Kerancuan Paham Pihak Yang
Menyangkal Keniscayaan Benturan Peradaban
Demikianlah tadi telah disampaikan pernyataan dan tindakan para penganut
peradaban kufur, yang menunjukkan kesesuaian antara keduanya. Namun demikian,
masih ada kaum Muslim yang menyesatkan dan ada pula yang bersikap lugu (naif),
yang selalu memaksakan diri berdialog serta menyangkal benturan dan pertarungan
peradaban. Sebagian umat tetap melakukan dialog antar agama —khususnya dengan
kaum Nasrani— dengan tujuan untuk mencari titik temu antara Islam dan Nasrani –
sebagai sikap penentangan terhadap ateisme. Mereka lupa atau pura-pura lupa
bahwa kekufuran adalah aqidah satu (al-kufru millah wahidah), sebagaimana
firman Allah,
126
BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan
ﻢﹸﻜﻨﻳِﺩ ﻢﹸﻜﹶﻟ
Bagimu agamamu. (TQS. al-Kafirun [109]: 6)
Pada ayat sebelumnya, Allah menyeru kepada kaum kafir dengan bentuk
jamak (al-kaafiruun),
ﻥﻭﺮِﻓﺎﹶﻜﹾﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ ﻞﹸﻗﹾ
Katakanlah,
hai orang-orang kafir. (TQS. al-Kafirun [109]: 1)
Kemudian Allah Swt.
menjelaskan diin dalam bentuk tunggal (bukan jamak : adyaan),
ﻢﹸﻜﻨﻳِﺩ ﻢﹸﻜﹶﻟ
Bagimu agamamu. (TQS. al-Kafirun [109]: 6)
Demikian pula bila kita memahami masalah Palestina. Siapakah yang
merekayasa pendirian negara Yahudi Israel, melindunginya, dan membantunya
dengan uang, senjata, dan dukungan politik, selain negara-negara kafir yang
tegak di atas peradaban kapitalisme?
Jadi, orang-orang yang
menyesatkan umat mempunyai kewajiban untuk menghentikan seruan
721
KerancuanPaham...
kufur tersebut; karena dengan berpendapat
seperti itu
mereka telah menjadi agen intelektual kaum
kapitalis. Sedangkan kalangan Muslim yang bersikap lugu telah menganggap remeh
dan menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang tidak berguna, serta ikut serta
menyesatkan masyarakat awam. Mereka ikut serta dalam berbagai pertemuan dan
dialog yang diadakan kaum Yahudi dan Nasrani. Seruan mereka adalah seruan yang sangat
meragukan, yang dikumandangkan oleh orang-orang yang berniat memisahkan kaum
Muslim dari diinul Islam, dan hendak mencampuradukkan yang hak dan yang bathil.
ﻭﻟﹶﻦ ﺗﺮﺿﻰ ﻋﻨﻚ ﺍﻟﹾﻴﻬﻮﺩ ﻭﻻﹶ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺣﺘﻰ ﺗﺘﺒِﻊ ﻣِﻠﱠﺘﻬﻢ ﻗﹸﻞﹾ ﺇِﻥﱠ ﻫﺪﻯ ﺍﷲِ ﻫﻮ ﺍﻟﹾﻬﺪﻯ ﻭﻟﹶﺌِــﻦِ
ﺍﺗﺒﻌــﺖ ﺃﹶﻫﻮﺍﺀَﻫﻢ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺟﺎﺀَﻙ ﻣِﻦ ﺍﻟﹾﻌِﻠﹾﻢ ﻣﺎ ﻟﹶﻚ ﻣِــﻦ ﺍﷲِ ﻣِﻦ ﻭﻟِﻲ ﻭﻻﹶ ﻧﺼِﲑٍ
Orang Yahudi dan Nasrani
tidak akan senang kepada
kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk yang benar.’ Dan sesungguhnya jika kamu
128
BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan
datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
(TQS. al-Baqarah [2]: 120)
Demikian juga firman-Nya,
ﻥﻮﻨِﻫﺪﻴﹶﻓ ﻦِﻫﺪﺗ ﻮﹶﻟ ﺍﻭﺩﻭ
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap
lunak, lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu. (TQS. al-Qalam [68]: 9)
Yang dimaksud bersikap lunak adalah cenderung kepada mereka. Ayat ini,
sekalipun berbicara tentang kaum musyrik Makkah, namun dapat pula dialamatkan
pada setiap orang kafir dan musyrik. Ayat-ayat yang qath’i (pasti) telah
membuktikan; para sahabat pun bersepakat (ijma); dan Umat Islam juga tahu
pasti, bahwa Ahli Kitab adalah orang-orang kafir. Karena itu tidak boleh
berkompromi atau cenderung kepada mereka. Sebaliknya, kita harus menunjukkan
kesalahan agama mereka, kekufuran mereka, dan kebatilan mereka, serta menyeru
mereka untuk masuk ke dalam diin yang hak, yakni diinul Islam. Setelah Khilafah
921
KerancuanPaham...
berhasil
ditegakkan nanti, mereka pun diseru untuk masuk Islam; bila menolak masuk
Islam, mereka harus membayar jizyah; bila masih juga menolak, baru
kemudian
mereka diperangi. Adalah suatu kesesatan bila berdalil dengan firman
Allah,
ﻭﻻﹶ ﺗﺠﺎﺩِﻟﹸﻮﺍ ﺃﹶﻫﻞ ﺍﻟﹾﻜِﺘﺎﺏ ﺇِﻻﱠ
ﺑِﺎﻟﱠﺘِﻲ ﻫِﻲ ﺃﹶﺣﺴﻦ
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab,
melainkan dengan cara yang paling baik. (TQS. al-Ankabut [29]: 46),
namun
menyembunyikan penggalan ayat berikutnya, yaitu:
ﺇِﻻﱠ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ
ﻇﹶﻠﹶﻤﻮﺍ
ﻣِﻨﻬﻢ
ﻭﻗﹸﻮﻟﹸﻮﺍ
ﺀَﺍﻣﻨﺎ
ﺑِﺎﻟﱠﺬِﻱ ﺃﹸﻧﺰِﻝﹶ
ﺇِﻟﹶﻴﻨﺎ
ﻭﺃﹸﻧﺰِﻝﹶ
ﺇِﻟﹶﻴﻜﹸﻢ
ﻭﺇِﻟﹶﻬﻨﺎ
ﻭﺇِﻟﹶﻬﻜﹸﻢ
ﻭﺍﺣِــﺪ ﻭﻧﺤــﻦ
ﻟﹶــﻪ ﻣﺴﻠِﻤﻮﻥﹶ
kecuali dengan orang-orang zalim di antara
mereka. Dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami
130
BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan
dan
Tuhanmu adalah satu, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (TQS. al-Ankabut
[29]: 46)
Dengan demikian, menurut ayat ini, orang-orang yang berbuat zalim
dikecualikan dari perintah untuk berdebat dengan cara yang paling baik. Mereka
adalah orang-orang yang memerangi kaum Muslim dan tidak mau membayar jizyah.
Maka yang harus dilakukan kepada orang-orang seperti itu adalah dengan
mengalahkan mereka, bukan berdebat dengan mereka.
Demikian pula merupakan
suatu kesalahan menjadikan firman Allah,
ﺎــﻧِﺇ ﻢﹸﻜِﺘﻧﺎﹶﻜﻣ ﻰﹶﻠﻋ ﺍﻮﹸﻠﻤﻋﺍ ﻥﻮﹶﻨِﻣﺆﻳ ﹶﻻ ﻦﻳِﺬﱠﻠِﻟ
ﹾﻞﹸﻗﻭ
ﹶﻥﻭﺮِﻈﺘﻨﻣ ﺎﻧِﺇ ﺍﻭﺮِﻈﺘﻧﺍﻭ ﹶﻥﻮﹸﻠِﻣﺎﻋ
Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman,
‘Berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya kami pun berbuat pula. Dan
tunggulah, sesungguhnya kami pun menunggu. (TQS. Huud [11]: 121-122)
sebagai dalil untuk “hidup berdampingan secara
damai (peaceful co-existence) antara kami dan mereka”. Ayat
ini justru bermakna intimidasi (tahdid) dan ancaman (wa’id); yaitu bahwa
kaum Muslim diperintahkan, tidak sekedar mengintimidasi atau mengancam mereka,
namun untuk memerangi mereka bila tidak mau memeluk Islam atau membayar jizyah.
Lalu di mana adanya ‘hidup berdampingan secara damai?’
Sementara itu, atas dasar firman Allah Swt.,
ﻯﺭﺎﺼﻨﻟﺍﻭ ﲔِﺌِﺑﺎﺼﻟﺍﻭ ﺍﻭﺩﺎﻫ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍﻭ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ
ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ
ﱠﻥِﺇ ﻡﻮﻳ ﻢﻬﻨﻴﺑ ﹸﻞِﺼﹾﻔﻳ َﷲﺍ
ﱠﻥِﺇ ﺍﻮﹸﻛﺮﺷﹶﺃ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍﻭ ﺱﻮﺠﻤﹾﻟﺍﻭ ﺪﻴِﻬﺷ ٍﺀﻲﺷ ﱢﻞﹸﻛ ﻰﹶﻠﻋ َﷲﺍ ﻥِﺇﱠ ﺔﻣﺎﻴِﻘﹾﻟﺍ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabi’in, orang-orang Nasrani,
orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di
antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (TQS. al-Hajj [22]: 17)
beberapa kalangan
menyerukan untuk “menyerahkan keputusan kepada Allah pada hari Kiamat atas
segala perbedaan aqidah dan perbuatan antara kita dan mereka”. Bila makna yang
dipahami adalah tidak
132
BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan
memaksa
mereka masuk Islam, maka pemahaman itu tidaklah keliru. Bila dipahami bahwa
Allah akan memberi keputusan pada hari Kiamat, tidak pula keliru. Tetapi bila
ayat itu dipahami tidak usah menyeru mereka untuk masuk Islam, maka pemahaman
itu keliru. Karena, kita diperintahkan untuk berdakwah kepada mereka, sampai
mereka masuk Islam, atau membayar jizyah, atau diperangi. Bila yang dimaksud
adalah tidak memerangi mereka, maka pemahaman ini juga tidak tepat; karena
perang ofensif (qital ath-thalab) merupakan salah satu kewajiban dalam Islam
sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
Ada pula sebagian kalangan
yang menjadikan ayat al-Quran berikut,
ﻦﻳِﺪــﻟﺍ ﻲِﻓ ﻢﹸﻛﻮﹸﻠِﺗﺎﹶﻘﻳ ﻢﹶﻟ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ِﻦﻋ ُﷲﺍ
ﻢﹸﻛﺎﻬﻨﻳ ﹶﻻ ﺍﻮﹸﻄــِﺴﹾﻘﺗﻭ ﻢﻫﻭﺮﺒﺗ ﻥﹶﺃﹾ ﻢﹸﻛِﺭﺎﻳِﺩ ﻦِﻣ ﻢﹸﻛﻮﺟِﺮﺨﻳ ﻢﹶﻟﻭ
ﻦﻴِﻄِﺴﹾﻘﻤﹾﻟﺍ
ﺐِﺤﻳ ﷲﺍَ ﻥِﺇﱠ
ﻢِﻬﻴﹶﻟِﺇ
Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. (TQS.
al-Mumtahanah [60]: 8)
sebagai dalil “bolehnya berbuat baik, adil, dan memperlakukan kaum kafir
dengan baik”. Padahal ayat ini ditujukan kepada orang-orang mukmin yang tinggal
di Makkah dan tidak ikut hijrah, sehingga beristidlal dengan ayat ini tidaklah
pada tempatnya. Bila dalil tersebut dimaknai bahwa setiap orang kafir boleh
diperlakukan dengan baik, karena mereka tidak memerangi kaum Muslim karena
agama tidak dan mengusir kaum Muslim, maka pemahaman itu memang benar. Tentu
saja, dalil itu tidak bisa digunakan terhadap orang-orang yang memerangi kaum
Muslim di Palestina, yang mengusir dan membantu pengusiran tersebut. Demikian
pula, dalil itu tidak bisa ditujukan kepada orang-orang yang memerangi kaum
Muslim Afghanistan, yang mengusir mereka, dan yang membantu pengusirannya.
Begitu juga, dalil itu tidak bisa digunakan untuk orang-orang yang memerangi
kaum Muslim di Irak pada Perang Teluk Kedua, di Kashmir, di Chechnya, dan
sebagainya.
Bila mereka menjadikan firman Allah,
134
BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan
ﺎﻬﹶﻟ ﺢﻨﺟﺎﹶﻓ ﻢﹾﻠﺴﻠِﻟ ﺍﻮﺤﻨﺟ ﻥِﺇﹾﻭ
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka
condonglah kepadanya . (TQS. al-Anfaal [8]: 61)
sebagai dalil untuk mengatakan bahwa “Islam
adalah agama perdamaian, dan bahwa perdamaian (as-salaam) adalah prinsip dasar
[hubungan dengan non-muslim]”, maka ayat ini harus dipahami bersama dengan
firman-Nya,
ﷲﺍُﻭ ﻥﹶﻮــﹶﻠﻋَﻷﺍ ﻢﺘﻧﹶﺃﻭ ﻢﹾﻠِﺴﻟﺍ ﻰﹶﻟِﺇ
ﺍﻮﻋﺪﺗﻭ ﺍﻮﻨِﻬﺗ ﻼﹶﻓ
ﻢﹸﻜﹶﻟﺎﻤﻋﹶﺃ ﻢﹸﻛﺮِﺘﻳ ﻦﹶﻟﻭ ﻢﹸﻜﻌﻣ
Janganlah
kamu bersikap lemah dan menyerukan perdamaian, padahal kamulah yang berada di
atas (menang). (TQS. Muhammad [47]: 35)
Dengan demikian, bila kaum Muslim hidup dalam keadaan bermartabat, kuat,
berkuasa, dan sebagai satu jamaah, maka tidak ada istilah “perdamaian”.
Pertimbangan untuk menentukan manfaat atau mudharat dari sebuah perdamaian
diserahkan sepenuhnya kepada Khalifah, dan tidak perlu ada
pertimbangan dari orang lain kecuali yang mendapat amanat darinya.
Bila
mereka berhujjah dengan firman Allah Swt.,
ﻻﹶﻭ ﺔـﱠﻓﺎﹶﻛﹰ
ﻢﹾﻠـِﺴﻟﺍ ﻲِﻓ ﺍﻮﹸﻠﺧﺩﺍ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ ﲔــِﺒﻣ ﻭﺪﻋ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﻪﻧِﺇ ﻥﺎﹶﻄِﻴﺸﻟﺍ ﺕﺍِﻮﹸﻄﺧ ﺍﻮﻌِﺒﺘﺗ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam (as-silm) secara kaaffah, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (TQS. al-Baqarah
[2]: 208)
Maka di
sini perlu dipahami mengenai siapa saja yang diseru oleh ayat ini, serta apa
yang dimaksud dengan as-silm. ‘Orang-orang yang beriman’ dalam ayat ini
kemungkinan bermakna kaum Muslim, dan kemungkinan juga berarti orang-orang yang
beriman terhadap nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Sedangkan as-silm bisa
berarti Islam, tetapi bisa pula bermakna perdamaian (sulh).
Bila yang
diseru adalah kaum Muslim, maka tidak ada artinya memerintahkan mereka “masuk
ke dalam perdamaian dengan kaum mukmin lainnya”, karena
136
BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan
yang
diseru bukanlah orang muharibin (yang memerangi) tetapi sesama kaum mukmin
juga. Makna yang lebih tepat adalah “masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan, yaitu dengan menaati seluruh syariat Allah Swt.., menegakkan
aturan-aturan dan hukum-hukum-Nya, bukan dengan berusaha mengambil sebagian dan
meninggalkan sebagian yang lain.”
Sementara itu, bila yang diseru adalah orang-orang yang beriman sebelum
Nabi Muhammad saw., tidak ada artinya juga menyerukan mereka untuk “masuklah ke
dalam perdamaian.” Makna seperti itu tidak ada dalam al-Quran. Imam at-Thabari
mengatakan, “Sedangkan bila yang dimaksud adalah menyeru mereka ke dalam
perdamaian untuk pertama kali, maka makna ini tidak ada dalam al-Quran.” Dengan
demikian, makna ayat tersebut adalah menyeru orang-orang mukmin kepada Islam
dan untuk masuk Islam secara keseluruhan. Jadi, siapa pun yang diseru ayat itu,
tidak ada seruan bagi kaum Muslim untuk ikut serta ke dalam suatu perjanjian
perdamaian dengan kaum kafir atau perdamaian bersama (muwada’ah).
Sebagian kalangan ada pula
yang menggunakan firman Allah Swt..,
ﻢﹶﻠـﺴﻟﺍ ﻢﹸﻜﻴﹶﻟِﺇ ﺍﻮﹶﻘﹾﻟﹶﺃﻭ ﻢﹸﻛﻮﹸﻠِﺗﺎﹶﻘﻳ ﻢﹶﻠﹶﻓ ﻢﹸﻛﻮﹸﻟﺰﺘﻋﺍ ﻥِﺈﹶﻓ ﻼﻴِﺒﹰﺳ ﻢِﻬﻴﹶﻠﻋ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﷲﺍُ ﻞﹶﻌﺟ ﺎﻤﹶﻓ
Tetapi
jika mereka membiarkan kamu dan tidak memerangi kamu serta menyerukan
perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu untuk memerangi
mereka. (TQS. An-Nisa’ [4]: 90)
untuk melarang kaum Muslim
memulai perang terhadap kaum kafir yang berdamai dan membiarkan kaum Muslim.
Padahal ayat ini sebenarnya berkaitan dengan orang-orang munafik yang minta
perlindungan kepada kaum yang mempunyai perjanjian dengan kaum Muslim, dan
mereka mengikuti aturan dan hukum kaum tersebut. Ayat ini berbicara tentang
orang-orang munafik yang keluar bersama orang-orang kafir untuk memerangi kaum
Muslim karena dipaksa, tetapi kemudian mundur dari peperangan, sebagaimana para
munafik yang ikut bersama kaum musyrik Quraisy pada Perang Badar. Maka bagi
mereka yang mundur dan minta perlindungan kepada kaum yang punya perjanjian
dengan kaum Muslim, tidak ada alasan untuk dibunuh.
Mereka
berhujjah dengan firman Allah :
ﻭﻗﹶﺎﺗِﻠﹸﻮﺍ
ﻓِﻲ ﺳﺒِﻴﻞ
ﺍﷲِ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ ﻳﻘﹶﺎﺗِﻠﹸﻮﻧﻜﹸﻢ ﻭﻻﹶ ﺗﻌﺘﺪﻭﺍ ﺇِﻥﱠ ﺍﷲَ ﻻﹶ ﻳﺤِﺐ ﺍﻟﹾﻤﻌﺘﺪِﻳﻦ
Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangimu, tapi janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang ang
melampaui batas . (TQS. al-Baqarah [2]: 190)
untuk
menyatakan, bahwa memulai perang terhadap kaum kafir adalah hal yang melampaui
batas dan merupakan kezaliman, sehingga kita dilarang memulai perang terhadap
kaum kafir. Padahal, topik ayat di atas adalah orang-orang yang berperang tidak
boleh melampaui batas dengan membunuh orang-orang yang tidak ikut memerangi
kaum
Muslim,
seperti wanita dan anak-anak. Bila mereka mengajukan firman Allah Swt.,
ﺃﹸﺫِﻥﹶ
ﻟِﻠﱠﺬِﻳﻦ ﻳﻘﹶﺎﺗﻠﹸﻮﻥ ﺑِﺄﹶﻧﻬﻢ ﻇﹸﻠِﻤــﻮﺍ ﻭﺇِﻥﱠ
ﺍﷲَ ﻋﻠﹶــﻰ ﻧﺼﺮِﻫِﻢ ﻟﹶﻘﹶﺪِﻳﺮ
Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. (TQS. al-Hajj
[22]: 39)
untuk mendukung pendapat
mereka, bahwa “izin berperang hanya diberikan kepada kaum yang teraniaya yang
diperangi lebih dulu oleh orang-orang yang memeranginya”. Maka ayat ini
sebenarnya merupakan perintah untuk berperang secara mutlak, tanpa ada syarat
berupa penganiayaan. Alasannya adalah bahwa penggalan ayat “karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya” bukan menjadi ‘illat (alasan) hukum peperangan, namun
hanya merupakan penjelasan fakta (wasf waqi’). Sebab ketika kaum musyrik
Quraisy menganiaya kaum Muslim, mereka mendatangi Rasulullah saw.. Kaum Muslim
itu ada yang dipukuli dan terluka. Maka kaum Muslim mengadu kepada Rasulullah
saw.. Namun ternyata Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, “Bersabarlah,
karena aku belum mendapat perintah untuk berperang” sampai Rasulullah
berhijrah. Kemudian turunlah ayat ini, di mana Allah memerintahkan kaum Muslim
berperang setelah sekian lama Allah mencegahnya. Adh-Dhahhak berkata, “Para sahabat
Rasulullah saw. meminta izin untuk memerangi orang-orang kafir ketika
orang-orang
140
BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan
kafir
itu menganiaya kaum Muslim, namun Allah berfirman,
ﺭﻮﹸﻔﹶﻛٍ ﻥﺍٍﻮﺧ ﻞﹸﻛﱠ ﺐِﺤﻳ ﻻﹶ ﷲﺍَ
ﻥِﺇﱠ
Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap
orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat. (TQS. al-Hajj: 38)
Tetapi
setelah berhijrah, Allah menurunkan firman-Nya,
ﻰــﹶﻠﻋ ﷲﺍَ ﻥِﺇﱠﻭ ﺍﻮــﻤِﻠﹸﻇ ﻢﻬﻧﹶﺄِﺑ ﻥﻮﹸﻠﺗﺎﹶﻘﻳ ﻦﻳِﺬﱠﻠِﻟ ﻥِﺫﹸﺃﹶ
ﺮﻳِﺪﹶﻘﹶﻟ ﻢِﻫِﺮﺼﻧ
Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. (TQS. al-Hajj [22]: 39) [Selesai
perkataan Adh Dhahhak].
Dengan demikian, ayat ini diturunkan untuk mencabut larangan bagi kaum
Muslim dalam memerangi orang-orang kafir. Oleh sebab itu, ayat ini
menggambarkan suatu situasi yang spesifik, sekalipun mengandung perintah
untuk berperang melalui
makna isyarat (dalalat al-isyarah). Jadi, ayat ini menjelaskan pencabutan
larangan berperang dan pemberian izin untuk menolak penganiayaan dengan
berperang. Walhasil ayat itu tidak menjelaskan pensyariatan berperang di jalan
Allah secara umum, tetapi pensyariatan berperang untuk menjauhkan mara bahaya.
Karena itu tidak ada kontradiksi antara ayat ini dan ayat-ayat dalam Surat
At-Taubah. Selain itu, ayat-ayat dalam Surat At-Taubah diturunkan belakangan,
jadi tidak ada kemungkinan untuk dinasakh (dihapus), ditakhsis (dikhususkan),
atau ditaqyid (dibatasi).
Bila mereka merujuk pada hadits dari Ibnu Abi
Awfa, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
ﺔﹶﻴِﻓﺎﻌﹾﻟﺍ ﷲﺍَ
ﺍﻮﹸﻠﺳﻭ ﻭﺪﻌﹾﻟﺍ ﺀﺎﹶﻘِﻟَ
ﺍﻮﻨﻤﺘﺗ ﻻﹶ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ» ﺖــﺤﺗ ﺔﹶﻨﺠﹾﻟﺍ ﻥﹶﺃﱠ
ﺍﻮﻤﹶﻠﻋﺍﻭ ﺍﻭﺮِﺒﺻﺎﹶﻓ ﻢﻫﻮﻤﺘﻴِﻘﹶﻟ ﺍﹶﺫِﺈﹶﻓ
«ﻑﻮِﻴﺴﻟﺍ ﻝﹶﻼِﻇ
Hai manusia, janganlah berharap bertemu dengan
musuh dan berdoalah kepada Allah agar mendapat keselamatan. Apabila engkau
bertemu mereka, bersabarlah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu ada di
bawah bayangan pedang. (Muttafaq ‘alaih)
142
BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan
Maka ketahuilah, bahwa
hadits tersebut tidak berkaitan dengan perjanjian damai, karena isinya adalah
tentang larangan untuk berharap bertemu musuh, bukan larangan untuk memerangi
mereka atau perintah untuk membuat perjanjian damai dengannya . Para ulama
mengatakan bahwa pelarangan itu berkaitan dengan perkara yang ada di balik
harapan itu, yaitu kebanggaan (ujub). Jadi beristidlal dengan hadits ini
sebagai dalil perjanjian damai dengan kaum kafir adalah tidak tepat.
Ada pula berbagai upaya
pengambilan kesimpulan dari ayat-ayat al-Quran atau hadits yang tampaknya tidak
perlu dibantah dan tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. Namun demikian, kami
akan menunjukkan di sini dengan maksud untuk membuktikan bahwa ada beberapa di
antara penyeru dialog yang berusaha dengan segala cara mencari dalil untuk
mendukung pendapat mereka. Tujuan utama mereka adalah untuk membuktikan bahwa
Islam adalah agama perdamaian dan bukan agama perjuangan, pertarungan, dan
jihad . Sebaliknya, dalam pandangan mereka, Islam adalah agama keamanan,
perdamaian, dan toleransi. Beberapa nash yang mereka klaim
341
KerancuanPaham...
sebagai
dalil bagi pandangan mereka adalah sebagai berikut:
ﻭﺀَﺍﻣﻨﻬﻢ ﻣِﻦ ﺧﻮﻑٍ
Dan
mengamankan mereka dari ketakutan. (TQS. Quraisy [106]: 4)
ﺣﺮﻣﺎ ﺀَﺍﻣِﻨﺎ
. . . tanah suci yang aman . (TQS. al-Ankabut
[29]: 67)
ﻭﻫﺬﹶﺍ ﺍﻟﹾﺒﻠﹶﺪِ
ﺍﻷَﻣِﲔ
Dan demi kota ini yang aman. (TQS. at -Tin [95]:
3)
ﻭﻟﹶﻴﺒﺪﻟﹶﻨﻬﻢ
ﻣِﻦ ﺑﻌﺪِ
ﺧﻮﻓِﻬِﻢ
ﺃﹶﻣﻨﺎ
Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. (TQS. an-Nuur [24]:
55)
Demikian pula sabda Rasulullah saw.,
»ﻣﻦ ﺃﹶﺻﺒﺢ ﻣِﻨﻜﹸﻢ ﺁﻣِﻨﺎ ﻓِﻲ ﺳِﺮﺑِﻪ«
144
BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan
Siapa
pun di antara kalian bangun dalam keadaan aman dalam kelompoknya (sirb).
Jelas bahwa menjadikan
nash-nash di atas sebagai dalil bagi pendapat kufur mereka merupakan bentuk
pelecehan terhadap syariat dan juga pelecehan terhadap akal pikiran umat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar