Serangan Politik
pada Dunia Islam
Penyebab utama
serangan ke Spanyol adalah kebencian dan dendam Barat yang telah mengakar dalam jiwa
mereka sejak berlangsungnya Perang Salib. Kegagalan yang begitu cepat dalam
mempertahankan kemenangannya dalam Perang Salib, bahkan mereka terlempar dari
dunia Islam dengan pengusiran yang menghinakan, menjadikan Barat dendam.
Kekalahan itu terus-menerus membakar jiwa mereka, sehingga dipenuhi dendam,
kemurkaan
dan kebencian terhadap kaum Muslim.
Barat merasakan kesulitan untuk mengulangi lagi
serangannya terhadap Dunia Timur. Kekuatan Timur yang penduduknya berbeda-beda
cukup mampu menahan dan memukul balik serangan Barat. Pada akhirnya, Barat
melihat bahwa pembalasan dendam lebih mudah diarahkan ke Spanyol. Barat mulai
mengarahkan misinya ke Spanyol dan berhasil menghancurkannya melalui serangan
keji dan brutal. Dalam melakukan eksekusinya terhadap Spanyol, Barat
menggunakan mahkamah-mahkamah inkuisisi, alat-alat pemenggal kepala dan
rumah-rumah pembakaran yang kekejaman dan kebrutalannya melebihi kebuasan
binatang buas. Tatkala kaum Muslim tak berdaya untuk bisa menolong Spanyol,
—meski sebenarnya mampu memberi pertolongan pada Spanyol— Barat terus-menerus
melakukan penyiksaan terhadap penduduk Muslim
34
Daulah
Islam
Spanyol. Kaum Muslim justru mundur dan
membiarkan Spanyol menjadi santapan lezat Barat. Dengan demikian, Barat semakin
berambisi memikirkan cara lain untuk melakukan penyiksaan. Seandainya tidak ada
kekuatan kaum Muslim, apalagi dengan adanya Daulah Utsmaniyah, niscaya serangan
Barat terhadap Daulah Islam akan dilancarkan secara terus-menerus. Akan tetapi,
kekuatan kaum Muslim, serangan, dan pembebasan Utsmaniyah terhadap Eropa
menjadi problem yang paling menakutkan Barat. Trauma ini menjadikan Barat
menahan serangannya terhadap kaum Muslim sehingga dalam Perang Salib kedua
mereka tidak mengadakan serangan. Itulah yang menyebabkan serangan Barat
terhadap Daulah Islam ditangguhkan, hingga pertengahan abad 18 Miladiyah. Ketika
itu, mulailah kondisi stagnan meliputi seluruh dunia Islam, di mana aktivitas
dakwah ditelantarkan/ditinggalkan. Maka, gelora Islam dalam dada kaum Muslim
pun menjadi padam. Keadaan ini menyebabkan hilangnya kewibawaan kaum Muslim di
mata musuh-musuh mereka. Pada saat itu pula dilancarkan perang pemikiran dan
serangan misionaris. Perang itu disertai dengan berbagai serangan politik, yang
bertujuan untuk memecah-belah Daulah Islam menjadi beberapa bagian, dan
mencabik-cabik dunia Islam, kemudian mengikisnya. Kerja keras mereka akhirnya
berhasil dengan gemilang.
Pada Perjanjian Caterina (1762-1796 M),
Rusia memerangi Daulah Utsmaniyah dan berhasil mengalahkannya, lalu
membagi-bagi sebagian wilayahnya. Rusia berhasil merampas kota Azov dan
Semenanjung Crimea; menguasai seluruh Lembah Utara Laut Hitam, dan mendirikan
kota Sevastopol sebagai pertahanan semenanjung Crimea; serta membangun
pelabuhan dagang Odessa di Laut Hitam. Dengan demikian, Rusia menjadi pemain
penting dalam percaturan politik luar negeri Daulah ‘Utsmaniyah dan pemegang
kendali Imperium Rumania. Rusia menyatakan bahwa dirinya penjaga ajaran
Masihiah di Daulah Utsmaniyah. Pada tahun 1884 M, Turkestan memisahkan diri
dari Turki, dan akhirnya Rusia sepenuhnya berhasil menguasai daerah itu.
Serangan Politik Pada Dunia Islam 281
Agresi tidak hanya dilakukan Rusia saja, bahkan
meluas hingga melibatkan hampir semua negara Barat. Di awal bulan Juli 1798 M,
Napoleon menghantam Mesir dan berhasil menguasainya. Di bulan Pebruari tahun
1799 M, Napoleon menyerang bagian selatan wilayah Syam, dan berhasil menguasai
Jalur Gaza, Ramallah, Yafa, dan membangun benteng ‘Uka. Namun, akhirnya
ekspedisi militer ini gagal, dan Napoleon kembali ke Mesir, selanjutnya pulang
ke Perancis. Pada tahun 1801 M, ekspedisi ini dinyatakan gagal. Meski tidak
berhasil, tetap membawa pengaruh sangat kuat terhadap kondisi Daulah
Utsmaniyah, meninggalkan goncangan yang sangat kuat, dan akhirnya seluruh
negara berbondong-bondong turut menyerang dunia Islam dan menguasai beberapa
wilayahnya. Pada 1830 M, Perancis berhasil menduduki Aljazair dan berusaha
keras untuk menguasai Tunisia hingga akhirnya berhasil pada tahun 1881 M,
kemudian mencaplok Maroko tahun 1912 M. Italia juga berhasil menduduki Tripoli
tahun 1911 M. Dengan demikian, mereka sepenuhnya telah menguasai atau
memisahkan Afrika Utara dan melepaskannya dari Pemerintahan Islam.
Daerah-daerah tersebut tunduk pada pemerintahan kufur sebagai daerah jajahan.
Serangan
Barat tidak cukup sampai di sini saja. Penjajahan terus meluas dengan mencaplok
wilayah-wilayah Daulah yang masih belum terjajah. Inggris menjajah ‘Aden tahun
1839 dan melebarkan pengawasannya di lembah-lembah yang luas di perbatasan
Yaman Selatan hingga Timur Jazirah Arab. Sebelumnya Inggris telah menguasai
India dalam beberapa periode. Inggris berhasil mencabut kepemimpinan kaum
Muslim dari India dan mendudukinya. Sebelum Inggris masuk, kaum Muslimlah yang
memegang kekuasaan di India. Inggris mengambil alih dan meletakkan mereka di
sektor-sektor yang lemah, yang lambat-laun akan melemahkan posisi mereka secara
umum. Kemudian pada tahun 1882, Inggris mencaplok Mesir dan pada tahun 1898,
menguasai Sudan. Demikian juga Belanda berhasil menjajah pulau-pulau India
Timur. Afganistan dikepung di bawah tekanan Inggris dan Rusia. Hal yang sama
dialami Iran. Gelombang
36
Daulah
Islam
serangan bangsa-bangsa Barat di seluruh wilayah
Islam semakin meningkat, sampai semuanya jatuh di bawah kendali Barat dan
merasa bahwa serangan Salib selalu diperbaharui dengan tetap menjaga kemenangan
demi kemenangan. Akhirnya kaum Muslim sibuk membendung gelombang pasukan besar
Barat atau berupaya meringankan tekanannya. Muncul gerakan-gerakan perlawanan
terhadap Barat di wilayah-wilayah Islam. Di Aljazair pemberontakan meletus.
Kaum Muslim di India mengamuk. Para pengikut sekte al-Mahdi di Sudan bangkit
diikuti pemberontakan Sanusiah. Semua itu menunjukkan potensi kekuatan yang
terpendam dalam tubuh dunia Islam, meski dari luar tampak diam dan lemah. Hanya
saja, gerakan-gerakan atau usaha-usaha ini akhirnya padam dan tidak berhasil
menyelamatkan dunia Islam. Gerakan-gerakan keislaman itu tidak berhasil
menghentikan pendudukan dan serangan Barat. Barat masih melanjutkan serangannya
dengan dua kekuatan utama: politik dan tsaqafah. Barat tidak hanya
memecah-belah wilayah dunia Islam menjadi beberapa bagian, tetapi juga menikam
dari dalam Daulah Utsmaniyah yang notabene adalah Daulah Islam. Barat memicu
bangkitnya gerakan-gerakan kebangsaan di dalam tubuh Daulah Utsmaniyah. Isu
penjajahan oleh ‘bangsa asing’ dijadikan alat penggerak oleh Barat untuk
membangkitkan bangsa-bangsa Balkan. Sejak tahun 1804 M, mereka didorong untuk
mengadakan pemberontakan yang terus melebar, hingga akhirnya berhenti pada
tahun 1878 dengan kemerdekaan bangsa-bangsa Balkan. Mereka juga menggerakkan
negara-negara Yunani untuk melakukan revolusi. Api revolusi itu dinyalakan
sejak tahun 1821 hingga akhirnya berhenti karena masuknya pihak asing yang
memerdekakan Yunani dari Turki pada tahun 1830 M. Negeri-negeri Balkan
mengikutinya hingga payung Daulah Utsmaniyah sebagai Daulah Islam terlipat dari
daerah Balkan, Pulau Kreta, Siprus dan sebagian besar pulau di Laut Tengah.
Bangsa-bangsa Barat dalam melakukan aksinya menggunakan berbagai macam
kekejian. Kaum Muslim di Balkan dan kepulauan Laut Tengah diteror dan dihantam
secara keji. Sebagian besar kaum Muslim
Melenyapkan Daulah Islam 283
diusir
dari rumah-rumah mereka. Mereka lari mengungsi dengan membawa agama mereka,
lepas dari kekejaman kafir dan berlindung ke negara Arab yang disebut sebagai
Daulah Islam dan bagian dari Daulah Islam. Georgia, Bosnia, Chechnya, dan
daerah-daerah lainnya, tidak lain adalah putra-putra pahlawan kaum Muslim yang
tidak rela tunduk pada pemerintahan kufur. Mereka lari dengan membawa agama
Islam ke perkampungan-perkampungan Islam dan Pemerintahan Islam.
Apakah Barat berhenti sampai di sini saja?
Tidak! Bahkan, dengan berbagai sarana yang samar, Barat membangkitkan
gerakan-gerakan pemisahan dan pemecah-belahan umat Islam dari kesatuan Negara,
dengan meniupkan perbedaan antara Turki dan Arab. Mereka disulut untuk
mengadakan gerakan-gerakan kebangsaan. Barat terus-menerus menggerakkan, bahkan
membantu mereka mendirikan partai-partai politik berkebangsaan Turki dan Arab,
seperti Partai Turki Muda, Partai Persatuan dan Kemajuan, Partai Kemerdekaan
Arab, Partai Keamanan, dan partai-partai lainnya. Partai-partai inilah yang
menyebabkan kondisi dalam negeri Daulah Islam mengalami goncangan dan tidak
stabil. Goncangan-goncangan di balik berbagai tragedi dalam negeri, oleh Barat
diikuti dengan berbagai serangan dari luar sampai meletusnya Perang Dunia I,
yang memberi kesempatan terbuka bagi Barat untuk menyerang langsung dunia
Islam. Dalam kesempatan ini Barat berhasil menguasai sisa-sisa wilayah Daulah
Islam, menghabisi, dan menenggelamkannya dari permukaan dunia. Daulah
Utsmaniyah terseret dalam Perang Dunia I, yang berakhir dengan kemenangan
sekutu dan kehancuran Daulah Islam. Pasca perang, Barat mengkapling-kapling
seluruh dunia Islam layaknya harta jarahan. Tidak ada Daulah Islam yang tersisa
kecuali Turki, yang telah menjadi negara kecil dengan sebutan Negara Turki.
Setelah perang berakhir pada tahun 1918 M, Turki hidup di bawah belas kasihan Barat
hingga tahun 1921 M, yaitu ketika Turki mampu memerdekakan diri setelah memberi
jaminan terlebih dahulu pada sekutu dengan penghapusan Daulah Islam.[]
38
Daulah
Islam
Melenyapkan
Daulah Islam
Perang
Dunia I berakhir ditandai dengan gencatan senjata antara dua pihak yang
bertempur, setelah sekutu memperoleh kemenangan gemilang. Sementara Daulah
Utsmaniyah hancur berkeping- keping menjadi negara-negara kecil. Sekutu
berhasil menguasai seluruh negeri Arab, Mesir, Suriah, Palestina, kawasan Timur
Yordania dan Irak, lalu mereka memaksanya untuk
melepaskan diri dari Daulah Utsmaniyah.
Di tangan penguasa Utsmaniyah tidak ada
yang tersisa selain negeri Turki. Turki sendiri sudah disusupi sekutu. Angkatan
Laut Inggris menguasai selat Bosporus. Pasukan Inggris menduduki sebagian
ibukota dan alur pelayaran Selat Dardanella serta beberapa medan pertempuran
penting di seluruh wilayah Turki. Pasukan Perancis menduduki sebagian kota
Istambul dan memenuhi jalan-jalan dengan pasukannya yang terdiri dari
orang-orang Senegal. Tentara Italia menguasai Beira dan jalur kereta api. Para
perwira sekutu mengendalikan urusan kepolisian, pasukan pengawal nasional
(garda nasional) dan pelabuhan. Mereka juga melucuti senjata para perwira Turki
dan membubarkan sebagian dari tentara Turki. Organisasi Kesatuan dan Kemajuan (Jam’iyyatu
al-Ittihaadi wa al-Taraqiy) menyusut dan Jamal Pasha serta dan Anwar
Pasha melarikan diri ke luar negeri. Sisa-sisa anggotanya menyembunyikan
Melenyapkan Daulah Islam 285
diri.
Pemerintahan yang sakit ini akhirnya dibentuk kembali di bawah kepemimpinan
Taufiq Pasha, yang menjalankan instruksi-instruksi musuh yang berkuasa. Saat
itu Khalifah Negara Islam adalah Wahiduddin. Dia melihat bahwa dirinya
dihadapkan pada masalah ini dan dia wajib menyelamatkan kedudukannya dengan
cara yang sangat bijak. Langkah pertama yang ditempuhnya membubarkan parlemen
dan menyerahkan jabatan perdana menteri kepada sahabat karibnya yang paling dia
percayai yaitu Farid. Dia mendukung pandangan Khalifah yang bersikap
memuji-muji sekutu dan tidak melawannya, supaya tidak berakibat pada hancurnya
negeri, terutama karena peperangan telah berhenti.
Khalifah akhir nya benar- benar melaksanakan
kebijaksanaannya ini. Kondisinya pun masih tetap seperti semula, yakni Sekutu
masih terus mendominasi dan Turki terus dalam keadaan beku hingga pertengahan
tahun 1919 M. Di ujung tahun ini keadaan mulai berubah. Kelemahan menggerogoti
pasukan Sekutu. Italia, Perancis, dan Inggris mengalami kelesuan yang sangat
parah, karena pertikaian masalah ras. Konflik internal sangat tajam hingga
nyaris mencerai-beraikan barisan kesatuan mereka. Di antara negara-negara
sekutu sendiri telah dirayapi pertikaian. Indikasinya terlihat di Istambul, di
tengah para aktor politik sekutu yang memperebutkan harta rampasan perang.
Setiap negara sekutu berambisi untuk memperoleh bagian yang paling besar, yang
mencakup markas-markas militer dan keunggulan ekonomi yang dikuasainya. Kondisi
ini sebenarnya sangat memungkinkan bagi Turki, mencoba membidikkan anak
panahnya yang terakhir, sehingga diharapkan dapat menyelamatkan kedudukan
Negara. Tindakan ini seharusnya diambil Turki setelah melihat sekutu dalam
keadaan lemah dan saling bertikai sampai-sampai di antara sesama mereka saling
berebut untuk membakar Turki agar melawan negara-negara tertentu, dan membantu
mengalahkan negara-negara lainnya dari kelompok yang sama, yaitu Sekutu.
Konferensi perdamaian belum ditetapkan, syarat-
syarat perdamaian juga belum dirumuskan. Sementara di bagian ufuk,
40
Daulah
Islam
kilauan cahaya angan-angan mulai tampak. Di
tengah kehidupan manusia, keyakinan akan kemungkinan menyusun gerakan
perlawanan mulai terbentuk. Akan tetapi, Inggris lebih dulu menangkap
tanda-tanda ini. Dengan cepat, Inggris mempekerjakan Mushthafa Kamal. Dia harus
berjalan sesuai dengan strategi politik Inggris, melaksanakan kebijakan
globalnya, dan mewujudkan misi utamanya yang hendak merubuhkan Negara Khilafah.
Maka, di Istambul dibentuk kelompok-kelompok rahasia yang jumlahnya lebih dari
10 buah. Tujuannya untuk mencuri senjata dari gudang-gudang negara yang
pengawasannya sudah dibeli supaya tunduk pada musuh. Lalu menusupkan
kelompok-kelompok tersebut ke dalam organisasi-organisasi rahasia dalam Daulah.
Sebagian pejabat resmi justru membantu penyusupan ini. Untuk lebih memperlancar
keberhasilan misi politik Inggris, maka ‘Ashamta diangkat menjadi wakil menteri
peperangan, Fauzi menjadi kepala kesatuan militer, Fathiy menjadi menteri dalam
negeri, dan Rauf menjadi menteri kelautan. Mereka semua membantu
gerakan-gerakan bawah tanah. Maka tidak heran jika kelompok-kelompok ini
berdiri dalam jumlah yang banyak. Tujuannya yang paling penting adalah
menjalankan permusuhan rahasia terhadap musuh. Lalu muncul kelompok Kesatuan
dan Kemajuan. Sebagian kelompok militer yang loyal bergabung dengan
gerakan-gerakan ini. Kemudian berkumpul dalam satu wadah di bawah pimpinan
Mushthafa Kamal. Dia memainkan peran penting dalam memberikan perlawanan terhadap
sekutu selain Inggris, karena Mushthafa bekerja untuknya dan mengusir mereka
(sekutu selain Inggris, penj.) dari Negara. Dalam waktu yang sama,
Mushthafa Kamal juga memusuhi pasukan Khalifah, tatkala menentang aksi politik
dan militernya yang bermusuhan dengan Sekutu. Dalam operasi ini, Mushthafa
Kamal memperoleh hasil yang amat besar. Dia melihat bahwa pemerintah pusat dan
kekuasaan di Istambul jatuh di bawah kontrol Sekutu. Karena itu, sebagai
gantinya dia harus menjalankan pemerintahan kebangsaan daerah di Anatolia.
Dalam melaksanakan aksinya, Mushthafa Kamal
mengawali
Melenyapkan Daulah Islam 287
revolusinya
dengan memberi baju kebangsaan, dan mengakhirinya dengan melenyapkan
kekhilafahan, dan memisahkan Turki dari bagian-bagian wilayah Daulah
Utsmaniyah. Bukti di lapangan menunjukkan, revolusi Mushthafa Kamal adalah
untuk kepentingan Inggris. Inggrislah yang menyiapkan segala sesuatunya untuk
keberhasilan revolusi ini. Inggris mengirim Mushthafa Kamal agar mengadakan
revolusi.
Mushthafa Kamal mengadakan muktamar kebangsaan
di Swiss, dan berhasil mengeluarkan berbagai keputusan. Di antaranya tentang
sarana dan strategi yang secara politis bertanggung jawab dalam mengamankan
kemerdekaan Turki. Muktamar juga berhasil mengambil berbagai keputusan. Satu di
antaranya memilih Komite Pelaksana dan Mushthafa Kamal ditunjuk sebagai ketua
komite. Setelah itu muktamar mengirimkan mosi tidak percaya kepada penguasa.
Isi mosi tersebut menuntut Perdana Menteri Farid diturunkan dari jabatannya,
dan melakukan pemilihan parlemen baru yang bebas. Di bawah tekanan muktamar,
Sultan dipaksa tunduk untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya, sampai akhirnya
Sultan menurunkan perdana menteri dan mengangkat ‘Ali Ridha, menggantikan
kedudukan Farid. Sultan juga memerintahkan perdana menteri baru mengadakan
pemilihan anggota parlemen baru yang sebagian besar tunduk pada para peserta
muktamar. Mereka berhasil membentuk parlemen baru.
Keberhasilan itu dilanjutkan dengan memboyong
muktamar dan para anggotanya ke Ankara. Sejak itu, Ankara menjadi pusat
kegiatan politik. Anggota muktamar mengadakan perkumpulan di Ankara. Agendanya
mengusulkan parlemen agar berkumpul di Istambul. Setelah itu membubarkan
muktamar yang anggotanya telah resmi menjadi anggota parlemen. Akan tetapi,
Mushthafa menentang dua pikiran ini dan mengatakan, “Muktamar harus dilanjutkan
hingga keberpihakan parlemen pada keadilan menjadi jelas dan sikap politiknya
juga jelas. Mengenai pindahnya parlemen ke ibukota, tidak lain merupakan tindakan
dungu yang gila. Seandainya kalian melakukannya, niscaya kalian menjadi manusia
di bawah belas kasihan musuh yang asing.
42
Daulah
Islam
Inggris akan selalu mengontrol negara, dan
kekuasaan akan memasuki urusan kalian dan mungkin akan membelit kalian. Kalau
begitu parlemen harus tetap diadakan di sini! Di Ankara! Agar kemandiriannya
tetap terjaga.” Mushthafa Kamal terus-menerus memaksakan idenya, akan tetapi tidak
berhasil mengangkat anggota dewan yang akan bersidang di Ankara. Anggota dewan
justru pergi ke ibukota dan mengatakan pada khalifah dukungan mereka
terhadapnya. Kemudian mereka bekerja menekuni tugas mereka masing-masing. Itu
terjadi di bulan Januari tahun 1920 M.
Sultan justru berusaha memenuhi
kehendak Mushthafa Kamal agar anggota dewan melaksanakannya, namun mereka
menolak dan menampakkan kekukuhannya memegang hak-hak negara. Ketika tekanan
Sultan terhadap mereka mengeras, mereka malah menyebarkan opini umum tentang
deklarasi kebangsaan yang telah ditetapkan muktamar di Swiss. Deklarasi ini
mencakup syarat-syarat penerimaan perdamaian berdasarkan asas deklarasi. Yang
paling penting, agenda menjadikan Turki merdeka masuk dalam resolusi Deklarasi
Swiss. Tentu keputusan ini menyenangkan Sekutu, apalagi Inggris. Karena keputusan
inilah yang sebenarnya mereka upayakan, di samping upaya lain dengan menggiring
penduduk Negara mengeluarkan keputusan yang sama.
Menilik indikasi-indikasi ini, dapat diketahui
bahwa semua negeri yang diperintah Daulah ‘Utsmaniyah, yang notabene adalah
Daulah Islam, pasca Perang Dunia I membuat konsensus kebangsaan yang mengandung
satu komitmen saja, yaitu memerdekakan diri sebagai negara merdeka yang berdiri
sendiri, dan terpisah dari Daulah Utsmaniyah. Konsensus ini persis dengan yang
dikehendaki sekutu. Irak membuat deklarasi kebangsaan. Agendanya mewujudkan
Negara Irak merdeka. Suriah membuat piagam kebangsaan. Targetnya memerdekakan
Suriah menjadi negara Suriah yang berdiri sendiri. Begitu juga Palestina,
Mesir, dan negeri-negeri Islam lainnya. Kenyataan ini tentu sangat
menggembirakan sekutu, apalagi Inggris. Lebih-lebih dengan adanya deklarasi
kebangsaan Turki. Gerakan-gerakan kebangsaan
Melenyapkan Daulah Islam 289
itu
sesuai dengan apa yang dikehendaki mereka (Sekutu dan Ingris). Strategi global
mereka adalah memecah-belah Daulah Utsmaniyah dan membagi-baginya menjadi
beberapa negara, hingga tidak bisa kembali menjadi satu negara kuat; dan
sehingga mereka bisa mewujudkan obsesinya untuk melenyapkan negara kaum Muslim.
Seandainya tidak ada deklarasi dan perjanjian ini yang dipromotori Sekutu,
niscaya persoalannya akan menjadi lain. Sebab Daulah Utsmaniyah adalah negara
kesatuan, dan semua wilayahnya dianggap bagian darinya. Semuanya berjalan di
atas sistem yang satu, bukan federal. Dalam Daulah Islam tidak ada perbedaan
antara Hijaz dan Turki. Juga tidak ada perbedaan antara panji-panji al-Quds dan
Iskandariyah. Karena semuanya satu negara. Dalam kasus persekutuan antara
Turki-Jerman, menyerang Turki sama halnya menyerang Jerman. Persamaannya
sebanding, karena keduanya bersekutu dalam peperangan. Syarat-syarat perdamaian
yang ditetapkan pada salah satu di antara keduanya (Ottoman dan Jerman) juga
berlaku pada yang lain. Jika penduduk Jerman bertekad untuk tidak melepaskan
sejengkal tanah pun dari negara dan tidak akan memecah-belah kesatuan
negaranya, maka demikian halnya dengan Daulah Utsmaniyah, juga tidak boleh
membiarkan negaranya menjadi terpecah-belah. Sekutu mengetahui hal itu dan
mereka telah mempertimbangkan dengan seribu pertimbangan. Namun, orang-orang
Utsmaniyah sendiri menuntut negara mereka menjadi beberapa negara bagian yang
berdiri sendiri. Bangsa Arab maupun Turki sama-sama menghendaki demikian. Maka,
adakah persoalan yang paling cepat disambut dan didorong oleh sekutu melebihi
fakta ini. Apalagi tuntutan pelepasan negeri-negeri itu berasal dari pusat
Negara Turki sendiri. Dan Turki memegang peranan paling banyak dalam
menjalankan pemerintahan. Negara juga berusaha menjadikan Negara Turki merdeka.
Karena itu, sekutu menyimpulkan komite
perjanjian kebangsaan Turki, adalah kemenangan terakhir bagi mereka. Dengan
alasan munculnya pengaruh atas penyebaran resolusi kebangsaan, maka sekutu
membiarkan Turki bebas melakukan perlawanan.
44
Daulah
Islam
Dari setiap sudut, mereka merongrong Turki.
Sementara kekuatan Inggris dan Perancis merongrong dari dalam dan memompa
semangat kebangsaan Turki sehingga menjadi semakin kuat. Di dalam negeri timbul
gerakan perlawanan yang menentang musuh (sekutu). Gerakan itu berbalik menjadi
revolusi menentang Sultan. Itulah yang memaksa Sultan menyiapkan pasukan dan
mengirimkan serangan dan perlawanan kuat. Semua orang bergabung dengan Sultan,
kecuali Ankara yang menjadi pusat revolusi. Ankara sendiri hampir-hampir jatuh.
Semua desa yang mengepungnya bergabung menjadi satu di bawah bendera Sultan dan
berpihak pada pasukan Khalifah. Mushthafa Kamal dan para pengikutnya di Ankara
berada dalam kondisi yang sangat kritis dan terpuruk. Meski demikian, Mushthafa
Kamal tetap melakukan perlawanan. Dia membakar api semangat baru dengan
sentuhan nasionalisme Turki. Upaya Mushthafa Kamal berhasil. Tekad dan semangat
nasionalisme mereka berkobar kembali. Di berbagai wilayah dan desa-desa Turki
tersebar berita tentang keberhasilan Inggris menduduki ibukota. Banyak yang
ditawan, perkantoran ditutup dengan paksa, sementara bantuan atau dukungan
Sultan dan pemerintahannya terhadap mereka macet. Keadaan berubah. Orang-orang
berpaling dari Sultan. Opini umum digiring untuk mendukung kaum nasionalis di
Ankara. Laki-laki dan wanita berbondong-bondong mendatangi Ankara, untuk
berjuang mempertahankan Turki. Banyak pasukan Khalifah yang lari, dan bergabung
dengan pasukan Mushthafa Kamal yang telah menjadi pusat pandangan Turki serta
figur yang mengikat cita-cita kebangsaan Turki. Kelompoknya menjadi kuat.
Kebanyakan negara dan wilayah-wilayah negara di dalam genggamannya. Melihat
kondisi yang menguntungkan pihaknya, Mushthafa Kamal mengeluarkan
selebaran-selebaran yang mengajak untuk memilih Komite Kebangsaan yang
kedudukannya di Ankara. Pemilihan berhasil dilaksanakan dan anggota-anggota
dewan yang baru juga berhasil dikumpulkan. Mereka (para anggota dewan)
mendeklarasikan diri sebagai al-Jam’iyyah al-Wathaniyyah al-Kubraa.
Bahkan, mereka juga menyatakan sebagai pemerintahan yang sah,
Melenyapkan Daulah Islam 291
kemudian memilih Mushthafa Kamal
menjadi ketua komite. Ankara menjadi pusat pemerintahan kebangsaan. Semua
unsur
kebangsaan Turki bergabung dan memusat di Ankara. Mushthafa Kamal berdiri
tegak. Dengan halus, dia melanjutkan operasinya, melumatkan sisa- sisa pasukan
Khalifah, dan menghentikan perang saudara. Kemudian dia mencurahkan perhatian
untuk memerangi dan mengacaukan Yunani melalui peperangan berdarah. Pada
mulanya kemenangan berpihak pada sekutu. Kemudian persoalan berubah dan
timbangan Mushthafa Kamal lebih berat. Bulan Agustus 1921 adalah masa yang
menguntungkan, Mushthafa Kamal berhasil berdiri tegak. Dengan sekali hantam,
dia mampu mengakhiri pertempuran dengan kemenangannya terhadap Yunani yang
telah menduduki daerah Izmir dan sebagian pesisir Turki. Di awal September
1921, Mushthafa Kamal mengirim delegasi ke ‘Ashamta untuk menemui Harnajitun,
untuk melakukan kesepakatan pemecahbelahan wilayah khilafah. Di sana sekutu
sepakat untuk mengusir Yunani dari daerah Turis, Konstantinopel, dan
menyerahkannya kepada Turki. Dari langkah-langkah Mushthafa Kamal yang
sistematis, dapat dilihat bahwa kesepakatan Sekutu merupakan bentuk sambutan
menerima Mushthafa Kamal, untuk segera mengakhiri pemerintahan Islam. Karena
itu, tidak aneh jika anda menemukan indikasinya, yaitu ketika komite kebangsaan
mendebatnya tentang masalah Turki, Mushthafa Kamal justru berpidato dengan
mengatakan, “Aku bukanlah seorang mukmin yang terikat dengan liga
negeri-negeri Islam, tidak juga dengan kelompok bangsa-bangsa Utsmaniyah.
Masing-masing orang dari kita mempercayai pendapat yang dilihatnya. Pemerintah
harus meyakini (memegang teguh) politik yang kokoh, yang disusun dan dibangun
di atas sejumlah nilai esensial yang memiliki tujuan satu dan tunggal. Politik
itu untuk menjaga kehidupan kebangsaan. Wilayah independennya masuk dalam
bingkai yang bersifat geografis. Maka, tidak ada sentimen rasa (iman) dan tidak
pula angan-angan (kekhilafahan) yang harus berpengaruh dalam politik kita. Kita
harus menjauhkan mimpi dan khayalan. Di masa lalu hal itu telah membebani kita
dengan bayaran yang sangat mahal.”
46
Daulah
Islam
Demikianlah, Mushthafa Kamal
mengumumkan bahwa dirinya menghendaki kemerdekaan Turki yang bersifat
kebangsaan, bukan umat Islam. Sebagian anggota dewan dan para politisi menuntut
kepadanya untuk menjelaskan pendapatnya tentang hal-hal yang menjadi
kewajibannya membentuk pemerintahan baru di Turki. Tentu tidak masuk akal jika
Turki memiliki dua pemerintahan sebagaimana yang ditetapkan ketika itu, yaitu
pemerintahan yang ditentukan batas waktunya, dan memiliki kekuasaan yang
kedudukannya di Ankara; dan pemerintahan resmi di ibukota (Istambul) yang
dikepalai oleh Sultan dan para menterinya. Para politisi mendesak terus meminta
penjelasan pendapat Mushthafa Kamal tentang kebijakan ini. Namun, dia tidak
menjawab dan menyembunyikan niatnya. Akibatnya, opini umum berkobar dan
menyudutkan Khalifah Wahiduddin, sebab dia dianggap membantu Inggris dan Yunani
hingga kemarahan bangsa berkobar dan menyerang Khalifah.
Di tengah-tengah suasana politik yang menghangat
dan rasa dendam pada Sultan, kelompok Komite Kebangsaan menjelaskan garis
kebijakannya tentang persoalan Sultan dan pemerintahan. Mushthafa Kamal
mengetahui bahwa dirinya mampu mengangkat (memuaskan) anggota dewan dengan
melepaskan Wahiduddin dan menghapus kesultanan. Akan tetapi, dia tidak berani
berlaku gegabah dengan menyerang khilafah. Sebab hal itu dengan sendirinya akan
menyentuh perasaan keislaman seluruh bangsa. Karena itu, dia tidak menghapus
khilafah dan tidak menentangnya. Hanya saja dia mengusulkan adanya aturan yang
memisahkan antara kekuasaan politik (pemerintahan) dengan khilafah. Lalu
menghapus kesultanan dan mencabut Wahiduddin dari kekuasaan (bukan lembaga
khilafah). Apa yang didengar anggota dewan mengenai usulan ini membuat mereka
terdiam. Mereka mulai menyadari bahaya usulan ini yang dibebankan oleh
Mushthafa Kamal kepada mereka agar menetapkannya. Mereka bermaksud
mendiskusikan dan menyanggah usulan tersebut. Namun, Mushthafa Kamal khawatir
akibat diskusi ini. Maka, dia mendesak dewan agar
Melenyapkan Daulah Islam 293
mengambil
ide yang diusulkannya. Untuk mensukseskan usulannya, Mushthafa Kamal
memperkuatnya dengan 80 anggota dewan dari para pendukung setianya. Akan
tetapi, majelis tetap menolaknya dan menyerahkan atau memandatkan usulan itu
kepada Komite Perundang-undangan agar membahasnya.
Ketika Komite mengadakan rapat di hari
berikutnya, Mushthafa Kamal menghadiri majelis yang menjadi tempat berkumpul
anggota Komite. Dia duduk sambil mengawasi aksi-aksi para anggota Komite.
Akhirnya, perdebatan tentang usulan Mushthafa Kamal tidak bisa dihindari,
bahkan terus berlangsung hingga beberapa waktu. Sejumlah anggota majelis dari
kalangan ulama dan pembela kebenaran menentang usulan ini. Mereka memberi argumen-argumen
kuat didasarkan pada nash-nash syar’i. Menurut mereka, usulan Mushthafa Kamal
bertentangan dengan syara’ karena di dalam Islam tidak ditemukan kekuasaan
agama, dan kekuasaan dunia. Kesultanan dan khilafah adalah satu. Di sana tidak
ditemukan sesuatu yang dinamakan agama, dan lainnya dinamakan negara. Bahkan,
dalam sistem Islam, negara merupakan bagian dari sistem ini. Negaralah yang
menjalankan sistem ini. Karena itu, Komite Perundang-undangan tidak menemukan
alasan apapun yang membenarkan pemisahan ini, bahkan tidak menemukan kebenaran
pembahasannya. Nash-nash Islam sangat jelas menerangkan persoalan ini. Komite
menolak usulan ini. Akan tetapi, Mushthafa Kamal berpikiran lain. Dia sudah
bertekad akan memisahkan agama dari negara (Daulah Islam). Caranya dengan
memisahkan kesultanan dari khilafah. Ini merupakan langkah awal untuk menghapus
khilafah, di samping sebagai aktor yang telah disiapkan oleh Inggris untuk
menghancurkan Negara Khilafah, dan sebagai bentuk tuntutan sekutu kepadanya,
sampai berhasil mengakhiri riwayat Daulah Islam melalui tangan rakyatnya
sendiri.
Melihat perdebatan-perdebatan Komite dan arah
pembicaraannya yang menegangkan syaraf, maka Mushthafa Kamal spontan berdiri.
Dia kemudian melangkah ke depan dan
48
Daulah
Islam
mengambil tempat. Dia duduk dalam keadaan marah,
dan memutus perdebatan Komite dengan berteriak keras: “Hai Tuan-tuan! Kesultanan
Utsmaniyah telah merampas kepemimpinan bangsa dan kekuatan yang diyakini bangsa
yang hendak menuntut kembali dari Sultan. Kesultanan merampasnya dengan
kekuatan. Kesultanan harus dipisahkan dari khilafah dan dibatalkan! Baik kalian
setuju atau tidak, hal itu pasti akan terjadi! Setiap persoalan yang terdapat
dalam urusan ini pasti akan menjatuhkan sebagian kepala kalian dalam lipatan
itu.” Dia berkata dengan bahasa seorang diktator. Dia memecah
perkumpulan Komite. Seketika itu Komite Kebangsaan dipanggil agar membahas
usulannya.
Ditilik dari arah diskusinya, tampak
jelas bagi Mushthafa Kamal, bahwa arah opini Komite yang menonjol condong pada
pembatalan usulannya. Tanda-tanda ini mendorong para pendukungnya berkumpul,
dan meminta dewan memberikan pendapat tentang usulan Mushthafa Kamal dengan
cara mengangkat tangan. Akan tetapi, anggota dewan tidak setuju dan memprotes
cara ini seraya berkata, “Jika harus memberikan pendapat, maka harus diserukan
dengan nama.” Namun, Mushthafa Kamal menolaknya. Dengan suara
mengancam, dia berteriak keras, “Aku setuju dengan majelis yang
menerima usulan dengan kesepakatan pendapat. Pengambilan suara cukup dengan
mengangkat tangan.” Usulan pun dilontarkan untuk meminta suara dan
tidak ada yang mengangkat kecuali amat sedikit. Anehnya, hasil akhir tetap
memutuskan bahwa majelis telah mensahkan usulan Mushthafa Kamal dengan suara
bulat. Anggota dewan bingung. Mereka tidak bisa menerima lelucon ini. Sebagian
mereka meloncat ke atas tempat duduk dan berteriak lantang, “Keputusan ini
tidak sah dan kami tidak setuju!” Para pendukung al-Ghaziy (Mushthafa
Kamal) ganti berteriak mendiamkan mereka. Maka suasana sidang menjadi kacau.
Mereka saling mengecam dan menuduh. Sementara pemimpin dewan mengumumkan sekali
lagi “hasil akhir sidang” dengan menyatakan bahwa Komite Kebangsaan Besar Turki
(al-Jam’iyyatu al-Wathaniyyah al-Kubraa) memutuskan dengan “suara bulat” bahwa
kesultanan dihapus (dipisahkan dari lembaga khilafah). Kemudian pecahlah
keributan
Melenyapkan Daulah Islam 295
di
majelis. Mushthafa segera meninggalkan ruangan, diiringi para pengikutnya.
Ketika Khalifah Wahiduddin mengetahui hal itu, dia lari ketakutan. Pengaruh
“keputusan dewan” yang diumumkan membuatnya lari. Dan, kekosongan kekhilafahan
ini harus segera diisi. Maka, saudaranya, Abdul Majid dipanggil dan didaulat
menjadi khalifah kaum Muslim yang kosong. Abdul Majid menjadi khalifah tanpa
kekuasaan. Negara tidak memiliki penguasa yang syar’i.
Jika kesultanan atau kekuasaan dipisahkan dari
khilafah, maka siapa yang akan menerapkan hukum dan menjalankan pemeritahan?
Mushthafa Kamal sangat berambisi untuk memisahkan kesultanan dari khilafah. Dia
sudah merencanakannya lebih dulu sebelum menentukan bentuk pemerintahan yang
akan menggantikan kekhilafahan. Kekhilafahan akan diubah menjadi Pemerintahan
Turki. Karena itu, dia menentukan bentuk pemerintahan baru setelah menghapus
(memisahkan) kesultanan. Apakah Mushthafa Kamal akan menyusun parlemen, ketika
masih menjadi kepala pemerintahan bidang perundang-undangan, sementara khalifah
masih “memiliki” kekuasaan, karena penghapusan (kekuasaan) dianggapnya tidak
sah? Khalifah tidak menerima Mushthafa Kamal yang hendak membentuk parlemen.
Namun, Mushthafa Kamal menyembunyikan tekadnya. Dia melanjutkan manuvernya
dengan dukungan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya, dan menjalankan
pemerintahan melalui jalur kebangsaan. Dia membentuk partai yang dinamakan
Partai Kebangsaan. Tujuannya adalah untuk mengambil opini umum menjadi milikya.
Meski langkah-langkahnya sudah sedemikian jauh, Mushthafa Kamal tidak bisa
memungkiri bahwa suara mayoritas di Komite bertentangan dengan kehendaknya,
setelah dia mengumumkan dengan paksa pemisahan kesultanan dari khilafah. Karena
itu, dia perlu mengambil inisiatif untuk mengumumkan bentuk pemerintahan yang
ditetapkannya, yaitu Pemerintahan Republik Turki, dan memproklamirkan dirinya
sebagai presiden. Kemudian Mushthafa Kamal bekerja keras untuk menjerumuskan
Komite dalam berbagai kemelut berdarah sehingga dia memiliki alasan untuk
meminta
50
Daulah
Islam
pembubaran parlemen, dan mengajukan
pembubarannya pada Komite Kebangsaan. Komite tidak menemukan orang yang tepat
untuk menguasai parlemen. Setelah kemelut memuncak, dia mengusulkan pada komite
agar Mushthafa Kamal juga menguasai parlemen. Komite menerima usulannya karena
keadaannya memang sangat genting, dan Mushthafa Kamal dipercaya untuk
mengatasinya. Komite meminta Mushthafa Kamal menguasai (memerintah) parlemen
dan menyelesaikan krisis. Pada mulanya, dia menampakkan kesulitan, kemudian
menjawab permintaan, ia naik ke podium dan berkata kepada anggota dewan: “Kalian
telah mengirimkan utusan untuk memintaku agar menyelamatkan keadaan
krisis yang susul-menyusul. Akan tetapi, krisis ini akibat perbuatan kalian.
Tempat tumbuhnya krisis ini adalah persoalan yang amat sepele, tetapi telah
meninggalkan garis kebijakan yang mendasar dalam sistem pemerintahan kita. Maka
dari itu, Komite Kebangsaan menjalankan fungsi kekuasaan untuk merumuskan hukum
dan undang-undang, serta komite pelaksana dalam satu waktu. Setiap komisi dari
kalian harus bersekutu dalam mengeluarkan setiap keputusan dengan menteriku,
dan menyusupkan jari-jarinya dalam tiap birokrasi pemerintahan. Setiap
keputusan ada di tangan menteri. Hai Tuan-tuan, tidak seorang menteri pun
(pejabat tinggi dalam pemerintahan khilafah) mampu memikul tanggung jawab dan
menerima kedudukan dalam kondisi seperti ini? Kalian harus menyadari bahwa
pemerintahan yang berdiri di atas asas ini adalah pemerintahan yang mustahil
mampu mewujudkannya. Jika dijumpai pemerintahan seperti itu, maka itu bukanlah
pemerintahan, bahkan merupakan kekacauan. Kita wajib mengubah kebijakan ini.
Karena itu, aku memutuskan Turki menjadi Republik yang memiliki seorang
presiden yang dipilih melalui pemilihan umum.” Setelah menyelesaikan pidatonya,
dia mengumumkan rumusan yang dijanjikan sebelumnya, yaitu mengubah Daulah
Islam menjadi Republik Turki dan Mushthafa Kamal dipilih menjadi presiden Turki
pertama. Dengan demikian, dia mengangkat dirinya menjadi penguasa hukum
undang-undang negara.
Namun demikian, persoalannya tidak
semudah sebagaimana yang dikehendaki Mushthafa Kamal. Bangsa Turki adalah
bangsa
Upaya Merintangi Tegaknya Daulah
Islam 297
Muslim. Apa yang dilakukan Mushthafa Kamal
adalah bentuk penentangan terhadap Islam. Negara didominasi pemikiran yang
menyatakan bahwa Mushthafa Kamal bertekad menghabisi Islam. Pemikiran ini
diperkuat dengan perilaku -perilaku Mushthafa Kamal sendiri yang jelas-jelas
mengingkari dan melanggar Islam di sepanjang hidupnya, terutama penentangannya
terhadap semua hukum syara’. Dia juga sering melecehkan atau merendahkan setiap
keputusan suci atau hukum yang berlaku di tengah-tengah kehidupan kaum Muslim.
Mayoritas umat yakin bahwa Pemerintahan Ankara adalah pemerintahan kufur yang terlaknat.
Masyarakat akhirnya bergabung di seputar Khalifah Abdul Majid dan berusaha
untuk mengembalikan kekuasaan kepadanya dan menjadikannya penguasa yang akan
menghukum kaum yang murtad. Mushthafa Kamal mengetahui bahaya yang mulai
membesar. Dia juga melihat bahwa mayoritas rakyat membencinya dan
menggambarkannya sebagai seorang zindiq, kafir, dan atheis. Mushthafa Kamal
berpikir keras tentang persoalan ini. Akhirnya, dia memantapkan langkahnya
dengan meningkatkan aktivitas propaganda menentang khalifah dan khilafah. Di
setiap tempat dan kesempatan, dia membakar gelora semangat Komite Kebangsaan
hingga Undang-undang Pemberantasan (subversif) semakin dipertajam dengan
menyatakan bahwa setiap penentang Republik dan setiap dukungan terhadap Sultan
dicap sebagai pengkhianat yang diancam hukuman mati. Kemudian dalam setiap
mejelis pertemuan, apalagi dalam Komite Kebangsaan (Dewan Nasional), Mushthafa
Kamal membahas, membincangkan, dan mengumumkan bahaya Khilafah. Lebih jauh,
Mushthafa Kamal menyiapkan iklim yang mendorong penghapusan khilafah. Sebagian
anggota dewan membicarakan manfaat khilafah bagi Turki dari sisi diplomasi.
Akan tetapi, Mushthafa Kamal menentang mereka dan berkata pada Komite Nasional:
“Bukankah khilafah, Islam, dan tokoh-tokoh agama, yang telah
memerangi orang-orang desa Turki dan mereka mati selama lima abad? Sekarang ini
Turki baru melihat kepentingannya dan tidak menghiraukan (daerah) India dan
Arab, serta melaksanakan pemerintahan sendiri yang bebas dari penguasaan kaum
94
Daulah
Islam
Muslim.”
Demikianlah langkah- langkah Mushthafa
Kamal. Dia menjalankan aksinya dengan propaganda menentang khilafah seraya
menjelaskan bahaya-bahayanya bagi Turki, sebagaimana menjelaskan bahaya-bahaya
khalifah terhadap dirinya. Dia menggambarkan khalifah dan para pendukungnya
dengan gambaran yang tidak jujur, dan menampakkan gambar mereka dengan
penampakan yang direkayasa Inggris. Tidak cukup itu saja. Bahkan, dia juga
menciptakan gelombang ketakutan atas orang-orang yang mendukung khilafah.
Seorang anggota dewan meneriakkan keberpihakannya pada khilafah dengan keras.
Dengan tegas dia menunjukkan pembelaannya pada agama. Melihat penentangan ini,
tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Mushthafa Kamal kecuali menugaskan
seseorang secara rahasia untuk membunuh anggota dewan itu di malam hari. Dengan
cepat, petugas rahasia dari kroni Mushthafa Kamal membunuh anggota dewan
tersebut di tengah perjalanan pulang ke rumahnya dari pertemuan Komite
Nasional. Seorang anggota dewan lain menyampaikan orasi Islam, lalu Mushthafa
Kamal mendatanginya dan mengancamnya dengan hukuman gantung jika dia masih
membuka mulutnya sekali lagi. Seperti inilah cara-cara yang dilakukan Mushthafa
Kamal. Dia menebarkan ketakutan di sepanjang pemerintahannya. Dia juga menugaskan
seorang hakim Istambul untuk melakukan kewajiban menghapus panji-panji
kebesaran yang mengitari arak-arakan khalifah di tengah-tengah pelaksanaan
shalat Jum’at. Akibatnya, martabat khalifah turun hingga ke batas yang paling
rendah. Mushthafa Kamal juga memperingatkan dengan keras kepada para pengikut
khalifah supaya melepaskan diri darinya. Peringatannya harus dilaksanakan.
Memperhatikan perkembangan ini, sebagian golongan moderat dari para pendukung
Mushthafa Kamal yang masih memiliki semangat Islam mengkhawatirkan terhapusnya
khilafah. Maka, mereka meminta Mushthafa Kamal untuk mendudukkan dirinya
menjadi khalifah kaum Muslim. Namun, Mushthafa Kamal tidak menerimanya.
Kemudian dua
Melenyapkan Daulah Islam 299
orang
utusan yang masing-masing dari Mesir dan India mendatangi Mushthafa Kamal.
Keduanya juga meminta Mushthafa Kamal mengangkat dirinya menjadi khalifah.
Harapan ini berulang-ulang disampaikan, tetapi Mushthafa Kamal menolaknya,
bahkan dia telah menyiapkan pukulan yang mematikan dengan mengumumkan
penghapusan khilafah. Di tengah kehidupan bangsa, di tengah pasukan, dan di
tengah Komite Naional, dia membangkitkan kemarahan dan kemurkaan terhadap
pihak-pihak asing, musuh, dan sekutu khalifah. Upaya membangkitkan kemarahan
terhadap pihak asing ini merupakan tipuan untuk memanipulasi tujuan, di
antaranya menghubungkan dugaan negatif terhadap khalifah yang dipersepsikan
sebagai sekutu asing, sehingga rekayasa ini akan membangkitkan kemarahan rakyat
pada khalifah. Mushthafa Kamal juga membuat isu-isu yang mampu membangkitkan
perlawanan terhadap khalifah. Ketika iklim yang sudah panas ini mendominasi
negara, maka Mushthafa Kamal maju selangkah lebih berani. Pada tanggal 3 Maret
1924 M, Mushthafa mengadakan sidang Komite Nasional dengan rumusan yang sudah
ditetapkan, yaitu menetapkan penghapusan khilafah, mengusir khalifah, dan
memisahkan agama dari negara. Di antara pidato yang disampaikan pada anggota
dewan ketika menetapkan rumusan ini adalah: “Dengan harga apa yang
harus dibayar untuk menjaga Republik yang terancam ini dan menjadikannya
berdiri kokoh di atas prinsip ilmiah yang kuat? Jawabnya, khalifah dan semua
keturunan keluarga ‘Utsman harus pergi (dari Turki), pengadilan agama yang kuno
dan undang-undangnya harus diganti dengan pengadilan dan undang-undang moderen,
sekolah-sekolah kaum agamawan harus disterilkan tempatnya untuk dijadikan
sekolah-sekolah negeri yang non-agama.” Kemudian dia menyerang Islam dan
orang-orang yang dinamakan kaum agamawan.
Dengan kekuatan diktator, Mushthafa Kamal
menetapkan rumusan ini melalui Komite Nasional. Keputusan ditetapkan tanpa
melalui diskusi. Kemudian dia mengirimkan instruksi kepada hakim Istambul agar
memutuskan hukuman pengusiran bagi Khalifah Abdul Majid. Khalifah harus
meninggalkan Turki sebelum fajar
96
Daulah
Islam
sehari setelah dikeluarkan keputusan ini. Hakim
dan sejumlah polisi yang menyertainya, disertai militer berangkat ke istana
khalifah di tengah malam. Mereka memaksanya menaiki mobil lalu menuntunnya
keluar perbatasan Turki. Mereka sama sekali tidak memberikan toleransi dan
belas-kasihan kepadanya sedikit pun, kecuali hanya diperbolehkan membawa satu
koper berisi beberapa lembar pakaian dan sedikit uang.
Demikianlah hantaman Mushthafa Kamal
terhadap Daulah Islam dan sistem Islam. Dia mendirikan negara kapitalis dan
sistem kapitalis. Dengan demikian, dia telah merobohkan Daulah Islam dan
mewujudkan mimpi kaum kafir, yang menjadi senda gurau mereka sejak Perang
Salib. Ingatlah, dialah yang menghancurkan Daulah Islam![]
Upaya Merintangi Tegaknya Daulah
Islam 301
Upaya
Merintangi
Tegaknya Daulah
Islam
Perang
Dunia I berakhir, pasukan sekutu berhasil menguasai hampir seluruh
wilayah Daulah Islam. Cita -cita mereka adalah mengikis habis Daulah Islam
dengan tuntas dan berusaha menghalangi berdirinya kembali untuk kedua kalinya.
Untuk mengikisnya hingga tuntas, mereka harus memecah-belahnya lebih dulu,
tanpa memberi kesempatan untuk mendirikan Daulah Islam di belahan bumi Islam
manapun. Mereka telah meletakkan strategi global dengan menggunakan berbagai
uslub yang menjamin Daulah Islam tidak akan hidup kembali. Secara terus-menerus
mereka
melakukan
upaya itu demi tujuan tersebut.
Sejak kafir penjajah menduduki
negeri-negeri kaum Muslim, mereka memantapkan kekuasaannya dengan mengokohkan
sistem hukum berdasarkan rumusan mereka. Pada tahun 1918 M, mereka berhasil
menduduki negeri-negeri yang selama ini bernaung di bawah pemerintahan Daulah
Utsmaniyah. Kemudian di negeri-negeri tersebut ditegakkan sistem hukum militer
hingga tahun 1922 M. Lalu mereka mengokohkan pemerintahannya dengan nama
Pemerintahan Kolonial di sebagian negeri dan menggunakan nama kemerdekaan penuh
di negeri lainnya hingga tahun 1924 M. Pada tahun itu, pihak musuh terutama
Inggris telah melakukan berbagai persiapan untuk berbagai sarana perlawanan
terhadap semua
39
Daulah
Islam
unsur yang diduga akan menjadi kekuatan untuk
mengembalikan Daulah Islam. Saat itu, Mushthafa Kamal menghapus sistem khilafah
Negara Utsmaniyah, menjadi Republik Demokrasi Turki. Mushthafa Kamal menggusur
khilafah hingga menumpas habis angan-angan terakhir yang menghendaki kembalinya
Daulah Islam. Pada pertengahan tahun itu, Hussain bin Ali keluar dari Hijaz,
dan ditahan di Tripoli karena sangat menginginkan kembalinya kekhilafahan. Pada
tahun itu pula, melalui kaki tangannya, Inggris menyusup ke dalam pertemuan
muktamar khilafah yang diadakan di Kairo. Mereka berusaha memecah-belah dan
menghancurkannya. Pada tahun yang sama, Inggris bekerja keras untuk menghapus Jam’iyyah
Khilafah (komite yang memperjuangkan khilafah) di India, membatalkan
usaha-usahanya, dan mengubah serta mengalihkan arah perjuangannya ke paham
nasionalisme dan kebangsaan. Di Mesir, tahun yang sama diterbitkan sejumlah
karangan dari sejumlah ulama al-Azhar yang dipengaruhi kafir penjajah. Isinya
mengajak umat untuk memisahkan agama dengan negara, dan menyerukan bahwa di
dalam Islam tidak ada dasar-dasar pemerintahan, serta menggambarkan Islam
sebagai agama kependetaan. Dikatakan pula bahwa dalam Islam, tidak sedikitpun
ditemukan konsep tentang pemerintahan dan negara. Tahun itu dan tahun-tahun
berikutnya, di negeri-negeri Arab terjadi perdebatan-perdebatan seputar dua
tema, yaitu Apakah gerakan Pan Arabisme lebih patut dan lebih banyak memberi
kemungkinan ataukah Pan Islamisme. Berbagai surat kabar dan majalah sibuk
memperbincangkan tema-tema itu, padahal kedua-duanya, apakah Pan Arabisme atau
Pan Islamisme, sama-sama tidak sesuai dengan Islam. Esensi gerakannya hanya
berusaha mengadakan perubahan tanpa mendirikan Daulah Islam. Akan tetapi, bagi
kafir penjajah, perdebatan ini mengandung kepentingan lain, yaitu untuk
mengalihkan opini umat dari Daulah Islam. Dengan diskusi- diskusi ini, mereka
mampu menjauhkan umat dari opini tentang khilafah dan Daulah Islam.
Sebelum melakukan penjajahan, kaum
kafir imperialis telah mempropagandakan idiom-idiom nasionalis Turki ke
tengah-tengah
Upaya Merintangi Tegaknya Daulah
Islam 303
generasi muda Turki. Secara agitatif
dipropagandakan bahwa Turki memikul beban berat bangsa-bangsa yang bukan bangsa
Turki. Turki harus membebaskan diri dari bangsa-bangsa selain Turki. Turki
harus menyusun partai-partai politik yang bekerja untuk mewujudkan nasionalisme
Turki, dan membebaskan Turki dari negeri-negeri selain Turki. Begitu juga di
kalangan para pemuda Arab. Slogan-slogan nasionalisme Arab juga disebarluaskan
oleh kafir penjajah, seperti, Turki adalah negara penjajah! Sekaranglah saatnya
bagi bangsa Arab untuk membebaskan diri dari penjajahan Turki! Kemudian
dengan slogan-slogan itu mereka membentuk partai-partai politik yang bekerja
untuk mewujudkan persatuan Arab dan membebaskan Arab. Penjajahan belum
dilaksanakan, sampai kafir penjajah berhasil menyebarkan slogan-slogan
nasionalisme dan menjadikannya semangat perjuangan menempati posisi yang
sebelumnya ditempati Islam. Turki (diberikan) kemerdekaan atas dasar kebangsaan
dan nasionalisme. Bangsa Arab juga bekerja untuk pemerintahan yang berdiri atas
dasar kebangsaan dan nasionalisme. Kata-kata nasionalisme dan kebangsaan
menyebar dan memenuhi atmosfer dunia Islam. Kata-kata itu akhirnya menjadi
tumpuan kebanggaan dan label kemuliaan. Upaya penjajah tidak cukup dengan itu
saja. Mereka juga menyebarkan pemahaman-pemahaman yang menyesatkan tentang
pemerintahan dalam Islam, tentang Islam sendiri, dan gambaran khilafah, yang
dinyatakan sebagai jabatan kepausan dan bentuk pengejawantahan dari
pemerintahan agama yang bersifat kependetaan (teokrasi). Sehingga, kaum Muslim
sendiri akhirnya merasa malu menyebut kata khalifah, juga orang yang menuntut
kekhilafahan. Di tengah-tengah kaum Muslim juga sering dijumpai pemahaman umum,
yang menyatakan bahwa persoalan kekhilafahan adalah perkara kuno, terbelakang,
dan jumud, yang tidak mungkin keluar dari orang yang berbudaya dan tidak
mungkin pula dikatakan oleh pemikir.
Di tengah-tengah iklim kebangsaan dan
nasionalisme ini, Daulah Islam dibagi-bagi menjadi beberapa negara, dan
penduduk setiap negara berpusat dan berkelompok di negara asal mereka
41
Daulah
Islam
tinggal. Daulah Utsmaniyah dibagi menjadi
beberapa negara, di antaranya Turki, Mesir, Irak, Suriah, Libanon, Palestina,
kawasan Timur Yordania, Hijaz, Najd, dan Yaman. Para politisi yang menjadi
antek-antek kafir penjajah mengadakan berbagai muktamar dan kongres di setiap
negara tempat mereka tinggal. Mereka semua menuntut kemerdekaan dari Turki
(Daulah Utsmaniyah). Tuntutan kemerdekaan di masing-masing negeri yang
digariskan dalam muktamar, ditetapkan menjadi negara yang berdiri sendiri dan
terpisah dari negeri-negeri Islam lainnya. Atas dasar ini berdirilah Negara
Turki, Irak, Mesir, Suriah, dan seterusnya. Kemudian di Palestina didirikan
gerakan nasionalis kebangsaan Yahudi, yang beberapa waktu kemudian berubah
menjadi ‘Gerakan Perjuangan Kemerdekaan’ atas nama negara. Proyek
ini diagendakan menjadi ujung tombak kepentingan kafir, dan untuk
meletakkan hambatan yang menyibukkan kaum Muslim. Pada akhirnya kaum Muslim
lupa terhadap kafir penjajah, yaitu negara-negara Barat, seperti Inggris,
Amerika, dan Perancis. Mereka meletakkan penghalang yang akan memecah-belah
negeri-negeri kaum Muslim, sehingga kaum Muslim tidak mampu mengembalikan
Daulah Islam. Dengan demikian, posisi geografis dan opini umum memusat menjadi
satu titik perubahan tanpa ada pembebasan kaum Muslim.
Kemudian tegak pemerintahan yang menerapkan
sistem kapitalis di bidang ekonomi; menerapkan sistem demokrasi di bidang
pemerintahan; dan menerapkan undang-undang Barat di bidang administrasi dan
pengadilan. Pemerintahan tersebut juga mengambil peradaban dan pemahaman
tentang kehidupan dari Barat. Maka terjadilah pemusatan pandangan hidup Barat,
sehingga metoda kehidupannya menjadi pedoman hidup kaum Muslim. Kerja kafir
penjajah memperoleh keberhasilan besar. Mesir menjadi daerah kesultanan, kemudian
diterapkan sistem kerajaan parlementer. Di Irak juga diterapkan sistem kerajaan
parlementer. Di Libanon dan Suriah diberlakukan sistem republik. Di Timur
Yordania ditegakkan sistem keemiran, dan di Palestina ditetapkan sistem
pemerintahan koloni, yang berakhir dengan tegaknya
Upaya Merintangi Tegaknya Daulah
Islam 305
sistem demokrasi parlemen yang mengikat Yahudi
—sebagai negara—, dan menggabungkan sisa wilayahnya dengan kawasan Timur
Yordania, lalu menjadikannya kerajaan parlementer. Di Hijaz dan Yaman
ditegakkan monarki absolut. Di Turki didirikan republik. Di Afganistan
ditegakkan kerajaan dinasti (pewarisan). Kafir penjajah juga mendorong Iran
memegang teguh sistem kekaisaran, dan membiarkan India menjadi daerah jajahan,
kemudian membagi dua negara. Dengan strategi ini, kafir penjajah menjadikan
sistemnya diterapkan di dalam negeri kaum Muslim. Dengan penerapannya akan
melemahkan pikiran dan jiwa kaum Muslim untuk mengembalikan pemerintahan Islam.
Upaya kafir penjajah tidak berhenti sampai di sini, bahkan jiwa-jiwa penduduk
negeri-negeri Islam dikondisikan dalam suasana agar mereka memiliki, dan bisa
mempertahakan sistem yang ditegakkannya. Sebab, penduduk setiap negeri dari
negeri-negeri Daulah Islam menganggap negeri mereka saja yang diperhitungkan
sebagai negara yang berdiri sendiri. Akibatnya, kaum Muslim memahami wajibnya
memerdekakan negeri mereka dari negeri-negeri Islam lainnya. Maka tidak heran
jika orang Irak di Turki dianggap sebagai orang asing. Orang Suriah di Mesir juga
dicap sebagai orang asing. Demikianlah cara-cara para penguasa disetiap negeri
dalam menjaga pemahaman sistem kapitalis demokrasi. Penjagaan mereka terhadap
sistem ini jauh lebih hebat daripada penjagaan penduduknya. Mereka menjadi
kacung-kacung yang ditugasi memelihara sistem dan undang-undang yang dibentuk
penjajah, dan diberlakukan di tengah-tengah mereka. Setiap upaya mengubah
sistem yang berlaku, dianggap sebagai gerakan yang inkonstitusional. Gerakan
ini akan dikenai sanksi keras oleh undang-undang penjajah yang dijalankan para
penguasa.
Kafir penjajah menerapkan undang-undang
Barat di negeri kaum Muslim melalui antek-anteknya. Sejak paruh pertama abad
19, penjajah sudah berusaha memasukkan undang-undang Barat ke Daulah Islam. Di
Mesir penjajah mendorong dimasukannya undang-undang sipil Perancis menggantikan
kedudukan hukum-
43
Daulah
Islam
hukum syara’. Upaya ini berhasil. Mesir sejak
tahun 1883 M mulai menerapkan undang-undang Perancis, juga menerjemahkan
undang-undang Perancis lama, dan menerapkannya sebagai undang-undang resmi
negara. Akhirnya undang-undang Perancis menjadi undang-undang resmi negara,
menggantikan kedudukan undang-undang syara’. Undang-undang ini diterapkan di
pengadilan-pengadilan Mesir. Di daulah Utsmaniyah, sejak tahun 1856, muncul
gerakan untuk menjadikan undang-undang Barat sebagai undang-undang Turki. Pada
mulanya gerakan ini tidak berjalan mulus, sebagaimana di Mesir. Sebab masih ada
Khilafah Islam Daulah Utsmaniyah. Akan tetapi, kaum kafir terus-menerus
mendesak, mengkader, dan mendudukkan antek-antek mereka pada jabatan-jabatan
strategis. Akhirnya antek-antek itu menerima masuknya undang-undang perpajakan,
undang-undang tentang hak, dan undang-undang perdagangan. Caranya melalui
fatwa-fatwa yang dinyatakan sebagai fatwa yang tidak bertentangan dengan Islam.
Kemudian kaum kafir memasukkan ide pembuatan undang-undang, menyusun kodifikasi
hukum-hukum syara’ sebagai undang-undang, dan membagi mahkamah menjadi dua.
Pertama, mahkamah yang menjalankan sistem hukum Islam, dan kedua yang
menjalankan sistem hukum Barat. Oleh para ulama, hal ini difatwakan sebagai
sesuatu yang tidak bertentangan dengan Islam, dan sesuai dengan undang-undang
syara’, yang polanya merujuk pada undang-undang Barat. Inilah intervensi kafir
penjajah yang berkaitan dengan undang-undang.
Sedangkan dengan Undang-undang Dasar
(UUD), lebih difokuskan pada pembuatan UUD negara, yang diambil dari UUD
Perancis. Perumusannya dilakukan bersamaan dengan diadopsinya undang-undang
tersebut. Pada tahun 1878, upaya ini hampir berhasil. Namun, karena perlawanan
kaum Muslim masih kuat, maka proses perumusannya berhasil dipatahkan dan
stagnan. Tetapi, karena kafir penjajah terus menempel ketat, didukung oleh
keberhasilan antek-antek dan orang-orang yang terpengaruh tsaqafah Barat, maka
terbuka kemungkinan untuk menyusun UUD pada kesempatan lain.
Upaya Merintangi Tegaknya Daulah
Islam 307
Pada tahun 1908, Negara menetapkan UUD. Dengan
ditetapkannya undang-undang dan UUD di Daulah Utsmaniyah, maka hampir seluruh
wilayah Daulah Islam, kecuali Jazirah Arab dan Afganistan, berjalan mengikuti
arah undang-undang Barat. Tidaklah kafir penjajah menduduki suatu negeri,
melainkan berupaya menjadikan negeri itu berdiri dengan menerapkan seluruh
undang -undang Barat, dan menganggapnya sebagai undang-undang sipil. Padahal
esensi undang-undang tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam,
bahkan meninggalkan hukum-hukum syara’. Artinya, negara telah menetapkan hukum
atau sistem pemerintahan kufur, dan menjauhkan sistem pemerintahan Islam.
Keberhasilan kafir penjajah didukung dengan makin mantapnya pilar-pilar dan
penegakan (pemecahan dan pembentukan) semua perkara berlandaskan politik
pengajaran yang dibakukan, di samping metodologi pendidikan kafir penjajah,
yang hingga saat ini masih diterapkan di seluruh negeri-negeri Islam. Prestasi
ini sudah barang tentu menghasilkan “pasukan besar” para pengajar, yang
sebagian besarnya menjaga dan melestarikan metodologi ini. Juga melahirkan orang-orang
yang sebagian besar memegang jabatan penting yang berkait dengan pengaturan
urusan kehidupan. Mereka berjalan sesuai dengan kehendak kafir penjajah.
Politik pengajaran dibangun dan disusun
berdasarkan dua dasar. Pertama, memisahkan urusan agama dari kehidupan.
Pemisahan ini dengan sendirinya menghasilkan pemisahan agama dari negara. Ini
akan mendorong putra-putri kaum Muslim berjuang memerangi pendirian Daulah
Islam, dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan asas pendidikan mereka.
Kedua, membentuk kepribadian kafir penjajah yang dijadikan sumber utama
pembinaan. Inilah yang mengisi akal kaum Muslim, yaitu pemahaman yang tumbuh
dari pengetahuan dan informasi-informasi yang disampaikan kepada mereka.
Pembinaan ini mengharuskan murid menghormati dan mengagungkan kafir penjajah,
dan berusaha meneladaninya, meskipun yang dicontoh adalah kafir penjajah. Di
samping itu, murid juga dituntut merendahkan orang Islam dan
45
Daulah
Islam
menjauhinya, merasa jijik terhadapnya, arogan dan
memandangnya rendah, serta meremehkan setiap orang yang merujuk kepada Islam.
Tidak mengherankan jika ajaran-ajaran ini melahirkan permusuhan terhadap
pembentukan Daulah Islam. Mencapnya sebagai perbuatan terbelakang dan mundur.
Penjajah tidak cukup dengan meletakkan metodologi pendidikan, yang diasuh dan
dibimbing oleh para penguasa, melainkan juga mendirikan sekolah-sekolah
misionaris yang berlandaskan pada program penjajahan. Didirikan pula
lembaga-lembaga pengkajian tsaqafah yang dibentuk berdasarkan arah politik yang
keliru dan tsaqafah yang salah-kaprah. Dengan demikian, iklim pemikiran di
berbagai sekolah dan lembaga-lembaga kajian tsaqafah yang beraneka ragam dan
memiliki banyak cabang itu, akan membentuk umat dengan tsaqafah yang akan
menjauhkan mereka dari pemikiran mengenai Daulah Islam, dan usaha untuk
mewujudkannya.
Selain itu, dikembangkan strategi
politik di seluruh negeri Islam berdasarkan ide pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme). Dengan demikian, berkembang di kalangan intelektual, pikiran
tentang pemisahan agama dari negara. Sementara itu di kalangan masyarakat
berkembang pemikiran tentang pemisahan agama dari politik. Akibatnya, banyak
dijumpai kelompok-kelompok intelektual yang berpendapat bahwa penyebab
kemunduran umat Islam adalah keteguhan mereka memegang agamanya. Satu-satunya
jalan kebangkitan adalah berpegang pada paham kebangsaan dan berjuang untuknya.
Dijumpai pula kelompok-kelompok yang berpendapat bahwa penyebab kemunduran umat
adalah krisis akhlak.
Berdasarkan asas yang pertama
(pemisahan urusan agama dari kehidupan), banyak bermunculan kelompok-kelompok
dengan sebutan ‘Partai Politik’ yang berorientasi pada seruan kesukuan dan
nasionalisme. Sementara itu aktivitas yang berorientasi pada Islam dianggap sebagai
susupan penjajah, dicap sebagai kemunduran dan kebekuan, yang akan mengantarkan
manusia pada keterbelakangan dan kemerosotan. Adapun berdasarkan asas kedua,
berdiri beberapa
Upaya Merintangi Tegaknya Daulah
Islam 309
organisasi atas dasar akhlak, nasihat, dan
petuah. Mereka berjuang untuk meraih nilai-nilai keutamaan dan akhlak, serta
menjauhkan diri dari kancah politik. Partai-partai politik dan
kelompok-kelompok tersebut aktivitasnya hanya akan berputar-putar di tempat,
tanpa bisa sampai pada terbentuknya Daulah Islam. Sebab, mereka telah mengganti
aktivitas politik yang memang diwajibkan syara’ (yaitu menegakkan Daulah
Islam), dengan aktivitas yang bersifat akhlak semata. Di mana akhlak merupakan
hasil dari kesempurnaan seorang Muslim dalam mengamalkan Islam dan hasil dari
penegakkan Pemerintahan Islam. Sesungguhnya partai-partai yang berdiri dengan
asas penjajah, jelas-jelas bertentangan dengan Islam dan tidak akan sampai pada
tegaknya Daulah Islam.
Di samping melalui metodologi politik,
dibentuk pula undang-undang yang mampu menjaga dan mengamankan pelaksanaan
metodologi tersebut. Undang-undang itu menetapkan berbagai aturan yang melarang
pembentukan partai-partai politik, atau gerakan-gerakan politik yang
bernafaskan Islam. Undang-undang itu mencap kaum Muslim yang bergabung dalam
partai-partai Islam sebagai kelompok-kelompok radikal dan ekstrem, meski
faktanya mereka adalah penduduk negeri itu sendiri. Undang-undang itu
menetapkan berbagai aturan yang mengharuskan partai-partai dan gerakan-gerakan
politik mengandung sistem dan aturan demokrasi. Anggota-anggotanya tidak
dibatasi sebatas kelompoknya. Artinya, undang-undang tidak membolehkan di
negeri-negeri Islam berdiri partai-partai atau gerakan-gerakan politik yang
bernafaskan Islam, supaya Daulah Islam tidak kembali lagi. Kaum Muslim tidak
memiliki hak kecuali mendirikan kelompok-kelompok atau organisasi moral, dan
yang sejenisnya. Mereka dilarang melakukan aktivitas politik yang berlandaskan
Islam. Sebagian undang-undang bahkan mencap kriminal, yang memberikan sanksi
bagi mereka yang berusaha mendirikan partai politik. Dengan demikian,
metodologi politik telah terkonsentrasi di atas landasan yang akan membendung
upaya pembentukan Daulah Islam. Pembendungan itu dilakukan dengan undang-undang.
47
Daulah
Islam
Yang dilakukan penjajah tidak hanya
itu. Mereka berusaha memalingkan kaum Muslim dari pemikiran tentang Daulah
Islam. Hal itu dilakukan dengan beberapa tindakan. Barat mendorong
muktamar-muktamar Islam agar umat berpaling dari aktivitas fisik yang berupaya
mendakwahkan Islam dan mewujudkan kehidupan Islam di bawah naungan Daulah
Islam. Muktamar-muktamar ini sebenarnya hanya memuat kegiatan-kegiatan yang
sifatnya mengambil simpati, mengambil keputusan-keputusan yang bersifat verbal,
dan menyebarkannya di berbagai surat kabar dan mass media lainnya, semata-mata
hanya untuk diberitakan saja, bukan untuk dilaksanakan. Bahkan, tidak ada upaya
sedikit pun untuk melaksanakannya. Kemudian Barat mendorong para pengarang dan
orator untuk menjelaskan bahaya adanya Daulah Islam. Menjelaskan bahwa di dalam
Islam tidak ada sistem pemerintahan. Lalu dikeluarkanlah buku-buku, artikel
-artikel dan jurnal-jurnal oleh sekelompok umat Islam yang dibeli, agar mereka
mengemban propaganda penjajah ini, sehingga kaum Muslim tersesat, berpaling
dari agama mereka dan dari aktivitas yang berupaya mewujudkan kehidupan menurut
sistem hukum Islam. Demikianlah langkah-langkah penjajah. Sejak berhasil
merobohkan Daulah Islam hingga sekarang, mereka terus berusaha menciptakan
berbagai krisis dan hambatan-hambatan yang mencegah terbentuknya Daulah Islam.
Aktivitasnya dipusatkan pada kegiatan yang mengarah pada pelumpuhan politik
Islam, dan menghalang-halangi pembentukan Daulah Islam setelah Negara itu
runtuh dari muka bumi.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar