ ×SVÈ\V
"ª
›*W¦Ù#ØFUcW#×É@
>W×
qU”²ØÈW                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             =XÁ²ØÈW                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            k[     °bŽ*cW
YTX
>Ùk[ž°O¯[¯nÕÉ6 YTX
i\ ÈØÈ5W

>§¯­¨ |ESÀ-¯                                                                                                                                                                                                                                                                   ÔÄ% 5U ¯ iI\Õ
SÅSÁÙV
×SŠSX V
"ÙV
©DTÀjC°K%

48            Daulah Islam

“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, marilah menuju kepada suatu kata yang sama di antara kami dan kalian, yakni kita tidak akan menyembah kecuali kepada Allah dan tidak mempersekutukan- Nya dengan sesuatupun dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lainnya sebagai tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah oleh kalian bahwa kami adalah kaum muslimin”. (TQS. Ali ‘Imran[3]: 64).

Orang Yahudi dan Nasrani bertanya kepada Nabi tentang orang yang mengimani para rasul, lalu beliau membacakan kepada mereka firman Allah:
#j°RÝÕ¯XT]2Ÿ°WmFׯšrQ¯W$­5ÊsW%XT XV¯jWsW%XT ¯%WX                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    ßÅSÉ@S


Xr$    T      W%                                         XT  ³             XT ³\{SÄ%Xr$T W%         XT         ¦¾Wy)        ] XT ]!SÈWcXT W \UyXT



50    DSWįÔ.āœVÀOÙ8ZCTXV Ô2ذKÀ<IPWi%U                                                                                                                                                                          ÛWØWÅÜ­[ÝÈJY5m Ô2¯Pˆq¯CI°ES|%w¯j


“Katakanlah oleh kalian bahwa kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami berserah diri kepada-Nya.” (TQS. al-Baqarah[2]: 136).

Mereka tidak menemukan sesuatu yang selama ini mereka tuduhkan kepada diri beliau. Hujjah ini menohok jiwa mereka dan kebenaran pun tersingkap. Akan tetapi, mereka tetap tidak beriman karena mempertahankan kedudukannya, malah sebagian mereka benar-benar memperlihatkan sikap tersebut.

Diriwayatkan bahwa Abu Haritsah, salah seorang anggota delegasi Nasrani Najran yang paling banyak ilmu dan pengetahuannya, melontarkan kata -kata penghinaan kepada kawannya gara-gara yang bersangkutan merasa puas dengan ucapan Muhammad saw. Ketika kawannya bertanya kepada dia, “Apa yang

Polemik dengan Yahudi dan Nasrani
93

mencegahmu dari hal itu padahal kamu mengetahuinya?” Jawabnya: “Apa yang akan diperbuat kaum itu kepada kita, apa mereka akan memuliakan kita, menjadikan kita pemimpin dan tetap menghormati kita. Tentu saja mereka akan menolaknya kecuali sikap yang menyalahi itu semua. Maka seandainya aku melakukannya (menerima ucapan Muhammad), tentu mereka akan merampas dari kita segala apa yang engkau lihat.” Jawaban itu menunjukkan tidak adanya iman mereka gara-gara kesombongan dan kekufurannya.

Kemudian Rasul saw menantang kaum Nasrani melakukan mubahalah (perdebatan keras secara terbuka) seraya membacakan firman Allah kepada mereka:

ÅÍ5WÕ×iVSÈ\ "V                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               ×Á#VÙªÚ°2ÙÈ][%XÄC\                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  W% °ØiWÈC°°%°Ok\ÙˆBPW                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  ÕC-\ÙV @ ×®W-W5Mƒ2×ÉÅ1Á5UÝXT R<Á5UÝXT ×Å1ÄX¯T6X  5WÄX ¯TX6×ÅÄX<R×UTX5WÄX <R×U >§¯ª¨ |Úܯª[kÙrQ"Wà 0=X   ØŠÈ#È\  Õ=XV


“Siapa saja yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah olehmu: ‘Marilah kita menyeru anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (TQS. Ali ‘Imran[3]: 61).



Mereka bermusyawarah, kemudian mengumumkan bahwa mereka memandang tidak perlu meladeni tantangan mubahalah beliau dan membiarkan beliau dalam agamanya. Mereka sendiri tetap dengan agamanya. Meskipun demikian, mereka meminta Nabi saw untuk mengutus seseorang menyertai mereka yang akan menjadi pemutus dalam berbagai perkara yang mereka perselisihkan dalam persoalan harta mereka. Nabi saw mengutus Abu ‘Ubaidah bin Jarrah menyertai mereka untuk memutuskan dengan Islam perkara-perkara yang mereka perselisihkan.

94            Daulah Islam

Dengan demikian, kekuatan dakwah Islam, kekuatan pemikiran Islam, dan hujjah gamblang yang mampu mengungguli semua perdebatan lisan yang dimunculkan oleh Yahudi, kaum Munafik dan Nasrani tersebut telah mengalami kesempurnaan. Semua pemikiran-pemikiran di luar Islam itu menjadi susut dan samar, akhirnya tidak ada yang tersisa kecuali Islam yang mampu melayani semua diskusi dalam memahami hukum-hukum dan dakwahnya. Perkembangan Islam makin memusat dan al-liwa’ (bendera Islam) menyebar melalui aspek pemikiran dan pemerintahan. Sementara jiwa kaum Munafik dan Yahudi masih terus terbelenggu dalam kebencian terhadap kaum Muslim. Jiwa mereka membawa dendam dan kemurkaan kepada umat Islam. Walau demikian, kekuasaan Islam semakin kokoh di Madinah, begitu juga masyarakat makin mantap sehingga mampu melindas segala hal. Berbagai ekspedisi militer terus dikirimkan secara susul-menyusul. Kekuatannya amat tampak dan memiliki pengaruh dalam membungkam jiwa -jiwa yang sakit. Kalimat Allah terus membuktikan keluhurannya serta perlawanan terhadap Islam di Madinah dan sekitarnya memasuki tahap yang berbahaya, sementara mereka tetap diam dan tunduk pada kekuasan kaum Muslim.[]

Perang Badar
95
















Perang Badar



Pada 8 Ramadhan tahun kedua Hijriyah, Nabi saw bersama para sahabatnya keluar dari Madinah. Beliau menugaskan ‘Amru bin Ummi Maktum untuk mengimami shalat bersama masyarakat dan Abu Lubabah menjadi penguasa Madinah. Rombongan tersebut berjumlah 305 orang, ditambah 70 orang berkendaraan unta yang ditunggangi secara bergiliran. Setiap dua, tiga, dan empat orang

menunggangi seekor unta secara bergiliran.

Mereka berangkat dengan target operasi kafilah Abu Sufyan. Mereka terus berjalan sambil menyelidiki berbagai berita tentang kafilah tersebut, hingga tiba di suatu lembah yang dinamakan Dzafiran, lalu mereka berhenti di sana. Di tempat tersebut diperoleh kabar bahwa kafir Quraisy telah berangkat keluar dari kota Makkah untuk melindungi unta-unta mereka. Saat itu bentuk permasalahannya mengalami perubahan, yaitu apakah akan terus menghadapi kafir Quraisy, atau tidak. Persoalannya tidak lagi tentang kafilah Abu Sufyan. Kemudian Rasul saw bermusyawarah dengan kaum Muslim dan menyampaikan kepada mereka informasi yang sampai kepada beliau tetang Quraisy. Abu Bakar dan Umar mengajukan pendapatnya. Kemudian Miqdad bin ‘Amru berkata, “Wahai Rasulullah laksanakanlah apa yang telah Allah perintahkan kepada anda. Kami semua menyertai anda dan demi Allah, kami tidak

96            Daulah Islam

akan mengatakan kepada anda seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa: ‘Pergilah kamu dengan Tuhanmu dan berperanglah kalian berdua, sementara itu kami di sini saja sambil duduk-duduk’. Akan tetapi, kami akan mengatakan kepada anda: ‘Pergilah anda bersama Tuhan anda dan berperanglah kalian berdua dan kami bersama kalian berdua ikut berperang.’ Demi Dzat Yang mengutus anda dengan benar, seandainya anda mengajak kami berjalan melintasi lembah-lembah berair, pasti kami menyertai anda hingga sampai di tujuan.”

Kaum Muslimin pun terdiam, lalu Rasul saw bersabda, “Wahai manusia, bantulah diriku!” Ucapan tersebut sebenarnya ditujukan kepada kaum Anshar, yang telah memberikan bai’at kepada beliau pada hari Aqabah. Mereka telah berjanji akan melindungi Rasul saw dari segala hal (yang membahayakannya), sebagaimana mereka melindungi anak-anak dan istri-istri mereka. Beliau khawatir kaum Anshar tidak memandang perlu untuk menolong dirinya, kecuali bila gangguan dari musuh beliau tersebut terjadi di Madinah. Ketika kaum Anshar menyadari bahwa yang beliau maksud adalah diri mereka, maka Sa’ad bin Mu’adz yang pemegang panji Anshar menoleh kepada Rasulullah saw dan berkata, “Demi Allah, seakan-akan yang anda maksud adalah kami, wahai Rasulullah!”. Rasul menjawab: “Tentu saja”.

Sa’ad berkata lagi: “Kami sungguh- sungguh mengimani dan membenarkanmu. Kami bersaksi bahwa apa yang engkau datangkan adalah benar. Atas dasar itu, kami memberikan kepada engkau janji dan kebulatan tekad untuk selalu mendengar dan menaati engkau. Karena itu, lakukanlah wahai Rasulullah apa yang engkau inginkan, maka kami tetap bersama engkau. Demi Dzat Yang mengutus engkau, seandainya engkau mengajak kami menyeberangi lautan ini, lalu engkau terjun ke dalamnya, pasti kami turut terjun bersama engkau. Tidak seorang pun dari kami yang akan berbalik dan kami tidak benci jika besok hari engkau mempertemukan kami dengan musuh kami. Sesungguhnya kami pasti sabar dalam peperangan, benar dalam pertemuan. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu sesuatu dari kami yang dapat menenangkan matamu. Berjalanlah bersama kami dengan naungan berkah Allah.” Belum lagi Sa’ad selesai

Perang Badar
97

menyempurnakan ucapannya, tiba-tiba wajah Beliau saw yang mulia memancarkan cahaya kebahagiaan dan bersabda: “Berjalanlah kalian dan bergembiralah, karena Allah Swt telah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok. Demi Allah, sekarang seakan-akan aku melihat para kesatria.”

Pasukan pun berangkat bersama-sama hingga saat mereka mendekati Badar, mereka mengetahui bahwa pasukan kafir Quraisy telah dekat dengan mereka. Rasul mengutus Ali bin Abi Thalib, Zubair bin ‘Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqash dalam satu rombongan kecil sahabat menuju mata air yang ada di Badar guna mencari informasi tentang pasukan musuh. Mereka kembali bersama dua orang pemuda. Dari informasi keduanya diketahui bahwa jumlah pasukan kafir Quraisy antara 700 hingga 1.000 orang. Semua pembesar Quraisy keluar untuk memerangi beliau. Dengan demikian beliau mengetahui bahwa di hadapannya ada sekelompok pasukan yang berjumlah tiga kali lipat dari pasukannya. Beliau pun menunggu peperangan yang dahsyat di tempat yang akan menjadi medan pertumpahan darah. Beliau memberitahukan kaum Muslim bahwa Makkah telah memberikan sepotong hatinya kepada mereka. Mereka harus membulatkan tekad untuk menghadapi keadaan yang gawat. Kaum Muslim pun sepakat untuk memantapkan diri mereka dalam menghadapi musuh. Mereka berhasil menguasai mata air di Badar dan membangun tempat penampungan air serta mengisinya hingga penuh. Sementara sumur-sumur di belakangnya dibiarkan tidak terpakai agar mereka dapat minum, sementara musuh mereka tidak dapat melakukannya. Kaum Muslim membangun pos komando untuk Rasul saw, agar beliau bisa tinggal di dalamnya untuk memberi komando kepada pasukan. Adapun kaum Quraisy menduduki beberapa tempat-tempat pertempuran dan siap menghadapi kaum Muslim.

Perang dimulai dengan duel. Aswad bin ‘Abdul Al-Asad Al-Makhzumiy dari barisan kafir Quraisy maju ke arah barisan kaum Muslim untuk menghancurkan tempat penampungan air yang telah dibangun. Seketika itu juga Hamzah bin ‘Abdul Muthalib

98            Daulah Islam

menghadangnya dengan pukulan yang keras sehingga orang itu jatuh terhempas dengan kaki berlumuran darah. Kemudian Hamzah memburunya dengan pukulan lain sehingga dia tercebur tewas dalam tempat penampungan air tersebut. Kemudian ‘Uthbah bin Rabi’ah keluar diapit oleh saudaranya, Syaibah, dan anaknya, al-Walid. Hamzah bin Abdul Muthalib, ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Ubaidah bin Harits keluar menyongsong mereka. Hamzah tidak membiarkan Syaibah lolos dan ‘Ali mendapat giliran menghadapi Walid. Tidak berapa lama, kedua orang sahabat ini berhasil membunuh kedua musuhnya. Lalu keduanya segera menghampiri dan membantu Ubaidah yang nyaris terbunuh di tangan ‘Uthbah.

Untuk sejenak kedua belah pihak menghentikan pertempuran, lalu bertempur kembali pada Jumat pagi tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah. Rasul berdiri memimpin pasukan kaum Muslim untuk membenahi barisan mereka dan menggiringnya untuk berperang. Kekuatan kaum Muslim semakin bertambah dengan seruan -seruan jihad Rasul saw kepada mereka. Apalagi beliau sendiri berada di tengah-tengah mereka. Kaum Muslim semakin mengganas dan mengobarkan perang dengan gemuruh. Udara memanas dan peperangan menjadi lebih dahsyat. Keadaan tersebut menjadikan para pemuka kafir Quraisy harus mempertahankan keselamatan dirinya masing- masinng. Sementara kaum Muslim semakin bertambah kekuatan iman mereka dan meneriakkan kata-kata ahad ... ahad. Rasul selalu berada di tengah-tengah mereka dan sesekali mengambil segenggam pasir lalu melemparkannya ke arah kafir Quraisy seraya mengucapkan, “Terhinalah wajah-wajahnya!” Sementara kepada para sahabatnya beliau mengucapkan, “Bertahanlah kalian!” Semangat kaum Muslim makin berkobar sehingga pertempuran bergeser memihak kaum Muslim. Kafir Quraisy sendiri lari tunggang langgang, sebagian ada yang terbunuh dan sebagaian lagi tertawan. Hal tersebut menjadi kemenangan yang memperkokoh kaum Muslim. Mereka lalu pulang ke Madinah dengan membawa kekuatan yang semakin bertambah.[]

Pengusiran Bani Qainuqa’
99
















Pengusiran Bani Qainuqa’


Sebelum peristiwa Badar, kaum Yahudi telah memendam kedongkolan. Ketika kaum Muslim memperoleh kemenangan di Badar, kedongkolan dan dendam Yahudi semakin bertambah.

Mereka sepakat untuk memerangi kaum Muslim dan melontarkan fitnah. Itu berarti kaum Yahudi telah merusak perjanjian mereka dengan kaum Muslim.

Akibatnya, kaum Muslim marah dan membalasnya setiap kali muncul perlawanan dari mereka. Mereka memang khawatir terhadap balasan kaum Muslim, namun hal itu tidak mengurangi atau menahan gangguan terhadap kaum Muslim. Mereka justru semakin meningkatkan permusuhannya. Salah satu kasus gangguan mereka terjadi pada peristiwa seorang wanita Arab yang pergi ke pasar Yahudi Bani Qainuqa’ dengan membawa perhiasan. Wanita itu lalu duduk di kedai tukang emas milik salah seorang Yahudi. Tiba-tiba datang seorang Yahudi dari arah belakang wanita itu secara mengendap-ngendap dan mengikat baju wanita itu dengan alat pengait ke punggungnya. Ketika wanita itu berdiri, auratnya tersingkap dan orang-orang Yahudi tertawa terbahak-bahak sambil menghina. Seorang laki-laki Muslim yang kebetulan melihatnya menjadi marah. Dia menikam tukang emas itu lalu membunuhnya. Pembunuhan ini mengundang kemarahan kaum Yahudi. Mereka

100         Daulah Islam

beramai-ramai mengeroyok orang Islam itu dan membunuhnya. Keluarga Muslim yang terbunuh tersebut berteriak meminta tolong kepada kaum Muslim untuk menghadapi kaum Yahudi, lalu mereka datang menyerang kaum Yahudi. Sehingga terjadilah perselisihan antara kaum Muslim dan orang-orang Yahudi.

Sebelum kerusuhan pecah dan semakin meluas, Rasul saw sebenarnya sudah meminta kaum Yahudi agar menghentikan gangguan mereka, namun kumpulan manusia terkutuk ini justru makin menampakkan kemarahan. Rasul saw terpaksa keluar bersama-sama kaum Muslim dan mengepung Bani Qainuqa’ dengan sangat rapat. Setelah bermusyawarah dengan kaum Muslim senior, Rasul saw memutuskan untuk membunuh seluruhnya. Tetapi, Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh Yahudi yang menjadi sekutu Bani Qainuqa’ maupun kaum Muslim, menghadap Rasul saw dan berkata, “Wahai Muhammad, berbuat baiklah kepada budak-budakku”. Dia meminta Rasul saw agar mengurungkan rencananya berulang kali. Nabi saw berpaling darinya, namun dia terus mendesak beliau lebih keras. Akhirnya, Nabi saw mengulurkan tangan kepadanya hingga dia menjadi tenang karena kebaikan dan kasih sayang beliau. Nabi saw memenuhi permintaannya dan menetapkan bahwa tidak akan membunuh Bani Qainuqa’ dengan syarat mereka semuanya harus keluar dari kota Madinah. Mereka mematuhinya dan keluar dari Madinah menuju arah Utara hingga mereka sampai di perbatasan Syam.[]
Penyelesaian Goncangan di Dalam Negeri     101














Penyelesaian Goncangan

di Dalam Negeri


Kaum Muslim telah memasuki tahap peperangan dengan kafir Quraisy. Pada peperangan pertama, yaitu perang Badar, musuh berhasil dipukul mundur dan mengalami kekacauan yang berat. Sementara kaum Muslim memperoleh kemenangan gemilang sehingga dapat memperkuat posisi mereka. Kemenangan ini membawa pengaruh besar, menimbulkan goncangan keras terhadap kaum Quraisy. Di sisi lain, hal itu dapat membersihkan Madinah dari rongrongan dan fitnah Yahudi; mengusir sebagian mereka, dan mengadakan perjanjian damai dengan sebagian kabilah Yahudi lainnya. Kekuatan dan ketangguhan kaum Muslim pun semakin

meningkat.

Sebaliknya, keadaan itu membuat kafir Quraisy tidak tenang. Sejak perang Badar, mereka lebih sungguh-sungguh menyiapkan kekuatan dengan persiapan total untuk memerangi kaum Muslim dan menuntut balas kepada mereka, serta merebut kembali hari kemenangan sebagai tebusan kekalahan dalam perang Badar.

Kemudian terjadi perang Uhud. Pada perang ini, kafir Quraisy memperoleh kemenangan karena tidak patuhnya pasukan pemanah terhadap perintah komandan mereka. Kaum Muslim akhirnya pecah dan terpukul mundur. Kafir Quraisy kembali ke Makkah dengan jiwa yang dipenuhi kegembiraan yang meluap-

14            Daulah Islam

luap, karena bisa menebus dan menghilangkan rasa malu atas kekalahan mereka di perang Badar. Sementara kaum Muslim pulang ke Madinah dengan jiwa terpukul dan kalah. Bekas-bekas kekalahan perang tampak pada jiwa mereka, meskipun setelah peperangan tersebut mereka sempat mengejar musuh sampai di Hamra al-Asad.

Kekalahan kaum Muslim meretakkan jiwa mereka, mengakibatkan sebagian kelompok yang tinggal di Madinah sinis dan membangkang, seperti yang dilakukan kabilah-kabilah Arab yang tinggal di sekitar Madinah. Kaum Yahudi dan Munafiq di Madinah setelah perang Badar dan semakin kuatnya kaum Muslim, mereka tunduk dan menyerah pada kekuasaan kaum Muslim. Demikian pula kabilah-kabilah Arab yang tinggal di luar Madinah. Jiwa mereka disusupi rasa takut terhadap kekuatan kaum Muslim. Namun, semua itu berubah setelah perang Uhud. Suku-suku Arab yang berada di luar Madinah mulai berpikir untuk menentang Muhammad. Kaum Yahudi dan kaum Munafiq di Madinah mulai melakukan provokasi dan memusuhi kaum Muslim. Karena itu, Rasulullah saw secara sungguh-sungguh ingin menghentikan isu-isu yang dihembuskan penduduk Madinah dan kabilah-kabilah Arab di luar Madinah. Hal itu beliau lakukan agar memungkinkan untuk mengembalikan posisi kaum Muslim dan kewibawaannya dalam benak mereka. Untuk mencapai target itu, beliau berusaha keras menghilangkan pengaruh buruk kekalahan tersebut dengan menindak tegas setiap orang yang meremehkan kaum Muslim dalam pembicaraannya atau mencari keuntungan dari mereka.

Genap sebulan setelah perang Uhud, Bani Asad merencanakan untuk menyerang Madinah, agar dapat merampas ternak kambing kaum Muslim yang digembalakan di sekitar Madinah. Nabi saw berkeinginan untuk menyerang mereka lebih dahulu saat masih di tempat tinggalnya sebelum mereka menyerang beliau. Karena itu, beliau memanggil Abu Salmah bin Abdul Asad dan memberikan Liwa’ (bendera) kepadanya untuk memimpin pasukan yang jumlahnya 150 orang. Di dalam pasukan tesebut banyak sekali

Penyelesaian Goncangan di Dalam Negeri     103

pahlawan kaum Muslim terbaik, yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqash, Usaid bin Hudhair, dan yang lainnya. Beliau memberikan beberapa instruksi kepada mereka, yaitu agar mereka berangkat di waktu malam, bersembunyi di waktu siang dan mengambil jalur yang tidak biasa dilewati, sehingga tidak seorang pun yang akan mengetahui kabar mereka. Tujuannya agar pasukan Islam mendatangi musuhnya secara tiba-tiba. Abu Salamah dan pasukannya bergerak terus hingga tiba di perkampungan Bani Asad. Dia mengepung mereka di kegelapan subuh dan melakukan serangan secara tiba-tiba. Abu Salamah memberi semangat pasukannya untuk berjihad hingga mereka semuanya terjun ke medan laga, menyerang musuh dan akhirnya berhasil mengalahkan Bani Asad, merampas kekayaannya sebagai harta rampasan perang. Kemudian pulang ke Madinah dengan kemenangan gemilang. Dengan demikian mereka berhasil mengembalikan kewibawaan kaum Muslim dan pengaruhnya ke dalam masyarakat.

Telah sampai kepada Rasul saw bahwa Khalid bin Sufyan al-Hadzaliy yang bermukim di daerah pedalaman atau perkebunan kurma telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang Madinah. Beliau lalu memanggil Abdullah bin Anis dan mengutusnya untuk memata-matai, hingga memperoleh kabar yang jelas tentang Khalid. Abdullah berangkat dan akhirnya bertemu Khalid, lalu dia bertanya kepadanya: “Siapa engkau?.” Abdullah menjawab: “Aku adalah laki-laki Arab yang pernah mendengarmu menghimpun pasukan untuk menyerang Muhammad, lalu dia datang kepadamu untuk perkara itu.”

Khalid tidak menyembunyikan bahwa memang dia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang Madinah. Sementara Abdullah mencari kesempatan untuk mengucilkan Khalid dari orang-orangnya. Setelah hal itu berhasil dilakukannya, dia membuntuti Khalid hingga ketika kesempatan itu terbuka, Abdullah segera menyerangnya dengan pedang dan menewaskannya. Abdullah kembali ke kota Madinah dan melaporkan hasil kerjanya kepada Rasul saw. Dengan terbunuhnya Khalid, gerakan Bani Lihyan dari Hudzail menjadi padam dan tidak mencuat lagi. Rasul

16            Daulah Islam

saw berhasil mengamankan rencana jahat serangan Khalid dan upayanya mengumpulkan orang-orang Arab untuk memerangi beliau.

Demikianlah cara Rasul saw menangani kabilah-kabilah Arab di luar Madinah. Penanganan ini meski berhasil menggagalkan suku-suku Arab yang hendak menyerang Madinah, tetapi belum bisa mengatasi suku-suku Arab yang masih meremehkan kekuasaan kaum Muslimin setelah peristiwa Uhud.

Sekelompok kecil dari kabilah yang bertetangga dengan Bani Hudzail mendatangi Rasul saw dan berkata kepada beliau, “Sesungguhnya di tengah kami ada Islam. Kirimkan bersama kami beberapa orang dari sahabatmu yang akan memberikan pemahaman kepada kami tentang agama, membacakan kami al-Quran dan mengajari kami syari’at Islam.

Beliau mengutus enam orang sahabatnya untuk menemani mereka. Para utusan ini berjalan bersama, hingga tiba di sebuah sumber mata air milik Bani Hudzail di suatu lembah yang dinamakan Raji’. Tiba-tiba mereka mengkhianati para utusan Rasul dan keenam orang tersebut berteriak minta tolong kepada Bani Hudzil. Utusan kaum Muslim didatangi sekelompok laki-laki bersenjatakan pedang dan bermaksud memperdaya mereka. Secara serentak enam sahabat Rasul menghunus pedangnya masing-masing, lalu bertempur mati-matian untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, hingga tiga diantaranya syahid. Sedangkan tiga orang sisanya dipaksa menyerah. Bani Hudzail menangkap dan menjadikan mereka tawanan, kemudian membawanya ke Makkah untuk dijual di sana. Di tengah perjalanan menuju Makkah, salah seorang dari tiga tawanan ini yang bernama ‘Abdullah bin Thariq mengambil kesempatan untuk melarikan diri ketika mereka lengah. Dia berhasil melepaskan ikatan tangannya, lalu mengambil pedangnya untuk menyerang mereka. Namun, jumlah musuh yang besar tidak memungkinkannya melawan, sehingga akhirnya mereka berhasil membunuhnya. Dua tawanan lainnya segera dibawa dan mereka menjual keduanya kepada penduduk Makkah. Salah seorang yang

Penyelesaian Goncangan di Dalam Negeri     105

bernama Zaid bin Datsinah dibeli oleh Shafwan bin Umayyah untuk dibunuh sebagai tebusan bapaknya yaitu Umayyah bin Khalaf. Ketika Zaid akan dibunuh, Abu Sufyan bertanya kepadanya: “Hai Zaid, aku telah mengadukanmu kepada Allah. Sekarang, apakah engkau senang jika Muhammad berada di tangan kami menggantikan tempatmu, lalu engkau memenggal lehernya dan engkau kembali kepada keluargamu?”

Maka dia menjawab: “Demi Allah! Aku tidak rela Muhammad menempati suatu tempat yang akan dihantam jerat yang menyiksanya, sementara aku duduk-duduk dengan keluargaku.” Abu Sufyan amat terkejut dan berkata: “Aku tidak pernah melihat seseorang yang mencintai sahabatnya seperti kecintaan sahabat-sahabat Muhammad kepada Muhammad.” Kemudian Zaid pun dibunuh.

Sedangkan orang kedua adalah Khubaib yang ditawan hingga akhirnya mereka bawa keluar untuk disalib. Khubaib berkata kepada mereka: “Jika kalian hendak menyalibku hingga aku bisa shalat dua raka’at terlebih dahulu maka lakukanlah.” Mereka memenuhi permintaannya hingga dia shalat dua rakaat dengan sempurna dan bagus. Kemudian dia menghadap mereka lalu berkata: “Demi Allah, ada pun seandainya kalian tidak menduga bahwa aku telah memanjangkan shalatku agar dapat mengulur waktu dari pembunuhan, sunguh aku akan memperbanyak shalat.”

Mereka kemudian menyeret Khubaib dan menaikkannya di atas kayu salib. Tangan-tangan dan kaki-kaki Khubaib direntangkan di atas tonggak kayu salib dengan paksa, lalu ujung-ujung kedua tangan dan kakinya dipaku dengan kuat. Mata Khubaib memandang mereka dengan marah, seraya meneriakkan doa: “Ya Allah, sesungguhnya telah sampai kepada kami risalah Rasul-Mu, maka besok sampaikan kepadanya apa yang membuat kami demikian. Ya Allah, hitunglah jumlah mereka dan bunuhlah mereka dengan sekali lumat, dan janganlah Engkau biarkan hidup seorang pun dari mereka!” Mendengar teriakan Khubaib, mereka menjadi gemetar, kemudian mereka tetap membunuhnya.

Rasul saw amat berduka mengenang peristiwa yang menimpa enam sahabatnya, begitu juga dengan kaum Muslim. Kesedihan

(2)            Daulah Islam

mereka semakin bertambah-tambah dengan adanya penghinaan Bani Hudzail terhadap kaum Muslim dan sikap mereka yang meremehkan kaum Muslim. Melihat hal ini Rasul saw berpikir keras. Di tengah perenungannya, tiba-tiba Abu Barra’ ‘Amir bin Malik datang menghadapnya. Rasul saw lalu menawarkan Islam kepadanya, tetapi Abu Barra’ belum bersedia menerimanya. Meskipun demikian, dia tidak menampakkan permusuhan terhadap Islam. Dia berkata kepada Rasul: “Hai Muhammad, jika engkau mengirim beberapa laki-laki dari sahabatmu kepada penduduk Najd, lalu mengajak mereka menerima (dakwah)mu, engkau bisa berharap mereka akan menerimanya.”

Namun, Rasul saw khawatir para sahabatnya mengalami perlakuan buruk dari penduduk Najd, seperti yang dilakukan Bani Hudzail, sehingga beliau belum memenuhi permintaan Abu Barra’. Tetapi Abu Barra’ berhasil meyakinkan Rasul, karena dia bersedia mendampingi orang-orang yang akan berangkat untuk dakwah. Dia berkata kepada Rasul saw: “Saya akan mendampingi mereka, maka utuslah mereka agar mereka dapat mengajak manusia kepada (dakwah) mu.”

Abu Barra’ adalah laki-laki yang didengar perkataannya. Dia tidak takut pada siapapun yang mendampinginya dengan maksud akan memperdayanya. Rasulullah saw mengutus al-Mundzir bin ‘Amru untuk memimpin 40 laki-laki Muslim pilihan. Mereka berjalan hingga tiba di daerah sumur Ma’unah. Dari tempat itu, mereka mengirim utusan dengan membawa surat Rasul untuk diberikan kepada ‘Amir bin Thufail. ‘Amir tidak melihat isi surat, tetapi justru membunuh utusan ini. Dia kemudian meminta bantuan sukunya, Bani ‘Amir, agar membunuh kaum Muslim. Akan tetapi, mereka tidak menghiraukannya. Mereka memenuhi jaminan (janji) mereka untuk bertetangga secara damai dengan Abu Barra’. ‘Amir tidak berdiam diri. Dia segera minta bantuan kabilah-kabilah lain dan mengepung kaum Muslim yang tengah berada di tempat peristirahatan mereka. Ketika melihat mereka, kaum Muslim pun mencabut pedangnya masing-masing dan berperang hingga banyak

Penyelesaian Goncangan di Dalam Negeri     107

di antara mereka yang mati terbunuh dan tidak ada yang selamat kecuali dua orang. Rasulullah saw dan kaum Muslim pun semakin sedih menyaksikan para syuhada tersebut, dan sangat terpengaruh oleh peristiwa ini.

Rasulullah saw kembali berpikir tentang hal tersebut dan berusaha menemukan cara yang tepat untuk mengatasi orang-orang Arab serta mengembalikan kewibawaan kaum Muslim dalam jiwa mereka. Akan tetapi, beliau melihat bahwa kejadian-kejadian tersebut mempengaruhi aktivitas kota Madinah. Beliau berpendapat bahwa langkah pertama untuk mengatasinya adalah menyelesaikan kondisi dalam negeri. Setelah persoalannya reda dan selesai, barulah beliau akan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa Arab dan masalah yang berhubungan dengan luar kota Madinah. Adapun persoalan-persoalan dalam negeri berpusat pada kaum Yahudi dan Munafik. Mereka memang berusaha memperlemah kewibawaan kaum Muslim dalam benak mereka dengan memanfaatkan kasus perang Uhud, peristiwa Raji’ dan sumur Ma’unah. Mereka menunggu apa yang akan dilakuakn Rasul saw. Rasul saw mampu mengungkap niat jahat mereka dengan adanya langkah-langkah mereka sendiri yang secara tidak disadari menampakkan persekongkolannya untuk melawan beliau. Beliau mengutus Muhammad bin Maslamah untuk mendatangi mereka sambil bersabda kepadanya: “Pergilah menemui Yahudi Bani Nadhir dan katakanlah kepada mereka, bahwa Rasulullah telah mengutusku menemui kalian agar kalian keluar dari negeriku. Kalian telah membatalkan perjanjian yang dibuat bagi kalian dengan niat hendak mengkhianatiku. Aku tetapkan waktu bagi kalian selama sepuluh hari, maka siapa saja setelah itu masih terlihat berkeliaran di kota Madinah, aku akan memenggal lehernya.”

Bani Nadhir hampir saja keluar dari kota Madinah, seandainya tidak ada ‘Abdullah bin Ubay yang memprovokasi mereka agar tetap tinggal di Madinah. Huyai bin Akhthab memberi semangat keberanian kepada mereka agar berlindung di benteng-benteng mereka. Sepuluh hari yang telah dijanjikan telah habis dan mereka belum juga keluar dari perkampungan mereka. Maka, Rasul saw

18            Daulah Islam

memerangi mereka hingga posisi mereka terjepit. Mereka akhirnya minta jaminan keamanan kepada Nabi saw terhadap harta, darah, dan anak-cucu mereka hingga mereka keluar. Rasul saw memberi kemurahan kepada mereka dengan meminta mereka tetap keluar dari Madinah. Setiap tiga orang dari mereka diperbolehkan membawa seekor unta yang akan mengangkut makanan dan minuman apa saja yang mereka kehendaki. Selebihnya tidak. Mereka keluar dengan meninggalkan semua yang dimilikinya berupa tanah, kebun kurma, hasil bumi dan persenjataan sebagai ghanimah bagi kaum Muslim. Rasulullah saw kemudian membagi-bagikan ghanimah itu kepada kaum Muhajirin saja dan tidak memberi bagian sedikit pun kepada kaum Anshar, kecuali kepada dua orang, yaitu Abu Dujanah dan Sahal bin Hanif karena keduanya orang fakir seperti halnya kaum Muhajirin.

Dengan pengusiran Bani Nadhir dan memberi pelajaran kepada mereka, Rasul berhasil memantapkan kedudukan politik di dalam negeri dan mengembalikan kewibawaan kaum Muslim. Setelah itu, barulah Rasul saw berpaling menangani politik luar negeri. Beliau menantang kafir Quraisy dalam perang Badar kedua, tetapi mereka tidak berani menghadapinya. Semua itu berlangsung dalam satu tahun semenjak peristiwa perang Uhud. Rasul saw ingat kata-kata Abu Sufyan yang mengatakan, “hari ini, Uhud menjadi tebusan hari Badar dan hari yang dijanjikan perang berikutnya di tahun depan.”

Rasul saw tetap ingat bahwa suatu saat harus menghadapi Abu Sufyan. Karena itu, beliau menyiapkan kaum Muslim. Sementara kepemimpinan kota Madinah diserahkan kepada ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Salul. Beliau kemudian berangkat dengan kaum Muslim hingga tiba di Badar. Mereka menanti kafir Quraisy sambil mempersiapkan diri untuk memeranginya. Kafir Quraisy kemudian keluar bersama Abu Sufyan dari Makkah dengan membawa pasukan lebih dari 2000 orang. Akan tetapi, belum beberapa lama kakinya menginjak bumi, Abu Sufyan pulang diikuti semua pasukannya. Rasul saw masih tinggal di lembah Badar hingga

Penyelesaian Goncangan di Dalam Negeri     109

berlangsung selama delapan hari berturut-turut sambil menunggu Quraisy. Musuh yang ditunggu-tunggu belum juga muncul dan akhirnya kabar kembalinya kafir Quraisy sampai kepada beliau. Maka, Rasul bersama kaum Muslim kembali ke kota Madinah setelah memperoleh banyak keuntungan dagang di saat mereka tinggal di daerah Badar. Mereka kembali dalam keadaan menang meski mereka tidak berperang. Kemudian Rasul saw membawa pasukannya untuk menghadapi Bani Ghathfan di Najd. Musuh pun akhirnya lari tunggang langgang dari hadapan Nabi saw dengan meninggalkan harta dan wanita -wanita mereka. Kaum Muslim menjadikannya sebagai ghanimah dan mereka kembali ke Madinah. Tak berapa lama, Rasul saw keluar lagi ke Daumah al-Jandal yang wilayahnya terletak di perbatasan antara Hijaz dan Syam. Tujuannya untuk memberi pelajaran kepada kabilah -kabilah yang sering mengganggu kafilah (dagang). Mereka tidak mau menghadapinya. Namun, Rasul membuat mereka terkejut dan ketakutan, lalu mereka berpaling dan lari dari hadapan Nabi saw dengan meninggalkan kekayaannya. Kaum Muslim pun mengambilnya dan membawanya pulang sebagai tanda kemenangan.

Dengan berbagai peperangan luar nageri dan kebijakan-kebijakan politik dalam negerinya di Madinah, Rasul saw dapat mengembalikan kewibawaan Negara Islam di mata bangsa Arab dan kaum Yahudi, serta mampu menghapuskan sama sekali pengaruh buruk kekalahan perang Uhud.[]

(14)        Daulah Islam
















Perang Ahzab



Berbagai peperangan dan sikap tegas Rasulullah saw setelah perang Uhud, memiliki pengaruh sangat besar dalam menyebarluaskan kewibawaan kaum Muslim, memperkokoh Daulah Islam, memperluas pengaruh kaum Muslim, mengagungkan kekuasaan mereka, dan menggentarkan kawasan jazirah Arab. Apabila bangsa Arab mendengar nama Rasul saw hendak menyerang mereka atau menggertaknya, maka serta merta mereka tunggang langgang melarikan diri, sebagaimana yang dialami pada

Bani Ghathfan dan pada peristiwa Daumah al-Jandal.

Kafir Quraisy sangat takut untuk menghadapi kaum Muslim, seperti yang terjadi pada perang Badar kedua. Kondisi semacam ini memungkinkan kaum Muslim bisa mewujudkan kehidupan yang tentram di Madinah dan mengatur kehidupan mereka dalam naungan cahaya baru yang ada bagi kaum Muhajirin, setelah mereka memperoleh ghanimah Bani Nadhir dan mendistribusikan tanah, kebun kurma, rumah-rumah, termasuk berbagai perkakas kepada mereka. Meskipun demikian, mereka tidak condong pada kehidupan dunia, yang bisa memalingkannya dari keberlangsungan jihad, karena jihad wajib hingga hari Kiamat. Hal itu hanya menjadikan kondisi kehidupan mereka lebih baik, mantap, dan aman dibandingkan sebelumnya. Rasul saw sendiri berada dalam

Perang Ahzab  111

ketentraman dan tetap waspada terhadap tipudaya musuh. Beliau terus-menerus menyebarkan mata-mata dan tim pengintai beliau ke seluruh penjuru jazirah Arab. Mereka selalu mengirimkan berbagai informasi kepada beliau mengenai kondisi bangsa Arab dan persekongkolan mereka, sehingga ada kesempatan bagi beliau untuk mempersiapkan diri mengahadapi musuh. Dengan begitu beliau mengetahui betul rencana dan berbagai uslubnya, serta persiapan untuk menghadapinya. Terutama karena musuh-musuh kaum Muslim semakin banyak di jazirah, setelah beliau memiliki kekuasaan yang menggentarkan seluruh bangsa Arab. Juga setelah berhasil mengusir Yahudi Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir dari Madinah, serta setelah berhasil memukul mundur kabilah-kabilah Arab, seperti Bani Ghathfan, Hudzail dan yang lainnya dengan pukulan yang mematikan.

Karena itu, Rasul saw senantiasa waspada dengan cara mencermati informasi mengenai bangsa Arab hingga sampai kabar kepada beliau tentang kafir Quraisy dan sebagian kabilah yang bersekutu untuk menyerang kota Madinah. Beliau segera menyiapkan pasukan untuk menyongsong mereka. Sebab, setelah Bani Nadhir diusir oleh Rasulullah dari kota Madinah, menyeruak dalam jiwa mereka pikiran busuk untuk membangkitkan perselisihan bangsa Arab kepada Rasul saw, sehingga mereka memberontak kepadanya.

Untuk melaksanakan rencananya tersebut, beberapa orang Yahudi Bani Nadhir keluar dari pengungsiannya untuk menemui kafir Quraisy Makkah. Mereka adalah Hayyi bin Akhthab, Salam bin Abi al-Haqiq, dan Kinanah bin Abi al-Haqiq. Turut bergabung pula beberapa orang dari Bani Wail Hawadzah bin Qayis dan Abu ‘Ammar. Penduduk Makkah bertanya kepada Hayyi tentang kaumnya. Dia menjawab, “Aku meninggalkan mereka di antara Khaibar dan Madinah. Mereka dalam keadaan kebingungan hingga kalian datang menemui mereka, lalu kalian berangkat bersama mereka untuk menghancurkan Muhammad dan kawan-kawannya”. Mereka bertanya pula tentang Bani Quraizhah, lalu dia menjawab, “Mereka masih tinggal di kota Madinah dan tengah membuat makar untuk menyerang

20            Daulah Islam

Muhammad, hingga kalian mendatangi mereka, lalu mereka akan bergabung dengan kalian”.

Orang-orang Quraisy ragu -ragu apakah harus menerima tawaran tersebut kemudian maju menyerang ataukah menolak. Sebab, antara mereka dan Muhammad sebenarnya tidak ada perselisihan kecuali menyangkut dakwah yang menyerukan kepada Allah. Bukan tidak mungkin dialah yang berada dalam kebenaran? Karena itu, kafir Quraisy bertanya kepada Yahudi: “Hai orang-orang Yahudi, kalian adalah Ahlu Kitab yang pertama dan mengetahui persoalan yang membuat kami berselisih dengan Muhammad. Apakah agama kami ataukah agamanya yang lebih baik?”

Orang-orang Yahudi itu menjawab:”Tentu agama kalian lebih baik daripada agamanya, dan kalian lebih berhak atas kebenaran itu.”

Padahal Yahudi yang beragama tauhid itu, sebenarnya mengetahui bahwa agama Muhammad adalah benar. Akan tetapi, karena keinginan mereka yang kuat untuk membangkitkan kebencian orang Arab, menjadikan mereka membiarkan diri dalam kesalahan yang menjijikan tersebut. Ini adalah noda yang bersifat abadi. Mereka meneriakkan kebohongan dengan mengatakan bahwa menyembah berhala jauh lebih baik daripada tauhid. Mereka tetap melakukannya dan akan melakukan hal lainnya yang serupa. Setelah puas meyakinkan kafir Quraisy dengan pendapat mereka, kaum Yahudi pergi ke Ghathfan dari kabilah Qais ‘Ailan, ke Bani Murrah, Bani Fuzarah, Bani Asyja’, Bani Salim, Bani Sa’ad, Bani Asad, dan kepada siapa saja yang menyimpan rasa dendam terhadap kaum Muslim. Kaum Yahudi itu tak henti-hentinya membangkitkan kebencian kabilah-kabilah tersebut dan mengingatkan mereka tentang keikutsertaan kafir Quraisy dalam memberi dukungan untuk memerangi Muhammad. Mereka memuji dan menyanjung-nyanjung orang-orang Arab tersebut serta menjanjikan pertolongan terhadap mereka.

Demikianlah yang mereka lakukan, hingga akhirnya mereka berhasil menghimpun suku-suku Arab untuk memerangi Rasul. Kabilah-kabilah Arab kemudian berkumpul dan keluar bersama-sama kafir Quraisy mendatangi Madinah.

Perang Ahzab  113

Kaum Quraisy keluar di bawah pimpinan Abu Sufyan dengan 4.000 pasukan, 300 pasukan berkuda dan 1.500 pasukan penunggang unta. Bani Ghathfan keluar di bawah pimpinan ‘Uyainah ibnu Hashan bin Hudzaifah beserta rombongan dalam jumlah yang banyak dan 1.000 orang pasukan penunggang unta. Bani Asyja’ keluar dengan 400 orang pasukan di bawah pimpinan Mas’ar bin Rakhilah. Bani Murrah keluar juga dengan 400 pasukan di bawah kendali al-Harits bin ‘Auf. Salim dan penduduk Bi’ru Ma’unah datang dengan membawa 700 orang pasukan. Mereka berkumpul dan bergabung pula Bani Sa’ad dan Bani Asad sehingga keseluruhannya berjumlah sekitar 10.000 orang. Semuanya bergerak menuju kota Madinah di bawah komando Abu Sufyan.

Ketika berita keberangkatan pasukan gabungan musuh yang sangat besar ini sampai kepada Rasul saw, beliau segera mengambil keputusan untuk membentengi Madinah. Salman al-Farisi mengusulkan untuk menggali parit di sekeliling Madinah, dan membuat benteng di sisi dalamnya. Kemudian parit itu pun digali dan Nabi saw sendiri juga ikut serta menggalinya. Beliau menggali tanah sambil memberi semangat kepada kaum Muslim dan mengajak mereka agar melipatgandakan kesungguhannya. Pembuatan parit akhirnya rampung dalam enam hari. Tembok-tembok rumah yang menghadap langsung ke arah musuh dijaga. Rumah-rumah hunian yang berada di belakang parit dikosongkan. Kaum wanita dan anak-anak dibawa dan dikumpulkan dalam rumah-rumah yang dijaga. Rasul saw kemudian keluar bersama 3.000 orang pasukan. Kemudian beliau menjadikan punggungnya mengarah ke anak bukit sementara parit dijadikan batas pemisah antara dirinya dan pasukan musuh. Di sanalah ditempatkan pasukannya, lalu didirikan kemah-kemah dengan warna merah.

Kafir Quraisy dan pasukan gabungannya (Ahzab) pun tiba. Mereka sangat berharap bertemu Muhammad di bukit Uhud, namun tidak menemukannya. Pasukan musuh terus bergerak ke arah kota Madinah. Namun, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh adanya parit yang melingkar menghadang. Mereka bingung, karena belum pernah mengenal jenis pertahanan semacam ini. Lalu,

22            Daulah Islam

Quraisy dan pasukan gabungan itu membangun perkemahan di luar Madinah jauh di belakang parit. Abu Sufyan dan orang-orang yang menyertainya meyakini bahwa mereka akan lama tinggal di depan parit tanpa bisa melakukan apa-apa, apalagi mencebur ke dalam parit. Waktu itu adalah musim dingin di mana angin bertiup kencang dan hawa dingin sangat membekukan. Lambat laun, kelemahan merayapi mereka dan menganggap lebih baik pulang kembali melalui jalur semula.

Hayyi bin Akhthab selalu memperhatikan perkembangan pasukan gabungan yang direkayasanya. Dia berbicara kepada mereka bahwa dia akan meyakinkan Bani Quraizhah untuk membatalkan perjanjian yang telah mereka buat dengan Muhammad dan kaum Muslim sekaligus mengajak mereka bergabung dengan pasukan gabungan kafir Quraisy. Jika Quraizhah mau melakukannya, maka bantuan kaum Muslim terputus dan jalan memasuki kota Madinah terbuka lebar.

Kafir Quraisy dan Bani Ghathfan amat gembira mendengar rencana itu. Hayyi bin Akhtab segera pergi menemui Ka’ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah. Ketika Ka’ab menyadari maksud Hayyi, maka Ka’ab segera menutup pintu bentengnya tanpa mengajak dia masuk. Sementara itu, Hayyi terus berdiri di depan pintu hingga pintu benteng tersebut terbuka lagi dan serta merta dia berkata: “Celaka engkau, hai Ka’ab! Aku datang kepadamu dengan kemenangan abadi dan lautan kekayaan yang melimpah. Aku datang kepadamu beserta kaum Quraisy di bawah komando dan kepimimpinan mereka. Juga aku datang kepadamu beserta Bani Ghathfan di bawah komando dan kepemimpinannya. Mereka membuat perjanjian dan kesepakatan kepadaku untuk tidak meninggalkan medan perang hingga mereka berhasil mencabut Muhammad dan orang-orangnya dari akar-akarnya.”

Ka’ab bimbang, karena dia ingat kejujuran dan konsistensi Muhammad dalam memenuhi janji dan merasa khawatir dengan akibat ajakan Hayyi. Akan tetapi, Hayyi tidak putus asa dan terus -menerus mengingatkan kepadanya berbagai penderitaan yang menimpa kaum Yahudi akibat ulah Muhammad. Juga menggambarkan kepadanya tentang kekuatan pasukan Ahzab,

Perang Ahzab  115

hingga akhirnya Ka’ab pun menerima ajakan Hayyi dan membatalkan perjanjiannya dengan Muhammad dan kaum Muslim. Dengan demikian Bani Quraizhah telah bergabung dengan pasukan Ahzab, tanpa memberitahukannya lebih dulu kepada Rasul saw.

Peristiwa tersebut akhirnya sampai juga kepada Rasul saw dan para sahabatnya. Mereka mengalami kegoncangan dan khawatir terhadap akibat tipu daya tersebut. Rasul saw segera mengutus Sa’ad bin Mu’adz (pemimpin Aus) dan Sa’ad bin ‘Ubadah (pemimpin Khazraj) yang disertai oleh ‘Abdullah bin Rawahah dan Khuwat bin Jabir untuk mencari kejelasan berita tersebut. Beliau berpesan kepada mereka jika benar Bani Quraizhah merusak perjanjiannya, hendaknya mereka merahasiakannya, sehingga kejadian itu tidak sempat memecah-belah masyarakat. Mereka cukup memberitahukan hal tersebut kepada beliau dengan isyarat dan surat. Ketika para utusan ini datang, mereka berusaha membujuk Bani Quraizhah dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan perbuatan paling kotor. Ketika mereka berusaha mengembalikan Bani Quraizhah pada perjanjian semula, Ka’ab justru menuntut mereka agar mengembalikan kawan-kawan mereka Yahudi Bani Nadhir ke perkampungan mereka semula. Sementara itu Sa’ad bin Mu’adz, yang sebelumnya adalah sekutu Bani Quraizhah, berusaha meyakinkan mereka untuk tetap berada di pihak Muhammad saw. Ka’ab berkata:”Siapakah Rasuullah itu? Tidak ada perjanjian dan kesepakatan antara kami dengan Muhammad!” .

Utusan ini kembali dan mengabarkan kepada Rasul mengenai apa yang mereka lihat. Kekhawatiran di kalangan kaum Muslim meningkat. Sementara itu pasukan Ahzab mempersiapkan dirinya untuk berperang. Adapun Bani Quraizhah meminta tenggat waktu kepada pasukan Ahzab selama 10 hari guna menyiapkan pasukannya, sehingga pasukan Ahzab dapat memerangi kaum Muslim pada hari yang kesepuluh dengan dahsyat. Itulah yang mereka lakukan, yaitu membentuk tiga kesatuan tempur untuk memerangi Nabi. Kesatuan tempur Ibnu al-A’war al-Sulamiy akan menyerang dari arah atas lembah dan kesatuan tempur ‘Uyayinah bin Hashan akan menyerang dari arah samping. Sedangkan Abu

24            Daulah Islam

Sufyan akan menyerang dari arah parit. Kegoncangan yang luar biasa benar-benar menyelimuti kaum Muslim, pandangan mata menjadi kabur dan jantung mereka berdebar keras sangat ketakutan. Sementara di pihak lain, dukungan terhadap pasukan gabungan semakin kuat. Kekuatan mereka sangat solid. Jiwa mereka terangkat penuh optimisme. Tidak lama kemudian, mereka segera menghambur dan mencebur ke dalam parit. Sebagian pasukan penunggang kuda kafir Quraisy terpacu untuk segera menyerang, di antara mereka adalah ‘Amru bin ‘Abdu Wuda, ‘Ikrimah bin Abu Jahal dan Dharar bin al-Khaththab. Mereka melihat adanya satu celah sempit yang ada antara bukit dan parit, lalu mereka gunakan untuk melintas dan memecah pertahanan kaum Muslim. ‘Ali bin Abi Thalib ra yang melihat hal itu segera keluar dalam sekelompok kecil kaum Muslim. Mereka memang mengambil celah yang dijadikan tempat untuk menerjunkan kuda-kuda mereka. Kemudian ‘Amru bin ‘Abdu Wuda maju seraya berteriak-teriak menantang duel. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib menyambut ajakan duelnya dan turun ke gelanggang, ‘Amru bin ‘Abdu Wuda tertawa mengejek: “Wahai anak saudaraku, mengapa harus kamu yang turun?! Demi Allah, aku tidak ingin membunuhmu!”. Ali ra. membalas keras: “Tetapi, demi Allah, aku sangat ingin membunuhmu.

Keduanya lalu menghunus pedang dan bertarung. ‘Ali berhasil membunuhnya. Akibatnya kuda-kuda pasukan Ahzab lari terpukul hingga tercebur ke dalam parit, kemudian mundur ke induk pasukan. Namun, kejadian itu tidak melemahkan jiwa pasukan Ahzab. Bahkan api semangat penyerangannya semakin berkobar hingga menggetarkan kaum Muslim. Pasukan bantuan dari Bani Quraizhah mulai marah. Mereka keluar dari benteng-benteng mereka dan turun ke pemukiman-pemukiman kota Madinah di daerah yang dekat dengan mereka untuk meneror penduduknya. Keadaan semakin mencekam, kekhawatiran semakin memuncak dan kegoncangan semakin meluas. Rasul saw justru semakin percaya dengan pertolongan Allah kepadanya. Di tengah suasana tersebut tiba-tiba Nu’aim bin Mas’ud yang baru masuk Islam, datang kepada

Perang Ahzab  117

Rasul saw untuk melemahkan semangat kaum kafir.

Nu’aim berangkat atas perintah Rasul menjumpai Bani Quraizhah. Mereka belum mengetahui bahwa Nu’aim sebenarnya sudah memeluk Islam. Mereka hanya mengenal bahwa Nu’aim adalah teman lama mereka di masa jahiliah. Nu’aim mengingatkan mereka tentang hubungan kasih sayang yang sudah lama terjalin di antara dirinya dengan mereka. Kemudian dia juga mengingatkan mereka, mengapa harus membantu kafir Quraisy dan Ghathfan untuk menyerang Muhammad. Sangat mungkin sekali Quraisy dan Ghathfan tidak akan lama menduduki posisinya dan mereka akan segera pergi pulang. Mereka hanya membuat mimpi tentang bencana yang akan menimpa Muhammad. Padahal mereka justru mengkhayalkan bencana yang akan menimpa mereka sendiri. Nu’aim juga menasihati agar mereka tidak ikut memerangi Muhammad bersama kaum Quraisy. Mereka telah memperoleh jaminan dengan apa saja yang dimiliki mereka dan tidak membantu kaum Quraisy dan Ghathfan. Bani Quraizhah akhirnya puas dan merasa yakin dengan apa yang dikatakan oleh Nu’aim.

Setelah itu Nu’aim pergi kepada kaum Quraisy. Dia memberitahukan kepada mereka secara rahasia bahwa Bani Quraizhah menyesali perbuatan mereka yang telah melanggar perjanjiannya dengan Muhammad. Mereka akan melakukan apapun demi keridlaan Muhammad dan memperoleh kasih sayangnya dengan cara lebih mengutamakan beliau daripada tokoh-tokoh Quraisy yang akan memenggal leher mereka. Karena itu, dia menasihati mereka bahwa orang-orang Yahudi telah mengutusnya kepada mereka untuk memperoleh jaminan dari pemuka Quraisy supaya tidak mengirimkan utusan seorangpun. Hal yang sama Nu’aim lakukan terhadap Ghathfan, sebagaimana yang telah dilakukannya kepada kaum Quraisy. Keraguan merayap dalam jiwa orang-orang Arab dari kalangan Yahudi. Akhirnya Abu Sufyan mengirimkan surat kepada Ka’ab dan mengabarkan: “Sudah lama kami melakukan pendudukan dan pengepungan kepada laki-laki ini (Muhammad). Aku melihat kalian bersandar kepadanya di waktu besok,

26            Daulah Islam

sementara kami berada di belakang kalian.” Ka’ab menjawab, “Besok hari Sabtu dan kami tidak dapat berperang maupun melakukan pekerjaan di hari Sabtu.”
Abu Sufyan marah dan membenarkan cerita Nu’aim. Kemudian dia meminta kembali utusan itu untuk menemui Quraizhah dan mengatakan kepada mereka, “Jadikanlah oleh kalian suatu hari Sabtu lain untuk menggantikan hari Sabtu ini, karena Sabtu besok harus memerangi Muhammad. Jika kami keluar untuk memeranginya dan kalian tidak bersama kami, maka kami melepaskan diri dari persekutuan kalian. Dan kami akan memerangi kalian dahulu sebelum Muhammad.”

Mendengar ucapan Abu Sufyan semacam ini, Quraizhah kembali menegaskan tekadnya bahwa mereka tidak bisa melanggar hari Sabtu. Kemudian mereka memberi isyarat adanya jaminan, sehingga merasa tenang dengan kepastian tempat kembali mereka. Mendengar jawaban demikian, Abu Sufyan tidak ragu-ragu lagi dengan cerita Nu’aim. Malamnya dia berpikir apa yang harus dilakukan. Abu Sufyan akhirnya memutuskan harus berbicara pada Ghathfan. Namun, dia mendapati bahwa Ghathfan juga ragu-ragu untuk maju memerangi Muhammad. Pada tengah malamnya, tiba-tiba Allah mengirimkan kepada mereka angin topan bercampur petir disertai hujan yang sangat lebat. Kemah-kemah mereka porak poranda. Periuk dan perkakas dapur terbalik tumpang tindih. Ketakutan merasuki jiwa mereka. Dalam pikiran mereka terbayang bahwa kaum Muslim pasti segera mengambil kesempatan ini untuk menyeberangi parit lalu menyerang mereka. Thalihah berdiri dan berteriak lantang, “Muhammad telah memulai menyerang kalian dengan keras! Karena itu, selamatkanlah diri kalian!” Abu Sufyan pun tidak mau diam. Dia segera memberi komando pasukannya, “Hai orang-orang Quraisy, kembalilah! Sesungguhnya aku juga segera kembali.” Kaum Quraisy segera pergi dengan rasa ringan. Kemudian Ghathfan dan pasukan Ahzab menyusul pulang. Pagi harinya tidak satupun dari mereka yang tersisa. Ketika Rasul saw melihat keadaan ini, beliau dan kaum Muslim segera kembali ke kota Madinah. Allah telah

Perang Ahzab  119

memenuhi janji-Nya kepada orang-orang yang beriman untuk memenangkan peperangan.

Rasul saw memperoleh keleluasaan dari ancaman serangan kafir Quraisy dan Allah telah memberikan kemenangan kepadanya dalam pertempuran. Kemudian beliau memandang harus segera menghentikan sepak terjang Bani Quraizhah. Mereka telah membatalkan perjanjian dengan beliau dan bersekongkol untuk memerangi kaum Muslim. Karena itu, beliau saw memerintahkan seorang muadzin untuk menyampaikan pesan beliau kepada masyarakat: “Siapa saja yang mendengar dan taat, maka janganlah mereka shalat ‘Asar kecuali telah tiba di Bani Quraizhah.” Dengan mengangkat bendera, ‘Ali segera berangkat untuk menyerang Bani Quraizhah. Pasukan yang menyertai ‘Ali ra merasa ringan dan dalam keadaan riang gembira. Mereka terus bergerak hingga tiba di daerah Bani Quraizhah, lalu mengepung mereka dengan rapat selama 25 malam berturut-turut. Yahudi Quraizhah mengirimkan utusan kepada Rasul saw, lalu berunding dengan beliau. Setelah itu mereka melaksanakan keputusan Sa’ad bin Mu’adz yang menetapkan hukuman agar mereka membunuh musuh yang memerangi kaum Muslim, membagi-bagikan kekayaan mereka serta menjadikan para wanita dan anak-anak sebagai tawanan. Keputusan ini dapat dilaksanakan sempurna dan dengan demikian penyelesaian untuk masalah kabilah tersebut telah dilakukan. Sehingga Madinah bersih darinya.

Dengan hancurnya tentara Ahzab, maka berakhir sudah upaya perlawanan baru yang terakhir dari kafir Quraisy untuk menghadapi dan memerangi Rasul saw. Dengan menghukum Bani Quraizhah, beliau berhasil membersihkan tiga kabilah Yahudi yang bercokol di sekitar Madinah, di mana mereka telah mengikat perjanjian dengan Nabi lalu merusaknya. Dengan demikian, kedudukan Rasul saw dan kaum Muslim di Madinah dan sekitarnya menjadi stabil. Hal itu menyebabkan bangsa Arab takut dan gentar kepada kaum Muslim tetangga mereka.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar