Jalan Menuju Iman
Bangkitnya manusia
tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia.
Pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala
sesuatu.
“sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum
kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (13:11)
Satu-satu-nya jalan untuk mengubah mafahim seseorang adalah dengan
mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan dunia sehingga padat terwujud
mafahim yang benar tentang kehidupan. Semua itu dapat tercapai dengan
memberikan kepada manusia pemikiran menyeluruh dan sempurna tentang apa yang
ada dibalik ketiga unsur tersebut dan merupakan landasan berpikir yang
melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan dunia.
Pemecahannya
harus sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan
hati. Dan ditempuh dengan al-fikru al-mustanir (pemikiran cemerlang). Pemikiran
ini akan menghasilkan akidah, dan menjadi landasan berpikir yang melahirkan
setiap pemikiran cabang tentang perilaku manusia di dunia ini serta
peraturan-peraturannya.
Islam dibangun
atas satu dasar yaitu akidah. Akidah menjelaskan bahwa dibalik alam semesta,
manusia, hidup, terdapat pencipta (al-khalik) yang telah menciptakan ketiganya,
serta yang telah menciptakan segala sesuatu lainnya. Dialah Allah SWT.
Bukti bahwa
segala sesuatu mengharuskan adanya pencipta yang menciptakannya. Alam semesta,
manusia dan hidup ketiganya bersifat terbatas. Apabila kita melihat kepada
segala sesuatu yang terbatas, akan kita simpulkan bahwa semuanya tidak Azali.
Membuktikan
adanya Al-khaliq yang maha pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengarahkan
perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, penomena
hidup, dan diri manusia sendiri.
“sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang,
terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal” (3:190).
Ajakan itu
untuk dijadikan petunjuk akan adanya pencipta yang maha pengatur, sehingga
imannya kepada Allah SWT menjadi mantap, yang berakar pada akal dan bukti yang
nyata.
Islam tidak
membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal ini
dimaksudkan agar seseorang tidak menambah sifat-sfat Allah SWT dengan sifat
yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhan, menghayalkan penjelmaannya dengan
bentuk materi.
Islam
mewajibkan setiap umatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah
SWT, serta melarang bertaqlid dalam masalah aqidah. Islam telah menjadikan akal
sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah.
Setiap muslim
wajib menjadikan imannya muncul dari proses berpikir, selalu meneliti dan
memperhatikan serta senantiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlak
dalam beriman kepada (adanya) Allah SWT. Melalui pengamatan dan perenungannya
akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa.
Kendati
wajibnya atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah SWT,
namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada diluar batas kemampuan indra dan
akalnya. Pada hakekatnya iman itu adalah percaya terhadap wujud Allah SWT.
Sedangkan wujud-Nya dapat diketahui melalui makhluk-makhluk-Nya.
Akal tidak
mungkin memahami hakekat yang ada diluar batas kemampuannya, karena perannya
amat terbatas. Seharusnya keterbatasannya itu justru menjadi faktor penguat
iman, bukan sebaliknya menjadi sebab keragu-raguan dan kebimbangan.
Apabila iman
kita kepada Allah SWT telah tercapai melalui proses berfikir, maka kesadaran
kita terhadap adanya Allah menjadi sempurna. Perasaan dikaitkan dengan akal
akan adanya Allah, tentu perasaan tersebut akan mencapaisuatu tingkat yang
meyakinkan. Selain itu, kita wajib berserah diri terhadap semua yang
dikhabarkan Allah SWT tentang hal-hal yang tidak danggup dicerna atau yang
tidak dapat dicapai oleh akal.
Adapun bukti
kebutuhan manusia terhadap para rasul, dapat kita lihat dari fakta bahwa
manusia adalah makhluk Allah SWT. Dan beragama merupakan sesuatu yang fitri
pada diri manusia. Kerena termasuk salah satu naluri yang ada pada manusia.
Dalam fitrahnya, manusia senantiasa mensucikan penciptanya. Aktivitas ini
dinamakan ibadah, yang berfungsi sebagai penghubung antara manusia dengan
penciptanya. Dan butuh aturan. Maka aturan ini harus datang dari Al-khaliq. Karena
aturan ini harus sampai kepada manusia. Dan keberadaan para rasul suatu
keniscayaan yang tugas menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain
kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia terhadap
tuntunan Gharizah (naluri) serta kebutuhan-kebutuhan jasmani, adalah keharusan
yang sangat diperlukan. Pemuasan semacam ini jika dibiarkan berjalan tanpa
aturan akan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan menyimpang, yang pada
gilirannya akan menyebabkan kesengsaraan umat manusia. Maka perlu aturan yang
datang dari Allah SWT melalui Para rasul.
Mengenai bukti
bahwa Al-qur’an itu datang dari Allah, dapat dilihat dari kenyataan bahwa
Al-qur’an adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad SAW.
Kemungkinan
pertama yang mengatakan bahwa Al-qur’an adalah karangan orang Arab, tidak dapat
diterima. Sebab Al-qur’an sendiri telah menantang mereka untuk membuat karya
yang serupa. Sebagaimana yang tertera dalam Ayat:
‘katakanlah: ‘maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat)
menyamainya’”(11:13)
Didalam Ayat Lain:
“katakanlah: (‘kalau benar apa yang kamu katakan), maka cobalah
datnagkan sebuah surat yang menyerupainya” (10:38).
Orang-orang arab
telah berusaha keras mencobanya, akan tetapi tidak berhasil. Hal ini
membuktikan bahwa al-Qur’an bukan berasal dari perkataan Mereka.
Kemungkinan kedua
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu karangan Muhammad SAW, juga tidak dapat
diterima oleh akal. Sebab, Mahammad SAW adalah orang arab juga. Muhammad juga
termasuk salah seorang dari bangsa arab tidak mampu menghasilkan karya yang
serupa. Karena itu, jelas bahwa Al-Qur’an itu buka karangannya.
Apabila setiap
hadits dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Qur’an, maka tidak akan
dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal nabi Muhammad SAW,
disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang
bersamaan juga mengeluarkan Hadits namun ternyata keduanya tetap berbeda dari
segi gaya bahasanya.
Apabila telah
terbukti bahwa alqur’an itu bukan karangan bangsa arab, bukan pula karangan
muhammad SAW. Berarti Al-Qur’an itu adalah kalamullah,yang menjadi mukjizat
bagi orang yang membawanya.
Dan karena nabi
Muhammad SAW adalah orang yang membawa Al-Qur’an yang merupakan kalamullah dan
syariat Allah, serta tidak ada yang membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan
Rasul maka berdasarkan dalil aqli dapat di yakini secara pasti bahwa Muhammad
SAW itu adalah seorang nabi dan rasul.
Inilah dalil aqli
tentang iman kepada Allah, kerasulan Muhammad SAW, dan bahwa Al-Qur’an itu
merupakan Kalamullah.
Akidah seorang
muslim itu harus bersandar pada akal atau pada suatu yang telah terbukti dasar
kebenarannya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini segala sesuatu yang telah
terbukti dengan akal atau yang akan datang dari sumber berita yang yakin dan
pasti (qath’i), yaitu apapun yang telah ditetapkan oleh Al-qur’an dan hadits
qath’i yaitu hadits mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan
tadi, yaitu akal serta nash Ai-Qur’an dan Hadits mutawatir, haram baginya untuk
mengimani. Akidah tidak boleh diambil kecuali dengan jalan yang pasti.
Kita wajib
beriman kepada apa yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah SWT; dan
kepada kehidupan setelah dunia, yaitu hari akhirat. AturanNya merupakan
penghubung antara sebelum kehidupan dan sesudah kehidupan dunia ini. Apa yang
dikerjakan didunia ini akan berdampak kepada kehidupan sesudah kehidupan ini.
Maka terurailah
problematika pokok secara sempurna dengan akidah islamiyah.
Pemecahan
inilah yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu mabda (ideologi) yang dijadikan
sebagai jalan menuju kebangkitan. Dan pemecahan itupulah yang menjadi dasar
bagi berdirinya Hadlarah yaitu suatu peradaban yang bertitik tolak dari mabda.
Disamping menjadi dasar yang yang melahirkan peraturan-peraturan dan dasar
berdirinya Negara Islam.
Perlu diketahui
bahwa iman terhadap syariat islam tidak cukup dilandaskan pada akal semata,
tetapi juga harus disertai sikap penyerahan total dan penerimaan secara mutlak
terhadap segala yang datang dari sisi-Nya.
“maka demi rabbmu, mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman
sebelum mereka menjadikan kamu (muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu
keberatan terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (pasrah)
dengan sepenuhnya”(4:65)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar