Perjanjian
Hudaibiyah
Setelah
enam tahun berlalu, sejak hijrah dari Makkah, Rasul saw berhasil
mengokohkan pasukannya. Masyarakat Islam serta Daulah Islam menjadi ditakuti
semua bangsa Arab. Setelah itu, beliau mulai memikirkan langkah lain.
Langkah-langkah tersebut adalah cara untuk semakin menguatkan dakwah, Daulah
Islam, dan
melemahkan musuh-musuhnya.
Telah sampai kepada beliau bahwa penduduk
Khaibar dan Makkah telah membentuk kesepakatan untuk memerangi kaum Muslim.
Untuk menghadapinya, beliau merumuskan strategi kebijakan yang bisa
mengantarkan pada terbentuknya perjanjian damai dengan penduduk Makkah,
sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu kondisi yang menjamin tidak adanya
peperangan antara beliau dan bangsa Arab serta mempermudah penyebaran dakwah di
jazirah Arab, sekaligus dapat mengisolir penduduk Khaibar dari kafir Quraisy.
Beliau melihat bahwa strategi ini hanya bisa dilakukan dengan mengunjungi
Baitullah di Majid al-Haram yang dilakukan dengan damai, sehingga akan
mengantarkan pada maksud politis beliau. Beliau juga melihat bahwa dengan tidak
adanya peperangan antar bangsa Arab di bulan-bulan Haram, akan memudahkan
beliau untuk menerapkan strategi tersebut. Beliau mengetahui bahwa persatuan
Quraisy telah terpecah dan ketakutan terhadap kaum Muslim menyergap jiwa
mereka. Strategi ini telah
Perjanjian Hudaibiyah 121
dirancang
beliau dengan beribu kali pertimbangan. Karena itu, beliau berencana pergi ke
Bait al-Haram untuk menunaikan ibadah haji. Jika kaum Quraisy
menghalang-halangi ibadah hajinya, maka larangan ini menjadi alasan bagi beliau
untuk mendakwahkan Islam di seluruh bangsa Arab, sekaligus sebagai sarana untuk
melancarkan propaganda menentang Quraisy. Karena itu, Rasul saw mengizinkan
berhaji di bulan Dzul Qa’dah dan mengirimkan beberapa delegasi ke
kabilah-kabilah Arab non Muslim, mengajak serta mereka ikut bersama beliau
keluar menuju Baitullah dalam keadaan aman dan damai tanpa perang. Hal ini
dimaksudkan untuk memberitahu kepada bangsa Arab, bahwa beliau keluar untuk
berhaji, bukan untuk berperang. Bersama beliau turut pula orang-orang Arab non
Muslim dan mereka tidak seagama dengannya, karena beliau tidak untuk berperang,
melainkan untuk meraih opini umum yang akan berpihak kepada beliau, seandainya
kafir Quraisy mencegah beliau berhaji. Beliau telah menetapkan langkah
perdamaian, karena itu beliau tidak mengizinkan kaum Muslim membawa senjata,
kecuali pedang-pedang yang tersimpan di dalam sarungnya. Beliau mengumumkan
bahwa rombongannya keluar untuk berhaji bukan untuk berperang.
Rasul saw meninggalkan kota Madinah bersama
dengan 1.400 orang laki-laki. Beliau berada di barisan terdepan menunggang
untanya al-Qishwa’ yang beriringan dengan 70 ekor unta lainnya. Beliau
memakai baju ihram untuk umrah agar dapat menunjukkan kepada umat manusia bahwa
beliau tidak bermaksud perang. Beliau keluar hanya untuk mengunjungi Baitullah
al-Haram. Setelah melampaui Madinah dan melintasi gurun sejauh enam atau tujuh
mil, rombongan haji ini sampai di Dzul Halifah dan mereka mengucapkan talbiyah
untuk umrah dari sana. Kaum Muslim terus bergerak ke arah Makkah. Berita mereka
sampai juga kepada kaum Quraisy, yang memberitahukan bahwa kaum Muslim datang
untuk haji, bukan untuk perang. Kafir Quraisy khawatir hal itu hanya siasat
Muhammad saw untuk memasuki Makkah, kemudian menyerang penduduknya. Mereka
memikirkan hal tersebut beribu kali dan akhirnya memutuskan untuk
menghalang-halangi Muhammad
30
Daulah
Islam
saw memasuki Makkah, seberat apa pun pengorbanan
yang harus mereka lakukan. Kafir Quraisy pun menyiapkan pasukan untuk
menghadapi kaum Muslim dan mencegah mereka memasuki Makkah. Mereka mengangkat
Khalid bin Walid dan ‘Ikrimah bin Abu Jahal memimpin pasukan yang sangat besar,
yang pasukan berkudanya saja berjumlah 200 orang. Pasukan musyrik keluar dari
Makkah dan bergerak menuju arah rombongan yang datang untuk berhaji, agar dapat
mencegah mereka. Mereka tiba di Dzu Thuwa lalu membangun perkemahan di tempat
itu. Kabar tentang apa yang dilakukan kafir Quraisy, yaitu mereka telah
mempersiapkan pasukan untuk mencegahnya berhaji, telah sampai kepada Muhammad
saw. Ketika beliau saw sampai di perkampungan ‘Asfan, yang berjarak dua marhalah
(2 x 44,352 km = 88,704 km) dari Makkah, Rasul bertemu dengan seorang laki-laki
dari Bani Ka’ab. Nabi saw bertanya kepadanya tentang kabar orang-orang Quraisy.
Laki-laki itu berkata, “Orang-orang Quraisy tersebut telah mendengar
perjalananmu. Mereka keluar dengan membawa perisai dan memakai baju
kulit macan tutul. Mereka membangun perkemahan pasukan di Dzu Thuwa. Di sana
mereka bersumpah pada Allah akan mencegah engkau selamanya untuk masuk Makkah.
Dalam pasukan mereka terdapat Khalid bin Walid. Mereka bergerak maju ke Kira’
al-Ghamim, suatu tempat yang jauh dari perkemahan kaum Muslim di ‘Asfan
sejauh delapan mil.”
Mendengar kabar ini Rasul saw berkata, “Celakalah
orang-orang Quraisy! Sungguh peperangan telah memakan habis diri mereka. Apa
yang akan mereka lakukan andai mereka membiarkan antara diriku dan seluruh
orang Arab. Jika mereka memerangiku, berarti itulah yang mereka kehendaki. Jika
Allah memenangkanku atas mereka, pasti mereka masuk Islam berbondong-bondong.
Dan jika mereka tidak melakukannya, maka seluruh orang Arab beserta kekuatannya
akan memerangi mereka. Lantas apa yang kafir Quraisy rencanakan. Demi Allah,
aku akan terus berjihad atas dasar kebenaran —yang aku diutus Allah dengannya—
hingga Allah memenangkan kebenaran itu atau aku binasa karenanya.” Artinya,
beliau akan terus berjuang hingga memperoleh kemenangan atau mati.
Di sini Beliau saw berpikir tentang
perkara yang sedang dihadapinya. Beliau mengevaluasi kembali
kebijakan-kebijakan
Perjanjian Hudaibiyah 123
yang
telah digariskannya. Beliau memang telah menetapkan keputusan menggunakan jalan
damai dan tidak menyiapkan diri untuk berperang. Namun, kenyataannya beliau
melihat bahwa kafir Quraisy telah mengirim pasukan untuk memerangi dirinya,
sementara beliau tidak ingin berperang. Jika demikian kenyataannya, apakah
Rasul saw harus kembali ke Madinah, ataukah mengubah kebijakan damai dan
beralih mengambil strategi perang. Beliau mengetahui bahwa kaum Muslim dengan
keimanannya mampu menghadapi perlawanan pasukan musuh dan terjun ke kancah peperangan
meski mereka belum menyiapkan perang sama sekali. Akan tetapi, beliau datang
bukan untuk berperang dan memang tidak menetapkan untuk pergi berperang. Beliau
datang untuk berhaji dan dalam keadaan damai. Seandainya beliau dipaksa dan
dihalang-halangi pergi berhaji, beliau sebenarnya mampu mengatasi hambatan ini.
Beliau memecahkan persoalan ini hanya menggunakan cara damai, tidak dengan cara
perang dan tidak akan terjun ke kancah peperangan. Kebijakan damai yang telah
digariskannya, beliau maksudkan untuk membentuk opini umum di kalangan seluruh
bangsa Arab tentang dakwah Islam dan keluhurannya; juga untuk membentuk opini
umum di kalangan Quraisy dan di seluruh Makkah mengenai keluhuran dakwah ini,
serta membentuk opini umum di kalangan bangsa Arab, Quraisy dan penduduk Makkah
tentang kesalahan Quraisy, kesesatan, kejahatan dan permusuhan mereka. Beliau
menginginkan opini umum ini bisa membentuk iklim dakwah yang kondusif, karena
keadaan tersebut merupakan salah satu faktor pendukung dakwah yang paling besar
dalam penyebaran dan pencapaian kemenangan Islam. Berdasarkan hal ini, beliau
menetapkan strategi kebijakan damai dan tidak menetapkan strategi perang. Jika
tetap melakukan perang, berarti beliau telah menyalahi strategi itu sendiri dan
merusak aspek yang menjadi alasan beliau keluar dari Madinah.
Karena itu, beliau berpikir keras tentang apa
yang harus dilakukan. Dalam pikirannya, pandangan beliau mampu membaca jauh ke
depan, berdasarkan pengalamannya yang banyak dan kecermatan strateginya
dibandingkan dengan pemikiran manusia
32
Daulah
Islam
manapun. Dengan demikian beliau tetap meneruskan
strategi damainya, sehingga tidak merusak maksud beliau sendiri keluar dari
kota Madinah dan tidak menyalahinya. Sementara itu, di tengah-tengah bangsa
Arab, kaum Quraisy mempunyai alasan untuk menyerang Rasul. Jadi, opini umum
ternyata berpihak kepada kafir Quraisy daripada terhadap beliau. Karena itu,
beliau menyeru rombongannya, “Siapa yang bersedia berjalan keluar bersama
kami melalui sebuah jalan selain jalan mereka sendiri.” Lalu seorang
laki-laki keluar bersama mereka dan menunjukkan jalan kepada mereka.
Mereka menyusuri jalan-jalan yang sulit dan bercadas di antara celah-celah
gunung yang sempit. Rombongan Rasul ini melewati jalan itu di tengah himpitan
kesulitan, menjalani perjuangan yang melelahkan, sampai akhirnya berhasil
melewatinya. Mereka berjalan terus hingga Sahl dan berhenti di lembah Makkah,
suatu tempat yang dinamakan Hudaibiyah, dan di situlah mereka membuat
perkemahan. Ketika pasukan Khalid dan ‘Ikrimah melihatnya, maka mereka terkejut
dan segera kembali ke induk pasukan untuk mempertahankan Makkah. Jiwa mereka
panik dan ketakutan, karena kaum Muslim berhasil melampaui pasukan mereka dan
menempati daerah perbatasan Makkah. Kesatuan pasukan musyrikin berada di dalam
Makkah, sementara kesatuan pasukan Nabi saw dan para sahabatnya berada di
Hudaibiyah.
Kedua pasukan tersebut saling
berhadap-hadapan. Pasukan Quraisy di dalam Makkah, sedangkan kaum Muslim di
Hudaibiyah. Masing-masing berpikir tentang strategi yang akan dijalaninya dalam
menghadapi musuh. Sebagian kaum Muslim berpikir bahwa Quraisy tidak akan
membiarakan mereka melakukan haji. Mereka telah mempersiapkan perlengkapan
perang untuk menghadapi kaum Muslim. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali
memerangi mereka untuk mengalahkannya dan segera melakukan ibadah haji. Dengan
demikian, mereka harus mampu mengakhiri riwayat kafir Quraisy dengan hukuman
tuntas. Sementara itu, pihak Quraisy juga berpikir tentang mepersiapkan diri
memerangi kaum Muslimi dengan persiapan yang memungkinkan mampu menyerang dan
Perjanjian Hudaibiyah 125
menghancurkan
mereka, sehingga mereka terusir dari Makkah, meski hal itu harus ditebus dengan
kehancuran Quraisy sendiri. Meskipun kafir Quraisy harus lebih dulu
mempertimbangkan kekuatan kaum Muslim beribu kali. Pada akhirnya mereka
memutuskan untuk tetap tinggal di Makkah, sambil menunggu apa yang akan
dilakukan kaum Muslim. Adapun Rasulullah saw sendiri tetap berpegang pada
strategi yang telah digariskannya sejak beliau berniat ihram untuk umrah di
Madinah, yaitu strategi damai. Beliau tetap berpegang pada prinsip ini hingga
berhasil mencapai tujuannya. Beliau tetap bertahan di Hudaibiyah, sambil
menunggu apa yang akan dilakukan kaum Quraisy. Beliau tahu bahwa Quraisy
gemetar karena takut terhadap dirinya. Mereka sepertinya akan mengirim utusan
kepada beliau untuk berunding tentang kedatangannya untuk berhaji. Quraisy
kemudian mengirimkan Badil bin Waraqa’ seorang laki-laki dalam rombongan Bani
Khuza’ah sebagai utusan perundingan. Tugas yang harus dijalankannya adalah
bertanya kepada Rasul saw mengenai tujuannya datang ke Makkah. Tidak lama
setelah perundingan, akhirnya mereka puas karena ternyata kaum Muslim tidak
datang untuk maksud perang, melainkan mereka datang untuk mengunjungi Baitullah
demi mengagungkan kemualiaannya. Setelah itu, utusan tadi kembali untuk
meyakinkan Quraisy dengan kabar tadi dan berusaha keras meyakinkannya, sehingga
Quraisy mencurigai mereka telah berpihak kepada Muhammad saw. Mereka tidak
mempercayai ucapan para utusan ini. Mereka mengirimkan utusan lain di bawah
kepemimpinan Mukriz bin Hafash, namun nasibnya juga seperti utusan pertama.
Kemudian mereka mengirimkan Halis bin ‘Alqamah, kepala suku al-Ahaabiisy untuk
berunding dengan Muhammad saw. Quraisy percaya kepadanya maupun kaumnnya dalam
memusuhi Muhammad saw. Quraisy memang bermaksud membangkitkan gelora
permusuhannya terhadap kaum Muslim. Jika kembali dan perundingannya tidak
berhasil, tentu dendam Halis bertambah besar dan semangat untuk mempertahankan
Makkah semakin meningkat. Nabi saw mengetahui keberangkatannya,
>
Daulah
Islam
lalu beliau memerintahkan agar hewan-hewan
sembelihan untuk umrah dilepaskan di hadapan beliau, agar hewan-hewan itu dalam
pandangan Halis menjadi bukti yang bisa dilihat langsung bahwa niat kaum Muslim
memang untuk haji bukan perang.
Halis pun berangkat dan ketika sampai
di perkemahan kaum Muslimin, dia melihat unta-unta berkeliaran di lembah. Dia
juga menyaksikan gerak-gerik kaum Muslim beserta hewan-hewan sembelihan untuk
had, yang benar-benar menunjukkan sebagai rombongan umrah, bukan sebagai
pasukan perang. Tampak di kemah-kemah mereka suasana ibadah. Pemandangan ini
membawa pengaruh yang amat meyakinkan Halis, bahwa mereka sungguh-sungguh
bertujuan untuk ibadah, bukan perang. Tidak lama dia tinggal di daerah
pengintaiannya dan telah puas melihat kenyataan kondisi kaum Muslim itu, maka
Halis pun kembali ke Makkah, padahal dia belum bertemu Rasul saw. Dia
mengabarkan kepada Quraisy dan meminta mereka supaya membiarkan kaum Muslim
melaksanakan haji. Halis sangat marah pada sikap Quraisy yang keras kepala dan
mengancam mereka jika tidak memberi kemudahan pada Muhammad yang hendak
mengunjungi Ka’bah, maka Halis dan orang-orang Al-Ahaabiisy akan meninggalkan Quraisy
dari Makkah. Akan tetapi, Quraisy buru-buru memohon Halis bersabar sejenak dan
meminta Halis supaya memberi tangguh agar mereka bisa memikirkan persoalan
tersebut dengan matang. Halis pun tidak memperdulikan mereka lagi.
Sementara itu Quraisy mengirimkan lagi
utusan yaitu ‘Urwah bin Mas’ud ats- Tsaqafiy. Tentu setelah mereka berhasil
meyakinkannya bahwa mereka merasa mantap dan percaya dengan pikirannya. ‘Urwah
berangkat menemui Rasul saw dan mengajak berunding agar Rasul kembali saja dari
Makkah. Dalam perundingannya, ‘Urwah menggunakan berbagai uslub, akan tetapi
dia tidak berhasil, dan kembali dengan perasaan puas dengan cara pandang Rasul
saw. Dia berkata kepada Quraisy: “Hai orang-orang Quraisy,
sesungguhnya aku pernah mendatangi Kisra di kerajaannya dan Kaisar di
Imperiumnya demikian juga Najasyi di kerajaannya. Demi Allah,
Perjanjian Hudaibiyah 127
aku
sama sekali belum pernah melihat sebuah kerajaan pun dalam suatu kaum seperti
Muhammad di tengah-tengah para sahabatnya. Sungguh aku telah melihat suatu kaum
(kaum Muslim) yang selamanya tidak akan menyerahkannya (Muhammad) untuk suatu
apapun. Karena itu, pikirkan kembali pendapat kalian!”
Kebencian dan dendam kafir Quraisy makin
menjadi-jadi. Lobi terus berlangsung dan memakan waktu lama tanpa mencapai kata
sepakat. Melihat hal ini, Rasul saw berpikir hendak mengirimkan utusan untuk
berunding. Barangkali utusan-utusan Quraisy takut terhadap umatnya dan mungkin
saja utusan Rasul itu akan dapat meyakinkan mereka. Lalu Rasul mengutus
Kharrasy bin Umayyah al-Khuza’iy menemui mereka. Akan tetapi, mereka melukai
utusan ini dan hendak membunuhnya, seandainya tidak ada pembelaan dari suku
al-Ahaabiisy. Kemarahan Quraisy semakin membara. Di tengah malam, mereka
mengirim beberapa orang bodoh untuk melempari kemah-kemah kaum Muslim dengan
batu. Kaum Muslim marah, bahkan mereka sempat berpikir untuk memerangi kafir
Quraisy. Akan tetapi Rasul saw berhasil meredakan kemarahan mereka dan
menenangkannya.
Tersiar kabar bahwa 50 orang dari Quraisy telah
keluar untuk mendatangi perkemahan kaum Muslim dengan tujuan menyerang dan
menghancurkan mereka tanpa menyisakan seorang pun dari para sahabat Nabi. Namun
rencana aksi tersebut diketahui oleh kaum Muslim, lalu mereka ditangkap dan
dihadirkan ke hadapan Rasulullah. Beliau memaafkan mereka dan melepaskannya.
Tindakan tersebut punya pengaruh besar di Makkah dan menjadi bukti kuat yang
menunjukkan kebenaran Muhammad saw tentang ucapannya yang menyatakan beliau
datang untuk haji, bukan perang. Dengan demikian opini umum di Makkah berpihak
kepada Rasul saw, sehingga seandainya beliau pada waktu itu masuk Makkah dan
Quraisy berusaha mencegahnya, tentu akibatnya harus mereka hadapi dan penduduk
Makkah serta bangsa Arab akan memusuhi mereka. Karena itu, kafir Quraisy
berusaha meredam kemarahan mereka sendiri dan mencoba memikirkan lagi persoalan
ini. Sedikit
:
Daulah
Islam
demi sedikit keadaan di Makkah mulai menampakkan
tanda-tanda ke arah damai. Rasul saw pun ingin mengirimkan utusan yang akan
berunding dengan kafir Quraisy. Beliau meminta ‘Umar bin al -Khaththab
berangkat ke Makkah, namun dia memberi alasan kepada Rasul, “Wahai Rasul,
aku khawatir kafir Quraisy akan membunuhku, sementara di Makkah tidak
satupun bani ‘Adi bin Ka’ab yang akan melindungiku. Permusuhan dan kekerasanku
terhadap mereka sangat sengit. Akan tetapi, aku mengusulkan kepadamu seseorang
yang lebih mampu daripada aku yaitu ‘Utsman bin ‘Affan.” Nabi saw memanggil
‘Utsman dan mengutusnya menemui Abu Sufyan. Maka ‘Utsman berangkat menemui
kaum Quraisy dan menyampaikan kepada mereka misi surat Nabi saw. mereka
berkata, “Jika engkau hendak thawaf di Baitullah, maka thawaflah,” Utsman
menjawab: “Aku tidak akan melakukannya hingga Rasul saw juga thawaf,” .
Kemudian ‘Utsman berunding dengan
mereka tentang pentingnya thawaf Rasul, namun Quraisy menolak usulan itu.
Perundingan di antara mereka menjadi berkepanjangan dan terus berlangsung.
Perundingan beralih dari persoalan penolakan Quraisy, mengarah pada kesepakatan
baru yang akan mengakomodir kepentingan Quraisy dan kepentingan kaum Muslim.
Mereka membahasnya dengan ‘Utsman tentang kemungkinan membentuk hubungan antara
mereka dengan Muhammad saw. Mereka juga bersikap baik terhadap ‘Utsman untuk
menemukan jalan yang dapat membebaskan mereka dari situasi sulit dan dari
permusuhan mereka dengan Muhammad saw yang berkepanjangan.
Kepergian ‘Utsman terlalu lama di Makkah,
sementara tanda-tanda keberadaannya di Makkah juga tidak tampak. Sampai
akhirnya tersebar isu di kalangan kaum Muslim, bahwa Quraisy telah memperdaya
‘Utsman dan membunuhnya. Kegelisahan kaum Muslim memuncak dan sempat
mencemaskan Nabi saw bahwa Quraisy telah membunuh ‘Utsman. Akibatnya kaum
Muslim bergolak dan goncang. Masing-masing mereka menggenggam pedangnya dan
siap berperang serta membunuh. Seketika itu pula Rasul saw mengevaluasi kembali
pandangannya tentang strategi
Perjanjian Hudaibiyah 129
yang
telah digariskannya, yaitu strategi damai. Beliau melihat bahwa perkembangan
baru itu membutuhkan peninjauan ulang terhadap kebijakannya tersebut, khususnya
setelah melihat adanya tanda -tanda bahwa kafir Quraisy memperdaya ‘Utsman
dalam bulan haram, padahal dia utusan juru runding. Karena itu, beliau berkata:
“Janganlah kita meninggalkan tempat ini hingga kita memerangi kaum
itu!”
Beliau memanggil sahabat-sahabatnya, lalu
diajaknya berdiri di bawah sebuah pohon seraya meminta mereka memberikan bai’at
kepadanya. Mereka semua berbai’at untuk tidak lari dari peperangan hingga mati.
Mereka sangat bersemangat, dalam kekuatan yang luar biasa dan kebenaran
keimanan. Ketika selesai mengadakan bai’at, Rasul saw memukulkan salah satu
tangannya kepada lainnya sebagai tanda bai’at untuk ‘Utsman. Seakan-akan
‘Utsman hadir bersama mereka. Bai’at ini dinamakan Bai’at Ridhwan.
Mengenai peristiwa ini Allah menurunkan ayat-Nya:
QWm\H‘ 0VU% |^W 5SÄcÈWÄlc |ÚÜ=%U- CÃW
Œ |B¦q¬iX VŠ@
34
§ª±¨ ;cVm=ØUÙV*×À1W›I2UU
TX
×®×1QÃWMn
RV =jX¦‚$WsW5U ÙV ×®1MSÉr¯%WÛ
1]¯È\ÙV
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap
orang-orang mukmin ketika mereka membai’atmu di bawah pohon, maka Allah
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas
mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat
(waktunya).” (TQS. Al-Fath [48]: 18).
Sebelum sempurna bai’at dan kaum Muslim belum
mempersiapkan diri terjun ke medan laga dan memasuki perang, tiba-tiba sampai
kabar kepada mereka bahwa ‘Utsman tidak dibunuh. Tidak berapa lama, ‘Utsman
kembali dan mengabarkan kepada Rasul saw tentang apa yang dikatakan Quraisy.
Rasul menyimak dengan sungguh-sungguh, lalu perundingan damai antara Rasul saw
dan Quraisy diperbarui. Quraisy mengirimkan Suhail bin ‘Amru untuk berunding
dengan Rasul saw dengan agenda
36
Daulah
Islam
yang lebih luas dari sekadar masalah haji dan
umrah melebar ke arah sebuah perjanjian damai yang akan ditetapkan antara
beliau dan mereka dengan dasar bahwa beliau harus meninggalkan Makkah tahun
ini. Rasul saw menerima perundingan damai dengan asas tersebut, karena
perjanjian tersebut telah merealisir maksud beliau dalam melakukan kunjungan ke
Baitullah, lagi pula tidak menjadi masalah baginya untuk mengunjungi Baitullah
tahun ini atau tahun depan. Beliau berkeinginan mengisolir Khaibar dari Quraisy
dan membersihkan rintangan antara beliau dengan bangsa Arab untuk kepentingan
penyebarluasan dakwah Islam. Beliau setuju menetapkan perjanjian antara beliau
dan Quraisy yang akan menghentikan perang terbuka antara beliau dan mereka,
maupun perang-perang lain yang mungkin terjadi secara bersusulan. Adapun
masalah haji dan umrah, tidak akan berpengaruh apakah akan dilaksanakan
sekarang ataukah tahun depan.
Rasul memasuki proses perundingan
dengan juru runding Suhail bin ‘Amru dan terjadilah diskusi panjang lebar di
antara kedua pihak berkenaan dengan perjanjian damai tersebut beserta
syarat-syaratnya. Dalam beberapa kesempatan, diskusi tersebut ditingkahi beberapa
interupsi dan nyaris batal, seandainya tidak ada Rasul saw; kedalaman
pengalamannya dan kejelian siasatnya. Kaum Muslim berada di sekitar Rasul saw
menyimak perdebatan tersebut dan mereka menganggap bahwa perbincangan itu
berkenaan dengan umrah, sedangkan Rasul saw sendiri menganggapnya sebagai
diskusi tentang penghentian perang. Karena itu, pandangan politik kaum Muslim
masih sempit, sementara itu Rusulullah saw bergembira terhadap hal itu dan
mengarahkan perjanjian itu ke tujuan yang beliau kehendaki, tanpa melihat
rincian maupun manfaat sesaat. Kesepakatan antara kedua pihak selesai
berlandaskan syarat-syarat tertentu. Sayangnya, syarat-syarat ini membakar dan
membangkitkan amarah kaum Muslim. Mereka berusaha meyakinkan Rasul saw agar
menolak syarat-syarat perjanjian itu dan menggantinya dengan perang.
Sampai-sampai ‘Umar bin al-Khaththab pergi menjumpai Abu Bakar dan berkata
kepadanya, “Kenapa kita menerima kehinaan untuk agama kita?”
Pengiriman Utusan ke Negara-negara Tetangga 131
‘Umar berusaha mengajaknya pergi
menemui Rasulullah saw untuk meyakinkan beliau agar menolak syarat-syarat
perjanjian tersebut. Akan tetapi, Abu Bakar justru meyakinkan ‘Umar agar ridha
terhadap apa yang diridhai Rasulullah saw, namun tidak berhasil. Akhirnya, ia
pergi sendiri menghadap Nabi saw dan berbicara langsung kepada beliau dengan
nada marah. Tetapi pembicaraan ‘Umar tidak mampu mengubah kesabaran dan
kekokohan Nabi saw dan berkata kepada ‘Umar, “Aku adalah hamba Allah dan
Rasul-Nya. Aku tidak akan pernah menyalahi perintah-Nya dan Dia tidak akan
menyia-nyiakanku,” . Kemudian beliau memanggil ‘Ali bin Abi Thalib dan
berkata kepadanya, “Tulislah olehmu: bismillaahirrahmaanirrahiim!” Maka
Suhail berkata: “Aku tidak tahu apa itu!, namun tulislah: bismika allaahumma.”
Rasulullah saw menanggapi: “Tulislah olehmu: bismika allaahumma,”.
Kemudian beliau melanjutkan, “Tulislah olehmu: Ini adalah perjanjian damai
yang disepakati Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin ‘Amru.” Maka Suhail
pun memotong: “Seandainya aku bersaksi bahwa engkau Rasulullah, tentu aku
tidak memerangimu. Karena itu, tulislah namamu dan nama bapakmu!” Rasulullah
saw berkata, “Tulislah olehmu: Ini adalah perjanjian damai yang disepakati
Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin ‘Amru”.
Kemudian ‘Ali melanjutkan menuliskan
perjanjian di antara kedua pihak yang isinya sebagai berikut:
38
Perjanjian ini adalah perjanjian
gencatan senjata yang mengikat kedua belah pihak. Di antara kedua belah pihak
tidak ada peperangan atau saling membunuh.
39
Bahwa siapa saja dari Quraisy yang
telah masuk Islam dan datang kepada Muhammad tanpa izin walinya, maka Muhammad
harus mengembalikannya kepada mereka. Siapa saja yang murtad dari kaum Muslim
dan mendatangi Quraisy, maka mereka tidak akan mengembalikannya kepada
Muhammad.
40
Bahwa siapa saja dari bangsa Arab yang
ingin ikut serta dalam kesepakatan Muhammad dan perjanjiannya, maka tidak akan
dihalangi. Demikian juga siapa saja yang ingin ikut serta
40
Daulah
Islam
dalam
kesepakatan dan perjanjian Quraisy maka tidak akan dihalangi.
42
Tahun ini Muhammad dan para sahabatnya
harus kembali dari Makkah. Mereka boleh kembali ke Makkah pada tahun
berikutnya. Mereka hanya boleh masuk dan tinggal di dalamnya selama tiga hari.
Mereka hanya boleh membawa pedang-pedang yang tersimpan di dalam sarungnya dan
tidak boleh membawa senjata lainnya.
43
Perjanjian diadakan dalam batas waktu
tertentu. Masanya selama 10 tahun sejak tanggal penandatanganannya.
Rasul saw dan Suhail menandatangani
perjanjian di tengah gelora dan kemarahan pasukan kaum Muslimin. Suhail berdiri
dan langsung kembali ke Makkah, sementara Rasulullah saw masih berada di
tempatnya dalan suasana kebingungan, kemarahan dan ketidaksukaan kaum muslimin
yang muncul dari semangat sikap keras dan harapan besar untuk berperang. Beliau
menemui istrinya yaitu Ummu Salmah yang menyertainya dan mengabarkan kepadanya
tentang kelakuan kaum muslimin. Dia berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah
kaum Muslimin tidak akan menentangmu. Sesungguhnya mereka sangat
bersemangat untuk berperang karena agama dan iman mereka kepada Allah dan
risalahmu. Karena itu, bercukur dan bertahallullah, niscaya engkau akan
menemukan kaum Muslimin mengikutimu. Kemudian kita kembali ke Madinah bersama
mereka.”
Rasul saw keluar menemui kaum Muslimin.
Beliau kemudian mencukur rambut sebagai penutup umrah. Jiwanya penuh dengan
ketenangan dan ridha. Ketika kaum Muslimin melihat Rasul tetap tenang, mereka
segera melalui hari nahar dan ikut mencukur dan memendekkan rambut. Nabi
saw dan kaum Muslimin kemudian kembali ke Madinah. Di tengah perjalanan pulang,
turun surat al-Fath kepada Rasul saw. Beliau membacakannya kepada para
mereka dari awal hingga akhir. Mereka semua akhirnya yakin bahwa perjanjian
ini adalah kemenangan yang amat nyata bagi kaum Muslimin.
Perjanjian Hudaibiyah 133
Kaum Muslimin tiba di kota Madinah.
Rasulullah saw telah melaksanakan strateginya dalam menyelesaikan masalah
Khaibar, penyebaran dakwah di luar Jazirah, menstabilkan kondisi dalam negeri
Jazirah dan mengisi kekosongan waktu akibat adanya perjanjian damai dengan
Quraisy untuk menyelesaikan permasalahan yang masih ada pada sebagian suku Arab
serta menjalin hubungan luar negeri. Dengan demikian sempurnalah tujuan-tujuan
itu, berkat dilakukannya perjanjian ini. Beliau saw berhasil melaksanakan
strategi yang telah beliau susun saat akan berhaji dengan cermat, meskipun
dihadang oleh berbagai kesulitan dan kekerasan. Beliau akhirnya mencapai tujuan
politik yang telah ditetapkannya. Sehingga perjanjian Hudaibiyah merupakan
kemenangan yang nyata dan di antara hasil-hasilnya antara lain sebagai berikut:
44
Mengantarkan Rasul saw kepada opini
umum yang mendukung dakwah Islam di seluruh bangsa Arab pada umumnya, di Makkah
dan dengan Quraisy pada khususnya. Hal itu menyebabkan semakin kuatnya
kewibawaan kaum Muslimin sekaligus melemahkan kewibawaan Quraisy.
45
Menyingkap kepercayaan kaum Muslimin
kepada Rasul saw, menunjukkan kekuatan iman kaum muslimin dan kekokohan mereka
dalam menghadapi marabahaya sekaligus bahwa mereka tidak takut mati.
46
Mengajarkan kepada kaum Muslimin bahwa
manuver politik merupakan sarana dakwah Islam.
47
Menjadikan kaum Muslimin yang masih
tinggal di Makkah di tengah-tengah kaum musyrikin untuk membentuk kantong-kantong
dakwah di dalam jantung barak musuh.
48
Menjelaskan bahwa thariqah dalam
politik harus berasal dari fiqrah itu sendiri dan disertai kejujuran serta
memenuhi janji.
Sedangkan sarana politik harus mencerminkan
kecerdikan, yaitu menyembunyikan sarana-sarana dan tujuan-tujuan politis yang
sebenarnya dari pandangan musuh.[]
46
Daulah
Islam
Pengiriman
Utusan
ke
Negara-negara Tetangga
Setelah
berhasil memantapkan dakwahnya di seluruh Hijaz, Rasul saw mulai
membawa dakwahnya ke luar Hijaz. Sebab, Islam adalah agama untuk seluruh umat
manusia dan Rasul saw diutus
untuk seluruh alam. Allah berfirman:
>§ª©°¨ |ÚÜ-Q
›È\ ÚR +WSq\
Y |^›R<Ú\y×UqW%XT@
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau, melainkan
untuk sebagai rahmat bagi semesta alam” (tQS. al-Anbiyaa’ [21]: 107).
>>cªmW5XTk<m°nR‘¥ˆ‰°L<<ŠRÙ Y¯\›R<Úy×q\U%W
XT@
“Dan Kami tidak megutus engaku, melainkan kepada
umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
peringatan..”
(TQS. Saba’ [34]: 28).
r"QÃW
œÈWm¯PÕIÀ°Ä©F\UkÙ©ÛÏTX°sji\ ÀIÙ¯œÄVS ÀyqX
#y\×UqtݰŠSXÉ@F >§¬¬¨ |ESÅÕ¯“ÀnRP-Ùm×VXTS°®LÁ¨°Cc
“Dialah yang
mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk
dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-
Pengiriman Utusan ke Negara-negara
Tetangga 135
orang musyrik tidak menyukai” (TQS. at-Taubah
[9]: 33).
Karena itu, menjadi keharusan bagi Rasul saw
setelah berhasil memantapkan negara dan dakwah untuk memulai melakukan hubungan
luar negeri dengan menyampaikan dakwah beliau melalui para duta besar. Yang
dimaksud dengan hubungan luar negeri dalam kaitannya dengan Rasul saw adalah
hubungan dengan berbagai pihak kafir di luar teritorial pemerintahannya. Ketika
kekuasaan Rasul saw berada di seputar Madinah saja, maka hubungan beliau dengan
kafir Quraisy dan orang-orang di luar Madinah dan wilayah teritorialnya
dianggap sebagai hubungan luar negeri. Tatkala kekuasaan Rasul saw meliputi
seluruh Hijaz, maka hubungan beliau dengan pihak-pihak yang ada di luar Hijaz
dianggap hubungan luar negeri. Ketika kekuasaannya mencakup seluruh jazirah
Arab, maka hubungan beliau dengan pihak-pihak yang ada di luar jazirah, seperti
bangsa Persia dan Romawi, dianggap hubungan luar negeri. Setelah menandatangani
Perjanjian Hudaibiyah dan menyelesaikan masalah Khaibar, maka kekuasaan Rasul
saw berhasil meliputi hampir seluruh Hijaz. Hal itu karena Quraisy tidak lagi
memiliki kekuatan yang dapat menghadang di hadapan Rasul saw.
Berdasarkan hal ini, Rasul saw mengirimkan
sejumlah utusan ke luar negeri. Beliau tidak melakukan pengiriman para duta
besar tersebut, kecuali setelah kondisi politik dalam negeri telah aman dan
stabil. Kemudian beliau mempersiapkan kekuatan yang cukup untuk mendukung
politik luar negerinya. Sekembalinya dari Khaibar, pada suatu hari beliau saw
ke luar menemui para sahabatnya, lalu bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya
Allah telah mengutusku sebagai rahmat dan untuk seluruh alam. Janganlah
kalian menyalahiku sebagaimana Hawariyyun yang telah menyalahi ‘Isa bin
Maryam.” Para sahabat berkomentar: “Bagaimana kaum Hawariyyin
telah menyimpang, wahai Rasulullah?” Beliau menjelaskan: “Dia
(Isa bin Mariyam) mengajak mereka kepada Dzat yang aku juga mengajak kalian
kepada-Nya. ridha dan menerima. Adapun siapa saja yang dia utus ke tempat yang
jauh, maka
48
Daulah
Islam
dia memperlihatkan wajah tidak suka dan berat”.
Disebutkan bahwa beliau mengirimkan
utusan ke Hiraklius, Kisra, Muqauqis, al-Harits al-Ghassaaniy Raja Hirah,
al-Harits al-Himyariy Raja Yaman, Raja Najasyi di Habsyi, Kerajaan ‘Amman,
Kerajaan Yamamah dan Raja Bahrain. Beliau mengajak mereka untuk masuk Islam,
maka para sahabatnya memenuhi permintaan beliau. Kemudian beliau membuat
stempel yang terbuat dari perak yang terukir padanya: “Muhammad Rasul”.
Dengan surat yang dibawa oleh para utusan ini, beliau mengajak para raja
tersebut kepada Islam. Surat untuk Hiraklius, beliau serahkan kepada Dahyah bin
Khalifah al-Kalabiy, untuk Kisra diserahkan kepada ‘Abdullah bin Hadzafah
as-Sahamiy, untuk an-Najasyi diberikan kepada ‘Amru bin Umayyah al -Dhamiriy,
untuk Muqauqis dikirimkan melalui Hathib bin Abi Balta’ah, untuk Raja ‘Amman
diberikan kepada ‘Amru bin ‘Ash as-Sahamiy, untuk Raja Yamamah diberikan kepada
Salith bin ‘Amru, untuk Raja Bahrain diberikan kepada al-’Alla’ bin
al-Hadhramiy, untuk al-Harits al-Ghassaaniy, Raja Takhum Syam, diberikan kepada
Syuja’ bin Wahab al-Asadiy dan untuk al-Harits al-Hamiriy, raja Yaman, kepada
al-Muhajir bin Abi Umayyah al-Makhzumiy.
Para utusan itu berangkat bersama-sama
ke tempat tujuannya masing-masing sebagaimana yang telah Rasul saw tetapkan
kepada mereka. Mereka berangkat dalam waktu yang bersamaan dan menyampaikan
surat-surat Nabi saw tersebut kepada penguasa yang dituju, lalu mereka kembali.
Sebagian besar raja yang mendapat kiriman surat Rasul itu membalasnya dengan
santun dan lembut dan sebagian lainnya membalas dengan buruk. Jawaban para raja
Arab beragam, yaitu Raja Yaman dan Raja ‘Amman membalas surat Nabi saw dengan
buruk, Raja Bahrain membalasnya dengan baik dan dia memeluk Islam. Raja Yamamah
membalasnya dengan menampakkan kesiapannya menerima Islam jika diberi kedudukan
sebagai penguasa, maka Nabi melaknatnya karena ketamakannya itu. Sedangkan para
penguasa selain bangsa Arab, jawaban mereka juga beragam. Kisra, Kaisar Persi,
tak lama setelah sampai kepadanya
Perang Khaibar 137
surat
Rasul saw yang berisi ajakan untuk memeluk Islam, maka serta merta dia marah
dan merobek-robek surat beliau. Setelah itu, Kisra segera mengirim surat kepada
Badzan, amilnya di wilayah Yaman, agar dia membawa kepala utusan Rasul yang
sekarang ada di Hijaz kepadanya. Ketika kabar tentang ucapan Kisra dan
perlakuan kasarnya terhadap surat itu sampai kepada Nabi saw, beliau mengutuk, “Semoga
Allah merobek-robek kerajaannya!” Ketika surat Kisra telah sampai kepada
Badzan, amilnya di Yaman, maka dia memperbincangkan Islam dan akhirnya
menyatakan keislamannya. Dengan demikian Badzan tetap tinggal di Yaman sebagai
amil Nabi saw di Yaman dan dia adalah orang yang berbeda dengan Raja Yaman
al-Harits al-Himiriy. Sementara Raja Muqauqis, penguasa Qibthi, telah membalasnya
dengan balasan yang indah dan dia mengirimkan hadiah kepada Nabi saw. Sedangkan
Raja Najasyi membalas surat beliau dengan balasan yang indah pula, bahkan
dikatakan bahwa dia telah masuk Islam. Adapun Kaisar Hiraklius tidak
mempedulikan ajakan ini, tidak berpikir untuk mengirim pasukan guna menyerang
Muhammad, juga tidak mengatakan apa-apa. Ketika al-Harits al-Ghassaaniy meminta
izin kepadanya untuk memimpin pasukan menyerang penyeru nubuwah, maka Hiraklius
tidak memenuhi permintaanya tersebut. Dia mengundang al-Harits untuk menemuinya
di Baitul Muqaddas.
Pengaruh nyata dari surat-surat tersebut adalah
bahwa bangsa Arab mulai masuk ke dalam agama Allah berbondong-bondong, lalu
diikuti delegasi mereka yang berturut-turut menemui Rasul saw dan menyatakan
keislamannya. Sedangkan selain Arab, Rasul saw mulai menyiapkan kekuatan untuk
melaksanakan jihad menghadapi mereka.[]
50
Daulah
Islam
Perang Khaibar
Baru
saja 15 hari Rasul saw tinggal di Madinah, setelah kepulangannya
dari Hudaibiyyah, beliau sudah memerintahkan para sahabatnya untuk bersiap-siap
menyerang Khaibar, dengan ketentuan bahwa yang bisa ikut berperang dengan
beliau hanya
sahabat yang ikut menyaksikan Perjanjian
Hudaibiyah.
Sebelum keberangkatannya ke Hudaibiyah, telah
sampai kepada beliau bahwa Yahudi Khaibar telah mengadakan konspirasi dengan
Quraisy untuk menyerang Madinah dan menghancurkan kaum Muslim. Konspirasi
mereka itu dilakukan secara rahasia. Menghadapi hal tersebut, langkah pertama yang
ditempuh Rasul saw adalah mengikat perjanjian damai dengan pihak Quraisy,
kemudian menyiapkan rencana untuk menyerang Yahudi. Tatkala beliau berhasil
menyelesaikan langkah perdamaian dengan sempurna dalam perjanjian Hudaibiyah
dan mengisolir Khaibar dari Quraisy, maka beliau langsung menyelesaikan sisa
strateginya untuk menyerang Yahudi Khaibar. Karena itu, sekembalinya dari
Hudaibiyah beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menyiapkan pasukan.
Beliau berangkat bersama-sama dengan 1.600 orang kaum Muslim, disertai 100
orang pununggang kuda. Mereka seluruhnya percaya dengan pertolongan Allah.
Mereka menempuh perjalanan antara Khaibar dan Madinah dalam waktu tiga hari.
Perang Khaibar 139
Hampir-hampir
penduduk Khaibar tidak merasakan kehadiran kaum Muslim saat itu, sehingga
pasukan itu bisa bermalam di depan benteng mereka. Pagi hari setelah subuh,
para pekerja Khaibar seperti biasanya keluar menuju ladang-ladang pertanian
mereka dengan membawa sekop dan keranjang. Ketika mereka melihat pasukan kaum
Muslim, spontan mereka lari kembali ke bentengnya sambil berteriak -teriak, “Itu
Muhammad bersama pasukannya!” Mendengar teriakan itu, Rasul saw
bersabda, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Sesungguhnya ketika kita turun
di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk milik orang-orang yang terancam.”
Sebenarnya Yahudi sudah siap menerima kenyataan
bahwa Rasul saw akan memerangi mereka. Hal itu karena ketika kabar perjanjian
Hudaibiyah sampai kepada mereka dan Quraisy telah mengikat perjanjian dengan
Rasul saw, mereka menganggap peristiwa itu sebagai bentuk penarikan mereka dari
persekutuannya dengan Quraisy. Lalu sebagian mereka menyarankan untuk segera
membentuk kelompok dari kalangan mereka sendiri dan dari Yahudi Lembah Qura
serta Taima’ untuk menyerang Yatsrib, tanpa mempedulikan lagi prinsip-prinsip
yang dianut suku-suku Arab dalam peperangan. Terutama setelah Quraisy mengikat
perjanjian dengan Muhammad saw. Sementara itu, kelompok Yahudi lainnya
berpendapat untuk masuk dalam persekutuan bersama Rasul saw, supaya bisa
menghapus kebencian yang melekat dalam jiwa kaum Muslim terhadap mereka. Kaum
Yahudi saling mengingatkan tentang masalah itu, karena mereka merasakan adanya
bahaya yang semakin dekat dengan mereka. Mereka juga tahu bahwa Rasul saw telah
membongkar rahasia konspirasi mereka dengan Quraisy. Sehingga mereka sadar
bahwa Muhammad pasti akan memerangi mereka.
Walaupun demikian, mereka belum siap menerima
kenyataan bahwa serangan beliau kepada mereka begitu cepat. Karena itu, mereka
kebingungan dengan kedatangan Rasul saw dan pasukannya yang begitu tiba-tiba.
Lalu mereka segera meminta bantuan Ghathfan, sambil berusaha tetap bertahan di
hadapan
94
Daulah
Islam
Rasul saw dan melidungi diri dalam benteng
mereka. Namun, pukulan pasukan kaum Muslim sangat cepat. Pertahanan dan
perlawanan mereka tidak ada artinya. Semua pertahanan mereka goncang dan
akhirnya runtuh, sehingga keputus-asaan menguasai mereka. Mereka memohon
perdamaian dari Rasul saw agar beliau tidak akan membunuh mereka. Rasul saw
menerima permintaan mereka dan membolehkan mereka tetap tinggal di negerinya.
Ketika tanah dan kekayaan alam mereka dikuasai sesuai dengan hukum penaklukkan,
maka beliau membiarkan mereka tetap tinggal di Khaibar, dengan syarat mereka
bekerja mengelola kekayaan tersebut dengan pembagian: separuh untuk mereka dan
separuh sisanya untuk beliau. Mereka pun menyetujuinya. Kemudian Rasul saw
kembali ke kota Madinah dan tinggal di sana hingga tiba saatnya bagi beliau
pergi untuk Umrah Qadha’.
Dengan rampungnya penyelesaian politis
terhadap kekuasaan Khaibar dan menundukkan mereka kepada kekuasaan kaum Muslim,
maka Rasul saw berhasil mengamankan bagian Utara Jazirah hingga ke wilayah
Syam. Sebelumnya beliau juga telah berhasil mengamankan wilayah Selatan Jazirah
setelah perjanjian Hudaibiyah. Dengan demikian jalan dakwah di kawasan jazirah
Arab telah terbuka, begitu juga jalan dakwah di luar Jazirah. []
Umrah Qadla 141
Umrah Qadla
Perjanjian
Hudaibiyah antara Rasul saw dan kafir Quraisy nyaris batal, hingga
Bani Khuza’ah masuk dalam perjanjian dengan Muhammad saw dan Bani Bakr dengan
Quraisy. Hubungan antara Quraisy dan Muhammad saw menjadi tenang dan
masing-masing juga mempertahankan kondisi itu. Sementara itu, kafir Quraisy
bersiap-siap memperluas jaringan perdagangannya untuk mengembalikan pamornya
yang hilang saat terjadinya kontak peperangan antara mereka dengan kaum Muslim.
Rasul bersiap-siap mengarahkan kelangsungan penyampaian risalahnya ke seluruh
umat manusia, memantapkan kekuatan negara di kawasan jazirah Arab, dan
menginventarisir sebab-sebab yang dapat mewujudkan ketenangan dalam Negara
Islam. Setelah itu, beliau menyelesaikan masalah Khaibar, mengirimkan
utusan-utusan kepada raja-raja di berbagai negara, menjalin hubungan luar negeri,
dan memperluas wilayah kekuasaan negara hingga mencakup seluruh penjuru
Jazirah.
Belum genap satu tahun, setelah perjanjian
Hudaibiyah, Rasul saw sudah memanggil para sahabatnya untuk bersiap-siap
melakukan Umrah Qadha’ yang sebelumnya tidak sempat dilakukan karena
dihalang-halangi kafir Quraisy. Rombongan ini berangkat dalam jumlah 2.000
orang kaum Muslim. Sebagai bentuk
96
Daulah
Islam
pelaksanaan
perjanjian Hudaibiyah, maka tidak seorang pun dari rombongan itu yang membawa
senjata kecuali pedang di dalam sarungnya. Akan tetapi Rasul saw khawatir
terjadinya tipudaya, maka beliau menyiapkan 100 orang pasukan berkuda di bawah
pimpinan Muhammad bin Maslamah. Beliau mengutus mereka sebagai pasukan perintis
tanpa melanggar kesucian kota Makkah. Kemudian kaum Muslim berangkat dan
menunaikan qadha umrah, selanjutnya kembali ke Madinah. Dengan kembalinya
mereka, penduduk Makkah mulai masuk Islam. Khalid bin Walid, ‘Amru bin ‘Ash,
dan penjaga Ka’bah ‘Utsman bin Thalhah semuanya masuk Islam. Seiring dengan
masuk Islamnya orang-orang tersebut, maka banyak sekali penduduk Makkah yang
masuk Islam juga. Dengan demikian, bangunan Islam di Makkah semakin kuat dan
kelemahan merayap ke dalam barisan Quraisy.[]
Perang Mu’tah 143
Perang Mu’tah
Adanya reaksi
penolakan para raja di luar jazirah Arab telah mendorong Rasul saw segera menyiapkan pasukan
untuk berjihad di luar jazirah Arab, setelah para duta besar kembali dari tugas
mereka menyampaikan dakwah. Beliau memantau informasi seputar kerajaan Romawi
dan Persia. Perbatasan Romawi berseberangan dengan batas teritorial wilayah
beliau. Karena itu, beliau selalu memantau informasi tentang mereka dan
berpandangan bahwa dakwah Islam akan semakin tersebar luas ketika sudah keluar
dari Jazirah Arab, sehingga seluruh umat manusia dapat mengetahuinya. Beliau
melihat bahwa negeri Syam
merupakan
sasaran pertama bagi dakwah di luar jazirah.
Setelah wilayah Yaman cukup aman dengan
bergabungnya amil Kisra dengan dakwah Islam, maka beliau mulai berpikir untuk
mengirimkan pasukan ke negeri Syam guna memerangi mereka. Pada bulan Jumadil
Ula tahun kedelapan setelah Hijrah, yakni beberapa bulan setelah pelaksanaa
qadha umrah, beliau menyiapkan 3.000 orang prajurit dari pahlawan-pahlawan
Islam terbaik. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai komandan pasukan dan
berpesan: “Jika Zaid gugur, maka Ja’far bin Abi Thalib menggantikannya memimpin
pasukan. Jika Ja’far pun gugur, maka ‘Abdullah bin Rawaahah mengambil posisinya
memimpin pasukan.”
98
Daulah
Islam
Pasukan berangkat dan di dalamnya turut
serta Khalid bin Walid yang telah masuk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah.
Rasul saw turut mengantarkan mereka hingga tiba di luar Madinah dan berpesan
kepada mereka supaya tidak membunuh kaum wanita, anak-anak, orang buta, bayi.
Juga tidak boleh menghancurkan rumah-rumah dan tidak menebang pepohonan.
Kemudian beliau bersama kaum Muslim mendoakan pasukan dengan ucapan: “Semoga
Allah selalu menyertai kalian, mempertahankan kalian dan mengembalikan
kalian kepada kami dalam keadaan selamat”.
Pasukan pun berangkat. Para komandannya
menyusun strategi dengan menerapkan perang kilat, yaitu dengan membentuk
sekelompok pasukan dari penduduk Syam di bawah seorang komandan dari kesatuan
mereka. Cara ini mencontoh kebiasaan Nabi saw dalam beberapa peperangannya.
Pasukan dadakan ini diberi tugas untuk memberi bantuan dalam serangan dengan
cepat dan kembali menghilang. Mereka harus tetap menjalankan strategi ini,
tetapi ketika mereka tiba di Mu’an barulah menyadari bahwa Malik bin Zafilah
telah mengumpulkan 100.000 orang prajurit dari kabilah-kabilah Arab, sementara
Hiraklius sendiri datang dengan memimpin 100.000 orang pasukan. Berita ini
tentu mengejutkan pasukan Islam dan mereka tinggal di Mu’an selama dua malam
untuk memikirkan persoalan ini dan langkah apa yang akan mereka lakukan untuk
menghadapi pasukan yang sangat menakutkan dengan kekuatannya yang amat besar.
Pendapat yang terkuat di antara mereka adalah agar menulis surat kepada Rasul
saw untuk mengabarkan kepadanya tentang jumlah pasukan musuh yang begitu besar.
Apakah beliau akan menambah jumlah pasukan atau memerintahkan mereka sesuai
dengan apa yang terlihat. Namun, Abdullah bin Rawahah justru berpendapat lain
dan berkata lantang kepada mereka: “Hai orang-orang, demi Allah,
sesungguhnya yang kalian benci justru yang kalian cari, yaitu mati
syahadah!. . . Kita tidak memerangi manusia karena jumlahnya, kekuatannya dan
banyaknya pasukan. Kita tidak memerangi mereka, kecuali karena agama ini yang
mana Allah telah memuliakan kita dengannya. Berangkatlah kalian! Sesungguhnya
di sana itu
Perang Mu’tah 145
adalah salah
satu di antara dua kebaikan: menang atau mati syahdah”. Seketika itu
juga bergeloralah semangat iman dalam tubuh
pasukan
dan mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di desa Masyarif. Di tempat
tersebut, pasukan gabungan Romawi menemukan mereka, sehingga mereka
meninggalkan Masyarif menuju Mu’tah dan membuat pertahanan di sana. Di tempat
itulah mulai berlangsungnya peperangan yang paling dahsyat dan menakutkan
antara pasukan mereka dengan pasukan Romawi. Dalam pertempuran itu ada kematian
yang membuat bangsa kulit merah itu mengangakan mulutnya. Perang itu terjadi
antara tiga ribu pasukan mukminin yang mencari mati dan syahadah dengan 100.000
atau 200.000 pasukan kafir yang bergabung untuk membinasakan pasukan kaum
Muslim. Semangat peperangan mulai bangkit di antara dua kelompok pasukan itu
bagaikan nyala tungku api. Zaid bin Haritsah memanggul Rayah (panji)
Nabi saw dan membawanya maju ke jantung pertahanan musuh. Dia melihat maut
membayang di hadapannya, namun dia tidak takut karena memang sedang mencari
syahid di jalan Allah. Oleh karena itu Zaid terus merangsek ke tengah
pertahanan musuh dengan keberanian yang melampaui batas khayalan. Dia
benar-benar ada dalam perang yang mematikan hingga akhirnya sebatang tombak
musuh berhasil merobek tubuhnya. Rayah segera diambil alih Ja’far bin
Abi Thalib seorang pemuda tampan dan pemberani yang umurnya masih 33 tahun.
Lalu dia menceburkan dirinya dalam perang yang mematikan. Ketika dia melihat
musuh telah mengepung kudanya dan melukai tubuhnya, dia justru semakin maju ke
tengah musuh sambil mengayunkan pedangnya. Tiba-tiba seorang tentara Romawi
menyerangnya dan menebas tubuhnya hinga terpotong jadi dua bagian, dia pun
gugur. Lalu Rayah disambar ‘Abdullah bin Ruwahah lalu membawanya maju
dengan menunggang kudanya dan sempat sedikit ragu-ragu, namun akhirnya dia
melesat ke depan dan berperang hingga akhirnya terbunuh. Bendera diambil Tsabit
bin Aqram seraya berteriak lantang, “Hai kaum Muslim, pilihlah seorang
100
Daulah
Islam
komandan yang pantas di antara kalian!” Lalu mereka
memilih Khalid bin Walid.
Khalid memegang Rayah dan
bergerak memutar bersama kaum Muslim, sehingga berhasil merapatkan barisan
pasukannya dan mencoba bertahan dari musuh pada batas akhir pertempuran yang
dahsyat tersebut sampai tiba malam hari. Kedua pasukan saling menahan diri
untuk tidak bertempur hingga waktu subuh. Di tengah malam, setelah melihat
pasukan musuh yang sangat besar dan pasukannya yang semakin menyusut dan lemah,
Khalid mengambil keputusan untuk menarik mundur pasukannya tanpa berperang.
Dengan pertimbangan ini, Khalid membagi-bagi pasukannya dalam beberapa kesatuan
kecil dan memerintahkan mereka membuat asap (kepulan debu) dan keributan di
waktu subuh, seolah-olah menimbulkan gambaran kepada musuh bahwa telah datang
pasukan bantuan dari Nabi saw. Tatkala taktik ini dilakukan, musuh benar-benar
cemas dan mereka segera mengurungkan niatnya untuk menyerang kaum Muslim.
Mereka bergembira dengan keputusan Khalid untuk tidak melanjutkan serangan
kepada musuh mereka. Pasukan kaum Muslim kembali ke kota Madinah meninggalkan
medan perang dengan selamat, berkat strategi yang diputuskan Khalid. Dengan
demikian, mereka kembali dari kancah perang tidak menang dan tidak pula kalah.
Akan tetapi, dalam perang tersebut mereka memperoleh cobaan yang baik.
Para komandan dan pasukan pahlawan
perang tersebut mengetahui benar bahwa mereka akan maju perang menyongsong
maut. Bahkan, maut yang dilihat di depannya malah diterjang. Mereka terjun ke
medan perang dan siap terbunuh dan memang terbunuh. Mereka berani melakukannya
karena Islam memerintahkan setiap Muslim berperang di jalan-Nya, sehingga mereka
berhasil membunuh atau dibunuh. Sesungguhnya perang adalah jual-beli yang
menguntungkan karena perang adalah jihad di jalan Allah.
EU
¯
1ÈNPšXSÙ%U
XT 2ÔÀIÁÝ5U
|ÚÜ=° %°
ØUÀ-Ù |¦%°
sXnW,Õ‰ ‹ D‰¯ @
|
|
|
|
Pembebasan Makkah
|
147
|
|
•iÕÃTX
|ESÉ
|
|
)W ÙÄcTX
DSWÉ
È*ÙX jÙV
©#k¯y\
r¯Û
|ESÉ
°*›V Äc
RV ‰<H\ Ù ¿2ÀIV
|
||
|
®P°iÕIÈ\ ¯ cÛQ
|
ØTUÕC%WTX
ªDÄX×
|
mÁÙTX
©#k¦I80_TX
°RqX×S* c¯Û [O\
°OÙkQ ÃW
|
||
|
X SÉF|^°šlV TX
|
|
°O¯/ÅÊØÈcW W
|
s°Š Ä1Å °ÈÙkX ¯ TÈn¦“×W)ÔyÙV
|¦%°
|
|
|
|
|
|
> §ªªª¨ ¿2j°ÀÈ\Ù wÄ×
|
SÝ[ Ù
|
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar” (TQS at-Taubah[9]: 111).
Mereka berperang meskipun maut menjemput mereka.
Semua Muslim berperang tanpa melihat lagi apakah maut akan mengakhirinya
ataukah tidak? Dalam peperangan dan jihad semua perkara tidak bisa diukur
dengan jumlah musuh, banyak atau sedikitnya. Akan tetapi, diukur dengan hasil
-hasil yang dikeluarkannya, tanpa melihat lagi berbagai tuntutan yang
berhubungan dengan pengorbanan atau keberhasilan yang menjadi target dari
peperangan. Kaum Muslim berperang menghadapi pasukan Romawi di Mu’tah yang
memang wajib bagi kaum Muslim untuk berperang, begitu pula wajib bagi
komandan-komandan pasukan untuk terjun ke medan perang seseuai dengan tujuan
kedatangan mereka, walaupun kematian yang disodorkan oleh orang-orang berkulit
merah itu tengah menyongsong di hadapan mereka.
Karena itu, wajib bagi setiap Muslim untuk tidak
takut mati dan mereka tidak perlu memperhitungkan faktor lainnya di jalan
Allah. Rasul saw mengetahui bahwa pengiriman pasukannya
148
Daulah
Islam
ke negara Romawi berada dalam batasan-batasan
yang sangat mengkhawatirkan dan penuh bahaya. Akan tetapi, kekhawatiran dan
bahaya ini harus menimbulkan rasa takut pada pasukan Romawi, tatkala mereka
melihat semangat tempur pasukan kaum Muslim dan semangatnya mencari mati, meski
jumlah mereka sedikit. Kekhawatiran ini harus mampu merumuskan (menciptakan)
jalan bagi kaum Muslim untuk jihad dalam rangka menyebarkan Islam dan
menerapkannya di negara-negara yang hendak dimasukinya. Kekhawatiran atau
bahaya ini justru menguntungkan kaum Muslim, karena menjadi jalan pembuka
perang Tabuk. Untuk selanjutnya berhasil memukul Romawi. Hal ini berdampak
dengan kekhawatiran mereka menghadapi kaum Muslim, sehingga wilayah Syam dapat
dibebaskan.[]
Pembebasan Makkah 149
Pembebasan
Makkah
Ketika kaum
Muslim kembali dari perang Mu’tah, di antara mereka banyak yang gugur. Keadaan ini
memunculkan dugaan bagi Quraisy bahwa kaum Muslim sudah hancur. Maka, mereka
menghasut Bani Bakar agar menyerang Bani Khuza’ah dan memperkuat mereka dengan
persenjataan. Bani Bakar menyerang Bani Khuza’ah dan berhasil membunuh sebagian
mereka. Bani Khuza’ah lari ke Makkah, sementara ‘Amru bin Salim al-Khuza’iy
melarikan diri ke Madinah dan bercerita kepada Rasul saw tentang peristiwa yang
menimpa mereka dan meminta bantuan kepada beliau. Rasulullah saw berkata
kepadanya: “Aku pasti menolongmu,
hai ‘Amru bin Salim!”.
Rasul saw melihat bahwa pelanggaran perjanjian
yang dilakukan Quraisy tidak bisa diimbangi kecuali dengan pembebasan Makkah.
Quraisy sebenarnya sangat takut melanggar perjanjian. Mereka segera mengirim
Abu Sufyan ke Madinah untuk mengokohkan lagi perjanjian yang telah dilanggarnya
sendiri dan meminta periodenya diperpanjang.
Abu Sufyan berangkat dan sebenarnya tidak ingin
bertemu Rasul saw. Karena itu, dia menjadikan arah perjalanannya menuju rumah
putrinya yaitu Ummu Habibah yang telah menjadi istri Nabi saw. Dia masuk ke
rumah putrinya dan ketika hendak duduk di alas
150
Daulah
Islam
yang biasa ditempati Nabi saw, putrinya segera
melipatnya. Ketika bapaknya bertanya kepadanya apakah dilipatnya alas itu
karena ingin menjauhkan bapaknya dari alas itu atau karena ingin menjauhkan
alas itu dari bapaknya? Jawaban putrinya adalah: “Justru (karena) itu
adalah alas Rasulullah saw, sementara engkau laki-laki musyrik yang najis! Aku
tidak suka engkau duduk di atasnya!”. Abu Sufyan berkatal lagi: “Demi
Allah! Wahai Putriku, setelahku ini, sungguh keburukan pasti menimpamu.”
Abu Sufyan bergegas keluar dengan marah
besar, kemudian dia menemui Muhammad saw dan berbicara kepadanya tentang
perjanjian dan permintaannya untuk memperpanjang waktunya. Muhammad tidak
bereaksi. Beliau tidak memberi jawaban apapun. Abu Sufyan lalu berbicara kepada
Abu Bakar agar dia berbicara kepada Nabi saw, tetapi dia menolak. Abu Sufyan
mencoba lagi berbicara kepada ‘Umar bin Khaththab, namun dia menjawabnya dengan
kasar dan keras: “Apakah aku lebih condong menolong kalian daripada
Rasulullah saw? Demi Allah, seandainya aku tidak menemukan apa-apa selain
sebutir debu, pasti aku memerangi kalian!”
Abu Sufyan kemudian masuk ke rumah ‘Ali
bin Abi Thalib saat itu Fathimah pun berada di samping suaminya. Dia kemudian
mengutarakan alasannya mengapa datang ke Madinah dan akhirnya singgah di rumah
ini. Abu Sufyan meminta ‘Ali supaya memohonkan ampun kepada Rasul saw. ‘Ali pun
mengabarkan kepadanya bahwa tidak seorang pun yang mampu membujuk Muhammad saw
dari suatu perkara jika dia sudah memegangnya dengan teguh. Lalu Abu Sufyan
meminta tolong Fathimah supaya merayu anaknya, Hasan, agar bisa menyelamatkan
dirinya karena dia terhitung masih kecil. Dia menjawab: “Demi Allah,
Tidaklah putraku itu menjadi penyelamat di antara manusia. Tidak seorang
pun yang bisa selamat dari Rasulullah saw.”
Urusannya semakin sulit bagi Abu Sufyan
dan akhirnya dia kembali ke Makkah dan menceritakan kepada kaumnya tentang apa
yang ditemuinya di Madinah. Sementara Rasul saw segera memerintahkan para
sahabatnya untuk bersiap-siap berangkat ke
Pembebasan Makkah 151
Makkah.
Beliau berharap bisa mendatangi penduduk Makkah secara tiba-tiba, sehingga
mereka tidak sempat memberikan perlawanan dan akhirnya mereka semua selamat
tanpa pertumpahan darah.
Pasukan kaum Muslim berangkat dari Madinah
menuju Makkah. Mereka tiba di Marra Zhahran, empat farsakh dari
kota Makkah. Jumlah pasukan yang dibawanya genap 10.000 orang dan tidak satu
pun informasi yang sempat terdengar oleh pihak Quraisy. Quraisy masih sibuk
memperhitungkan akan adanya serangan Muhammad saw kepada mereka. Mereka pun
berdebat tentang apa yang akan dilakukan menghadapi Muhammad. Abu Sufyan keluar
untuk mengkaji mara bahaya yang mengancamnya. Lalu ‘Abbas —telah masuk Islam—
menemuinya, dengan menunggang bagal Nabi saw dan pergi ke Makkah untuk
mengabarkan kepada Quraisy agar mereka meminta keamanan kepada Rasul saw. Hal itu
karena beliau tidak menerima usulan mereka. Ketika ‘Abbas bertemu Abu Sufyan,
dia berkata kepadanya: “Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah kerumunan
manusia. Demi waktu paginya kaum Quraisy, demi Allah, jika Rasulullah saw masuk
kota Makkah dengan kekerasan, sebelum mereka mendatanginya dan memohon keamanan
kepadanya, sungguh beliau pasti menghancurkan Quraisy hingga tak tersisa!” Maka
Abu Sufyan bertanya: “Demi bapa dan ibuku sebagai tebusanmu, maka upaya apa
yang harus kami lakukan?”.
‘Abbas segera mengajak Abu Sufyan menaiki di
belakang punggung bagal yang ditungganginya, lalu membawanya pergi. Ketika
bagal itu lewat di depan pandangan membara ‘Umar bin Khaththab, maka ‘Umar
memperhatikan bagal Nabi saw tersebut dan mengetahui ada Abu Sufyan di sana sekaligus
memahami bahwa ‘Abbas hendak menyelamatkannya. Karena itu, ‘Umar bergegas pergi
menuju kemah Nabi saw dan minta izin kepadanya untuk memenggal leher Abu
Sufyan. Namun, ‘Abbas yang lebih dulu datang menemui Rasul, cepat berkata: “Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku telah menyelamatkannya.” Akibatnya
perdebatan sengit terjadi antara ‘Abbas dan ‘Umar. Nabi saw berkata: “Pergilah
dengannya ke kendaraanmu, hai ‘Abbas! Bila subuh telah tiba, maka
datanglah kepadaku”.
152
Daulah
Islam
Ketika pagi hari tiba, dia datang dengan membawa
Abu Sufyan, lalu Abu Sufyan masuk Islam. ‘Abbas kemudian menghadap Nabi saw dan
menyampaikan usul kepadanya:”Ya Rasulullah, Abu Sufyan adalah
laki-laki yang suka kebanggaan. Buatkanlah sesuatu untuknya.” Rasulullah saw
berkata: “Tentu saja. Siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka
dia aman. Siapa saja menutup pintu rumahnya, maka dia aman. Siapa saja masuk
Masjid (al-Haram), maka dia aman.”
Rasul saw akhirnya memerintahkan para
sahabatnya untuk menahan Abu Sufyan di lembah sempit di mulut gunung yang
menjadi tempat masuk ke arah Makkah, agar pasukan kaum Muslim yang lewat di
depannya dilihat oleh Abu Sufyan. Lalu dia menceritakan kenyataan itu kepada
kaumnya. Di samping itu, langkah tersebut ditempuh agar kedatangan pasukan yang
begitu cepat tidak menimbulkan ketakutan yang membawa akibat kenekatan kafir
Quraisy untuk mengadakan perlawanan. Rasul saw memasuki Makkah dengan segala
dengan kewibawaan dan kekuatan yang beliau miliki. Setelah kabilah-kabilah dari
pasukan Islam lewat di hadapan Abu Sufyan, segera dia menemui kaumnya dan
berteriak di tengah-tengah mereka dengan suara lantang: “Hai orang-orang
Quraisy, ini Muhammad datang kepada kalian dengan membawa kekuatan, yang kalian
tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya. Maka siapa saja yang masuk ke
dalam rumah Abu Sufyan, dia pasti aman. Siapa saja menutup pintunya, maka dia
pun aman. Siapa saja masuk masjid (Al-Haram), dia pasti aman.”
Kaum Quraisy mengurungkan perlawanan
mereka, sementara Rasul saw melanjutkan perjalanannya dan memasuki Makkah
dengan tetap waspada. Beliau memerintahkan pasukannya dipecah menjadi empat
kelompok dan semua diintruksikan tidak boleh berperang dan tidak boleh
menumpahkan darah, kecuali jika benar-benar terpaksa dan terancam bahaya.
Pasukan memasuki Makkah dan tidak memperoleh perlawanan apa pun, kecuali
pasukan Khalid bin Walid. Kelompok ini menemui perlawanan dari pasukan Quraisy,
namun berhasil menundukkannya. Nabi saw turun dari tunggangannya dan berdiri
sebentar dengan mengambil
Pembebasan Makkah 153
tempat
yang tertinggi di Makkah. Kemudian berjalan hingga tiba di Ka’bah. Lalu thawaf
di Baitullah sebanyak tujuh putaran. Beliau memanggil ‘Utsman bin Thalhah dan
memintanya membukakan pintu Ka’bah. Beliau berdiri sejenak di pintu tersebut,
sementara itu para sahabat berdiri mengelilinginya. Tidak lama kemudian, beliau
berpidato di hadapan mereka: “Tidak ada Tuhan kecuali Allah semata.
Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia menepati janji-Nya dan memenangkan hamba-Nya,
serta menghancurkan Ahzab dengan sendiri-Nya. Ingatlah, setiap kemulian, darah
atau harta seluruhnya berada di bawah dua telapak kakiku ini kecuali tabir
Baitullah dan memberikan minum orang haji. Ingatlah, korban pembunuhan karena
kekeliruan menyerupai pembunuhan yang disengaja dengan cemeti dan tongkat. Maka
di dalamnya ada diat (tebusan) yang berat, yaitu seratus ekor unta, yang empat
puluh di antaranya tengah bunting tua. Hai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah
telah menghilangkan dari kalian persaudaraan jahiliah, dan pengagungan karena
nenek moyang. Manusia berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah.” Kemudian
beliau melanjutkannya dengan membaca ayat:
#®ŒWVXT >SÄÈʼn
×1Å›R<Ú
\È\BX
T
³V?5Ê
XT
m[Vl C°K%
Å›R<Ù
\ 5¯ˆÃ‰=MS{iU ‘›cW @
>§ª¬¨
¸nm¯ \
Ï/̯ WÃ
‹
‰D¯
×1ÅV
Ù"U
\i <°Ã ×
Å%W WmÓ
‰D¯
ßSÉÙqX
\È W*°
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang
yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal” (TQS. Al-Hujuraat [49]: 13).
Selanjutnya beliau bertanya kepada mereka: “Hai
kaum Quraisy, apa pendapat kalian tentang perlakuanku terhadap kalian?” Mereka
menjawab: “Sungguh baik, wahai saudara kami yang mulia dan putra
seorang saudara kami yang mulia”. Beliau berkata lagi: “Pergilah! Kalian
semua bebas”.
1.
Daulah
Islam
Ucapan tersebut merupakan pengampunan
umum bagi kafir Quraisy dan penduduk Makkah. Rasul saw memasuki Ka’bah dan
beliau menemukan dinding-dinding Ka’bah digambari malaikat-malaikat dan
nabi-nabi, lalu beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menghapus
gambar-gambar itu. Beliau juga melihat patung-patung wanita cantik dari kayu,
lalu beliau memecahkannya dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke tanah.
Kemudian beliau menunjuk semua patung dengan tongkat yang berada di tangannya
seraya membaca firman Allah:
>§±ª¨ ?SFÉ \w DW[ #°¼›WÙ ‰D¯
Ä#° ¼›WÙ WF\
\wXT r\UÙ ÄX\C ×#É XT@
“Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan
yang batil telah lenyap.’
Sesungguhnya yang batil pasti lenyap” (TQS. al-Israa’
[17]: 81).
Patung-patung itupun akhirnya
dijungkalkan. Bait al-Haram disucikan dari seluruh patung dan gambar.
Sedangkan beliau tinggal di Makkah selama lima belas hari. Selama itu, beliau
meletakkan landasan sistem pengaturan berbagai persoalan di Makkah dan
memahamkan penduduknya tentang agama Islam.
Pembebasan kota Makkah telah sempurna
dan dengan dasar pembebasan tersebut, beliau berhasil menghilangkan perlawanan
terhadap Daulah Islam. Karena itu, kemenangan Islam yang nyata benar-benar
telah sempurna. Setelah itu, tidak satupun perlawanan yang muncul dari dalam
Daulah Islam, kecuali di daerah Hunain dan Thaif yang penyelesaiannya amat
mudah.[]
Perang Hunain 155
Perang Hunain
Ketika Hawazin
mengetahui keberhasilan kaum Muslim dalam menaklukan Makkah, mereka khawatir pasukan kaum Muslim
akan menyerang mereka dan menghancurkan negerinya. Maka sebelum itu terjadi,
mereka berpikir untuk menyerang kaum Muslim
lebih
dulu dan menyiapkan segala yang dibutuhkannya.
Malik bin ‘Auf al-Nashriy mengumpulkan
orang-orang Hawazin dan Tsaqif. Dia berjalan membawa pasukannya hingga tiba di
lembah Authas. Berita ini telah sampai ke telinga kaum Muslim 15 hari setelah
pembebasan Makkah. Mereka segera bersiap-siap menghadapi kabilah Hawazin dan
Tsaqif. Ternyata Malik tidak tinggal di lembah Authas, tapi memerintahkan
pasukannya untuk bergerak ke puncak Hunain di lorong sempit sebuah lembah. Di
tempat itu, Malik mengatur dan memberikan perintah-perintahnya. Di antara
perintahnya adalah jika kaum Muslim tiba di lembah, maka pasukannya harus
segera menyerang mereka secara serentak dan memberi pukulan yang mematikan
sehingga barisan mereka porak poranda. Serangan ini diharapkan akan mengacaukan
barisan pasukan pemburu dan pemanah Muhammad, sehingga sebagian mereka dengan
sebagian yang lain kacau balau dan saling memukul. Di tengah suasana itu,
pasukan Malik melancarkan serangan gencar
10
Daulah
Islam
dan keras. Malik akhirnya menetapkan strategi
ini dan menunggu kedatangan pasukan kaum Muslim.
Tidak berapa lama pasukan kaum Muslim
pun tiba. Rasululah saw bergerak dengan membawa 10.000 pasukan yang baru
menaklukkan kota Makkah, ditambah 2.000 pasukan dari orang Quraisy yang baru
masuk Islam di Makkah. Pasukan besar ini dan sejumlah pengikutnya bergerak
untuk berperang. Mereka tiba di lembah Hunain pada sore hari dan terus di sana
hingga menjelang fajar. Di penghujung malam, mereka bergerak dan Rasul saw
menunggang bagal putihnya berada di barisan akhir pasukan. Pasukan bergerak
menuruni lembah dan tidak merasakan adanya ancaman. Namun tiba-tiba
kabilah-kabilah musuh menyerang mereka. Malik bin ‘Auf telah memberi komando
kepada pasukannya untuk menyerang kaum Muslim. Maka, mereka pun lancarkan
serangan secara mendadak dan menghujani pasukan kaum Muslim dengan anak panah.
Kaum Muslim tidak merasakan apa pun dalam kegelapan pagi hari tersebut, kecuali
hujan anak panah yang menimpa mereka dari semua arah. Mereka panik dan bingung
karena serangan yang muncul secara tiba-tiba. Keadaan mereka kacau dan
terguncang. Mereka mundur dalam posisi terus terserang dan meninggalkan medan
perang tanpa menunggu komando dari siapapun. Ketakutan telah menguasai mereka
dan kecemasan menerkam hati mereka. Setiap orang dari mereka takut terhadap
musuh. Mereka lari meninggalkan Rasul saw. Padahal beliau berada di ujung
belakan pasukan tanpa ada perlindungan atau pengawalan dari mereka. Mereka
benar-benar dalam keadaan terdesak, yang memaksa mereka berlomba-lomba
melarikan diri. Tidak ada yang tersisa dan tetap bertahan di medan perang
kecuali Rasul saw dan ‘Abbas. Adapun sisa-sisa pasukan yang ada melarikan diri.
Rasulullah saw berdiri dan sekelompok kecil dari kalangan Muhajirin dan Anshar
serta Ahlul Bait beliau mengelilinginya. Beliau menyeru manusia yang telah lari
tungang langgang dari medan perang dengan ucapan, “Di mana kalian berada
hai manusia!?”.
Perang Hunain 157
Akan tetapi, kaum Muslim tidak mendengar
panggilan ini. Mereka juga tidak menoleh kepada beliau karena takut tertimpa
goncangan dan kematian. Lebih-lebih setelah melihat gabungan pasukan Hawazim
dan Tsaqif yang masih terus menyerang mereka dengan serangan yang amat dahsyat,
menikam setiap pasukan yang ditemukan dan menghujani mereka dengan anak panah.
Pasukan kaum Muslim terus lari dan mundur. Sehingga mereka tidak mendengar
panggilan Rasul saw dan tidak bisa pula menjawabnya. Rasul saw berdiri
sendirian di tengah-tengah kondisi yang sangat gawat tersebut dengan gagah
berani. Waktu yang dijalaninya adalah masa yang paling menakutkan dan amat
kritis. Hampir semua pasukannya meninggalkan beliau, baik dari kalangan para
sahabat maupun orang-orang yang baru masuk Islam. Tidak ada bedanya di antara
mereka. Seluruhnya lari tungang langgang. Walau demikian, beliau terus-menerus
memanggil mereka agar segera kembali. Namun, mereka tidak mendengarnya. Di sisi
lain, orang-orang yang baru masuk Islam yang mendengar Muhammad dikepung
bahaya, justru membicarakannya dengan komentar-komentar sinis dan bergembira
atas bencana yang menimpa beliau. Sampai-sampai Kildah bin Hambal berkata: “Lihatlah,
hari ini sihir Muhammad telah lenyap!” Syaibah bin ‘Utsman bin Abi
Thalhah berseru: “Hari ini aku menyaksikan pembalasan dendamku pada
Muhammad. Hari ini aku pasti akan membunuh Muhammad!” Abu Sufyan berkata:
“Kekalahan mereka tidak akan berakhir hingga ke batas lautan” .
Mereka itu adalah orang-orang yang berada dalam
pasukan kaum Muslim dari kalangan orang yang baru masuk Islam di Makkah dan
datang untuk ikut berperang bersama Rasulullah saw. Tetapi kekalahan yang
terjadi telah mengungkap apa yang tersembunyi di dalam jiwa mereka. Berbeda
dengan niat ikhlas para sahabat Rasul yang juga sama-sama ikut lari. Hal itu
karena tidak ada target apapun dalam jiwa mereka dalam mencari sesuatu di
tengah-tengah peperangan.
Karena itu, posisi Rasul saw benar-benar sulit.
Waktu itu adalah waktu yang amat sulit dan kritis. Dalam situasi yang begitu
12
Daulah
Islam
sulit dan berat, Rasul saw memutuskan untuk
tetap di medan peperangan, bahkan terus maju ke medan perang sambil bertahan
dari serangan musuh dengan bagal putihnya. Beliau hanya disertai oleh pamannya
‘Abbas bin Abdul Muthallib dan Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib. Abu
Sufyan bin Harits memegang tali kendali bagalnya dan berusaha bertahan.
Sedangkan pamannya, ‘Abbas, ikut pula memanggil-manggil dengan suaranya yang
lantang yang dapat didengar manusia dari segala penjuru lembah. ‘Abbas
meneriakkan suara lantangnya agar mereka segera kembali ke induk pasukan: “Hai
kaum Anshar, hai orang-orang yang telah berbai’at di bawah pohon!”
‘Abbas mengulang-ulang seruannya hingga
gema suaranya dari dinding ke dinding lembah memantul dan mengirimkan gelombang
suara yang sahut-menyahut. Sayup-sayup, gema suara itu akhirnya terdengar oleh
kaum Muslim yang sedang berlarian lalu mengingatkan mereka kepada Rasulullah
saw dan jihad mereka sendiri. Terlintas di benak mereka suatu gambaran tentang
akibat kekalahan karena serangan kaum Musyrik dan akibat kemenangan syirik atas
mereka. Akhirnya, mereka menyadari bahwa kekalahan perang ini akan membawa
akibat kehancuran agama dan kaum Muslim. Karena itu, mereka berteriak
sahut-menyahut dari semua arah menyambut panggilan ‘Abbas. Mereka segera
kembali ke induk pasukan dan terjun ke medan peperangan dan menghangatkan diri
dengan api jihad dalam keberanian yang sudah langka dan kegagahan yang hampir
sirna. Mereka berkumpul di seputar Rasulullah saw. Jumlah pasukan lambat laun
semakin bertambah. Mereka memasuki medan laga dan meladeni perang tanding
melawan musuh serta memanggang diri di tungku api peperangan. Melihat keadaan
demikian, Rasul saw bertambah tenang. Beliau mengambil segenggam pasir dan
melemparkannya ke wajah musuh seraya mengucapkan: “Amat buruklah wajah-wajah
itu!”
Kaum Muslim terus mendesak ke tengah
medan perang sambil menganggap kematian di jalan Allah adalah kenikmatan.
Peperangan semakin dahsyat sehingga Hawazin dan Tsaqif yakin
Perang Hunain 159
bahwa
mereka berada di tengah-tengah kebinasaan. Akhirnya mereka pun melarikan diri
dalam keadaan kalah saat itu juga. Harta benda dan wanita-wanita mereka
ditinggalkan di belakang, menjadi ghanimah bagi kaum Muslim. Pasukan kaum
Muslim berusaha memburu mereka dan berhasil menawan mereka dalam jumlah yang
sangat besar, seperti halnya yang terbunuh dari pihak musuh juga besar.
Pengejaran dihentikan ketika mereka sampai di lembah Authas. Di tempat itu,
kaum Muslim masih sempat menewaskan beberapa musuh dan menyerang sisa-sisanya
dengan keras. Akan tetapi komandan mereka yaitu Malik bin ‘Auf berhasil
melarikan diri ke Thaif dan berlindung di sana. Dengan demikian, Allah
memenangkan kaum Muslim dengan kemenangan yang semakin mengokohkan posisi
mereka. Dalam hal ini, Allah menurunkan firman-Nya:
Ùl¯ ‚ #ÛØÜ=X ÄO W3 ×ScW XT ‚ QnXm°: ]C °»XSW% r¯Û Œ Ä1ÁXn§W5 ÕiVV@
Ä1ÁÙkQ
WÆ Õ0VªXT >‹Ùk[‰ ×1Á=ÃW ¨CÙÓÉ"
×1Q VÙ ×1ÁÉ"nX Ù<[ ×1ÁØ*W\ HÕÃU Œ W$Ws5U
ˆ1É2 §«®¨ |ÚÏm¯Õiv%
1È*ÙjŠTX ˆ1É2 Õ0WÄOqX \-¯ º¿×q)
] \FØTWmV" Ô2Š ;jSÄ=ÄB W$Ws5U
XT |Úܰ=°%ØUÀ-Ù r"QW ÃXT ° ¯SÀyX q r"QWà œÈOW*WAk¦y\
>§«¯¨ WÛÏ®m°Ý›VÙ
ÃÄ Ws\B |^°šlV XT
TÄm[Ý[ |ÚϰŠ
] !…kÃW XT
“Sesungguhnya Alah telah menolong kamu (hai para
mukiminin) di medan peperangan yang banyak dan juga pada hari peperangan
Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka
jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun dan bumi yang
luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan
bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan
kepada orang-orang yang beriman. Dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu
tidak melihatnya dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir. Dan
demikianlah
14
Daulah
Islam
pembalasan
kepada orang-orang kafir” (TQS. At-Taubah [9]: 25-26).
Kaum Muslim memperolah ghanimah yang
banyak. Jika dihitung menurut ukuran saat ini, jumlahnya 22.000 ekor unta,
40.000 ekor kambing dan 4.000 auqiah perak. Orang-orang musyrik yang terbunuh
banyak. Gadis- gadis dan wanita-wanita Hawazin yang tertawan sebanyak 6.000
orang. Mereka diboyong ke lembah Ji’ranah sebagai tawanan. Sementara korban di
pihak kaum Muslim jumlahnya juga tak terhitung karena banyaknya. Yang pasti
jumlahnya sangat banyak. Kitab-kitab sirah menyebutkan ada dua kabilah kaum
Muslim yang musnah. Nabi saw kemudian melakukan shalat ghaib untuk mereka.
Rasul saw meninggalkan ghanimah dan para wanita tawanan tersebut di
Ji’ranah, kemudian dilanjutkan untuk mengepung Thaif, tempat
perlindungan Malik bin ‘Auf setelah kekalahannya di Hunain. Rasul memerintahkan
agar kepungan semakin diperketat. Namun, Thaif bagi Bani Tsaqif adalah kota
yang memiliki benteng yang kuat. Penduduknya mempunyai pengetahuan perang untuk
menghadapi kepungan. Mereka juga memiliki kekayaan alam yang melimpah. Di
samping itu, Tsaqif menguasai teknik melempar panah dan tombak dengan baik.
Dalam peperangan ini, mereka melempari kaum Muslim dengan lembing dan anak
panah. Di antara kaum Muslim banyak yang terbunuh. Tidak mudah bagi kaum Muslim
untuk menembus pertahanan musuh. Karena itu, mereka mendirikan kemah yang
jaraknya cukup jauh dari benteng musuh. Kaum Muslim tinggal di perkemahan itu
sambil menunggu apa yang akan diperbuat Allah terhadap mereka. Nabi saw meminta
bantuan kepada Bani Daus untuk melempari Thaif dengan manjanik (pelontar batu).
Mereka datang kepada Nabi saw, setelah empat hari dari pengepunangan, dengan
membawa peralatan senjata mereka. Kaum Muslim menyerang kota Thaif dan
melemparinya dengan manjanik. Mereka juga mengirimkan senjata dababah
(pendobrak pintu benteng) yang dibawa masuk dari bawah pertahanan musuh. Dengan
senjata
Perang Hunain 161
itu,
mereka merangkak, lalu merayapi tembok benteng Thaif untuk membakarnya. Sayang,
mereka tidak menyadari adanya potongan -potongan besi yang dipanaskan dengan
api dan siap menjebak mereka. Potongan-potongan besi itu benar-benar berhasil
menghalau kaum Muslim dan membakar dababah mereka, sehingga mereka melarikan
diri. Orang-orang Tha’if memanaskan potongan-potongan besi sampai meleleh,
kemudian melemparkannya ke dababah sehingga membakarnya. Potongan-potongan besi
itulah yang membahayakan kaum Muslim sehingga mereka lari dan Tsaqif masih
terus melempari mereka dengan panah dan membunuh sekelompok pasukan dari
mereka. Dengan demikian, kaum Muslim gagal memasuki Tha’if.
Kegagalan ini memaksa kaum Muslim menggunakan
taktik baru. Mereka menggunduli kebun-kebun Bani Tsaqif dan membakarnya dengan
harapan mereka akan menyerah. Namun, mereka tidak menyerah. Hanya saja, sebelum
serangan berikutnya dilancarkan, bulan haram telah tiba karena hilal bulan
Dzulqa’dah telah tampak. Rasul saw memutuskan kembali dari Tha’if menuju Makkah
dan singgah di Ji’ranah, tempat penyimpanan ghanimah dan tawanan mereka.
Kemudian Malik bin ‘Auf menemui beliau menagih janji Rasul saw kepadanya, bahwa
jika Malik datang kepada beliau dalam keadaan Muslim, maka beliau akan
mengembalikan harta dan keluarganya serta menambahnya dengan 100 ekor unta.
Malik datang dan menyatakan keislamannya dan mengambil apa yang telah Rasul saw
janjikan kepadanya. Hal itu menyebabkan para sahabat khawatir bagian ghanimah
mereka akan berkurang jika Rasul saw tetap memberikannya kepada orang Hawazin
itu. Karena itu, mereka menuntut ghanimah segera dibagikan di antara mereka dan
masing-masing memaksa untuk mengambil harta fai’-nya. Mereka saling
berbisik-bisik membicarakan persoalan ghanimah, sehingga bisikan mereka itu
sambpai kepada Rasulullah saw. Segera beliau berdiri di samping seekor unta,
lalu mengambil selembar bulunya dari bagian punuk dan meletakkannya di antara
kedua jarinya, kemudian menariknya seraya bersabda: “Hai manusia!
16
Daulah
Islam
Demi Allah, aku tidak akan merampas fai’iy
kalian dan tidak juga selembar bulu unta ini kecuali seperlimanya. Yang
seperlima dikembalikan kepada kalian. Maka, ambillah oleh kalian kain dan
pakaian itu. Sesungguhnya berbuat curang kepada keluarganya amat memalukan dan
dia pasti akan terkena api serta air neraka pada hari kiamat.”
Beliau memerintahkan setiap sahabat
untuk mengembalikan ghanimah yang telah diambilnya, sehingga harta tersebut
terbagi dengan adil. Kemudian beliau membaginya menjadi lima bagian.
Seperlimanya dipisahkan untuk dirinya sendiri dan sisanya dibagikan kepada para
sahabatnya. Beliau memberikan dari bagian yang seperlimanya kepada orang-orang
yang paling keras permusuhannya terhadap beliau di masa lalu yaitu Abu Sufyan
dan anaknya, Mu’awiyah, Harits bin Harits, Harits bin Hisyam, Suhail bin ‘Amru,
Huwaithib bin ‘Abdul ’Uzza, Hakim bin Hazam, al-’Alla bin Jariyah ats-Tsaqafi,
‘Uyainah bin Hashan, Aqra’ bin Habis, Malik bin ‘Auf an-Nashariy dan Shafwan
bin Umayyah, berupa 100 ekor sebagai tambahan terhadap bagian mereka sekaligus
untuk membujuk hati mereka. Setiap orang diberi 100 unta sebagai tambahan atas
bagian mereka sendiri, sekaligus sebagai upaya melunakkan hati mereka. Beliau
juga memberikan 50 ekor unta kepada orang-orang selain mereka (mu’allaf)
sebagai tambahan. Beliau telah memenuhi semua kebutuhan orang-orang mu’allaf.
Dalam pembagian ghanimah ini, beliau saw berada dalam puncak kedermawanan dan
kemuliaan serta kearifan dan kegeniusan sikap politisnya.
Hanya saja, sebagian kaum Muslim belum
menyadari hikmah beliau saw dengan cara pembagian dan pendistribusian ghanimah
tersebut. Hal itu sempat membuat kaum Anshar saling membicarakan di antara
sesama mereka tentang apa yang telah Rasulullah saw lakukan. Sebagian mereka
berkata kepada sebagian lainnya: “Demi Allah, Rasulullah telah berpihak
kepada kaumnya!” Perkataan itu berpengaruh pada jiwa mereka. Bahkan Sa’ad
bin Ubadah pun ikut terlibat di dalamnya. Hanya saja, ucapan Sa’ad sampai
kepada Nabi saw dan beliau saw bertanya kepadanya: “Dimanakah posisimu dalam
hal ini, hai Sa’ad?!” Dia menjawab: “Wahai
Perang Hunain 163
Rasulullah,
aku bukan siapa-siapa melainkan bagian dari kaumku”. Dia
bahkan mendukung perkataan kaumnya. Nabi saw berkata lagi kepadanya: “Kalau
begitu, kumpulkan kaummu untukku di tempat penginapan unta!”.
Sa’ad kemudian mengumpulkan mereka, lalu Rasul
saw berbicara kepada orang-orang yang tidak puas ini: “Wahai masyarakat Anshar,
ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang
baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian yang
saat itu dalam keadaan sesat, lalu Allah memberi kalian hidayah; dan dalam
keadaan kekurangan, lalu Allah menjadikan kalian kaya; serta dalam keadaan
saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan di antara hati kalian”. Mereka
menjawab: “Memang benar, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan
keutamaan.” Rasul saw berkata lagi: “Mengapa kalian tidak
memenuhiku, hai orang-orang Anshar?!” Mereka menjawab: “Dengan
apa kami harus memenuhimu, wahai Rasulullah? Padahal hanya milik Allah dan Rasul-
Nya segala keamanan dan keutamaan”. Rasul kemudian melanjutkan sabdanya:
“Ada pun demi Allah, seandainya kalian menghendaki, sungguh pasti kalian akan
mengatakan dan membenarkan dengan sungguh-sungguh: Engkau datang kepada kami
dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu; dalam keadaan terlunta-lunta
lalu kami menolongmu; dalam keadaan terusir lalu kami menolongmu; dan dalam
keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Anshar,
apakah kalian menemukan dalam diri kalian kecenderungan pada dunia, padahal aku
telah melunakkan suatu kaum agar mereka masuk Islam. Sedangkan kepada kalian
aku telah mewakilkan keIslaman kalian. Apakah kalian tidak ridha wahai
masyarakat Anshar terhadap orang-orang yang pergi dengan kambing-kambing dan
unta-unta lalu mereka kembali bersama Rasulullah ke tempat tinggal kalian? Demi
Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah,
pasti aku menjadi salah seorang di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang
berjalan ke suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku
berjalan di bukit kaum Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak
dan cucu-cucu mereka”. Belum selesai ucapan Rasul tersebut, kaum Anshar
menangis
(2)
Daulah
Islam
sejadi-jadinya hingga air mata mereka membasahi
janggut-janggut mereka dan berkata: “Kami ridha dengan Rasul sebagai bagian
(kami),”. Kemudian mereka kembali ke tempat tinggalnya.
Setelah itu, Rasul saw keluar dari
Ji’ranah menuju Makkah dalam keadaan ihram untuk umrah beserta pasukannya.
Setelah selesai melakukan umrah, beliau mengangkat ‘Atab bin Usaid menjadi Wali
di Makkah, sementara Mu’adz bin Jabal dijadikan sebagai pembina masyarakat di
Makkah dan memahamkan mereka tentang Islam. Sedangkan beliau bersama kaum
Anshar dan Muhajirin kembali ke Madinah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar