Minggu, 17 Maret 2019

Serangan Politik pada Dunia Islam


Serangan Politik

pada Dunia Islam


Penyebab utama serangan ke Spanyol adalah kebencian dan dendam Barat yang telah mengakar dalam jiwa mereka sejak berlangsungnya Perang Salib. Kegagalan yang begitu cepat dalam mempertahankan kemenangannya dalam Perang Salib, bahkan mereka terlempar dari dunia Islam dengan pengusiran yang menghinakan, menjadikan Barat dendam. Kekalahan itu terus-menerus membakar jiwa mereka, sehingga dipenuhi dendam,

kemurkaan dan kebencian terhadap kaum Muslim.

Barat merasakan kesulitan untuk mengulangi lagi serangannya terhadap Dunia Timur. Kekuatan Timur yang penduduknya berbeda-beda cukup mampu menahan dan memukul balik serangan Barat. Pada akhirnya, Barat melihat bahwa pembalasan dendam lebih mudah diarahkan ke Spanyol. Barat mulai mengarahkan misinya ke Spanyol dan berhasil menghancurkannya melalui serangan keji dan brutal. Dalam melakukan eksekusinya terhadap Spanyol, Barat menggunakan mahkamah-mahkamah inkuisisi, alat-alat pemenggal kepala dan rumah-rumah pembakaran yang kekejaman dan kebrutalannya melebihi kebuasan binatang buas. Tatkala kaum Muslim tak berdaya untuk bisa menolong Spanyol, —meski sebenarnya mampu memberi pertolongan pada Spanyol— Barat terus-menerus melakukan penyiksaan terhadap penduduk Muslim

34            Daulah Islam

Spanyol. Kaum Muslim justru mundur dan membiarkan Spanyol menjadi santapan lezat Barat. Dengan demikian, Barat semakin berambisi memikirkan cara lain untuk melakukan penyiksaan. Seandainya tidak ada kekuatan kaum Muslim, apalagi dengan adanya Daulah Utsmaniyah, niscaya serangan Barat terhadap Daulah Islam akan dilancarkan secara terus-menerus. Akan tetapi, kekuatan kaum Muslim, serangan, dan pembebasan Utsmaniyah terhadap Eropa menjadi problem yang paling menakutkan Barat. Trauma ini menjadikan Barat menahan serangannya terhadap kaum Muslim sehingga dalam Perang Salib kedua mereka tidak mengadakan serangan. Itulah yang menyebabkan serangan Barat terhadap Daulah Islam ditangguhkan, hingga pertengahan abad 18 Miladiyah. Ketika itu, mulailah kondisi stagnan meliputi seluruh dunia Islam, di mana aktivitas dakwah ditelantarkan/ditinggalkan. Maka, gelora Islam dalam dada kaum Muslim pun menjadi padam. Keadaan ini menyebabkan hilangnya kewibawaan kaum Muslim di mata musuh-musuh mereka. Pada saat itu pula dilancarkan perang pemikiran dan serangan misionaris. Perang itu disertai dengan berbagai serangan politik, yang bertujuan untuk memecah-belah Daulah Islam menjadi beberapa bagian, dan mencabik-cabik dunia Islam, kemudian mengikisnya. Kerja keras mereka akhirnya berhasil dengan gemilang.

Pada Perjanjian Caterina (1762-1796 M), Rusia memerangi Daulah Utsmaniyah dan berhasil mengalahkannya, lalu membagi-bagi sebagian wilayahnya. Rusia berhasil merampas kota Azov dan Semenanjung Crimea; menguasai seluruh Lembah Utara Laut Hitam, dan mendirikan kota Sevastopol sebagai pertahanan semenanjung Crimea; serta membangun pelabuhan dagang Odessa di Laut Hitam. Dengan demikian, Rusia menjadi pemain penting dalam percaturan politik luar negeri Daulah ‘Utsmaniyah dan pemegang kendali Imperium Rumania. Rusia menyatakan bahwa dirinya penjaga ajaran Masihiah di Daulah Utsmaniyah. Pada tahun 1884 M, Turkestan memisahkan diri dari Turki, dan akhirnya Rusia sepenuhnya berhasil menguasai daerah itu.

Serangan Politik Pada Dunia Islam     281

Agresi tidak hanya dilakukan Rusia saja, bahkan meluas hingga melibatkan hampir semua negara Barat. Di awal bulan Juli 1798 M, Napoleon menghantam Mesir dan berhasil menguasainya. Di bulan Pebruari tahun 1799 M, Napoleon menyerang bagian selatan wilayah Syam, dan berhasil menguasai Jalur Gaza, Ramallah, Yafa, dan membangun benteng ‘Uka. Namun, akhirnya ekspedisi militer ini gagal, dan Napoleon kembali ke Mesir, selanjutnya pulang ke Perancis. Pada tahun 1801 M, ekspedisi ini dinyatakan gagal. Meski tidak berhasil, tetap membawa pengaruh sangat kuat terhadap kondisi Daulah Utsmaniyah, meninggalkan goncangan yang sangat kuat, dan akhirnya seluruh negara berbondong-bondong turut menyerang dunia Islam dan menguasai beberapa wilayahnya. Pada 1830 M, Perancis berhasil menduduki Aljazair dan berusaha keras untuk menguasai Tunisia hingga akhirnya berhasil pada tahun 1881 M, kemudian mencaplok Maroko tahun 1912 M. Italia juga berhasil menduduki Tripoli tahun 1911 M. Dengan demikian, mereka sepenuhnya telah menguasai atau memisahkan Afrika Utara dan melepaskannya dari Pemerintahan Islam. Daerah-daerah tersebut tunduk pada pemerintahan kufur sebagai daerah jajahan.

Serangan Barat tidak cukup sampai di sini saja. Penjajahan terus meluas dengan mencaplok wilayah-wilayah Daulah yang masih belum terjajah. Inggris menjajah ‘Aden tahun 1839 dan melebarkan pengawasannya di lembah-lembah yang luas di perbatasan Yaman Selatan hingga Timur Jazirah Arab. Sebelumnya Inggris telah menguasai India dalam beberapa periode. Inggris berhasil mencabut kepemimpinan kaum Muslim dari India dan mendudukinya. Sebelum Inggris masuk, kaum Muslimlah yang memegang kekuasaan di India. Inggris mengambil alih dan meletakkan mereka di sektor-sektor yang lemah, yang lambat-laun akan melemahkan posisi mereka secara umum. Kemudian pada tahun 1882, Inggris mencaplok Mesir dan pada tahun 1898, menguasai Sudan. Demikian juga Belanda berhasil menjajah pulau-pulau India Timur. Afganistan dikepung di bawah tekanan Inggris dan Rusia. Hal yang sama dialami Iran. Gelombang

36            Daulah Islam

serangan bangsa-bangsa Barat di seluruh wilayah Islam semakin meningkat, sampai semuanya jatuh di bawah kendali Barat dan merasa bahwa serangan Salib selalu diperbaharui dengan tetap menjaga kemenangan demi kemenangan. Akhirnya kaum Muslim sibuk membendung gelombang pasukan besar Barat atau berupaya meringankan tekanannya. Muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap Barat di wilayah-wilayah Islam. Di Aljazair pemberontakan meletus. Kaum Muslim di India mengamuk. Para pengikut sekte al-Mahdi di Sudan bangkit diikuti pemberontakan Sanusiah. Semua itu menunjukkan potensi kekuatan yang terpendam dalam tubuh dunia Islam, meski dari luar tampak diam dan lemah. Hanya saja, gerakan-gerakan atau usaha-usaha ini akhirnya padam dan tidak berhasil menyelamatkan dunia Islam. Gerakan-gerakan keislaman itu tidak berhasil menghentikan pendudukan dan serangan Barat. Barat masih melanjutkan serangannya dengan dua kekuatan utama: politik dan tsaqafah. Barat tidak hanya memecah-belah wilayah dunia Islam menjadi beberapa bagian, tetapi juga menikam dari dalam Daulah Utsmaniyah yang notabene adalah Daulah Islam. Barat memicu bangkitnya gerakan-gerakan kebangsaan di dalam tubuh Daulah Utsmaniyah. Isu penjajahan oleh ‘bangsa asing’ dijadikan alat penggerak oleh Barat untuk membangkitkan bangsa-bangsa Balkan. Sejak tahun 1804 M, mereka didorong untuk mengadakan pemberontakan yang terus melebar, hingga akhirnya berhenti pada tahun 1878 dengan kemerdekaan bangsa-bangsa Balkan. Mereka juga menggerakkan negara-negara Yunani untuk melakukan revolusi. Api revolusi itu dinyalakan sejak tahun 1821 hingga akhirnya berhenti karena masuknya pihak asing yang memerdekakan Yunani dari Turki pada tahun 1830 M. Negeri-negeri Balkan mengikutinya hingga payung Daulah Utsmaniyah sebagai Daulah Islam terlipat dari daerah Balkan, Pulau Kreta, Siprus dan sebagian besar pulau di Laut Tengah. Bangsa-bangsa Barat dalam melakukan aksinya menggunakan berbagai macam kekejian. Kaum Muslim di Balkan dan kepulauan Laut Tengah diteror dan dihantam secara keji. Sebagian besar kaum Muslim

Melenyapkan Daulah Islam     283

diusir dari rumah-rumah mereka. Mereka lari mengungsi dengan membawa agama mereka, lepas dari kekejaman kafir dan berlindung ke negara Arab yang disebut sebagai Daulah Islam dan bagian dari Daulah Islam. Georgia, Bosnia, Chechnya, dan daerah-daerah lainnya, tidak lain adalah putra-putra pahlawan kaum Muslim yang tidak rela tunduk pada pemerintahan kufur. Mereka lari dengan membawa agama Islam ke perkampungan-perkampungan Islam dan Pemerintahan Islam.

Apakah Barat berhenti sampai di sini saja? Tidak! Bahkan, dengan berbagai sarana yang samar, Barat membangkitkan gerakan-gerakan pemisahan dan pemecah-belahan umat Islam dari kesatuan Negara, dengan meniupkan perbedaan antara Turki dan Arab. Mereka disulut untuk mengadakan gerakan-gerakan kebangsaan. Barat terus-menerus menggerakkan, bahkan membantu mereka mendirikan partai-partai politik berkebangsaan Turki dan Arab, seperti Partai Turki Muda, Partai Persatuan dan Kemajuan, Partai Kemerdekaan Arab, Partai Keamanan, dan partai-partai lainnya. Partai-partai inilah yang menyebabkan kondisi dalam negeri Daulah Islam mengalami goncangan dan tidak stabil. Goncangan-goncangan di balik berbagai tragedi dalam negeri, oleh Barat diikuti dengan berbagai serangan dari luar sampai meletusnya Perang Dunia I, yang memberi kesempatan terbuka bagi Barat untuk menyerang langsung dunia Islam. Dalam kesempatan ini Barat berhasil menguasai sisa-sisa wilayah Daulah Islam, menghabisi, dan menenggelamkannya dari permukaan dunia. Daulah Utsmaniyah terseret dalam Perang Dunia I, yang berakhir dengan kemenangan sekutu dan kehancuran Daulah Islam. Pasca perang, Barat mengkapling-kapling seluruh dunia Islam layaknya harta jarahan. Tidak ada Daulah Islam yang tersisa kecuali Turki, yang telah menjadi negara kecil dengan sebutan Negara Turki. Setelah perang berakhir pada tahun 1918 M, Turki hidup di bawah belas kasihan Barat hingga tahun 1921 M, yaitu ketika Turki mampu memerdekakan diri setelah memberi jaminan terlebih dahulu pada sekutu dengan penghapusan Daulah Islam.[]

38            Daulah Islam

















Melenyapkan Daulah Islam


Perang Dunia I berakhir ditandai dengan gencatan senjata antara dua pihak yang bertempur, setelah sekutu memperoleh kemenangan gemilang. Sementara Daulah Utsmaniyah hancur berkeping- keping menjadi negara-negara kecil. Sekutu berhasil menguasai seluruh negeri Arab, Mesir, Suriah, Palestina, kawasan Timur Yordania dan Irak, lalu mereka memaksanya untuk

melepaskan diri dari Daulah Utsmaniyah.

Di tangan penguasa Utsmaniyah tidak ada yang tersisa selain negeri Turki. Turki sendiri sudah disusupi sekutu. Angkatan Laut Inggris menguasai selat Bosporus. Pasukan Inggris menduduki sebagian ibukota dan alur pelayaran Selat Dardanella serta beberapa medan pertempuran penting di seluruh wilayah Turki. Pasukan Perancis menduduki sebagian kota Istambul dan memenuhi jalan-jalan dengan pasukannya yang terdiri dari orang-orang Senegal. Tentara Italia menguasai Beira dan jalur kereta api. Para perwira sekutu mengendalikan urusan kepolisian, pasukan pengawal nasional (garda nasional) dan pelabuhan. Mereka juga melucuti senjata para perwira Turki dan membubarkan sebagian dari tentara Turki. Organisasi Kesatuan dan Kemajuan (Jam’iyyatu al-Ittihaadi wa al-Taraqiy) menyusut dan Jamal Pasha serta dan Anwar Pasha melarikan diri ke luar negeri. Sisa-sisa anggotanya menyembunyikan

Melenyapkan Daulah Islam     285

diri. Pemerintahan yang sakit ini akhirnya dibentuk kembali di bawah kepemimpinan Taufiq Pasha, yang menjalankan instruksi-instruksi musuh yang berkuasa. Saat itu Khalifah Negara Islam adalah Wahiduddin. Dia melihat bahwa dirinya dihadapkan pada masalah ini dan dia wajib menyelamatkan kedudukannya dengan cara yang sangat bijak. Langkah pertama yang ditempuhnya membubarkan parlemen dan menyerahkan jabatan perdana menteri kepada sahabat karibnya yang paling dia percayai yaitu Farid. Dia mendukung pandangan Khalifah yang bersikap memuji-muji sekutu dan tidak melawannya, supaya tidak berakibat pada hancurnya negeri, terutama karena peperangan telah berhenti.

Khalifah akhir nya benar- benar melaksanakan kebijaksanaannya ini. Kondisinya pun masih tetap seperti semula, yakni Sekutu masih terus mendominasi dan Turki terus dalam keadaan beku hingga pertengahan tahun 1919 M. Di ujung tahun ini keadaan mulai berubah. Kelemahan menggerogoti pasukan Sekutu. Italia, Perancis, dan Inggris mengalami kelesuan yang sangat parah, karena pertikaian masalah ras. Konflik internal sangat tajam hingga nyaris mencerai-beraikan barisan kesatuan mereka. Di antara negara-negara sekutu sendiri telah dirayapi pertikaian. Indikasinya terlihat di Istambul, di tengah para aktor politik sekutu yang memperebutkan harta rampasan perang. Setiap negara sekutu berambisi untuk memperoleh bagian yang paling besar, yang mencakup markas-markas militer dan keunggulan ekonomi yang dikuasainya. Kondisi ini sebenarnya sangat memungkinkan bagi Turki, mencoba membidikkan anak panahnya yang terakhir, sehingga diharapkan dapat menyelamatkan kedudukan Negara. Tindakan ini seharusnya diambil Turki setelah melihat sekutu dalam keadaan lemah dan saling bertikai sampai-sampai di antara sesama mereka saling berebut untuk membakar Turki agar melawan negara-negara tertentu, dan membantu mengalahkan negara-negara lainnya dari kelompok yang sama, yaitu Sekutu.

Konferensi perdamaian belum ditetapkan, syarat- syarat perdamaian juga belum dirumuskan. Sementara di bagian ufuk,

40            Daulah Islam

kilauan cahaya angan-angan mulai tampak. Di tengah kehidupan manusia, keyakinan akan kemungkinan menyusun gerakan perlawanan mulai terbentuk. Akan tetapi, Inggris lebih dulu menangkap tanda-tanda ini. Dengan cepat, Inggris mempekerjakan Mushthafa Kamal. Dia harus berjalan sesuai dengan strategi politik Inggris, melaksanakan kebijakan globalnya, dan mewujudkan misi utamanya yang hendak merubuhkan Negara Khilafah. Maka, di Istambul dibentuk kelompok-kelompok rahasia yang jumlahnya lebih dari 10 buah. Tujuannya untuk mencuri senjata dari gudang-gudang negara yang pengawasannya sudah dibeli supaya tunduk pada musuh. Lalu menusupkan kelompok-kelompok tersebut ke dalam organisasi-organisasi rahasia dalam Daulah. Sebagian pejabat resmi justru membantu penyusupan ini. Untuk lebih memperlancar keberhasilan misi politik Inggris, maka ‘Ashamta diangkat menjadi wakil menteri peperangan, Fauzi menjadi kepala kesatuan militer, Fathiy menjadi menteri dalam negeri, dan Rauf menjadi menteri kelautan. Mereka semua membantu gerakan-gerakan bawah tanah. Maka tidak heran jika kelompok-kelompok ini berdiri dalam jumlah yang banyak. Tujuannya yang paling penting adalah menjalankan permusuhan rahasia terhadap musuh. Lalu muncul kelompok Kesatuan dan Kemajuan. Sebagian kelompok militer yang loyal bergabung dengan gerakan-gerakan ini. Kemudian berkumpul dalam satu wadah di bawah pimpinan Mushthafa Kamal. Dia memainkan peran penting dalam memberikan perlawanan terhadap sekutu selain Inggris, karena Mushthafa bekerja untuknya dan mengusir mereka (sekutu selain Inggris, penj.) dari Negara. Dalam waktu yang sama, Mushthafa Kamal juga memusuhi pasukan Khalifah, tatkala menentang aksi politik dan militernya yang bermusuhan dengan Sekutu. Dalam operasi ini, Mushthafa Kamal memperoleh hasil yang amat besar. Dia melihat bahwa pemerintah pusat dan kekuasaan di Istambul jatuh di bawah kontrol Sekutu. Karena itu, sebagai gantinya dia harus menjalankan pemerintahan kebangsaan daerah di Anatolia.

Dalam melaksanakan aksinya, Mushthafa Kamal mengawali

Melenyapkan Daulah Islam     287

revolusinya dengan memberi baju kebangsaan, dan mengakhirinya dengan melenyapkan kekhilafahan, dan memisahkan Turki dari bagian-bagian wilayah Daulah Utsmaniyah. Bukti di lapangan menunjukkan, revolusi Mushthafa Kamal adalah untuk kepentingan Inggris. Inggrislah yang menyiapkan segala sesuatunya untuk keberhasilan revolusi ini. Inggris mengirim Mushthafa Kamal agar mengadakan revolusi.

Mushthafa Kamal mengadakan muktamar kebangsaan di Swiss, dan berhasil mengeluarkan berbagai keputusan. Di antaranya tentang sarana dan strategi yang secara politis bertanggung jawab dalam mengamankan kemerdekaan Turki. Muktamar juga berhasil mengambil berbagai keputusan. Satu di antaranya memilih Komite Pelaksana dan Mushthafa Kamal ditunjuk sebagai ketua komite. Setelah itu muktamar mengirimkan mosi tidak percaya kepada penguasa. Isi mosi tersebut menuntut Perdana Menteri Farid diturunkan dari jabatannya, dan melakukan pemilihan parlemen baru yang bebas. Di bawah tekanan muktamar, Sultan dipaksa tunduk untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya, sampai akhirnya Sultan menurunkan perdana menteri dan mengangkat ‘Ali Ridha, menggantikan kedudukan Farid. Sultan juga memerintahkan perdana menteri baru mengadakan pemilihan anggota parlemen baru yang sebagian besar tunduk pada para peserta muktamar. Mereka berhasil membentuk parlemen baru.

Keberhasilan itu dilanjutkan dengan memboyong muktamar dan para anggotanya ke Ankara. Sejak itu, Ankara menjadi pusat kegiatan politik. Anggota muktamar mengadakan perkumpulan di Ankara. Agendanya mengusulkan parlemen agar berkumpul di Istambul. Setelah itu membubarkan muktamar yang anggotanya telah resmi menjadi anggota parlemen. Akan tetapi, Mushthafa menentang dua pikiran ini dan mengatakan, “Muktamar harus dilanjutkan hingga keberpihakan parlemen pada keadilan menjadi jelas dan sikap politiknya juga jelas. Mengenai pindahnya parlemen ke ibukota, tidak lain merupakan tindakan dungu yang gila. Seandainya kalian melakukannya, niscaya kalian menjadi manusia di bawah belas kasihan musuh yang asing.

42            Daulah Islam

Inggris akan selalu mengontrol negara, dan kekuasaan akan memasuki urusan kalian dan mungkin akan membelit kalian. Kalau begitu parlemen harus tetap diadakan di sini! Di Ankara! Agar kemandiriannya tetap terjaga.” Mushthafa Kamal terus-menerus memaksakan idenya, akan tetapi tidak berhasil mengangkat anggota dewan yang akan bersidang di Ankara. Anggota dewan justru pergi ke ibukota dan mengatakan pada khalifah dukungan mereka terhadapnya. Kemudian mereka bekerja menekuni tugas mereka masing-masing. Itu terjadi di bulan Januari tahun 1920 M.

Sultan justru berusaha memenuhi kehendak Mushthafa Kamal agar anggota dewan melaksanakannya, namun mereka menolak dan menampakkan kekukuhannya memegang hak-hak negara. Ketika tekanan Sultan terhadap mereka mengeras, mereka malah menyebarkan opini umum tentang deklarasi kebangsaan yang telah ditetapkan muktamar di Swiss. Deklarasi ini mencakup syarat-syarat penerimaan perdamaian berdasarkan asas deklarasi. Yang paling penting, agenda menjadikan Turki merdeka masuk dalam resolusi Deklarasi Swiss. Tentu keputusan ini menyenangkan Sekutu, apalagi Inggris. Karena keputusan inilah yang sebenarnya mereka upayakan, di samping upaya lain dengan menggiring penduduk Negara mengeluarkan keputusan yang sama.

Menilik indikasi-indikasi ini, dapat diketahui bahwa semua negeri yang diperintah Daulah ‘Utsmaniyah, yang notabene adalah Daulah Islam, pasca Perang Dunia I membuat konsensus kebangsaan yang mengandung satu komitmen saja, yaitu memerdekakan diri sebagai negara merdeka yang berdiri sendiri, dan terpisah dari Daulah Utsmaniyah. Konsensus ini persis dengan yang dikehendaki sekutu. Irak membuat deklarasi kebangsaan. Agendanya mewujudkan Negara Irak merdeka. Suriah membuat piagam kebangsaan. Targetnya memerdekakan Suriah menjadi negara Suriah yang berdiri sendiri. Begitu juga Palestina, Mesir, dan negeri-negeri Islam lainnya. Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan sekutu, apalagi Inggris. Lebih-lebih dengan adanya deklarasi kebangsaan Turki. Gerakan-gerakan kebangsaan

Melenyapkan Daulah Islam     289

itu sesuai dengan apa yang dikehendaki mereka (Sekutu dan Ingris). Strategi global mereka adalah memecah-belah Daulah Utsmaniyah dan membagi-baginya menjadi beberapa negara, hingga tidak bisa kembali menjadi satu negara kuat; dan sehingga mereka bisa mewujudkan obsesinya untuk melenyapkan negara kaum Muslim. Seandainya tidak ada deklarasi dan perjanjian ini yang dipromotori Sekutu, niscaya persoalannya akan menjadi lain. Sebab Daulah Utsmaniyah adalah negara kesatuan, dan semua wilayahnya dianggap bagian darinya. Semuanya berjalan di atas sistem yang satu, bukan federal. Dalam Daulah Islam tidak ada perbedaan antara Hijaz dan Turki. Juga tidak ada perbedaan antara panji-panji al-Quds dan Iskandariyah. Karena semuanya satu negara. Dalam kasus persekutuan antara Turki-Jerman, menyerang Turki sama halnya menyerang Jerman. Persamaannya sebanding, karena keduanya bersekutu dalam peperangan. Syarat-syarat perdamaian yang ditetapkan pada salah satu di antara keduanya (Ottoman dan Jerman) juga berlaku pada yang lain. Jika penduduk Jerman bertekad untuk tidak melepaskan sejengkal tanah pun dari negara dan tidak akan memecah-belah kesatuan negaranya, maka demikian halnya dengan Daulah Utsmaniyah, juga tidak boleh membiarkan negaranya menjadi terpecah-belah. Sekutu mengetahui hal itu dan mereka telah mempertimbangkan dengan seribu pertimbangan. Namun, orang-orang Utsmaniyah sendiri menuntut negara mereka menjadi beberapa negara bagian yang berdiri sendiri. Bangsa Arab maupun Turki sama-sama menghendaki demikian. Maka, adakah persoalan yang paling cepat disambut dan didorong oleh sekutu melebihi fakta ini. Apalagi tuntutan pelepasan negeri-negeri itu berasal dari pusat Negara Turki sendiri. Dan Turki memegang peranan paling banyak dalam menjalankan pemerintahan. Negara juga berusaha menjadikan Negara Turki merdeka.

Karena itu, sekutu menyimpulkan komite perjanjian kebangsaan Turki, adalah kemenangan terakhir bagi mereka. Dengan alasan munculnya pengaruh atas penyebaran resolusi kebangsaan, maka sekutu membiarkan Turki bebas melakukan perlawanan.

44            Daulah Islam

Dari setiap sudut, mereka merongrong Turki. Sementara kekuatan Inggris dan Perancis merongrong dari dalam dan memompa semangat kebangsaan Turki sehingga menjadi semakin kuat. Di dalam negeri timbul gerakan perlawanan yang menentang musuh (sekutu). Gerakan itu berbalik menjadi revolusi menentang Sultan. Itulah yang memaksa Sultan menyiapkan pasukan dan mengirimkan serangan dan perlawanan kuat. Semua orang bergabung dengan Sultan, kecuali Ankara yang menjadi pusat revolusi. Ankara sendiri hampir-hampir jatuh. Semua desa yang mengepungnya bergabung menjadi satu di bawah bendera Sultan dan berpihak pada pasukan Khalifah. Mushthafa Kamal dan para pengikutnya di Ankara berada dalam kondisi yang sangat kritis dan terpuruk. Meski demikian, Mushthafa Kamal tetap melakukan perlawanan. Dia membakar api semangat baru dengan sentuhan nasionalisme Turki. Upaya Mushthafa Kamal berhasil. Tekad dan semangat nasionalisme mereka berkobar kembali. Di berbagai wilayah dan desa-desa Turki tersebar berita tentang keberhasilan Inggris menduduki ibukota. Banyak yang ditawan, perkantoran ditutup dengan paksa, sementara bantuan atau dukungan Sultan dan pemerintahannya terhadap mereka macet. Keadaan berubah. Orang-orang berpaling dari Sultan. Opini umum digiring untuk mendukung kaum nasionalis di Ankara. Laki-laki dan wanita berbondong-bondong mendatangi Ankara, untuk berjuang mempertahankan Turki. Banyak pasukan Khalifah yang lari, dan bergabung dengan pasukan Mushthafa Kamal yang telah menjadi pusat pandangan Turki serta figur yang mengikat cita-cita kebangsaan Turki. Kelompoknya menjadi kuat. Kebanyakan negara dan wilayah-wilayah negara di dalam genggamannya. Melihat kondisi yang menguntungkan pihaknya, Mushthafa Kamal mengeluarkan selebaran-selebaran yang mengajak untuk memilih Komite Kebangsaan yang kedudukannya di Ankara. Pemilihan berhasil dilaksanakan dan anggota-anggota dewan yang baru juga berhasil dikumpulkan. Mereka (para anggota dewan) mendeklarasikan diri sebagai al-Jam’iyyah al-Wathaniyyah al-Kubraa. Bahkan, mereka juga menyatakan sebagai pemerintahan yang sah,

Melenyapkan Daulah Islam     291

kemudian memilih Mushthafa Kamal menjadi ketua komite. Ankara menjadi pusat pemerintahan kebangsaan. Semua

unsur kebangsaan Turki bergabung dan memusat di Ankara. Mushthafa Kamal berdiri tegak. Dengan halus, dia melanjutkan operasinya, melumatkan sisa- sisa pasukan Khalifah, dan menghentikan perang saudara. Kemudian dia mencurahkan perhatian untuk memerangi dan mengacaukan Yunani melalui peperangan berdarah. Pada mulanya kemenangan berpihak pada sekutu. Kemudian persoalan berubah dan timbangan Mushthafa Kamal lebih berat. Bulan Agustus 1921 adalah masa yang menguntungkan, Mushthafa Kamal berhasil berdiri tegak. Dengan sekali hantam, dia mampu mengakhiri pertempuran dengan kemenangannya terhadap Yunani yang telah menduduki daerah Izmir dan sebagian pesisir Turki. Di awal September 1921, Mushthafa Kamal mengirim delegasi ke ‘Ashamta untuk menemui Harnajitun, untuk melakukan kesepakatan pemecahbelahan wilayah khilafah. Di sana sekutu sepakat untuk mengusir Yunani dari daerah Turis, Konstantinopel, dan menyerahkannya kepada Turki. Dari langkah-langkah Mushthafa Kamal yang sistematis, dapat dilihat bahwa kesepakatan Sekutu merupakan bentuk sambutan menerima Mushthafa Kamal, untuk segera mengakhiri pemerintahan Islam. Karena itu, tidak aneh jika anda menemukan indikasinya, yaitu ketika komite kebangsaan mendebatnya tentang masalah Turki, Mushthafa Kamal justru berpidato dengan mengatakan, “Aku bukanlah seorang mukmin yang terikat dengan liga negeri-negeri Islam, tidak juga dengan kelompok bangsa-bangsa Utsmaniyah. Masing-masing orang dari kita mempercayai pendapat yang dilihatnya. Pemerintah harus meyakini (memegang teguh) politik yang kokoh, yang disusun dan dibangun di atas sejumlah nilai esensial yang memiliki tujuan satu dan tunggal. Politik itu untuk menjaga kehidupan kebangsaan. Wilayah independennya masuk dalam bingkai yang bersifat geografis. Maka, tidak ada sentimen rasa (iman) dan tidak pula angan-angan (kekhilafahan) yang harus berpengaruh dalam politik kita. Kita harus menjauhkan mimpi dan khayalan. Di masa lalu hal itu telah membebani kita dengan bayaran yang sangat mahal.”

46            Daulah Islam

Demikianlah, Mushthafa Kamal mengumumkan bahwa dirinya menghendaki kemerdekaan Turki yang bersifat kebangsaan, bukan umat Islam. Sebagian anggota dewan dan para politisi menuntut kepadanya untuk menjelaskan pendapatnya tentang hal-hal yang menjadi kewajibannya membentuk pemerintahan baru di Turki. Tentu tidak masuk akal jika Turki memiliki dua pemerintahan sebagaimana yang ditetapkan ketika itu, yaitu pemerintahan yang ditentukan batas waktunya, dan memiliki kekuasaan yang kedudukannya di Ankara; dan pemerintahan resmi di ibukota (Istambul) yang dikepalai oleh Sultan dan para menterinya. Para politisi mendesak terus meminta penjelasan pendapat Mushthafa Kamal tentang kebijakan ini. Namun, dia tidak menjawab dan menyembunyikan niatnya. Akibatnya, opini umum berkobar dan menyudutkan Khalifah Wahiduddin, sebab dia dianggap membantu Inggris dan Yunani hingga kemarahan bangsa berkobar dan menyerang Khalifah.

Di tengah-tengah suasana politik yang menghangat dan rasa dendam pada Sultan, kelompok Komite Kebangsaan menjelaskan garis kebijakannya tentang persoalan Sultan dan pemerintahan. Mushthafa Kamal mengetahui bahwa dirinya mampu mengangkat (memuaskan) anggota dewan dengan melepaskan Wahiduddin dan menghapus kesultanan. Akan tetapi, dia tidak berani berlaku gegabah dengan menyerang khilafah. Sebab hal itu dengan sendirinya akan menyentuh perasaan keislaman seluruh bangsa. Karena itu, dia tidak menghapus khilafah dan tidak menentangnya. Hanya saja dia mengusulkan adanya aturan yang memisahkan antara kekuasaan politik (pemerintahan) dengan khilafah. Lalu menghapus kesultanan dan mencabut Wahiduddin dari kekuasaan (bukan lembaga khilafah). Apa yang didengar anggota dewan mengenai usulan ini membuat mereka terdiam. Mereka mulai menyadari bahaya usulan ini yang dibebankan oleh Mushthafa Kamal kepada mereka agar menetapkannya. Mereka bermaksud mendiskusikan dan menyanggah usulan tersebut. Namun, Mushthafa Kamal khawatir akibat diskusi ini. Maka, dia mendesak dewan agar

Melenyapkan Daulah Islam     293

mengambil ide yang diusulkannya. Untuk mensukseskan usulannya, Mushthafa Kamal memperkuatnya dengan 80 anggota dewan dari para pendukung setianya. Akan tetapi, majelis tetap menolaknya dan menyerahkan atau memandatkan usulan itu kepada Komite Perundang-undangan agar membahasnya.

Ketika Komite mengadakan rapat di hari berikutnya, Mushthafa Kamal menghadiri majelis yang menjadi tempat berkumpul anggota Komite. Dia duduk sambil mengawasi aksi-aksi para anggota Komite. Akhirnya, perdebatan tentang usulan Mushthafa Kamal tidak bisa dihindari, bahkan terus berlangsung hingga beberapa waktu. Sejumlah anggota majelis dari kalangan ulama dan pembela kebenaran menentang usulan ini. Mereka memberi argumen-argumen kuat didasarkan pada nash-nash syar’i. Menurut mereka, usulan Mushthafa Kamal bertentangan dengan syara’ karena di dalam Islam tidak ditemukan kekuasaan agama, dan kekuasaan dunia. Kesultanan dan khilafah adalah satu. Di sana tidak ditemukan sesuatu yang dinamakan agama, dan lainnya dinamakan negara. Bahkan, dalam sistem Islam, negara merupakan bagian dari sistem ini. Negaralah yang menjalankan sistem ini. Karena itu, Komite Perundang-undangan tidak menemukan alasan apapun yang membenarkan pemisahan ini, bahkan tidak menemukan kebenaran pembahasannya. Nash-nash Islam sangat jelas menerangkan persoalan ini. Komite menolak usulan ini. Akan tetapi, Mushthafa Kamal berpikiran lain. Dia sudah bertekad akan memisahkan agama dari negara (Daulah Islam). Caranya dengan memisahkan kesultanan dari khilafah. Ini merupakan langkah awal untuk menghapus khilafah, di samping sebagai aktor yang telah disiapkan oleh Inggris untuk menghancurkan Negara Khilafah, dan sebagai bentuk tuntutan sekutu kepadanya, sampai berhasil mengakhiri riwayat Daulah Islam melalui tangan rakyatnya sendiri.

Melihat perdebatan-perdebatan Komite dan arah pembicaraannya yang menegangkan syaraf, maka Mushthafa Kamal spontan berdiri. Dia kemudian melangkah ke depan dan

48            Daulah Islam

mengambil tempat. Dia duduk dalam keadaan marah, dan memutus perdebatan Komite dengan berteriak keras: “Hai Tuan-tuan! Kesultanan Utsmaniyah telah merampas kepemimpinan bangsa dan kekuatan yang diyakini bangsa yang hendak menuntut kembali dari Sultan. Kesultanan merampasnya dengan kekuatan. Kesultanan harus dipisahkan dari khilafah dan dibatalkan! Baik kalian setuju atau tidak, hal itu pasti akan terjadi! Setiap persoalan yang terdapat dalam urusan ini pasti akan menjatuhkan sebagian kepala kalian dalam lipatan itu.” Dia berkata dengan bahasa seorang diktator. Dia memecah perkumpulan Komite. Seketika itu Komite Kebangsaan dipanggil agar membahas usulannya.

Ditilik dari arah diskusinya, tampak jelas bagi Mushthafa Kamal, bahwa arah opini Komite yang menonjol condong pada pembatalan usulannya. Tanda-tanda ini mendorong para pendukungnya berkumpul, dan meminta dewan memberikan pendapat tentang usulan Mushthafa Kamal dengan cara mengangkat tangan. Akan tetapi, anggota dewan tidak setuju dan memprotes cara ini seraya berkata, “Jika harus memberikan pendapat, maka harus diserukan dengan nama.” Namun, Mushthafa Kamal menolaknya. Dengan suara mengancam, dia berteriak keras, “Aku setuju dengan majelis yang menerima usulan dengan kesepakatan pendapat. Pengambilan suara cukup dengan mengangkat tangan.” Usulan pun dilontarkan untuk meminta suara dan tidak ada yang mengangkat kecuali amat sedikit. Anehnya, hasil akhir tetap memutuskan bahwa majelis telah mensahkan usulan Mushthafa Kamal dengan suara bulat. Anggota dewan bingung. Mereka tidak bisa menerima lelucon ini. Sebagian mereka meloncat ke atas tempat duduk dan berteriak lantang, “Keputusan ini tidak sah dan kami tidak setuju!” Para pendukung al-Ghaziy (Mushthafa Kamal) ganti berteriak mendiamkan mereka. Maka suasana sidang menjadi kacau. Mereka saling mengecam dan menuduh. Sementara pemimpin dewan mengumumkan sekali lagi “hasil akhir sidang” dengan menyatakan bahwa Komite Kebangsaan Besar Turki (al-Jam’iyyatu al-Wathaniyyah al-Kubraa) memutuskan dengan “suara bulat” bahwa kesultanan dihapus (dipisahkan dari lembaga khilafah). Kemudian pecahlah keributan

Melenyapkan Daulah Islam     295

di majelis. Mushthafa segera meninggalkan ruangan, diiringi para pengikutnya. Ketika Khalifah Wahiduddin mengetahui hal itu, dia lari ketakutan. Pengaruh “keputusan dewan” yang diumumkan membuatnya lari. Dan, kekosongan kekhilafahan ini harus segera diisi. Maka, saudaranya, Abdul Majid dipanggil dan didaulat menjadi khalifah kaum Muslim yang kosong. Abdul Majid menjadi khalifah tanpa kekuasaan. Negara tidak memiliki penguasa yang syar’i.

Jika kesultanan atau kekuasaan dipisahkan dari khilafah, maka siapa yang akan menerapkan hukum dan menjalankan pemeritahan? Mushthafa Kamal sangat berambisi untuk memisahkan kesultanan dari khilafah. Dia sudah merencanakannya lebih dulu sebelum menentukan bentuk pemerintahan yang akan menggantikan kekhilafahan. Kekhilafahan akan diubah menjadi Pemerintahan Turki. Karena itu, dia menentukan bentuk pemerintahan baru setelah menghapus (memisahkan) kesultanan. Apakah Mushthafa Kamal akan menyusun parlemen, ketika masih menjadi kepala pemerintahan bidang perundang-undangan, sementara khalifah masih “memiliki” kekuasaan, karena penghapusan (kekuasaan) dianggapnya tidak sah? Khalifah tidak menerima Mushthafa Kamal yang hendak membentuk parlemen. Namun, Mushthafa Kamal menyembunyikan tekadnya. Dia melanjutkan manuvernya dengan dukungan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya, dan menjalankan pemerintahan melalui jalur kebangsaan. Dia membentuk partai yang dinamakan Partai Kebangsaan. Tujuannya adalah untuk mengambil opini umum menjadi milikya. Meski langkah-langkahnya sudah sedemikian jauh, Mushthafa Kamal tidak bisa memungkiri bahwa suara mayoritas di Komite bertentangan dengan kehendaknya, setelah dia mengumumkan dengan paksa pemisahan kesultanan dari khilafah. Karena itu, dia perlu mengambil inisiatif untuk mengumumkan bentuk pemerintahan yang ditetapkannya, yaitu Pemerintahan Republik Turki, dan memproklamirkan dirinya sebagai presiden. Kemudian Mushthafa Kamal bekerja keras untuk menjerumuskan Komite dalam berbagai kemelut berdarah sehingga dia memiliki alasan untuk meminta

50            Daulah Islam

pembubaran parlemen, dan mengajukan pembubarannya pada Komite Kebangsaan. Komite tidak menemukan orang yang tepat untuk menguasai parlemen. Setelah kemelut memuncak, dia mengusulkan pada komite agar Mushthafa Kamal juga menguasai parlemen. Komite menerima usulannya karena keadaannya memang sangat genting, dan Mushthafa Kamal dipercaya untuk mengatasinya. Komite meminta Mushthafa Kamal menguasai (memerintah) parlemen dan menyelesaikan krisis. Pada mulanya, dia menampakkan kesulitan, kemudian menjawab permintaan, ia naik ke podium dan berkata kepada anggota dewan: “Kalian telah mengirimkan utusan untuk memintaku agar menyelamatkan keadaan krisis yang susul-menyusul. Akan tetapi, krisis ini akibat perbuatan kalian. Tempat tumbuhnya krisis ini adalah persoalan yang amat sepele, tetapi telah meninggalkan garis kebijakan yang mendasar dalam sistem pemerintahan kita. Maka dari itu, Komite Kebangsaan menjalankan fungsi kekuasaan untuk merumuskan hukum dan undang-undang, serta komite pelaksana dalam satu waktu. Setiap komisi dari kalian harus bersekutu dalam mengeluarkan setiap keputusan dengan menteriku, dan menyusupkan jari-jarinya dalam tiap birokrasi pemerintahan. Setiap keputusan ada di tangan menteri. Hai Tuan-tuan, tidak seorang menteri pun (pejabat tinggi dalam pemerintahan khilafah) mampu memikul tanggung jawab dan menerima kedudukan dalam kondisi seperti ini? Kalian harus menyadari bahwa pemerintahan yang berdiri di atas asas ini adalah pemerintahan yang mustahil mampu mewujudkannya. Jika dijumpai pemerintahan seperti itu, maka itu bukanlah pemerintahan, bahkan merupakan kekacauan. Kita wajib mengubah kebijakan ini. Karena itu, aku memutuskan Turki menjadi Republik yang memiliki seorang presiden yang dipilih melalui pemilihan umum.” Setelah menyelesaikan pidatonya, dia mengumumkan rumusan yang dijanjikan sebelumnya, yaitu mengubah Daulah Islam menjadi Republik Turki dan Mushthafa Kamal dipilih menjadi presiden Turki pertama. Dengan demikian, dia mengangkat dirinya menjadi penguasa hukum undang-undang negara.

Namun demikian, persoalannya tidak semudah sebagaimana yang dikehendaki Mushthafa Kamal. Bangsa Turki adalah bangsa

Upaya Merintangi Tegaknya Daulah Islam 297

Muslim. Apa yang dilakukan Mushthafa Kamal adalah bentuk penentangan terhadap Islam. Negara didominasi pemikiran yang menyatakan bahwa Mushthafa Kamal bertekad menghabisi Islam. Pemikiran ini diperkuat dengan perilaku -perilaku Mushthafa Kamal sendiri yang jelas-jelas mengingkari dan melanggar Islam di sepanjang hidupnya, terutama penentangannya terhadap semua hukum syara’. Dia juga sering melecehkan atau merendahkan setiap keputusan suci atau hukum yang berlaku di tengah-tengah kehidupan kaum Muslim. Mayoritas umat yakin bahwa Pemerintahan Ankara adalah pemerintahan kufur yang terlaknat. Masyarakat akhirnya bergabung di seputar Khalifah Abdul Majid dan berusaha untuk mengembalikan kekuasaan kepadanya dan menjadikannya penguasa yang akan menghukum kaum yang murtad. Mushthafa Kamal mengetahui bahaya yang mulai membesar. Dia juga melihat bahwa mayoritas rakyat membencinya dan menggambarkannya sebagai seorang zindiq, kafir, dan atheis. Mushthafa Kamal berpikir keras tentang persoalan ini. Akhirnya, dia memantapkan langkahnya dengan meningkatkan aktivitas propaganda menentang khalifah dan khilafah. Di setiap tempat dan kesempatan, dia membakar gelora semangat Komite Kebangsaan hingga Undang-undang Pemberantasan (subversif) semakin dipertajam dengan menyatakan bahwa setiap penentang Republik dan setiap dukungan terhadap Sultan dicap sebagai pengkhianat yang diancam hukuman mati. Kemudian dalam setiap mejelis pertemuan, apalagi dalam Komite Kebangsaan (Dewan Nasional), Mushthafa Kamal membahas, membincangkan, dan mengumumkan bahaya Khilafah. Lebih jauh, Mushthafa Kamal menyiapkan iklim yang mendorong penghapusan khilafah. Sebagian anggota dewan membicarakan manfaat khilafah bagi Turki dari sisi diplomasi. Akan tetapi, Mushthafa Kamal menentang mereka dan berkata pada Komite Nasional: “Bukankah khilafah, Islam, dan tokoh-tokoh agama, yang telah memerangi orang-orang desa Turki dan mereka mati selama lima abad? Sekarang ini Turki baru melihat kepentingannya dan tidak menghiraukan (daerah) India dan Arab, serta melaksanakan pemerintahan sendiri yang bebas dari penguasaan kaum

94            Daulah Islam

Muslim.”

Demikianlah langkah- langkah Mushthafa Kamal. Dia menjalankan aksinya dengan propaganda menentang khilafah seraya menjelaskan bahaya-bahayanya bagi Turki, sebagaimana menjelaskan bahaya-bahaya khalifah terhadap dirinya. Dia menggambarkan khalifah dan para pendukungnya dengan gambaran yang tidak jujur, dan menampakkan gambar mereka dengan penampakan yang direkayasa Inggris. Tidak cukup itu saja. Bahkan, dia juga menciptakan gelombang ketakutan atas orang-orang yang mendukung khilafah. Seorang anggota dewan meneriakkan keberpihakannya pada khilafah dengan keras. Dengan tegas dia menunjukkan pembelaannya pada agama. Melihat penentangan ini, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Mushthafa Kamal kecuali menugaskan seseorang secara rahasia untuk membunuh anggota dewan itu di malam hari. Dengan cepat, petugas rahasia dari kroni Mushthafa Kamal membunuh anggota dewan tersebut di tengah perjalanan pulang ke rumahnya dari pertemuan Komite Nasional. Seorang anggota dewan lain menyampaikan orasi Islam, lalu Mushthafa Kamal mendatanginya dan mengancamnya dengan hukuman gantung jika dia masih membuka mulutnya sekali lagi. Seperti inilah cara-cara yang dilakukan Mushthafa Kamal. Dia menebarkan ketakutan di sepanjang pemerintahannya. Dia juga menugaskan seorang hakim Istambul untuk melakukan kewajiban menghapus panji-panji kebesaran yang mengitari arak-arakan khalifah di tengah-tengah pelaksanaan shalat Jum’at. Akibatnya, martabat khalifah turun hingga ke batas yang paling rendah. Mushthafa Kamal juga memperingatkan dengan keras kepada para pengikut khalifah supaya melepaskan diri darinya. Peringatannya harus dilaksanakan. Memperhatikan perkembangan ini, sebagian golongan moderat dari para pendukung Mushthafa Kamal yang masih memiliki semangat Islam mengkhawatirkan terhapusnya khilafah. Maka, mereka meminta Mushthafa Kamal untuk mendudukkan dirinya menjadi khalifah kaum Muslim. Namun, Mushthafa Kamal tidak menerimanya. Kemudian dua

Melenyapkan Daulah Islam     299

orang utusan yang masing-masing dari Mesir dan India mendatangi Mushthafa Kamal. Keduanya juga meminta Mushthafa Kamal mengangkat dirinya menjadi khalifah. Harapan ini berulang-ulang disampaikan, tetapi Mushthafa Kamal menolaknya, bahkan dia telah menyiapkan pukulan yang mematikan dengan mengumumkan penghapusan khilafah. Di tengah kehidupan bangsa, di tengah pasukan, dan di tengah Komite Naional, dia membangkitkan kemarahan dan kemurkaan terhadap pihak-pihak asing, musuh, dan sekutu khalifah. Upaya membangkitkan kemarahan terhadap pihak asing ini merupakan tipuan untuk memanipulasi tujuan, di antaranya menghubungkan dugaan negatif terhadap khalifah yang dipersepsikan sebagai sekutu asing, sehingga rekayasa ini akan membangkitkan kemarahan rakyat pada khalifah. Mushthafa Kamal juga membuat isu-isu yang mampu membangkitkan perlawanan terhadap khalifah. Ketika iklim yang sudah panas ini mendominasi negara, maka Mushthafa Kamal maju selangkah lebih berani. Pada tanggal 3 Maret 1924 M, Mushthafa mengadakan sidang Komite Nasional dengan rumusan yang sudah ditetapkan, yaitu menetapkan penghapusan khilafah, mengusir khalifah, dan memisahkan agama dari negara. Di antara pidato yang disampaikan pada anggota dewan ketika menetapkan rumusan ini adalah: “Dengan harga apa yang harus dibayar untuk menjaga Republik yang terancam ini dan menjadikannya berdiri kokoh di atas prinsip ilmiah yang kuat? Jawabnya, khalifah dan semua keturunan keluarga ‘Utsman harus pergi (dari Turki), pengadilan agama yang kuno dan undang-undangnya harus diganti dengan pengadilan dan undang-undang moderen, sekolah-sekolah kaum agamawan harus disterilkan tempatnya untuk dijadikan sekolah-sekolah negeri yang non-agama.” Kemudian dia menyerang Islam dan orang-orang yang dinamakan kaum agamawan.

Dengan kekuatan diktator, Mushthafa Kamal menetapkan rumusan ini melalui Komite Nasional. Keputusan ditetapkan tanpa melalui diskusi. Kemudian dia mengirimkan instruksi kepada hakim Istambul agar memutuskan hukuman pengusiran bagi Khalifah Abdul Majid. Khalifah harus meninggalkan Turki sebelum fajar

96             Daulah Islam

sehari setelah dikeluarkan keputusan ini. Hakim dan sejumlah polisi yang menyertainya, disertai militer berangkat ke istana khalifah di tengah malam. Mereka memaksanya menaiki mobil lalu menuntunnya keluar perbatasan Turki. Mereka sama sekali tidak memberikan toleransi dan belas-kasihan kepadanya sedikit pun, kecuali hanya diperbolehkan membawa satu koper berisi beberapa lembar pakaian dan sedikit uang.

Demikianlah hantaman Mushthafa Kamal terhadap Daulah Islam dan sistem Islam. Dia mendirikan negara kapitalis dan sistem kapitalis. Dengan demikian, dia telah merobohkan Daulah Islam dan mewujudkan mimpi kaum kafir, yang menjadi senda gurau mereka sejak Perang Salib. Ingatlah, dialah yang menghancurkan Daulah Islam![]
Upaya Merintangi Tegaknya Daulah Islam  301














Upaya Merintangi

Tegaknya Daulah Islam



Perang Dunia I berakhir, pasukan sekutu berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Daulah Islam. Cita -cita mereka adalah mengikis habis Daulah Islam dengan tuntas dan berusaha menghalangi berdirinya kembali untuk kedua kalinya. Untuk mengikisnya hingga tuntas, mereka harus memecah-belahnya lebih dulu, tanpa memberi kesempatan untuk mendirikan Daulah Islam di belahan bumi Islam manapun. Mereka telah meletakkan strategi global dengan menggunakan berbagai uslub yang menjamin Daulah Islam tidak akan hidup kembali. Secara terus-menerus mereka

melakukan upaya itu demi tujuan tersebut.

Sejak kafir penjajah menduduki negeri-negeri kaum Muslim, mereka memantapkan kekuasaannya dengan mengokohkan sistem hukum berdasarkan rumusan mereka. Pada tahun 1918 M, mereka berhasil menduduki negeri-negeri yang selama ini bernaung di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Kemudian di negeri-negeri tersebut ditegakkan sistem hukum militer hingga tahun 1922 M. Lalu mereka mengokohkan pemerintahannya dengan nama Pemerintahan Kolonial di sebagian negeri dan menggunakan nama kemerdekaan penuh di negeri lainnya hingga tahun 1924 M. Pada tahun itu, pihak musuh terutama Inggris telah melakukan berbagai persiapan untuk berbagai sarana perlawanan terhadap semua

39             Daulah Islam

unsur yang diduga akan menjadi kekuatan untuk mengembalikan Daulah Islam. Saat itu, Mushthafa Kamal menghapus sistem khilafah Negara Utsmaniyah, menjadi Republik Demokrasi Turki. Mushthafa Kamal menggusur khilafah hingga menumpas habis angan-angan terakhir yang menghendaki kembalinya Daulah Islam. Pada pertengahan tahun itu, Hussain bin Ali keluar dari Hijaz, dan ditahan di Tripoli karena sangat menginginkan kembalinya kekhilafahan. Pada tahun itu pula, melalui kaki tangannya, Inggris menyusup ke dalam pertemuan muktamar khilafah yang diadakan di Kairo. Mereka berusaha memecah-belah dan menghancurkannya. Pada tahun yang sama, Inggris bekerja keras untuk menghapus Jam’iyyah Khilafah (komite yang memperjuangkan khilafah) di India, membatalkan usaha-usahanya, dan mengubah serta mengalihkan arah perjuangannya ke paham nasionalisme dan kebangsaan. Di Mesir, tahun yang sama diterbitkan sejumlah karangan dari sejumlah ulama al-Azhar yang dipengaruhi kafir penjajah. Isinya mengajak umat untuk memisahkan agama dengan negara, dan menyerukan bahwa di dalam Islam tidak ada dasar-dasar pemerintahan, serta menggambarkan Islam sebagai agama kependetaan. Dikatakan pula bahwa dalam Islam, tidak sedikitpun ditemukan konsep tentang pemerintahan dan negara. Tahun itu dan tahun-tahun berikutnya, di negeri-negeri Arab terjadi perdebatan-perdebatan seputar dua tema, yaitu Apakah gerakan Pan Arabisme lebih patut dan lebih banyak memberi kemungkinan ataukah Pan Islamisme. Berbagai surat kabar dan majalah sibuk memperbincangkan tema-tema itu, padahal kedua-duanya, apakah Pan Arabisme atau Pan Islamisme, sama-sama tidak sesuai dengan Islam. Esensi gerakannya hanya berusaha mengadakan perubahan tanpa mendirikan Daulah Islam. Akan tetapi, bagi kafir penjajah, perdebatan ini mengandung kepentingan lain, yaitu untuk mengalihkan opini umat dari Daulah Islam. Dengan diskusi- diskusi ini, mereka mampu menjauhkan umat dari opini tentang khilafah dan Daulah Islam.

Sebelum melakukan penjajahan, kaum kafir imperialis telah mempropagandakan idiom-idiom nasionalis Turki ke tengah-tengah

Upaya Merintangi Tegaknya Daulah Islam 303

generasi muda Turki. Secara agitatif dipropagandakan bahwa Turki memikul beban berat bangsa-bangsa yang bukan bangsa Turki. Turki harus membebaskan diri dari bangsa-bangsa selain Turki. Turki harus menyusun partai-partai politik yang bekerja untuk mewujudkan nasionalisme Turki, dan membebaskan Turki dari negeri-negeri selain Turki. Begitu juga di kalangan para pemuda Arab. Slogan-slogan nasionalisme Arab juga disebarluaskan oleh kafir penjajah, seperti, Turki adalah negara penjajah! Sekaranglah saatnya bagi bangsa Arab untuk membebaskan diri dari penjajahan Turki! Kemudian dengan slogan-slogan itu mereka membentuk partai-partai politik yang bekerja untuk mewujudkan persatuan Arab dan membebaskan Arab. Penjajahan belum dilaksanakan, sampai kafir penjajah berhasil menyebarkan slogan-slogan nasionalisme dan menjadikannya semangat perjuangan menempati posisi yang sebelumnya ditempati Islam. Turki (diberikan) kemerdekaan atas dasar kebangsaan dan nasionalisme. Bangsa Arab juga bekerja untuk pemerintahan yang berdiri atas dasar kebangsaan dan nasionalisme. Kata-kata nasionalisme dan kebangsaan menyebar dan memenuhi atmosfer dunia Islam. Kata-kata itu akhirnya menjadi tumpuan kebanggaan dan label kemuliaan. Upaya penjajah tidak cukup dengan itu saja. Mereka juga menyebarkan pemahaman-pemahaman yang menyesatkan tentang pemerintahan dalam Islam, tentang Islam sendiri, dan gambaran khilafah, yang dinyatakan sebagai jabatan kepausan dan bentuk pengejawantahan dari pemerintahan agama yang bersifat kependetaan (teokrasi). Sehingga, kaum Muslim sendiri akhirnya merasa malu menyebut kata khalifah, juga orang yang menuntut kekhilafahan. Di tengah-tengah kaum Muslim juga sering dijumpai pemahaman umum, yang menyatakan bahwa persoalan kekhilafahan adalah perkara kuno, terbelakang, dan jumud, yang tidak mungkin keluar dari orang yang berbudaya dan tidak mungkin pula dikatakan oleh pemikir.

Di tengah-tengah iklim kebangsaan dan nasionalisme ini, Daulah Islam dibagi-bagi menjadi beberapa negara, dan penduduk setiap negara berpusat dan berkelompok di negara asal mereka

41             Daulah Islam

tinggal. Daulah Utsmaniyah dibagi menjadi beberapa negara, di antaranya Turki, Mesir, Irak, Suriah, Libanon, Palestina, kawasan Timur Yordania, Hijaz, Najd, dan Yaman. Para politisi yang menjadi antek-antek kafir penjajah mengadakan berbagai muktamar dan kongres di setiap negara tempat mereka tinggal. Mereka semua menuntut kemerdekaan dari Turki (Daulah Utsmaniyah). Tuntutan kemerdekaan di masing-masing negeri yang digariskan dalam muktamar, ditetapkan menjadi negara yang berdiri sendiri dan terpisah dari negeri-negeri Islam lainnya. Atas dasar ini berdirilah Negara Turki, Irak, Mesir, Suriah, dan seterusnya. Kemudian di Palestina didirikan gerakan nasionalis kebangsaan Yahudi, yang beberapa waktu kemudian berubah menjadi ‘Gerakan Perjuangan Kemerdekaan’ atas nama negara. Proyek ini diagendakan menjadi ujung tombak kepentingan kafir, dan untuk meletakkan hambatan yang menyibukkan kaum Muslim. Pada akhirnya kaum Muslim lupa terhadap kafir penjajah, yaitu negara-negara Barat, seperti Inggris, Amerika, dan Perancis. Mereka meletakkan penghalang yang akan memecah-belah negeri-negeri kaum Muslim, sehingga kaum Muslim tidak mampu mengembalikan Daulah Islam. Dengan demikian, posisi geografis dan opini umum memusat menjadi satu titik perubahan tanpa ada pembebasan kaum Muslim.

Kemudian tegak pemerintahan yang menerapkan sistem kapitalis di bidang ekonomi; menerapkan sistem demokrasi di bidang pemerintahan; dan menerapkan undang-undang Barat di bidang administrasi dan pengadilan. Pemerintahan tersebut juga mengambil peradaban dan pemahaman tentang kehidupan dari Barat. Maka terjadilah pemusatan pandangan hidup Barat, sehingga metoda kehidupannya menjadi pedoman hidup kaum Muslim. Kerja kafir penjajah memperoleh keberhasilan besar. Mesir menjadi daerah kesultanan, kemudian diterapkan sistem kerajaan parlementer. Di Irak juga diterapkan sistem kerajaan parlementer. Di Libanon dan Suriah diberlakukan sistem republik. Di Timur Yordania ditegakkan sistem keemiran, dan di Palestina ditetapkan sistem pemerintahan koloni, yang berakhir dengan tegaknya

Upaya Merintangi Tegaknya Daulah Islam 305

sistem demokrasi parlemen yang mengikat Yahudi —sebagai negara—, dan menggabungkan sisa wilayahnya dengan kawasan Timur Yordania, lalu menjadikannya kerajaan parlementer. Di Hijaz dan Yaman ditegakkan monarki absolut. Di Turki didirikan republik. Di Afganistan ditegakkan kerajaan dinasti (pewarisan). Kafir penjajah juga mendorong Iran memegang teguh sistem kekaisaran, dan membiarkan India menjadi daerah jajahan, kemudian membagi dua negara. Dengan strategi ini, kafir penjajah menjadikan sistemnya diterapkan di dalam negeri kaum Muslim. Dengan penerapannya akan melemahkan pikiran dan jiwa kaum Muslim untuk mengembalikan pemerintahan Islam. Upaya kafir penjajah tidak berhenti sampai di sini, bahkan jiwa-jiwa penduduk negeri-negeri Islam dikondisikan dalam suasana agar mereka memiliki, dan bisa mempertahakan sistem yang ditegakkannya. Sebab, penduduk setiap negeri dari negeri-negeri Daulah Islam menganggap negeri mereka saja yang diperhitungkan sebagai negara yang berdiri sendiri. Akibatnya, kaum Muslim memahami wajibnya memerdekakan negeri mereka dari negeri-negeri Islam lainnya. Maka tidak heran jika orang Irak di Turki dianggap sebagai orang asing. Orang Suriah di Mesir juga dicap sebagai orang asing. Demikianlah cara-cara para penguasa disetiap negeri dalam menjaga pemahaman sistem kapitalis demokrasi. Penjagaan mereka terhadap sistem ini jauh lebih hebat daripada penjagaan penduduknya. Mereka menjadi kacung-kacung yang ditugasi memelihara sistem dan undang-undang yang dibentuk penjajah, dan diberlakukan di tengah-tengah mereka. Setiap upaya mengubah sistem yang berlaku, dianggap sebagai gerakan yang inkonstitusional. Gerakan ini akan dikenai sanksi keras oleh undang-undang penjajah yang dijalankan para penguasa.

Kafir penjajah menerapkan undang-undang Barat di negeri kaum Muslim melalui antek-anteknya. Sejak paruh pertama abad 19, penjajah sudah berusaha memasukkan undang-undang Barat ke Daulah Islam. Di Mesir penjajah mendorong dimasukannya undang-undang sipil Perancis menggantikan kedudukan hukum-

43             Daulah Islam

hukum syara’. Upaya ini berhasil. Mesir sejak tahun 1883 M mulai menerapkan undang-undang Perancis, juga menerjemahkan undang-undang Perancis lama, dan menerapkannya sebagai undang-undang resmi negara. Akhirnya undang-undang Perancis menjadi undang-undang resmi negara, menggantikan kedudukan undang-undang syara’. Undang-undang ini diterapkan di pengadilan-pengadilan Mesir. Di daulah Utsmaniyah, sejak tahun 1856, muncul gerakan untuk menjadikan undang-undang Barat sebagai undang-undang Turki. Pada mulanya gerakan ini tidak berjalan mulus, sebagaimana di Mesir. Sebab masih ada Khilafah Islam Daulah Utsmaniyah. Akan tetapi, kaum kafir terus-menerus mendesak, mengkader, dan mendudukkan antek-antek mereka pada jabatan-jabatan strategis. Akhirnya antek-antek itu menerima masuknya undang-undang perpajakan, undang-undang tentang hak, dan undang-undang perdagangan. Caranya melalui fatwa-fatwa yang dinyatakan sebagai fatwa yang tidak bertentangan dengan Islam. Kemudian kaum kafir memasukkan ide pembuatan undang-undang, menyusun kodifikasi hukum-hukum syara’ sebagai undang-undang, dan membagi mahkamah menjadi dua. Pertama, mahkamah yang menjalankan sistem hukum Islam, dan kedua yang menjalankan sistem hukum Barat. Oleh para ulama, hal ini difatwakan sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan Islam, dan sesuai dengan undang-undang syara’, yang polanya merujuk pada undang-undang Barat. Inilah intervensi kafir penjajah yang berkaitan dengan undang-undang.

Sedangkan dengan Undang-undang Dasar (UUD), lebih difokuskan pada pembuatan UUD negara, yang diambil dari UUD Perancis. Perumusannya dilakukan bersamaan dengan diadopsinya undang-undang tersebut. Pada tahun 1878, upaya ini hampir berhasil. Namun, karena perlawanan kaum Muslim masih kuat, maka proses perumusannya berhasil dipatahkan dan stagnan. Tetapi, karena kafir penjajah terus menempel ketat, didukung oleh keberhasilan antek-antek dan orang-orang yang terpengaruh tsaqafah Barat, maka terbuka kemungkinan untuk menyusun UUD pada kesempatan lain.

Upaya Merintangi Tegaknya Daulah Islam 307

Pada tahun 1908, Negara menetapkan UUD. Dengan ditetapkannya undang-undang dan UUD di Daulah Utsmaniyah, maka hampir seluruh wilayah Daulah Islam, kecuali Jazirah Arab dan Afganistan, berjalan mengikuti arah undang-undang Barat. Tidaklah kafir penjajah menduduki suatu negeri, melainkan berupaya menjadikan negeri itu berdiri dengan menerapkan seluruh undang -undang Barat, dan menganggapnya sebagai undang-undang sipil. Padahal esensi undang-undang tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, bahkan meninggalkan hukum-hukum syara’. Artinya, negara telah menetapkan hukum atau sistem pemerintahan kufur, dan menjauhkan sistem pemerintahan Islam. Keberhasilan kafir penjajah didukung dengan makin mantapnya pilar-pilar dan penegakan (pemecahan dan pembentukan) semua perkara berlandaskan politik pengajaran yang dibakukan, di samping metodologi pendidikan kafir penjajah, yang hingga saat ini masih diterapkan di seluruh negeri-negeri Islam. Prestasi ini sudah barang tentu menghasilkan “pasukan besar” para pengajar, yang sebagian besarnya menjaga dan melestarikan metodologi ini. Juga melahirkan orang-orang yang sebagian besar memegang jabatan penting yang berkait dengan pengaturan urusan kehidupan. Mereka berjalan sesuai dengan kehendak kafir penjajah.

Politik pengajaran dibangun dan disusun berdasarkan dua dasar. Pertama, memisahkan urusan agama dari kehidupan. Pemisahan ini dengan sendirinya menghasilkan pemisahan agama dari negara. Ini akan mendorong putra-putri kaum Muslim berjuang memerangi pendirian Daulah Islam, dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan asas pendidikan mereka. Kedua, membentuk kepribadian kafir penjajah yang dijadikan sumber utama pembinaan. Inilah yang mengisi akal kaum Muslim, yaitu pemahaman yang tumbuh dari pengetahuan dan informasi-informasi yang disampaikan kepada mereka. Pembinaan ini mengharuskan murid menghormati dan mengagungkan kafir penjajah, dan berusaha meneladaninya, meskipun yang dicontoh adalah kafir penjajah. Di samping itu, murid juga dituntut merendahkan orang Islam dan

45             Daulah Islam

menjauhinya, merasa jijik terhadapnya, arogan dan memandangnya rendah, serta meremehkan setiap orang yang merujuk kepada Islam. Tidak mengherankan jika ajaran-ajaran ini melahirkan permusuhan terhadap pembentukan Daulah Islam. Mencapnya sebagai perbuatan terbelakang dan mundur. Penjajah tidak cukup dengan meletakkan metodologi pendidikan, yang diasuh dan dibimbing oleh para penguasa, melainkan juga mendirikan sekolah-sekolah misionaris yang berlandaskan pada program penjajahan. Didirikan pula lembaga-lembaga pengkajian tsaqafah yang dibentuk berdasarkan arah politik yang keliru dan tsaqafah yang salah-kaprah. Dengan demikian, iklim pemikiran di berbagai sekolah dan lembaga-lembaga kajian tsaqafah yang beraneka ragam dan memiliki banyak cabang itu, akan membentuk umat dengan tsaqafah yang akan menjauhkan mereka dari pemikiran mengenai Daulah Islam, dan usaha untuk mewujudkannya.

Selain itu, dikembangkan strategi politik di seluruh negeri Islam berdasarkan ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Dengan demikian, berkembang di kalangan intelektual, pikiran tentang pemisahan agama dari negara. Sementara itu di kalangan masyarakat berkembang pemikiran tentang pemisahan agama dari politik. Akibatnya, banyak dijumpai kelompok-kelompok intelektual yang berpendapat bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah keteguhan mereka memegang agamanya. Satu-satunya jalan kebangkitan adalah berpegang pada paham kebangsaan dan berjuang untuknya. Dijumpai pula kelompok-kelompok yang berpendapat bahwa penyebab kemunduran umat adalah krisis akhlak.

Berdasarkan asas yang pertama (pemisahan urusan agama dari kehidupan), banyak bermunculan kelompok-kelompok dengan sebutan ‘Partai Politik’ yang berorientasi pada seruan kesukuan dan nasionalisme. Sementara itu aktivitas yang berorientasi pada Islam dianggap sebagai susupan penjajah, dicap sebagai kemunduran dan kebekuan, yang akan mengantarkan manusia pada keterbelakangan dan kemerosotan. Adapun berdasarkan asas kedua, berdiri beberapa

Upaya Merintangi Tegaknya Daulah Islam 309

organisasi atas dasar akhlak, nasihat, dan petuah. Mereka berjuang untuk meraih nilai-nilai keutamaan dan akhlak, serta menjauhkan diri dari kancah politik. Partai-partai politik dan kelompok-kelompok tersebut aktivitasnya hanya akan berputar-putar di tempat, tanpa bisa sampai pada terbentuknya Daulah Islam. Sebab, mereka telah mengganti aktivitas politik yang memang diwajibkan syara’ (yaitu menegakkan Daulah Islam), dengan aktivitas yang bersifat akhlak semata. Di mana akhlak merupakan hasil dari kesempurnaan seorang Muslim dalam mengamalkan Islam dan hasil dari penegakkan Pemerintahan Islam. Sesungguhnya partai-partai yang berdiri dengan asas penjajah, jelas-jelas bertentangan dengan Islam dan tidak akan sampai pada tegaknya Daulah Islam.

Di samping melalui metodologi politik, dibentuk pula undang-undang yang mampu menjaga dan mengamankan pelaksanaan metodologi tersebut. Undang-undang itu menetapkan berbagai aturan yang melarang pembentukan partai-partai politik, atau gerakan-gerakan politik yang bernafaskan Islam. Undang-undang itu mencap kaum Muslim yang bergabung dalam partai-partai Islam sebagai kelompok-kelompok radikal dan ekstrem, meski faktanya mereka adalah penduduk negeri itu sendiri. Undang-undang itu menetapkan berbagai aturan yang mengharuskan partai-partai dan gerakan-gerakan politik mengandung sistem dan aturan demokrasi. Anggota-anggotanya tidak dibatasi sebatas kelompoknya. Artinya, undang-undang tidak membolehkan di negeri-negeri Islam berdiri partai-partai atau gerakan-gerakan politik yang bernafaskan Islam, supaya Daulah Islam tidak kembali lagi. Kaum Muslim tidak memiliki hak kecuali mendirikan kelompok-kelompok atau organisasi moral, dan yang sejenisnya. Mereka dilarang melakukan aktivitas politik yang berlandaskan Islam. Sebagian undang-undang bahkan mencap kriminal, yang memberikan sanksi bagi mereka yang berusaha mendirikan partai politik. Dengan demikian, metodologi politik telah terkonsentrasi di atas landasan yang akan membendung upaya pembentukan Daulah Islam. Pembendungan itu dilakukan dengan undang-undang.

47             Daulah Islam

Yang dilakukan penjajah tidak hanya itu. Mereka berusaha memalingkan kaum Muslim dari pemikiran tentang Daulah Islam. Hal itu dilakukan dengan beberapa tindakan. Barat mendorong muktamar-muktamar Islam agar umat berpaling dari aktivitas fisik yang berupaya mendakwahkan Islam dan mewujudkan kehidupan Islam di bawah naungan Daulah Islam. Muktamar-muktamar ini sebenarnya hanya memuat kegiatan-kegiatan yang sifatnya mengambil simpati, mengambil keputusan-keputusan yang bersifat verbal, dan menyebarkannya di berbagai surat kabar dan mass media lainnya, semata-mata hanya untuk diberitakan saja, bukan untuk dilaksanakan. Bahkan, tidak ada upaya sedikit pun untuk melaksanakannya. Kemudian Barat mendorong para pengarang dan orator untuk menjelaskan bahaya adanya Daulah Islam. Menjelaskan bahwa di dalam Islam tidak ada sistem pemerintahan. Lalu dikeluarkanlah buku-buku, artikel -artikel dan jurnal-jurnal oleh sekelompok umat Islam yang dibeli, agar mereka mengemban propaganda penjajah ini, sehingga kaum Muslim tersesat, berpaling dari agama mereka dan dari aktivitas yang berupaya mewujudkan kehidupan menurut sistem hukum Islam. Demikianlah langkah-langkah penjajah. Sejak berhasil merobohkan Daulah Islam hingga sekarang, mereka terus berusaha menciptakan berbagai krisis dan hambatan-hambatan yang mencegah terbentuknya Daulah Islam. Aktivitasnya dipusatkan pada kegiatan yang mengarah pada pelumpuhan politik Islam, dan menghalang-halangi pembentukan Daulah Islam setelah Negara itu runtuh dari muka bumi.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar