Minggu, 17 Maret 2019

“sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (13:11)


Jalan Menuju Iman
            Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia. Pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu.
“sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (13:11)
Satu-satu-nya jalan untuk mengubah mafahim seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan dunia sehingga padat terwujud mafahim yang benar tentang kehidupan. Semua itu dapat tercapai dengan memberikan kepada manusia pemikiran menyeluruh dan sempurna tentang apa yang ada dibalik ketiga unsur tersebut dan merupakan landasan berpikir yang melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan dunia.
Pemecahannya harus sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan hati. Dan ditempuh dengan al-fikru al-mustanir (pemikiran cemerlang). Pemikiran ini akan menghasilkan akidah, dan menjadi landasan berpikir yang melahirkan setiap pemikiran cabang tentang perilaku manusia di dunia ini serta peraturan-peraturannya.
Islam dibangun atas satu dasar yaitu akidah. Akidah menjelaskan bahwa dibalik alam semesta, manusia, hidup, terdapat pencipta (al-khalik) yang telah menciptakan ketiganya, serta yang telah menciptakan segala sesuatu lainnya. Dialah Allah SWT.
Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya pencipta yang menciptakannya. Alam semesta, manusia dan hidup ketiganya bersifat terbatas. Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang terbatas, akan kita simpulkan bahwa semuanya tidak Azali.
Membuktikan adanya Al-khaliq yang maha pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, penomena hidup, dan diri manusia sendiri.
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal” (3:190).
Ajakan itu untuk dijadikan petunjuk akan adanya pencipta yang maha pengatur, sehingga imannya kepada Allah SWT menjadi mantap, yang berakar pada akal dan bukti yang nyata.
Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah sifat-sfat Allah SWT dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhan, menghayalkan penjelmaannya dengan bentuk materi.
Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah SWT, serta melarang bertaqlid dalam masalah aqidah. Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah.
Setiap muslim wajib menjadikan imannya muncul dari proses berpikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta senantiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlak dalam beriman kepada (adanya) Allah SWT. Melalui pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa.
Kendati wajibnya atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada diluar batas kemampuan indra dan akalnya. Pada hakekatnya iman itu adalah percaya terhadap wujud Allah SWT. Sedangkan wujud-Nya dapat diketahui melalui makhluk-makhluk-Nya.
Akal tidak mungkin memahami hakekat yang ada diluar batas kemampuannya, karena perannya amat terbatas. Seharusnya keterbatasannya itu justru menjadi faktor penguat iman, bukan sebaliknya menjadi sebab keragu-raguan dan kebimbangan.
Apabila iman kita kepada Allah SWT telah tercapai melalui proses berfikir, maka kesadaran kita terhadap adanya Allah menjadi sempurna. Perasaan dikaitkan dengan akal akan adanya Allah, tentu perasaan tersebut akan mencapaisuatu tingkat yang meyakinkan. Selain itu, kita wajib berserah diri terhadap semua yang dikhabarkan Allah SWT tentang hal-hal yang tidak danggup dicerna atau yang tidak dapat dicapai oleh akal.
Adapun bukti kebutuhan manusia terhadap para rasul, dapat kita lihat dari fakta bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT. Dan beragama merupakan sesuatu yang fitri pada diri manusia. Kerena termasuk salah satu naluri yang ada pada manusia. Dalam fitrahnya, manusia senantiasa mensucikan penciptanya. Aktivitas ini dinamakan ibadah, yang berfungsi sebagai penghubung antara manusia dengan penciptanya. Dan butuh aturan. Maka aturan ini harus datang dari Al-khaliq. Karena aturan ini harus sampai kepada manusia. Dan keberadaan para rasul suatu keniscayaan yang tugas menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia terhadap tuntunan Gharizah (naluri) serta kebutuhan-kebutuhan jasmani, adalah keharusan yang sangat diperlukan. Pemuasan semacam ini jika dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan menyimpang, yang pada gilirannya akan menyebabkan kesengsaraan umat manusia. Maka perlu aturan yang datang dari Allah SWT melalui Para rasul.
Mengenai bukti bahwa Al-qur’an itu datang dari Allah, dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al-qur’an adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Kemungkinan pertama yang mengatakan bahwa Al-qur’an adalah karangan orang Arab, tidak dapat diterima. Sebab Al-qur’an sendiri telah menantang mereka untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana yang tertera dalam Ayat:
‘katakanlah: ‘maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya’”(11:13)
Didalam Ayat Lain:
“katakanlah: (‘kalau benar apa yang kamu katakan), maka cobalah datnagkan sebuah surat yang menyerupainya” (10:38).
            Orang-orang arab telah berusaha keras mencobanya, akan tetapi tidak berhasil. Hal ini membuktikan bahwa al-Qur’an bukan berasal dari perkataan Mereka.
            Kemungkinan kedua yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu karangan Muhammad SAW, juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, Mahammad SAW adalah orang arab juga. Muhammad juga termasuk salah seorang dari bangsa arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Karena itu, jelas bahwa Al-Qur’an itu buka karangannya.
            Apabila setiap hadits dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Qur’an, maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal nabi Muhammad SAW, disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan Hadits namun ternyata keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya.
            Apabila telah terbukti bahwa alqur’an itu bukan karangan bangsa arab, bukan pula karangan muhammad SAW. Berarti Al-Qur’an itu adalah kalamullah,yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya.
            Dan karena nabi Muhammad SAW adalah orang yang membawa Al-Qur’an yang merupakan kalamullah dan syariat Allah, serta tidak ada yang membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan Rasul maka berdasarkan dalil aqli dapat di yakini secara pasti bahwa Muhammad SAW itu adalah seorang nabi dan rasul.
            Inilah dalil aqli tentang iman kepada Allah, kerasulan Muhammad SAW, dan bahwa Al-Qur’an itu merupakan Kalamullah.
Akidah seorang muslim itu harus bersandar pada akal atau pada suatu yang telah terbukti dasar kebenarannya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang akan datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (qath’i), yaitu apapun yang telah ditetapkan oleh Al-qur’an dan hadits qath’i yaitu hadits mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Ai-Qur’an dan Hadits mutawatir, haram baginya untuk mengimani. Akidah tidak boleh diambil kecuali dengan jalan yang pasti.
Kita wajib beriman kepada apa yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah SWT; dan kepada kehidupan setelah dunia, yaitu hari akhirat. AturanNya merupakan penghubung antara sebelum kehidupan dan sesudah kehidupan dunia ini. Apa yang dikerjakan didunia ini akan berdampak kepada kehidupan sesudah kehidupan ini.
Maka terurailah problematika pokok secara sempurna dengan akidah islamiyah.
Pemecahan inilah yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu mabda (ideologi) yang dijadikan sebagai jalan menuju kebangkitan. Dan pemecahan itupulah yang menjadi dasar bagi berdirinya Hadlarah yaitu suatu peradaban yang bertitik tolak dari mabda. Disamping menjadi dasar yang yang melahirkan peraturan-peraturan dan dasar berdirinya Negara Islam.
            Perlu diketahui bahwa iman terhadap syariat islam tidak cukup dilandaskan pada akal semata, tetapi juga harus disertai sikap penyerahan total dan penerimaan secara mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya.
maka demi rabbmu, mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya”(4:65)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar