Minggu, 17 Maret 2019

Perjanjian Hudaibiyah


Perjanjian Hudaibiyah



Setelah enam tahun berlalu, sejak hijrah dari Makkah, Rasul saw berhasil mengokohkan pasukannya. Masyarakat Islam serta Daulah Islam menjadi ditakuti semua bangsa Arab. Setelah itu, beliau mulai memikirkan langkah lain. Langkah-langkah tersebut adalah cara untuk semakin menguatkan dakwah, Daulah Islam, dan

melemahkan musuh-musuhnya.

Telah sampai kepada beliau bahwa penduduk Khaibar dan Makkah telah membentuk kesepakatan untuk memerangi kaum Muslim. Untuk menghadapinya, beliau merumuskan strategi kebijakan yang bisa mengantarkan pada terbentuknya perjanjian damai dengan penduduk Makkah, sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu kondisi yang menjamin tidak adanya peperangan antara beliau dan bangsa Arab serta mempermudah penyebaran dakwah di jazirah Arab, sekaligus dapat mengisolir penduduk Khaibar dari kafir Quraisy. Beliau melihat bahwa strategi ini hanya bisa dilakukan dengan mengunjungi Baitullah di Majid al-Haram yang dilakukan dengan damai, sehingga akan mengantarkan pada maksud politis beliau. Beliau juga melihat bahwa dengan tidak adanya peperangan antar bangsa Arab di bulan-bulan Haram, akan memudahkan beliau untuk menerapkan strategi tersebut. Beliau mengetahui bahwa persatuan Quraisy telah terpecah dan ketakutan terhadap kaum Muslim menyergap jiwa mereka. Strategi ini telah

Perjanjian Hudaibiyah      121

dirancang beliau dengan beribu kali pertimbangan. Karena itu, beliau berencana pergi ke Bait al-Haram untuk menunaikan ibadah haji. Jika kaum Quraisy menghalang-halangi ibadah hajinya, maka larangan ini menjadi alasan bagi beliau untuk mendakwahkan Islam di seluruh bangsa Arab, sekaligus sebagai sarana untuk melancarkan propaganda menentang Quraisy. Karena itu, Rasul saw mengizinkan berhaji di bulan Dzul Qa’dah dan mengirimkan beberapa delegasi ke kabilah-kabilah Arab non Muslim, mengajak serta mereka ikut bersama beliau keluar menuju Baitullah dalam keadaan aman dan damai tanpa perang. Hal ini dimaksudkan untuk memberitahu kepada bangsa Arab, bahwa beliau keluar untuk berhaji, bukan untuk berperang. Bersama beliau turut pula orang-orang Arab non Muslim dan mereka tidak seagama dengannya, karena beliau tidak untuk berperang, melainkan untuk meraih opini umum yang akan berpihak kepada beliau, seandainya kafir Quraisy mencegah beliau berhaji. Beliau telah menetapkan langkah perdamaian, karena itu beliau tidak mengizinkan kaum Muslim membawa senjata, kecuali pedang-pedang yang tersimpan di dalam sarungnya. Beliau mengumumkan bahwa rombongannya keluar untuk berhaji bukan untuk berperang.

Rasul saw meninggalkan kota Madinah bersama dengan 1.400 orang laki-laki. Beliau berada di barisan terdepan menunggang untanya al-Qishwa’ yang beriringan dengan 70 ekor unta lainnya. Beliau memakai baju ihram untuk umrah agar dapat menunjukkan kepada umat manusia bahwa beliau tidak bermaksud perang. Beliau keluar hanya untuk mengunjungi Baitullah al-Haram. Setelah melampaui Madinah dan melintasi gurun sejauh enam atau tujuh mil, rombongan haji ini sampai di Dzul Halifah dan mereka mengucapkan talbiyah untuk umrah dari sana. Kaum Muslim terus bergerak ke arah Makkah. Berita mereka sampai juga kepada kaum Quraisy, yang memberitahukan bahwa kaum Muslim datang untuk haji, bukan untuk perang. Kafir Quraisy khawatir hal itu hanya siasat Muhammad saw untuk memasuki Makkah, kemudian menyerang penduduknya. Mereka memikirkan hal tersebut beribu kali dan akhirnya memutuskan untuk menghalang-halangi Muhammad

30            Daulah Islam

saw memasuki Makkah, seberat apa pun pengorbanan yang harus mereka lakukan. Kafir Quraisy pun menyiapkan pasukan untuk menghadapi kaum Muslim dan mencegah mereka memasuki Makkah. Mereka mengangkat Khalid bin Walid dan ‘Ikrimah bin Abu Jahal memimpin pasukan yang sangat besar, yang pasukan berkudanya saja berjumlah 200 orang. Pasukan musyrik keluar dari Makkah dan bergerak menuju arah rombongan yang datang untuk berhaji, agar dapat mencegah mereka. Mereka tiba di Dzu Thuwa lalu membangun perkemahan di tempat itu. Kabar tentang apa yang dilakukan kafir Quraisy, yaitu mereka telah mempersiapkan pasukan untuk mencegahnya berhaji, telah sampai kepada Muhammad saw. Ketika beliau saw sampai di perkampungan ‘Asfan, yang berjarak dua marhalah (2 x 44,352 km = 88,704 km) dari Makkah, Rasul bertemu dengan seorang laki-laki dari Bani Ka’ab. Nabi saw bertanya kepadanya tentang kabar orang-orang Quraisy. Laki-laki itu berkata, “Orang-orang Quraisy tersebut telah mendengar perjalananmu. Mereka keluar dengan membawa perisai dan memakai baju kulit macan tutul. Mereka membangun perkemahan pasukan di Dzu Thuwa. Di sana mereka bersumpah pada Allah akan mencegah engkau selamanya untuk masuk Makkah. Dalam pasukan mereka terdapat Khalid bin Walid. Mereka bergerak maju ke Kira’ al-Ghamim, suatu tempat yang jauh dari perkemahan kaum Muslim di ‘Asfan sejauh delapan mil.”

Mendengar kabar ini Rasul saw berkata, “Celakalah orang-orang Quraisy! Sungguh peperangan telah memakan habis diri mereka. Apa yang akan mereka lakukan andai mereka membiarkan antara diriku dan seluruh orang Arab. Jika mereka memerangiku, berarti itulah yang mereka kehendaki. Jika Allah memenangkanku atas mereka, pasti mereka masuk Islam berbondong-bondong. Dan jika mereka tidak melakukannya, maka seluruh orang Arab beserta kekuatannya akan memerangi mereka. Lantas apa yang kafir Quraisy rencanakan. Demi Allah, aku akan terus berjihad atas dasar kebenaran —yang aku diutus Allah dengannya— hingga Allah memenangkan kebenaran itu atau aku binasa karenanya.” Artinya, beliau akan terus berjuang hingga memperoleh kemenangan atau mati.

Di sini Beliau saw berpikir tentang perkara yang sedang dihadapinya. Beliau mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan

Perjanjian Hudaibiyah      123

yang telah digariskannya. Beliau memang telah menetapkan keputusan menggunakan jalan damai dan tidak menyiapkan diri untuk berperang. Namun, kenyataannya beliau melihat bahwa kafir Quraisy telah mengirim pasukan untuk memerangi dirinya, sementara beliau tidak ingin berperang. Jika demikian kenyataannya, apakah Rasul saw harus kembali ke Madinah, ataukah mengubah kebijakan damai dan beralih mengambil strategi perang. Beliau mengetahui bahwa kaum Muslim dengan keimanannya mampu menghadapi perlawanan pasukan musuh dan terjun ke kancah peperangan meski mereka belum menyiapkan perang sama sekali. Akan tetapi, beliau datang bukan untuk berperang dan memang tidak menetapkan untuk pergi berperang. Beliau datang untuk berhaji dan dalam keadaan damai. Seandainya beliau dipaksa dan dihalang-halangi pergi berhaji, beliau sebenarnya mampu mengatasi hambatan ini. Beliau memecahkan persoalan ini hanya menggunakan cara damai, tidak dengan cara perang dan tidak akan terjun ke kancah peperangan. Kebijakan damai yang telah digariskannya, beliau maksudkan untuk membentuk opini umum di kalangan seluruh bangsa Arab tentang dakwah Islam dan keluhurannya; juga untuk membentuk opini umum di kalangan Quraisy dan di seluruh Makkah mengenai keluhuran dakwah ini, serta membentuk opini umum di kalangan bangsa Arab, Quraisy dan penduduk Makkah tentang kesalahan Quraisy, kesesatan, kejahatan dan permusuhan mereka. Beliau menginginkan opini umum ini bisa membentuk iklim dakwah yang kondusif, karena keadaan tersebut merupakan salah satu faktor pendukung dakwah yang paling besar dalam penyebaran dan pencapaian kemenangan Islam. Berdasarkan hal ini, beliau menetapkan strategi kebijakan damai dan tidak menetapkan strategi perang. Jika tetap melakukan perang, berarti beliau telah menyalahi strategi itu sendiri dan merusak aspek yang menjadi alasan beliau keluar dari Madinah.

Karena itu, beliau berpikir keras tentang apa yang harus dilakukan. Dalam pikirannya, pandangan beliau mampu membaca jauh ke depan, berdasarkan pengalamannya yang banyak dan kecermatan strateginya dibandingkan dengan pemikiran manusia

32            Daulah Islam

manapun. Dengan demikian beliau tetap meneruskan strategi damainya, sehingga tidak merusak maksud beliau sendiri keluar dari kota Madinah dan tidak menyalahinya. Sementara itu, di tengah-tengah bangsa Arab, kaum Quraisy mempunyai alasan untuk menyerang Rasul. Jadi, opini umum ternyata berpihak kepada kafir Quraisy daripada terhadap beliau. Karena itu, beliau menyeru rombongannya, “Siapa yang bersedia berjalan keluar bersama kami melalui sebuah jalan selain jalan mereka sendiri.” Lalu seorang laki-laki keluar bersama mereka dan menunjukkan jalan kepada mereka. Mereka menyusuri jalan-jalan yang sulit dan bercadas di antara celah-celah gunung yang sempit. Rombongan Rasul ini melewati jalan itu di tengah himpitan kesulitan, menjalani perjuangan yang melelahkan, sampai akhirnya berhasil melewatinya. Mereka berjalan terus hingga Sahl dan berhenti di lembah Makkah, suatu tempat yang dinamakan Hudaibiyah, dan di situlah mereka membuat perkemahan. Ketika pasukan Khalid dan ‘Ikrimah melihatnya, maka mereka terkejut dan segera kembali ke induk pasukan untuk mempertahankan Makkah. Jiwa mereka panik dan ketakutan, karena kaum Muslim berhasil melampaui pasukan mereka dan menempati daerah perbatasan Makkah. Kesatuan pasukan musyrikin berada di dalam Makkah, sementara kesatuan pasukan Nabi saw dan para sahabatnya berada di Hudaibiyah.

Kedua pasukan tersebut saling berhadap-hadapan. Pasukan Quraisy di dalam Makkah, sedangkan kaum Muslim di Hudaibiyah. Masing-masing berpikir tentang strategi yang akan dijalaninya dalam menghadapi musuh. Sebagian kaum Muslim berpikir bahwa Quraisy tidak akan membiarakan mereka melakukan haji. Mereka telah mempersiapkan perlengkapan perang untuk menghadapi kaum Muslim. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali memerangi mereka untuk mengalahkannya dan segera melakukan ibadah haji. Dengan demikian, mereka harus mampu mengakhiri riwayat kafir Quraisy dengan hukuman tuntas. Sementara itu, pihak Quraisy juga berpikir tentang mepersiapkan diri memerangi kaum Muslimi dengan persiapan yang memungkinkan mampu menyerang dan

Perjanjian Hudaibiyah      125

menghancurkan mereka, sehingga mereka terusir dari Makkah, meski hal itu harus ditebus dengan kehancuran Quraisy sendiri. Meskipun kafir Quraisy harus lebih dulu mempertimbangkan kekuatan kaum Muslim beribu kali. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk tetap tinggal di Makkah, sambil menunggu apa yang akan dilakukan kaum Muslim. Adapun Rasulullah saw sendiri tetap berpegang pada strategi yang telah digariskannya sejak beliau berniat ihram untuk umrah di Madinah, yaitu strategi damai. Beliau tetap berpegang pada prinsip ini hingga berhasil mencapai tujuannya. Beliau tetap bertahan di Hudaibiyah, sambil menunggu apa yang akan dilakukan kaum Quraisy. Beliau tahu bahwa Quraisy gemetar karena takut terhadap dirinya. Mereka sepertinya akan mengirim utusan kepada beliau untuk berunding tentang kedatangannya untuk berhaji. Quraisy kemudian mengirimkan Badil bin Waraqa’ seorang laki-laki dalam rombongan Bani Khuza’ah sebagai utusan perundingan. Tugas yang harus dijalankannya adalah bertanya kepada Rasul saw mengenai tujuannya datang ke Makkah. Tidak lama setelah perundingan, akhirnya mereka puas karena ternyata kaum Muslim tidak datang untuk maksud perang, melainkan mereka datang untuk mengunjungi Baitullah demi mengagungkan kemualiaannya. Setelah itu, utusan tadi kembali untuk meyakinkan Quraisy dengan kabar tadi dan berusaha keras meyakinkannya, sehingga Quraisy mencurigai mereka telah berpihak kepada Muhammad saw. Mereka tidak mempercayai ucapan para utusan ini. Mereka mengirimkan utusan lain di bawah kepemimpinan Mukriz bin Hafash, namun nasibnya juga seperti utusan pertama. Kemudian mereka mengirimkan Halis bin ‘Alqamah, kepala suku al-Ahaabiisy untuk berunding dengan Muhammad saw. Quraisy percaya kepadanya maupun kaumnnya dalam memusuhi Muhammad saw. Quraisy memang bermaksud membangkitkan gelora permusuhannya terhadap kaum Muslim. Jika kembali dan perundingannya tidak berhasil, tentu dendam Halis bertambah besar dan semangat untuk mempertahankan Makkah semakin meningkat. Nabi saw mengetahui keberangkatannya,

>                Daulah Islam

lalu beliau memerintahkan agar hewan-hewan sembelihan untuk umrah dilepaskan di hadapan beliau, agar hewan-hewan itu dalam pandangan Halis menjadi bukti yang bisa dilihat langsung bahwa niat kaum Muslim memang untuk haji bukan perang.

Halis pun berangkat dan ketika sampai di perkemahan kaum Muslimin, dia melihat unta-unta berkeliaran di lembah. Dia juga menyaksikan gerak-gerik kaum Muslim beserta hewan-hewan sembelihan untuk had, yang benar-benar menunjukkan sebagai rombongan umrah, bukan sebagai pasukan perang. Tampak di kemah-kemah mereka suasana ibadah. Pemandangan ini membawa pengaruh yang amat meyakinkan Halis, bahwa mereka sungguh-sungguh bertujuan untuk ibadah, bukan perang. Tidak lama dia tinggal di daerah pengintaiannya dan telah puas melihat kenyataan kondisi kaum Muslim itu, maka Halis pun kembali ke Makkah, padahal dia belum bertemu Rasul saw. Dia mengabarkan kepada Quraisy dan meminta mereka supaya membiarkan kaum Muslim melaksanakan haji. Halis sangat marah pada sikap Quraisy yang keras kepala dan mengancam mereka jika tidak memberi kemudahan pada Muhammad yang hendak mengunjungi Ka’bah, maka Halis dan orang-orang Al-Ahaabiisy akan meninggalkan Quraisy dari Makkah. Akan tetapi, Quraisy buru-buru memohon Halis bersabar sejenak dan meminta Halis supaya memberi tangguh agar mereka bisa memikirkan persoalan tersebut dengan matang. Halis pun tidak memperdulikan mereka lagi.

Sementara itu Quraisy mengirimkan lagi utusan yaitu ‘Urwah bin Mas’ud ats- Tsaqafiy. Tentu setelah mereka berhasil meyakinkannya bahwa mereka merasa mantap dan percaya dengan pikirannya. ‘Urwah berangkat menemui Rasul saw dan mengajak berunding agar Rasul kembali saja dari Makkah. Dalam perundingannya, ‘Urwah menggunakan berbagai uslub, akan tetapi dia tidak berhasil, dan kembali dengan perasaan puas dengan cara pandang Rasul saw. Dia berkata kepada Quraisy: “Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya aku pernah mendatangi Kisra di kerajaannya dan Kaisar di Imperiumnya demikian juga Najasyi di kerajaannya. Demi Allah,

Perjanjian Hudaibiyah      127

aku sama sekali belum pernah melihat sebuah kerajaan pun dalam suatu kaum seperti Muhammad di tengah-tengah para sahabatnya. Sungguh aku telah melihat suatu kaum (kaum Muslim) yang selamanya tidak akan menyerahkannya (Muhammad) untuk suatu apapun. Karena itu, pikirkan kembali pendapat kalian!”

Kebencian dan dendam kafir Quraisy makin menjadi-jadi. Lobi terus berlangsung dan memakan waktu lama tanpa mencapai kata sepakat. Melihat hal ini, Rasul saw berpikir hendak mengirimkan utusan untuk berunding. Barangkali utusan-utusan Quraisy takut terhadap umatnya dan mungkin saja utusan Rasul itu akan dapat meyakinkan mereka. Lalu Rasul mengutus Kharrasy bin Umayyah al-Khuza’iy menemui mereka. Akan tetapi, mereka melukai utusan ini dan hendak membunuhnya, seandainya tidak ada pembelaan dari suku al-Ahaabiisy. Kemarahan Quraisy semakin membara. Di tengah malam, mereka mengirim beberapa orang bodoh untuk melempari kemah-kemah kaum Muslim dengan batu. Kaum Muslim marah, bahkan mereka sempat berpikir untuk memerangi kafir Quraisy. Akan tetapi Rasul saw berhasil meredakan kemarahan mereka dan menenangkannya.

Tersiar kabar bahwa 50 orang dari Quraisy telah keluar untuk mendatangi perkemahan kaum Muslim dengan tujuan menyerang dan menghancurkan mereka tanpa menyisakan seorang pun dari para sahabat Nabi. Namun rencana aksi tersebut diketahui oleh kaum Muslim, lalu mereka ditangkap dan dihadirkan ke hadapan Rasulullah. Beliau memaafkan mereka dan melepaskannya. Tindakan tersebut punya pengaruh besar di Makkah dan menjadi bukti kuat yang menunjukkan kebenaran Muhammad saw tentang ucapannya yang menyatakan beliau datang untuk haji, bukan perang. Dengan demikian opini umum di Makkah berpihak kepada Rasul saw, sehingga seandainya beliau pada waktu itu masuk Makkah dan Quraisy berusaha mencegahnya, tentu akibatnya harus mereka hadapi dan penduduk Makkah serta bangsa Arab akan memusuhi mereka. Karena itu, kafir Quraisy berusaha meredam kemarahan mereka sendiri dan mencoba memikirkan lagi persoalan ini. Sedikit

:                 Daulah Islam

demi sedikit keadaan di Makkah mulai menampakkan tanda-tanda ke arah damai. Rasul saw pun ingin mengirimkan utusan yang akan berunding dengan kafir Quraisy. Beliau meminta ‘Umar bin al -Khaththab berangkat ke Makkah, namun dia memberi alasan kepada Rasul, “Wahai Rasul, aku khawatir kafir Quraisy akan membunuhku, sementara di Makkah tidak satupun bani ‘Adi bin Ka’ab yang akan melindungiku. Permusuhan dan kekerasanku terhadap mereka sangat sengit. Akan tetapi, aku mengusulkan kepadamu seseorang yang lebih mampu daripada aku yaitu ‘Utsman bin ‘Affan.” Nabi saw memanggil ‘Utsman dan mengutusnya menemui Abu Sufyan. Maka ‘Utsman berangkat menemui kaum Quraisy dan menyampaikan kepada mereka misi surat Nabi saw. mereka berkata, “Jika engkau hendak thawaf di Baitullah, maka thawaflah,” Utsman menjawab: “Aku tidak akan melakukannya hingga Rasul saw juga thawaf,” .

Kemudian ‘Utsman berunding dengan mereka tentang pentingnya thawaf Rasul, namun Quraisy menolak usulan itu. Perundingan di antara mereka menjadi berkepanjangan dan terus berlangsung. Perundingan beralih dari persoalan penolakan Quraisy, mengarah pada kesepakatan baru yang akan mengakomodir kepentingan Quraisy dan kepentingan kaum Muslim. Mereka membahasnya dengan ‘Utsman tentang kemungkinan membentuk hubungan antara mereka dengan Muhammad saw. Mereka juga bersikap baik terhadap ‘Utsman untuk menemukan jalan yang dapat membebaskan mereka dari situasi sulit dan dari permusuhan mereka dengan Muhammad saw yang berkepanjangan.

Kepergian ‘Utsman terlalu lama di Makkah, sementara tanda-tanda keberadaannya di Makkah juga tidak tampak. Sampai akhirnya tersebar isu di kalangan kaum Muslim, bahwa Quraisy telah memperdaya ‘Utsman dan membunuhnya. Kegelisahan kaum Muslim memuncak dan sempat mencemaskan Nabi saw bahwa Quraisy telah membunuh ‘Utsman. Akibatnya kaum Muslim bergolak dan goncang. Masing-masing mereka menggenggam pedangnya dan siap berperang serta membunuh. Seketika itu pula Rasul saw mengevaluasi kembali pandangannya tentang strategi

Perjanjian Hudaibiyah      129

yang telah digariskannya, yaitu strategi damai. Beliau melihat bahwa perkembangan baru itu membutuhkan peninjauan ulang terhadap kebijakannya tersebut, khususnya setelah melihat adanya tanda -tanda bahwa kafir Quraisy memperdaya ‘Utsman dalam bulan haram, padahal dia utusan juru runding. Karena itu, beliau berkata: “Janganlah kita meninggalkan tempat ini hingga kita memerangi kaum itu!”

Beliau memanggil sahabat-sahabatnya, lalu diajaknya berdiri di bawah sebuah pohon seraya meminta mereka memberikan bai’at kepadanya. Mereka semua berbai’at untuk tidak lari dari peperangan hingga mati. Mereka sangat bersemangat, dalam kekuatan yang luar biasa dan kebenaran keimanan. Ketika selesai mengadakan bai’at, Rasul saw memukulkan salah satu tangannya kepada lainnya sebagai tanda bai’at untuk ‘Utsman. Seakan-akan ‘Utsman hadir bersama mereka. Bai’at ini dinamakan Bai’at Ridhwan. Mengenai peristiwa ini Allah menurunkan ayat-Nya:

QWm\H 0VU% |^W      5SÄcÈWÄlc |ÚÜ=%U- CÃW                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   Œ |B¦q¬iX  VŠ@




34     §ª±¨ ;c­Vm=ØUÙV*×À1WI2UU                                                                                                                                                                           TX                                                                                                                                                                                                                                                                          ×®×1QÃWMn RV    =jX¦$WsW5U ÙV                                                                                                                                                                                                                                                                    ×®1MSÉr¯%WÛ 1]¯È\ÙV



“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka membai’atmu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (TQS. Al-Fath [48]: 18).

Sebelum sempurna bai’at dan kaum Muslim belum mempersiapkan diri terjun ke medan laga dan memasuki perang, tiba-tiba sampai kabar kepada mereka bahwa ‘Utsman tidak dibunuh. Tidak berapa lama, ‘Utsman kembali dan mengabarkan kepada Rasul saw tentang apa yang dikatakan Quraisy. Rasul menyimak dengan sungguh-sungguh, lalu perundingan damai antara Rasul saw dan Quraisy diperbarui. Quraisy mengirimkan Suhail bin ‘Amru untuk berunding dengan Rasul saw dengan agenda

36            Daulah Islam

yang lebih luas dari sekadar masalah haji dan umrah melebar ke arah sebuah perjanjian damai yang akan ditetapkan antara beliau dan mereka dengan dasar bahwa beliau harus meninggalkan Makkah tahun ini. Rasul saw menerima perundingan damai dengan asas tersebut, karena perjanjian tersebut telah merealisir maksud beliau dalam melakukan kunjungan ke Baitullah, lagi pula tidak menjadi masalah baginya untuk mengunjungi Baitullah tahun ini atau tahun depan. Beliau berkeinginan mengisolir Khaibar dari Quraisy dan membersihkan rintangan antara beliau dengan bangsa Arab untuk kepentingan penyebarluasan dakwah Islam. Beliau setuju menetapkan perjanjian antara beliau dan Quraisy yang akan menghentikan perang terbuka antara beliau dan mereka, maupun perang-perang lain yang mungkin terjadi secara bersusulan. Adapun masalah haji dan umrah, tidak akan berpengaruh apakah akan dilaksanakan sekarang ataukah tahun depan.

Rasul memasuki proses perundingan dengan juru runding Suhail bin ‘Amru dan terjadilah diskusi panjang lebar di antara kedua pihak berkenaan dengan perjanjian damai tersebut beserta syarat-syaratnya. Dalam beberapa kesempatan, diskusi tersebut ditingkahi beberapa interupsi dan nyaris batal, seandainya tidak ada Rasul saw; kedalaman pengalamannya dan kejelian siasatnya. Kaum Muslim berada di sekitar Rasul saw menyimak perdebatan tersebut dan mereka menganggap bahwa perbincangan itu berkenaan dengan umrah, sedangkan Rasul saw sendiri menganggapnya sebagai diskusi tentang penghentian perang. Karena itu, pandangan politik kaum Muslim masih sempit, sementara itu Rusulullah saw bergembira terhadap hal itu dan mengarahkan perjanjian itu ke tujuan yang beliau kehendaki, tanpa melihat rincian maupun manfaat sesaat. Kesepakatan antara kedua pihak selesai berlandaskan syarat-syarat tertentu. Sayangnya, syarat-syarat ini membakar dan membangkitkan amarah kaum Muslim. Mereka berusaha meyakinkan Rasul saw agar menolak syarat-syarat perjanjian itu dan menggantinya dengan perang. Sampai-sampai ‘Umar bin al-Khaththab pergi menjumpai Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Kenapa kita menerima kehinaan untuk agama kita?”

Pengiriman Utusan ke Negara-negara Tetangga   131

‘Umar berusaha mengajaknya pergi menemui Rasulullah saw untuk meyakinkan beliau agar menolak syarat-syarat perjanjian tersebut. Akan tetapi, Abu Bakar justru meyakinkan ‘Umar agar ridha terhadap apa yang diridhai Rasulullah saw, namun tidak berhasil. Akhirnya, ia pergi sendiri menghadap Nabi saw dan berbicara langsung kepada beliau dengan nada marah. Tetapi pembicaraan ‘Umar tidak mampu mengubah kesabaran dan kekokohan Nabi saw dan berkata kepada ‘Umar, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak akan pernah menyalahi perintah-Nya dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku,” . Kemudian beliau memanggil ‘Ali bin Abi Thalib dan berkata kepadanya, “Tulislah olehmu: bismillaahirrahmaanirrahiim!” Maka Suhail berkata: “Aku tidak tahu apa itu!, namun tulislah: bismika allaahumma.” Rasulullah saw menanggapi: “Tulislah olehmu: bismika allaahumma,”. Kemudian beliau melanjutkan, “Tulislah olehmu: Ini adalah perjanjian damai yang disepakati Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin ‘Amru.” Maka Suhail pun memotong: “Seandainya aku bersaksi bahwa engkau Rasulullah, tentu aku tidak memerangimu. Karena itu, tulislah namamu dan nama bapakmu!” Rasulullah saw berkata, “Tulislah olehmu: Ini adalah perjanjian damai yang disepakati Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin ‘Amru”.

Kemudian ‘Ali melanjutkan menuliskan perjanjian di antara kedua pihak yang isinya sebagai berikut:

38         Perjanjian ini adalah perjanjian gencatan senjata yang mengikat kedua belah pihak. Di antara kedua belah pihak tidak ada peperangan atau saling membunuh.

39         Bahwa siapa saja dari Quraisy yang telah masuk Islam dan datang kepada Muhammad tanpa izin walinya, maka Muhammad harus mengembalikannya kepada mereka. Siapa saja yang murtad dari kaum Muslim dan mendatangi Quraisy, maka mereka tidak akan mengembalikannya kepada Muhammad.

40         Bahwa siapa saja dari bangsa Arab yang ingin ikut serta dalam kesepakatan Muhammad dan perjanjiannya, maka tidak akan dihalangi. Demikian juga siapa saja yang ingin ikut serta

40            Daulah Islam

dalam kesepakatan dan perjanjian Quraisy maka tidak akan dihalangi.

42         Tahun ini Muhammad dan para sahabatnya harus kembali dari Makkah. Mereka boleh kembali ke Makkah pada tahun berikutnya. Mereka hanya boleh masuk dan tinggal di dalamnya selama tiga hari. Mereka hanya boleh membawa pedang-pedang yang tersimpan di dalam sarungnya dan tidak boleh membawa senjata lainnya.

43         Perjanjian diadakan dalam batas waktu tertentu. Masanya selama 10 tahun sejak tanggal penandatanganannya.

Rasul saw dan Suhail menandatangani perjanjian di tengah gelora dan kemarahan pasukan kaum Muslimin. Suhail berdiri dan langsung kembali ke Makkah, sementara Rasulullah saw masih berada di tempatnya dalan suasana kebingungan, kemarahan dan ketidaksukaan kaum muslimin yang muncul dari semangat sikap keras dan harapan besar untuk berperang. Beliau menemui istrinya yaitu Ummu Salmah yang menyertainya dan mengabarkan kepadanya tentang kelakuan kaum muslimin. Dia berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah kaum Muslimin tidak akan menentangmu. Sesungguhnya mereka sangat bersemangat untuk berperang karena agama dan iman mereka kepada Allah dan risalahmu. Karena itu, bercukur dan bertahallullah, niscaya engkau akan menemukan kaum Muslimin mengikutimu. Kemudian kita kembali ke Madinah bersama mereka.”

Rasul saw keluar menemui kaum Muslimin. Beliau kemudian mencukur rambut sebagai penutup umrah. Jiwanya penuh dengan ketenangan dan ridha. Ketika kaum Muslimin melihat Rasul tetap tenang, mereka segera melalui hari nahar dan ikut mencukur dan memendekkan rambut. Nabi saw dan kaum Muslimin kemudian kembali ke Madinah. Di tengah perjalanan pulang, turun surat al-Fath kepada Rasul saw. Beliau membacakannya kepada para mereka dari awal hingga akhir. Mereka semua akhirnya yakin bahwa perjanjian ini adalah kemenangan yang amat nyata bagi kaum Muslimin.

Perjanjian Hudaibiyah      133

Kaum Muslimin tiba di kota Madinah. Rasulullah saw telah melaksanakan strateginya dalam menyelesaikan masalah Khaibar, penyebaran dakwah di luar Jazirah, menstabilkan kondisi dalam negeri Jazirah dan mengisi kekosongan waktu akibat adanya perjanjian damai dengan Quraisy untuk menyelesaikan permasalahan yang masih ada pada sebagian suku Arab serta menjalin hubungan luar negeri. Dengan demikian sempurnalah tujuan-tujuan itu, berkat dilakukannya perjanjian ini. Beliau saw berhasil melaksanakan strategi yang telah beliau susun saat akan berhaji dengan cermat, meskipun dihadang oleh berbagai kesulitan dan kekerasan. Beliau akhirnya mencapai tujuan politik yang telah ditetapkannya. Sehingga perjanjian Hudaibiyah merupakan kemenangan yang nyata dan di antara hasil-hasilnya antara lain sebagai berikut:

44         Mengantarkan Rasul saw kepada opini umum yang mendukung dakwah Islam di seluruh bangsa Arab pada umumnya, di Makkah dan dengan Quraisy pada khususnya. Hal itu menyebabkan semakin kuatnya kewibawaan kaum Muslimin sekaligus melemahkan kewibawaan Quraisy.

45         Menyingkap kepercayaan kaum Muslimin kepada Rasul saw, menunjukkan kekuatan iman kaum muslimin dan kekokohan mereka dalam menghadapi marabahaya sekaligus bahwa mereka tidak takut mati.

46         Mengajarkan kepada kaum Muslimin bahwa manuver politik merupakan sarana dakwah Islam.

47         Menjadikan kaum Muslimin yang masih tinggal di Makkah di tengah-tengah kaum musyrikin untuk membentuk kantong-kantong dakwah di dalam jantung barak musuh.

48         Menjelaskan bahwa thariqah dalam politik harus berasal dari fiqrah itu sendiri dan disertai kejujuran serta memenuhi janji.
Sedangkan sarana politik harus mencerminkan kecerdikan, yaitu menyembunyikan sarana-sarana dan tujuan-tujuan politis yang sebenarnya dari pandangan musuh.[]

46            Daulah Islam














Pengiriman Utusan

ke Negara-negara Tetangga



Setelah berhasil memantapkan dakwahnya di seluruh Hijaz, Rasul saw mulai membawa dakwahnya ke luar Hijaz. Sebab, Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia dan Rasul saw diutus

untuk seluruh alam. Allah berfirman:

>§ª©°¨ |ÚÜ-Q                                                                                                                                                                                                                                                        È\    ÚR +WSq\                                                                                                                                                                                                                                                                     Y |^R\UqW%XT@



“Dan tidaklah Kami mengutus engkau, melainkan untuk sebagai rahmat bagi semesta alam” (tQS. al-Anbiyaa’ [21]: 107).

>>cªmW5XTk<m°nR¥ˆ‰°L<<ŠRÙ \Ry×q\U%W       XT@


“Dan Kami tidak megutus engaku, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai peringatan..”

(TQS. Saba’ [34]: 28).

r"QÃW                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 œÈWm¯PÕIÀ°Ä©F\UkÙ©ÛÏTX°sji\   ÀIÙ¯œÄVS ÀyqX                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                #y\×UqtݰŠSXÉ@F >§¬¬¨ |ESÅÕ¯ÀnRP­-Ùm×VXTSž°®LÁ¨°Cc


“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-

Pengiriman Utusan ke Negara-negara Tetangga   135

orang musyrik tidak menyukai” (TQS. at-Taubah [9]: 33).

Karena itu, menjadi keharusan bagi Rasul saw setelah berhasil memantapkan negara dan dakwah untuk memulai melakukan hubungan luar negeri dengan menyampaikan dakwah beliau melalui para duta besar. Yang dimaksud dengan hubungan luar negeri dalam kaitannya dengan Rasul saw adalah hubungan dengan berbagai pihak kafir di luar teritorial pemerintahannya. Ketika kekuasaan Rasul saw berada di seputar Madinah saja, maka hubungan beliau dengan kafir Quraisy dan orang-orang di luar Madinah dan wilayah teritorialnya dianggap sebagai hubungan luar negeri. Tatkala kekuasaan Rasul saw meliputi seluruh Hijaz, maka hubungan beliau dengan pihak-pihak yang ada di luar Hijaz dianggap hubungan luar negeri. Ketika kekuasaannya mencakup seluruh jazirah Arab, maka hubungan beliau dengan pihak-pihak yang ada di luar jazirah, seperti bangsa Persia dan Romawi, dianggap hubungan luar negeri. Setelah menandatangani Perjanjian Hudaibiyah dan menyelesaikan masalah Khaibar, maka kekuasaan Rasul saw berhasil meliputi hampir seluruh Hijaz. Hal itu karena Quraisy tidak lagi memiliki kekuatan yang dapat menghadang di hadapan Rasul saw.

Berdasarkan hal ini, Rasul saw mengirimkan sejumlah utusan ke luar negeri. Beliau tidak melakukan pengiriman para duta besar tersebut, kecuali setelah kondisi politik dalam negeri telah aman dan stabil. Kemudian beliau mempersiapkan kekuatan yang cukup untuk mendukung politik luar negerinya. Sekembalinya dari Khaibar, pada suatu hari beliau saw ke luar menemui para sahabatnya, lalu bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya Allah telah mengutusku sebagai rahmat dan untuk seluruh alam. Janganlah kalian menyalahiku sebagaimana Hawariyyun yang telah menyalahi ‘Isa bin Maryam.” Para sahabat berkomentar: “Bagaimana kaum Hawariyyin telah menyimpang, wahai Rasulullah?” Beliau menjelaskan: “Dia (Isa bin Mariyam) mengajak mereka kepada Dzat yang aku juga mengajak kalian kepada-Nya. ridha dan menerima. Adapun siapa saja yang dia utus ke tempat yang jauh, maka

48            Daulah Islam

dia memperlihatkan wajah tidak suka dan berat”.

Disebutkan bahwa beliau mengirimkan utusan ke Hiraklius, Kisra, Muqauqis, al-Harits al-Ghassaaniy Raja Hirah, al-Harits al-Himyariy Raja Yaman, Raja Najasyi di Habsyi, Kerajaan ‘Amman, Kerajaan Yamamah dan Raja Bahrain. Beliau mengajak mereka untuk masuk Islam, maka para sahabatnya memenuhi permintaan beliau. Kemudian beliau membuat stempel yang terbuat dari perak yang terukir padanya: “Muhammad Rasul”. Dengan surat yang dibawa oleh para utusan ini, beliau mengajak para raja tersebut kepada Islam. Surat untuk Hiraklius, beliau serahkan kepada Dahyah bin Khalifah al-Kalabiy, untuk Kisra diserahkan kepada ‘Abdullah bin Hadzafah as-Sahamiy, untuk an-Najasyi diberikan kepada ‘Amru bin Umayyah al -Dhamiriy, untuk Muqauqis dikirimkan melalui Hathib bin Abi Balta’ah, untuk Raja ‘Amman diberikan kepada ‘Amru bin ‘Ash as-Sahamiy, untuk Raja Yamamah diberikan kepada Salith bin ‘Amru, untuk Raja Bahrain diberikan kepada al-’Alla’ bin al-Hadhramiy, untuk al-Harits al-Ghassaaniy, Raja Takhum Syam, diberikan kepada Syuja’ bin Wahab al-Asadiy dan untuk al-Harits al-Hamiriy, raja Yaman, kepada al-Muhajir bin Abi Umayyah al-Makhzumiy.

Para utusan itu berangkat bersama-sama ke tempat tujuannya masing-masing sebagaimana yang telah Rasul saw tetapkan kepada mereka. Mereka berangkat dalam waktu yang bersamaan dan menyampaikan surat-surat Nabi saw tersebut kepada penguasa yang dituju, lalu mereka kembali. Sebagian besar raja yang mendapat kiriman surat Rasul itu membalasnya dengan santun dan lembut dan sebagian lainnya membalas dengan buruk. Jawaban para raja Arab beragam, yaitu Raja Yaman dan Raja ‘Amman membalas surat Nabi saw dengan buruk, Raja Bahrain membalasnya dengan baik dan dia memeluk Islam. Raja Yamamah membalasnya dengan menampakkan kesiapannya menerima Islam jika diberi kedudukan sebagai penguasa, maka Nabi melaknatnya karena ketamakannya itu. Sedangkan para penguasa selain bangsa Arab, jawaban mereka juga beragam. Kisra, Kaisar Persi, tak lama setelah sampai kepadanya

Perang Khaibar 137

surat Rasul saw yang berisi ajakan untuk memeluk Islam, maka serta merta dia marah dan merobek-robek surat beliau. Setelah itu, Kisra segera mengirim surat kepada Badzan, amilnya di wilayah Yaman, agar dia membawa kepala utusan Rasul yang sekarang ada di Hijaz kepadanya. Ketika kabar tentang ucapan Kisra dan perlakuan kasarnya terhadap surat itu sampai kepada Nabi saw, beliau mengutuk, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya!” Ketika surat Kisra telah sampai kepada Badzan, amilnya di Yaman, maka dia memperbincangkan Islam dan akhirnya menyatakan keislamannya. Dengan demikian Badzan tetap tinggal di Yaman sebagai amil Nabi saw di Yaman dan dia adalah orang yang berbeda dengan Raja Yaman al-Harits al-Himiriy. Sementara Raja Muqauqis, penguasa Qibthi, telah membalasnya dengan balasan yang indah dan dia mengirimkan hadiah kepada Nabi saw. Sedangkan Raja Najasyi membalas surat beliau dengan balasan yang indah pula, bahkan dikatakan bahwa dia telah masuk Islam. Adapun Kaisar Hiraklius tidak mempedulikan ajakan ini, tidak berpikir untuk mengirim pasukan guna menyerang Muhammad, juga tidak mengatakan apa-apa. Ketika al-Harits al-Ghassaaniy meminta izin kepadanya untuk memimpin pasukan menyerang penyeru nubuwah, maka Hiraklius tidak memenuhi permintaanya tersebut. Dia mengundang al-Harits untuk menemuinya di Baitul Muqaddas.

Pengaruh nyata dari surat-surat tersebut adalah bahwa bangsa Arab mulai masuk ke dalam agama Allah berbondong-bondong, lalu diikuti delegasi mereka yang berturut-turut menemui Rasul saw dan menyatakan keislamannya. Sedangkan selain Arab, Rasul saw mulai menyiapkan kekuatan untuk melaksanakan jihad menghadapi mereka.[]

50            Daulah Islam
















Perang Khaibar



Baru saja 15 hari Rasul saw tinggal di Madinah, setelah kepulangannya dari Hudaibiyyah, beliau sudah memerintahkan para sahabatnya untuk bersiap-siap menyerang Khaibar, dengan ketentuan bahwa yang bisa ikut berperang dengan beliau hanya

sahabat yang ikut menyaksikan Perjanjian Hudaibiyah.

Sebelum keberangkatannya ke Hudaibiyah, telah sampai kepada beliau bahwa Yahudi Khaibar telah mengadakan konspirasi dengan Quraisy untuk menyerang Madinah dan menghancurkan kaum Muslim. Konspirasi mereka itu dilakukan secara rahasia. Menghadapi hal tersebut, langkah pertama yang ditempuh Rasul saw adalah mengikat perjanjian damai dengan pihak Quraisy, kemudian menyiapkan rencana untuk menyerang Yahudi. Tatkala beliau berhasil menyelesaikan langkah perdamaian dengan sempurna dalam perjanjian Hudaibiyah dan mengisolir Khaibar dari Quraisy, maka beliau langsung menyelesaikan sisa strateginya untuk menyerang Yahudi Khaibar. Karena itu, sekembalinya dari Hudaibiyah beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menyiapkan pasukan. Beliau berangkat bersama-sama dengan 1.600 orang kaum Muslim, disertai 100 orang pununggang kuda. Mereka seluruhnya percaya dengan pertolongan Allah. Mereka menempuh perjalanan antara Khaibar dan Madinah dalam waktu tiga hari.

Perang Khaibar 139

Hampir-hampir penduduk Khaibar tidak merasakan kehadiran kaum Muslim saat itu, sehingga pasukan itu bisa bermalam di depan benteng mereka. Pagi hari setelah subuh, para pekerja Khaibar seperti biasanya keluar menuju ladang-ladang pertanian mereka dengan membawa sekop dan keranjang. Ketika mereka melihat pasukan kaum Muslim, spontan mereka lari kembali ke bentengnya sambil berteriak -teriak, “Itu Muhammad bersama pasukannya!” Mendengar teriakan itu, Rasul saw bersabda, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Sesungguhnya ketika kita turun di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk milik orang-orang yang terancam.”

Sebenarnya Yahudi sudah siap menerima kenyataan bahwa Rasul saw akan memerangi mereka. Hal itu karena ketika kabar perjanjian Hudaibiyah sampai kepada mereka dan Quraisy telah mengikat perjanjian dengan Rasul saw, mereka menganggap peristiwa itu sebagai bentuk penarikan mereka dari persekutuannya dengan Quraisy. Lalu sebagian mereka menyarankan untuk segera membentuk kelompok dari kalangan mereka sendiri dan dari Yahudi Lembah Qura serta Taima’ untuk menyerang Yatsrib, tanpa mempedulikan lagi prinsip-prinsip yang dianut suku-suku Arab dalam peperangan. Terutama setelah Quraisy mengikat perjanjian dengan Muhammad saw. Sementara itu, kelompok Yahudi lainnya berpendapat untuk masuk dalam persekutuan bersama Rasul saw, supaya bisa menghapus kebencian yang melekat dalam jiwa kaum Muslim terhadap mereka. Kaum Yahudi saling mengingatkan tentang masalah itu, karena mereka merasakan adanya bahaya yang semakin dekat dengan mereka. Mereka juga tahu bahwa Rasul saw telah membongkar rahasia konspirasi mereka dengan Quraisy. Sehingga mereka sadar bahwa Muhammad pasti akan memerangi mereka.

Walaupun demikian, mereka belum siap menerima kenyataan bahwa serangan beliau kepada mereka begitu cepat. Karena itu, mereka kebingungan dengan kedatangan Rasul saw dan pasukannya yang begitu tiba-tiba. Lalu mereka segera meminta bantuan Ghathfan, sambil berusaha tetap bertahan di hadapan

94            Daulah Islam

Rasul saw dan melidungi diri dalam benteng mereka. Namun, pukulan pasukan kaum Muslim sangat cepat. Pertahanan dan perlawanan mereka tidak ada artinya. Semua pertahanan mereka goncang dan akhirnya runtuh, sehingga keputus-asaan menguasai mereka. Mereka memohon perdamaian dari Rasul saw agar beliau tidak akan membunuh mereka. Rasul saw menerima permintaan mereka dan membolehkan mereka tetap tinggal di negerinya. Ketika tanah dan kekayaan alam mereka dikuasai sesuai dengan hukum penaklukkan, maka beliau membiarkan mereka tetap tinggal di Khaibar, dengan syarat mereka bekerja mengelola kekayaan tersebut dengan pembagian: separuh untuk mereka dan separuh sisanya untuk beliau. Mereka pun menyetujuinya. Kemudian Rasul saw kembali ke kota Madinah dan tinggal di sana hingga tiba saatnya bagi beliau pergi untuk Umrah Qadha’.

Dengan rampungnya penyelesaian politis terhadap kekuasaan Khaibar dan menundukkan mereka kepada kekuasaan kaum Muslim, maka Rasul saw berhasil mengamankan bagian Utara Jazirah hingga ke wilayah Syam. Sebelumnya beliau juga telah berhasil mengamankan wilayah Selatan Jazirah setelah perjanjian Hudaibiyah. Dengan demikian jalan dakwah di kawasan jazirah Arab telah terbuka, begitu juga jalan dakwah di luar Jazirah. []

Umrah Qadla  141
















Umrah Qadla



Perjanjian Hudaibiyah antara Rasul saw dan kafir Quraisy nyaris batal, hingga Bani Khuza’ah masuk dalam perjanjian dengan Muhammad saw dan Bani Bakr dengan Quraisy. Hubungan antara Quraisy dan Muhammad saw menjadi tenang dan masing-masing juga mempertahankan kondisi itu. Sementara itu, kafir Quraisy bersiap-siap memperluas jaringan perdagangannya untuk mengembalikan pamornya yang hilang saat terjadinya kontak peperangan antara mereka dengan kaum Muslim. Rasul bersiap-siap mengarahkan kelangsungan penyampaian risalahnya ke seluruh umat manusia, memantapkan kekuatan negara di kawasan jazirah Arab, dan menginventarisir sebab-sebab yang dapat mewujudkan ketenangan dalam Negara Islam. Setelah itu, beliau menyelesaikan masalah Khaibar, mengirimkan utusan-utusan kepada raja-raja di berbagai negara, menjalin hubungan luar negeri, dan memperluas wilayah kekuasaan negara hingga mencakup seluruh penjuru

Jazirah.

Belum genap satu tahun, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasul saw sudah memanggil para sahabatnya untuk bersiap-siap melakukan Umrah Qadha’ yang sebelumnya tidak sempat dilakukan karena dihalang-halangi kafir Quraisy. Rombongan ini berangkat dalam jumlah 2.000 orang kaum Muslim. Sebagai bentuk

96            Daulah Islam

pelaksanaan perjanjian Hudaibiyah, maka tidak seorang pun dari rombongan itu yang membawa senjata kecuali pedang di dalam sarungnya. Akan tetapi Rasul saw khawatir terjadinya tipudaya, maka beliau menyiapkan 100 orang pasukan berkuda di bawah pimpinan Muhammad bin Maslamah. Beliau mengutus mereka sebagai pasukan perintis tanpa melanggar kesucian kota Makkah. Kemudian kaum Muslim berangkat dan menunaikan qadha umrah, selanjutnya kembali ke Madinah. Dengan kembalinya mereka, penduduk Makkah mulai masuk Islam. Khalid bin Walid, ‘Amru bin ‘Ash, dan penjaga Ka’bah ‘Utsman bin Thalhah semuanya masuk Islam. Seiring dengan masuk Islamnya orang-orang tersebut, maka banyak sekali penduduk Makkah yang masuk Islam juga. Dengan demikian, bangunan Islam di Makkah semakin kuat dan kelemahan merayap ke dalam barisan Quraisy.[]

Perang Mu’tah  143
















Perang Mu’tah



Adanya reaksi penolakan para raja di luar jazirah Arab telah mendorong Rasul saw segera menyiapkan pasukan untuk berjihad di luar jazirah Arab, setelah para duta besar kembali dari tugas mereka menyampaikan dakwah. Beliau memantau informasi seputar kerajaan Romawi dan Persia. Perbatasan Romawi berseberangan dengan batas teritorial wilayah beliau. Karena itu, beliau selalu memantau informasi tentang mereka dan berpandangan bahwa dakwah Islam akan semakin tersebar luas ketika sudah keluar dari Jazirah Arab, sehingga seluruh umat manusia dapat mengetahuinya. Beliau melihat bahwa negeri Syam

merupakan sasaran pertama bagi dakwah di luar jazirah.

Setelah wilayah Yaman cukup aman dengan bergabungnya amil Kisra dengan dakwah Islam, maka beliau mulai berpikir untuk mengirimkan pasukan ke negeri Syam guna memerangi mereka. Pada bulan Jumadil Ula tahun kedelapan setelah Hijrah, yakni beberapa bulan setelah pelaksanaa qadha umrah, beliau menyiapkan 3.000 orang prajurit dari pahlawan-pahlawan Islam terbaik. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai komandan pasukan dan berpesan: “Jika Zaid gugur, maka Ja’far bin Abi Thalib menggantikannya memimpin pasukan. Jika Ja’far pun gugur, maka ‘Abdullah bin Rawaahah mengambil posisinya memimpin pasukan.”

98           Daulah Islam

Pasukan berangkat dan di dalamnya turut serta Khalid bin Walid yang telah masuk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah. Rasul saw turut mengantarkan mereka hingga tiba di luar Madinah dan berpesan kepada mereka supaya tidak membunuh kaum wanita, anak-anak, orang buta, bayi. Juga tidak boleh menghancurkan rumah-rumah dan tidak menebang pepohonan. Kemudian beliau bersama kaum Muslim mendoakan pasukan dengan ucapan: “Semoga Allah selalu menyertai kalian, mempertahankan kalian dan mengembalikan kalian kepada kami dalam keadaan selamat”.

Pasukan pun berangkat. Para komandannya menyusun strategi dengan menerapkan perang kilat, yaitu dengan membentuk sekelompok pasukan dari penduduk Syam di bawah seorang komandan dari kesatuan mereka. Cara ini mencontoh kebiasaan Nabi saw dalam beberapa peperangannya. Pasukan dadakan ini diberi tugas untuk memberi bantuan dalam serangan dengan cepat dan kembali menghilang. Mereka harus tetap menjalankan strategi ini, tetapi ketika mereka tiba di Mu’an barulah menyadari bahwa Malik bin Zafilah telah mengumpulkan 100.000 orang prajurit dari kabilah-kabilah Arab, sementara Hiraklius sendiri datang dengan memimpin 100.000 orang pasukan. Berita ini tentu mengejutkan pasukan Islam dan mereka tinggal di Mu’an selama dua malam untuk memikirkan persoalan ini dan langkah apa yang akan mereka lakukan untuk menghadapi pasukan yang sangat menakutkan dengan kekuatannya yang amat besar. Pendapat yang terkuat di antara mereka adalah agar menulis surat kepada Rasul saw untuk mengabarkan kepadanya tentang jumlah pasukan musuh yang begitu besar. Apakah beliau akan menambah jumlah pasukan atau memerintahkan mereka sesuai dengan apa yang terlihat. Namun, Abdullah bin Rawahah justru berpendapat lain dan berkata lantang kepada mereka: “Hai orang-orang, demi Allah, sesungguhnya yang kalian benci justru yang kalian cari, yaitu mati syahadah!. . . Kita tidak memerangi manusia karena jumlahnya, kekuatannya dan banyaknya pasukan. Kita tidak memerangi mereka, kecuali karena agama ini yang mana Allah telah memuliakan kita dengannya. Berangkatlah kalian! Sesungguhnya di sana itu

Perang Mu’tah  145

adalah salah satu di antara dua kebaikan: menang atau mati syahdah”. Seketika itu juga bergeloralah semangat iman dalam tubuh

pasukan dan mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di desa Masyarif. Di tempat tersebut, pasukan gabungan Romawi menemukan mereka, sehingga mereka meninggalkan Masyarif menuju Mu’tah dan membuat pertahanan di sana. Di tempat itulah mulai berlangsungnya peperangan yang paling dahsyat dan menakutkan antara pasukan mereka dengan pasukan Romawi. Dalam pertempuran itu ada kematian yang membuat bangsa kulit merah itu mengangakan mulutnya. Perang itu terjadi antara tiga ribu pasukan mukminin yang mencari mati dan syahadah dengan 100.000 atau 200.000 pasukan kafir yang bergabung untuk membinasakan pasukan kaum Muslim. Semangat peperangan mulai bangkit di antara dua kelompok pasukan itu bagaikan nyala tungku api. Zaid bin Haritsah memanggul Rayah (panji) Nabi saw dan membawanya maju ke jantung pertahanan musuh. Dia melihat maut membayang di hadapannya, namun dia tidak takut karena memang sedang mencari syahid di jalan Allah. Oleh karena itu Zaid terus merangsek ke tengah pertahanan musuh dengan keberanian yang melampaui batas khayalan. Dia benar-benar ada dalam perang yang mematikan hingga akhirnya sebatang tombak musuh berhasil merobek tubuhnya. Rayah segera diambil alih Ja’far bin Abi Thalib seorang pemuda tampan dan pemberani yang umurnya masih 33 tahun. Lalu dia menceburkan dirinya dalam perang yang mematikan. Ketika dia melihat musuh telah mengepung kudanya dan melukai tubuhnya, dia justru semakin maju ke tengah musuh sambil mengayunkan pedangnya. Tiba-tiba seorang tentara Romawi menyerangnya dan menebas tubuhnya hinga terpotong jadi dua bagian, dia pun gugur. Lalu Rayah disambar ‘Abdullah bin Ruwahah lalu membawanya maju dengan menunggang kudanya dan sempat sedikit ragu-ragu, namun akhirnya dia melesat ke depan dan berperang hingga akhirnya terbunuh. Bendera diambil Tsabit bin Aqram seraya berteriak lantang, “Hai kaum Muslim, pilihlah seorang

100        Daulah Islam

komandan yang pantas di antara kalian!” Lalu mereka memilih Khalid bin Walid.

Khalid memegang Rayah dan bergerak memutar bersama kaum Muslim, sehingga berhasil merapatkan barisan pasukannya dan mencoba bertahan dari musuh pada batas akhir pertempuran yang dahsyat tersebut sampai tiba malam hari. Kedua pasukan saling menahan diri untuk tidak bertempur hingga waktu subuh. Di tengah malam, setelah melihat pasukan musuh yang sangat besar dan pasukannya yang semakin menyusut dan lemah, Khalid mengambil keputusan untuk menarik mundur pasukannya tanpa berperang. Dengan pertimbangan ini, Khalid membagi-bagi pasukannya dalam beberapa kesatuan kecil dan memerintahkan mereka membuat asap (kepulan debu) dan keributan di waktu subuh, seolah-olah menimbulkan gambaran kepada musuh bahwa telah datang pasukan bantuan dari Nabi saw. Tatkala taktik ini dilakukan, musuh benar-benar cemas dan mereka segera mengurungkan niatnya untuk menyerang kaum Muslim. Mereka bergembira dengan keputusan Khalid untuk tidak melanjutkan serangan kepada musuh mereka. Pasukan kaum Muslim kembali ke kota Madinah meninggalkan medan perang dengan selamat, berkat strategi yang diputuskan Khalid. Dengan demikian, mereka kembali dari kancah perang tidak menang dan tidak pula kalah. Akan tetapi, dalam perang tersebut mereka memperoleh cobaan yang baik.

Para komandan dan pasukan pahlawan perang tersebut mengetahui benar bahwa mereka akan maju perang menyongsong maut. Bahkan, maut yang dilihat di depannya malah diterjang. Mereka terjun ke medan perang dan siap terbunuh dan memang terbunuh. Mereka berani melakukannya karena Islam memerintahkan setiap Muslim berperang di jalan-Nya, sehingga mereka berhasil membunuh atau dibunuh. Sesungguhnya perang adalah jual-beli yang menguntungkan karena perang adalah jihad di jalan Allah.

EU   ¯                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         1ÈNPšXSÙ%U                                                                                                                                                                                                                                                                            XT 2ÔÀIÁÝ5U                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   |ÚÜ=°      ØUÀ-Ù |¦%°                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          sXnW,Õ D¯   @
 





Pembebasan Makkah
147
iÕÃTX                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         |ESÉ

)W   ÙÄcTX                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 DSWÉ                                                                                                                                                                                                                                                                 È*ÙX         V                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           ©#k¯y\                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      r¯Û |ESÉ                                                                                                                                                                                                                                                                °*V    Äc                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          RV      <H\     Ù ¿2ÀIV
ž®P°iÕ\   ¯ cÛQ
ØTUÕC%WTX                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              ªDÄX×
mÁÙTX                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        ©#k¦I80_TX                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         °RqX×SŽ* c¯Û [O\                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     °OÙkQ                                                                                                                                                                                                                                                              ÃW
X  SÉF|^°šlV   TX

ž°O¯/ÅÊØÈcW            W
Š Ä1Å      °ÈÙkX      ¯ TÈn¦×W)ÔyÙV                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          |¦%°



> §ªªª¨ ¿2j°ÀÈ\Ù wÄ×
[    Ù

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (TQS at-Taubah[9]: 111).

Mereka berperang meskipun maut menjemput mereka. Semua Muslim berperang tanpa melihat lagi apakah maut akan mengakhirinya ataukah tidak? Dalam peperangan dan jihad semua perkara tidak bisa diukur dengan jumlah musuh, banyak atau sedikitnya. Akan tetapi, diukur dengan hasil -hasil yang dikeluarkannya, tanpa melihat lagi berbagai tuntutan yang berhubungan dengan pengorbanan atau keberhasilan yang menjadi target dari peperangan. Kaum Muslim berperang menghadapi pasukan Romawi di Mu’tah yang memang wajib bagi kaum Muslim untuk berperang, begitu pula wajib bagi komandan-komandan pasukan untuk terjun ke medan perang seseuai dengan tujuan kedatangan mereka, walaupun kematian yang disodorkan oleh orang-orang berkulit merah itu tengah menyongsong di hadapan mereka.

Karena itu, wajib bagi setiap Muslim untuk tidak takut mati dan mereka tidak perlu memperhitungkan faktor lainnya di jalan Allah. Rasul saw mengetahui bahwa pengiriman pasukannya

148        Daulah Islam

ke negara Romawi berada dalam batasan-batasan yang sangat mengkhawatirkan dan penuh bahaya. Akan tetapi, kekhawatiran dan bahaya ini harus menimbulkan rasa takut pada pasukan Romawi, tatkala mereka melihat semangat tempur pasukan kaum Muslim dan semangatnya mencari mati, meski jumlah mereka sedikit. Kekhawatiran ini harus mampu merumuskan (menciptakan) jalan bagi kaum Muslim untuk jihad dalam rangka menyebarkan Islam dan menerapkannya di negara-negara yang hendak dimasukinya. Kekhawatiran atau bahaya ini justru menguntungkan kaum Muslim, karena menjadi jalan pembuka perang Tabuk. Untuk selanjutnya berhasil memukul Romawi. Hal ini berdampak dengan kekhawatiran mereka menghadapi kaum Muslim, sehingga wilayah Syam dapat dibebaskan.[]

Pembebasan Makkah      149
















Pembebasan Makkah


Ketika kaum Muslim kembali dari perang Mu’tah, di antara mereka banyak yang gugur. Keadaan ini memunculkan dugaan bagi Quraisy bahwa kaum Muslim sudah hancur. Maka, mereka menghasut Bani Bakar agar menyerang Bani Khuza’ah dan memperkuat mereka dengan persenjataan. Bani Bakar menyerang Bani Khuza’ah dan berhasil membunuh sebagian mereka. Bani Khuza’ah lari ke Makkah, sementara ‘Amru bin Salim al-Khuza’iy melarikan diri ke Madinah dan bercerita kepada Rasul saw tentang peristiwa yang menimpa mereka dan meminta bantuan kepada beliau. Rasulullah saw berkata kepadanya: “Aku pasti menolongmu,

hai ‘Amru bin Salim!”.

Rasul saw melihat bahwa pelanggaran perjanjian yang dilakukan Quraisy tidak bisa diimbangi kecuali dengan pembebasan Makkah. Quraisy sebenarnya sangat takut melanggar perjanjian. Mereka segera mengirim Abu Sufyan ke Madinah untuk mengokohkan lagi perjanjian yang telah dilanggarnya sendiri dan meminta periodenya diperpanjang.

Abu Sufyan berangkat dan sebenarnya tidak ingin bertemu Rasul saw. Karena itu, dia menjadikan arah perjalanannya menuju rumah putrinya yaitu Ummu Habibah yang telah menjadi istri Nabi saw. Dia masuk ke rumah putrinya dan ketika hendak duduk di alas

150         Daulah Islam

yang biasa ditempati Nabi saw, putrinya segera melipatnya. Ketika bapaknya bertanya kepadanya apakah dilipatnya alas itu karena ingin menjauhkan bapaknya dari alas itu atau karena ingin menjauhkan alas itu dari bapaknya? Jawaban putrinya adalah: “Justru (karena) itu adalah alas Rasulullah saw, sementara engkau laki-laki musyrik yang najis! Aku tidak suka engkau duduk di atasnya!”. Abu Sufyan berkatal lagi: “Demi Allah! Wahai Putriku, setelahku ini, sungguh keburukan pasti menimpamu.”

Abu Sufyan bergegas keluar dengan marah besar, kemudian dia menemui Muhammad saw dan berbicara kepadanya tentang perjanjian dan permintaannya untuk memperpanjang waktunya. Muhammad tidak bereaksi. Beliau tidak memberi jawaban apapun. Abu Sufyan lalu berbicara kepada Abu Bakar agar dia berbicara kepada Nabi saw, tetapi dia menolak. Abu Sufyan mencoba lagi berbicara kepada ‘Umar bin Khaththab, namun dia menjawabnya dengan kasar dan keras: “Apakah aku lebih condong menolong kalian daripada Rasulullah saw? Demi Allah, seandainya aku tidak menemukan apa-apa selain sebutir debu, pasti aku memerangi kalian!”

Abu Sufyan kemudian masuk ke rumah ‘Ali bin Abi Thalib saat itu Fathimah pun berada di samping suaminya. Dia kemudian mengutarakan alasannya mengapa datang ke Madinah dan akhirnya singgah di rumah ini. Abu Sufyan meminta ‘Ali supaya memohonkan ampun kepada Rasul saw. ‘Ali pun mengabarkan kepadanya bahwa tidak seorang pun yang mampu membujuk Muhammad saw dari suatu perkara jika dia sudah memegangnya dengan teguh. Lalu Abu Sufyan meminta tolong Fathimah supaya merayu anaknya, Hasan, agar bisa menyelamatkan dirinya karena dia terhitung masih kecil. Dia menjawab: “Demi Allah, Tidaklah putraku itu menjadi penyelamat di antara manusia. Tidak seorang pun yang bisa selamat dari Rasulullah saw.”

Urusannya semakin sulit bagi Abu Sufyan dan akhirnya dia kembali ke Makkah dan menceritakan kepada kaumnya tentang apa yang ditemuinya di Madinah. Sementara Rasul saw segera memerintahkan para sahabatnya untuk bersiap-siap berangkat ke
Pembebasan Makkah      151

Makkah. Beliau berharap bisa mendatangi penduduk Makkah secara tiba-tiba, sehingga mereka tidak sempat memberikan perlawanan dan akhirnya mereka semua selamat tanpa pertumpahan darah.

Pasukan kaum Muslim berangkat dari Madinah menuju Makkah. Mereka tiba di Marra Zhahran, empat farsakh dari kota Makkah. Jumlah pasukan yang dibawanya genap 10.000 orang dan tidak satu pun informasi yang sempat terdengar oleh pihak Quraisy. Quraisy masih sibuk memperhitungkan akan adanya serangan Muhammad saw kepada mereka. Mereka pun berdebat tentang apa yang akan dilakukan menghadapi Muhammad. Abu Sufyan keluar untuk mengkaji mara bahaya yang mengancamnya. Lalu ‘Abbas —telah masuk Islam— menemuinya, dengan menunggang bagal Nabi saw dan pergi ke Makkah untuk mengabarkan kepada Quraisy agar mereka meminta keamanan kepada Rasul saw. Hal itu karena beliau tidak menerima usulan mereka. Ketika ‘Abbas bertemu Abu Sufyan, dia berkata kepadanya: “Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah kerumunan manusia. Demi waktu paginya kaum Quraisy, demi Allah, jika Rasulullah saw masuk kota Makkah dengan kekerasan, sebelum mereka mendatanginya dan memohon keamanan kepadanya, sungguh beliau pasti menghancurkan Quraisy hingga tak tersisa!” Maka Abu Sufyan bertanya: “Demi bapa dan ibuku sebagai tebusanmu, maka upaya apa yang harus kami lakukan?”.

‘Abbas segera mengajak Abu Sufyan menaiki di belakang punggung bagal yang ditungganginya, lalu membawanya pergi. Ketika bagal itu lewat di depan pandangan membara ‘Umar bin Khaththab, maka ‘Umar memperhatikan bagal Nabi saw tersebut dan mengetahui ada Abu Sufyan di sana sekaligus memahami bahwa ‘Abbas hendak menyelamatkannya. Karena itu, ‘Umar bergegas pergi menuju kemah Nabi saw dan minta izin kepadanya untuk memenggal leher Abu Sufyan. Namun, ‘Abbas yang lebih dulu datang menemui Rasul, cepat berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah menyelamatkannya.” Akibatnya perdebatan sengit terjadi antara ‘Abbas dan ‘Umar. Nabi saw berkata: “Pergilah dengannya ke kendaraanmu, hai ‘Abbas! Bila subuh telah tiba, maka datanglah kepadaku”.

152         Daulah Islam

Ketika pagi hari tiba, dia datang dengan membawa Abu Sufyan, lalu Abu Sufyan masuk Islam. ‘Abbas kemudian menghadap Nabi saw dan menyampaikan usul kepadanya:”Ya Rasulullah, Abu Sufyan adalah laki-laki yang suka kebanggaan. Buatkanlah sesuatu untuknya.” Rasulullah saw berkata: “Tentu saja. Siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Siapa saja menutup pintu rumahnya, maka dia aman. Siapa saja masuk Masjid (al-Haram), maka dia aman.”

Rasul saw akhirnya memerintahkan para sahabatnya untuk menahan Abu Sufyan di lembah sempit di mulut gunung yang menjadi tempat masuk ke arah Makkah, agar pasukan kaum Muslim yang lewat di depannya dilihat oleh Abu Sufyan. Lalu dia menceritakan kenyataan itu kepada kaumnya. Di samping itu, langkah tersebut ditempuh agar kedatangan pasukan yang begitu cepat tidak menimbulkan ketakutan yang membawa akibat kenekatan kafir Quraisy untuk mengadakan perlawanan. Rasul saw memasuki Makkah dengan segala dengan kewibawaan dan kekuatan yang beliau miliki. Setelah kabilah-kabilah dari pasukan Islam lewat di hadapan Abu Sufyan, segera dia menemui kaumnya dan berteriak di tengah-tengah mereka dengan suara lantang: “Hai orang-orang Quraisy, ini Muhammad datang kepada kalian dengan membawa kekuatan, yang kalian tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya. Maka siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia pasti aman. Siapa saja menutup pintunya, maka dia pun aman. Siapa saja masuk masjid (Al-Haram), dia pasti aman.”

Kaum Quraisy mengurungkan perlawanan mereka, sementara Rasul saw melanjutkan perjalanannya dan memasuki Makkah dengan tetap waspada. Beliau memerintahkan pasukannya dipecah menjadi empat kelompok dan semua diintruksikan tidak boleh berperang dan tidak boleh menumpahkan darah, kecuali jika benar-benar terpaksa dan terancam bahaya. Pasukan memasuki Makkah dan tidak memperoleh perlawanan apa pun, kecuali pasukan Khalid bin Walid. Kelompok ini menemui perlawanan dari pasukan Quraisy, namun berhasil menundukkannya. Nabi saw turun dari tunggangannya dan berdiri sebentar dengan mengambil

Pembebasan Makkah      153

tempat yang tertinggi di Makkah. Kemudian berjalan hingga tiba di Ka’bah. Lalu thawaf di Baitullah sebanyak tujuh putaran. Beliau memanggil ‘Utsman bin Thalhah dan memintanya membukakan pintu Ka’bah. Beliau berdiri sejenak di pintu tersebut, sementara itu para sahabat berdiri mengelilinginya. Tidak lama kemudian, beliau berpidato di hadapan mereka: “Tidak ada Tuhan kecuali Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia menepati janji-Nya dan memenangkan hamba-Nya, serta menghancurkan Ahzab dengan sendiri-Nya. Ingatlah, setiap kemulian, darah atau harta seluruhnya berada di bawah dua telapak kakiku ini kecuali tabir Baitullah dan memberikan minum orang haji. Ingatlah, korban pembunuhan karena kekeliruan menyerupai pembunuhan yang disengaja dengan cemeti dan tongkat. Maka di dalamnya ada diat (tebusan) yang berat, yaitu seratus ekor unta, yang empat puluh di antaranya tengah bunting tua. Hai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian persaudaraan jahiliah, dan pengagungan karena nenek moyang. Manusia berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah.” Kemudian beliau melanjutkannya dengan membaca ayat:


ŒWVXT >SÄÈÅ



×1ÅR



\È\BX



T



³V?                                                                                                                                                                                                                                                                           XT



m[Vl     C°K%



  ÅR



\ ˆÃ=MS{iU cW  @



>§ª¬¨



¸nm¯ \



Ï/̯        WÃ









×1ÅV



Ù"U







\i             <°Ã ×



Å%W  W










ßSÉÙqX



\È           W



“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (TQS. Al-Hujuraat [49]: 13).

Selanjutnya beliau bertanya kepada mereka: “Hai kaum Quraisy, apa pendapat kalian tentang perlakuanku terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Sungguh baik, wahai saudara kami yang mulia dan putra seorang saudara kami yang mulia”. Beliau berkata lagi: “Pergilah! Kalian semua bebas”.

1.              Daulah Islam

Ucapan tersebut merupakan pengampunan umum bagi kafir Quraisy dan penduduk Makkah. Rasul saw memasuki Ka’bah dan beliau menemukan dinding-dinding Ka’bah digambari malaikat-malaikat dan nabi-nabi, lalu beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menghapus gambar-gambar itu. Beliau juga melihat patung-patung wanita cantik dari kayu, lalu beliau memecahkannya dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke tanah. Kemudian beliau menunjuk semua patung dengan tongkat yang berada di tangannya seraya membaca firman Allah:

>§±ª¨ ?SFÉ   \w DW[ #°¼›WÙ                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Ä#°    ¼›WÙ WF\       \wXT r\UÙ ÄX\C ×#É XT@



“Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’

Sesungguhnya yang batil pasti lenyap (TQS. al-Israa’ [17]: 81).

Patung-patung itupun akhirnya dijungkalkan. Bait al-Haram disucikan dari seluruh patung dan gambar. Sedangkan beliau tinggal di Makkah selama lima belas hari. Selama itu, beliau meletakkan landasan sistem pengaturan berbagai persoalan di Makkah dan memahamkan penduduknya tentang agama Islam.

Pembebasan kota Makkah telah sempurna dan dengan dasar pembebasan tersebut, beliau berhasil menghilangkan perlawanan terhadap Daulah Islam. Karena itu, kemenangan Islam yang nyata benar-benar telah sempurna. Setelah itu, tidak satupun perlawanan yang muncul dari dalam Daulah Islam, kecuali di daerah Hunain dan Thaif yang penyelesaiannya amat mudah.[]

Perang Hunain  155
















Perang Hunain



Ketika Hawazin mengetahui keberhasilan kaum Muslim dalam menaklukan Makkah, mereka khawatir pasukan kaum Muslim akan menyerang mereka dan menghancurkan negerinya. Maka sebelum itu terjadi, mereka berpikir untuk menyerang kaum Muslim

lebih dulu dan menyiapkan segala yang dibutuhkannya.

Malik bin ‘Auf al-Nashriy mengumpulkan orang-orang Hawazin dan Tsaqif. Dia berjalan membawa pasukannya hingga tiba di lembah Authas. Berita ini telah sampai ke telinga kaum Muslim 15 hari setelah pembebasan Makkah. Mereka segera bersiap-siap menghadapi kabilah Hawazin dan Tsaqif. Ternyata Malik tidak tinggal di lembah Authas, tapi memerintahkan pasukannya untuk bergerak ke puncak Hunain di lorong sempit sebuah lembah. Di tempat itu, Malik mengatur dan memberikan perintah-perintahnya. Di antara perintahnya adalah jika kaum Muslim tiba di lembah, maka pasukannya harus segera menyerang mereka secara serentak dan memberi pukulan yang mematikan sehingga barisan mereka porak poranda. Serangan ini diharapkan akan mengacaukan barisan pasukan pemburu dan pemanah Muhammad, sehingga sebagian mereka dengan sebagian yang lain kacau balau dan saling memukul. Di tengah suasana itu, pasukan Malik melancarkan serangan gencar

10            Daulah Islam

dan keras. Malik akhirnya menetapkan strategi ini dan menunggu kedatangan pasukan kaum Muslim.

Tidak berapa lama pasukan kaum Muslim pun tiba. Rasululah saw bergerak dengan membawa 10.000 pasukan yang baru menaklukkan kota Makkah, ditambah 2.000 pasukan dari orang Quraisy yang baru masuk Islam di Makkah. Pasukan besar ini dan sejumlah pengikutnya bergerak untuk berperang. Mereka tiba di lembah Hunain pada sore hari dan terus di sana hingga menjelang fajar. Di penghujung malam, mereka bergerak dan Rasul saw menunggang bagal putihnya berada di barisan akhir pasukan. Pasukan bergerak menuruni lembah dan tidak merasakan adanya ancaman. Namun tiba-tiba kabilah-kabilah musuh menyerang mereka. Malik bin ‘Auf telah memberi komando kepada pasukannya untuk menyerang kaum Muslim. Maka, mereka pun lancarkan serangan secara mendadak dan menghujani pasukan kaum Muslim dengan anak panah. Kaum Muslim tidak merasakan apa pun dalam kegelapan pagi hari tersebut, kecuali hujan anak panah yang menimpa mereka dari semua arah. Mereka panik dan bingung karena serangan yang muncul secara tiba-tiba. Keadaan mereka kacau dan terguncang. Mereka mundur dalam posisi terus terserang dan meninggalkan medan perang tanpa menunggu komando dari siapapun. Ketakutan telah menguasai mereka dan kecemasan menerkam hati mereka. Setiap orang dari mereka takut terhadap musuh. Mereka lari meninggalkan Rasul saw. Padahal beliau berada di ujung belakan pasukan tanpa ada perlindungan atau pengawalan dari mereka. Mereka benar-benar dalam keadaan terdesak, yang memaksa mereka berlomba-lomba melarikan diri. Tidak ada yang tersisa dan tetap bertahan di medan perang kecuali Rasul saw dan ‘Abbas. Adapun sisa-sisa pasukan yang ada melarikan diri. Rasulullah saw berdiri dan sekelompok kecil dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta Ahlul Bait beliau mengelilinginya. Beliau menyeru manusia yang telah lari tungang langgang dari medan perang dengan ucapan, “Di mana kalian berada hai manusia!?”.

Perang Hunain  157

Akan tetapi, kaum Muslim tidak mendengar panggilan ini. Mereka juga tidak menoleh kepada beliau karena takut tertimpa goncangan dan kematian. Lebih-lebih setelah melihat gabungan pasukan Hawazim dan Tsaqif yang masih terus menyerang mereka dengan serangan yang amat dahsyat, menikam setiap pasukan yang ditemukan dan menghujani mereka dengan anak panah. Pasukan kaum Muslim terus lari dan mundur. Sehingga mereka tidak mendengar panggilan Rasul saw dan tidak bisa pula menjawabnya. Rasul saw berdiri sendirian di tengah-tengah kondisi yang sangat gawat tersebut dengan gagah berani. Waktu yang dijalaninya adalah masa yang paling menakutkan dan amat kritis. Hampir semua pasukannya meninggalkan beliau, baik dari kalangan para sahabat maupun orang-orang yang baru masuk Islam. Tidak ada bedanya di antara mereka. Seluruhnya lari tungang langgang. Walau demikian, beliau terus-menerus memanggil mereka agar segera kembali. Namun, mereka tidak mendengarnya. Di sisi lain, orang-orang yang baru masuk Islam yang mendengar Muhammad dikepung bahaya, justru membicarakannya dengan komentar-komentar sinis dan bergembira atas bencana yang menimpa beliau. Sampai-sampai Kildah bin Hambal berkata: “Lihatlah, hari ini sihir Muhammad telah lenyap!” Syaibah bin ‘Utsman bin Abi Thalhah berseru: “Hari ini aku menyaksikan pembalasan dendamku pada Muhammad. Hari ini aku pasti akan membunuh Muhammad!” Abu Sufyan berkata: “Kekalahan mereka tidak akan berakhir hingga ke batas lautan” .

Mereka itu adalah orang-orang yang berada dalam pasukan kaum Muslim dari kalangan orang yang baru masuk Islam di Makkah dan datang untuk ikut berperang bersama Rasulullah saw. Tetapi kekalahan yang terjadi telah mengungkap apa yang tersembunyi di dalam jiwa mereka. Berbeda dengan niat ikhlas para sahabat Rasul yang juga sama-sama ikut lari. Hal itu karena tidak ada target apapun dalam jiwa mereka dalam mencari sesuatu di tengah-tengah peperangan.

Karena itu, posisi Rasul saw benar-benar sulit. Waktu itu adalah waktu yang amat sulit dan kritis. Dalam situasi yang begitu

12            Daulah Islam

sulit dan berat, Rasul saw memutuskan untuk tetap di medan peperangan, bahkan terus maju ke medan perang sambil bertahan dari serangan musuh dengan bagal putihnya. Beliau hanya disertai oleh pamannya ‘Abbas bin Abdul Muthallib dan Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib. Abu Sufyan bin Harits memegang tali kendali bagalnya dan berusaha bertahan. Sedangkan pamannya, ‘Abbas, ikut pula memanggil-manggil dengan suaranya yang lantang yang dapat didengar manusia dari segala penjuru lembah. ‘Abbas meneriakkan suara lantangnya agar mereka segera kembali ke induk pasukan: “Hai kaum Anshar, hai orang-orang yang telah berbai’at di bawah pohon!”

‘Abbas mengulang-ulang seruannya hingga gema suaranya dari dinding ke dinding lembah memantul dan mengirimkan gelombang suara yang sahut-menyahut. Sayup-sayup, gema suara itu akhirnya terdengar oleh kaum Muslim yang sedang berlarian lalu mengingatkan mereka kepada Rasulullah saw dan jihad mereka sendiri. Terlintas di benak mereka suatu gambaran tentang akibat kekalahan karena serangan kaum Musyrik dan akibat kemenangan syirik atas mereka. Akhirnya, mereka menyadari bahwa kekalahan perang ini akan membawa akibat kehancuran agama dan kaum Muslim. Karena itu, mereka berteriak sahut-menyahut dari semua arah menyambut panggilan ‘Abbas. Mereka segera kembali ke induk pasukan dan terjun ke medan peperangan dan menghangatkan diri dengan api jihad dalam keberanian yang sudah langka dan kegagahan yang hampir sirna. Mereka berkumpul di seputar Rasulullah saw. Jumlah pasukan lambat laun semakin bertambah. Mereka memasuki medan laga dan meladeni perang tanding melawan musuh serta memanggang diri di tungku api peperangan. Melihat keadaan demikian, Rasul saw bertambah tenang. Beliau mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke wajah musuh seraya mengucapkan: “Amat buruklah wajah-wajah itu!”

Kaum Muslim terus mendesak ke tengah medan perang sambil menganggap kematian di jalan Allah adalah kenikmatan. Peperangan semakin dahsyat sehingga Hawazin dan Tsaqif yakin

Perang Hunain  159

bahwa mereka berada di tengah-tengah kebinasaan. Akhirnya mereka pun melarikan diri dalam keadaan kalah saat itu juga. Harta benda dan wanita-wanita mereka ditinggalkan di belakang, menjadi ghanimah bagi kaum Muslim. Pasukan kaum Muslim berusaha memburu mereka dan berhasil menawan mereka dalam jumlah yang sangat besar, seperti halnya yang terbunuh dari pihak musuh juga besar. Pengejaran dihentikan ketika mereka sampai di lembah Authas. Di tempat itu, kaum Muslim masih sempat menewaskan beberapa musuh dan menyerang sisa-sisanya dengan keras. Akan tetapi komandan mereka yaitu Malik bin ‘Auf berhasil melarikan diri ke Thaif dan berlindung di sana. Dengan demikian, Allah memenangkan kaum Muslim dengan kemenangan yang semakin mengokohkan posisi mereka. Dalam hal ini, Allah menurunkan firman-Nya:

Ùl¯        #ÛØÜ=X   ÄO   W3             ×ScW            XT               QnXm°:            ]C          °»XSW%         r¯Û  Œ  Ä1ÁXW5  ÕiVV@



Ä1ÁÙkQ WÆ Õ0VªXT >Ùk[ ×1Á=ÃW ¨CÙÓÉ" ×1Q VÙ ×1ÁÉ"nX Ù<[ ×1ÁØ*W\ HÕÃU Œ W$Ws5U ˆ1É2 §«®¨ |ÚÏ­m¯Õiv% 1È*ÙjŠTX ˆ1É2 Õ0WÄOqX \ º¿×q) ] \FØTWmV" Ô2Š ;jSÄ=ÄB W$Ws5U XT |Úܰ=°%ØUÀ-Ù r"QW ÃXT ž° ¯SÀyX q r"QWà œÈOW*WAk¦y\


>§«¯¨ WÛÏ®m°ÝVÙ                                                                                                                                                                                                                                                      ÃÄ Ws\B |^°šlV   XT                                                                                                                                                                                                                                                                TÄm[Ý[ |ÚÏ°Š                                                                                                                                                                                                                                                            ]  !W  XT



“Sesungguhnya Alah telah menolong kamu (hai para mukiminin) di medan peperangan yang banyak dan juga pada hari peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman. Dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tidak melihatnya dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir. Dan demikianlah

14            Daulah Islam

pembalasan kepada orang-orang kafir” (TQS. At-Taubah [9]: 25-26).

Kaum Muslim memperolah ghanimah yang banyak. Jika dihitung menurut ukuran saat ini, jumlahnya 22.000 ekor unta, 40.000 ekor kambing dan 4.000 auqiah perak. Orang-orang musyrik yang terbunuh banyak. Gadis- gadis dan wanita-wanita Hawazin yang tertawan sebanyak 6.000 orang. Mereka diboyong ke lembah Ji’ranah sebagai tawanan. Sementara korban di pihak kaum Muslim jumlahnya juga tak terhitung karena banyaknya. Yang pasti jumlahnya sangat banyak. Kitab-kitab sirah menyebutkan ada dua kabilah kaum Muslim yang musnah. Nabi saw kemudian melakukan shalat ghaib untuk mereka. Rasul saw meninggalkan ghanimah dan para wanita tawanan tersebut di Ji’ranah, kemudian dilanjutkan untuk mengepung Thaif, tempat perlindungan Malik bin ‘Auf setelah kekalahannya di Hunain. Rasul memerintahkan agar kepungan semakin diperketat. Namun, Thaif bagi Bani Tsaqif adalah kota yang memiliki benteng yang kuat. Penduduknya mempunyai pengetahuan perang untuk menghadapi kepungan. Mereka juga memiliki kekayaan alam yang melimpah. Di samping itu, Tsaqif menguasai teknik melempar panah dan tombak dengan baik. Dalam peperangan ini, mereka melempari kaum Muslim dengan lembing dan anak panah. Di antara kaum Muslim banyak yang terbunuh. Tidak mudah bagi kaum Muslim untuk menembus pertahanan musuh. Karena itu, mereka mendirikan kemah yang jaraknya cukup jauh dari benteng musuh. Kaum Muslim tinggal di perkemahan itu sambil menunggu apa yang akan diperbuat Allah terhadap mereka. Nabi saw meminta bantuan kepada Bani Daus untuk melempari Thaif dengan manjanik (pelontar batu). Mereka datang kepada Nabi saw, setelah empat hari dari pengepunangan, dengan membawa peralatan senjata mereka. Kaum Muslim menyerang kota Thaif dan melemparinya dengan manjanik. Mereka juga mengirimkan senjata dababah (pendobrak pintu benteng) yang dibawa masuk dari bawah pertahanan musuh. Dengan senjata

Perang Hunain  161

itu, mereka merangkak, lalu merayapi tembok benteng Thaif untuk membakarnya. Sayang, mereka tidak menyadari adanya potongan -potongan besi yang dipanaskan dengan api dan siap menjebak mereka. Potongan-potongan besi itu benar-benar berhasil menghalau kaum Muslim dan membakar dababah mereka, sehingga mereka melarikan diri. Orang-orang Tha’if memanaskan potongan-potongan besi sampai meleleh, kemudian melemparkannya ke dababah sehingga membakarnya. Potongan-potongan besi itulah yang membahayakan kaum Muslim sehingga mereka lari dan Tsaqif masih terus melempari mereka dengan panah dan membunuh sekelompok pasukan dari mereka. Dengan demikian, kaum Muslim gagal memasuki Tha’if.

Kegagalan ini memaksa kaum Muslim menggunakan taktik baru. Mereka menggunduli kebun-kebun Bani Tsaqif dan membakarnya dengan harapan mereka akan menyerah. Namun, mereka tidak menyerah. Hanya saja, sebelum serangan berikutnya dilancarkan, bulan haram telah tiba karena hilal bulan Dzulqa’dah telah tampak. Rasul saw memutuskan kembali dari Tha’if menuju Makkah dan singgah di Ji’ranah, tempat penyimpanan ghanimah dan tawanan mereka. Kemudian Malik bin ‘Auf menemui beliau menagih janji Rasul saw kepadanya, bahwa jika Malik datang kepada beliau dalam keadaan Muslim, maka beliau akan mengembalikan harta dan keluarganya serta menambahnya dengan 100 ekor unta. Malik datang dan menyatakan keislamannya dan mengambil apa yang telah Rasul saw janjikan kepadanya. Hal itu menyebabkan para sahabat khawatir bagian ghanimah mereka akan berkurang jika Rasul saw tetap memberikannya kepada orang Hawazin itu. Karena itu, mereka menuntut ghanimah segera dibagikan di antara mereka dan masing-masing memaksa untuk mengambil harta fai’-nya. Mereka saling berbisik-bisik membicarakan persoalan ghanimah, sehingga bisikan mereka itu sambpai kepada Rasulullah saw. Segera beliau berdiri di samping seekor unta, lalu mengambil selembar bulunya dari bagian punuk dan meletakkannya di antara kedua jarinya, kemudian menariknya seraya bersabda: “Hai manusia!

16            Daulah Islam

Demi Allah, aku tidak akan merampas fai’iy kalian dan tidak juga selembar bulu unta ini kecuali seperlimanya. Yang seperlima dikembalikan kepada kalian. Maka, ambillah oleh kalian kain dan pakaian itu. Sesungguhnya berbuat curang kepada keluarganya amat memalukan dan dia pasti akan terkena api serta air neraka pada hari kiamat.”

Beliau memerintahkan setiap sahabat untuk mengembalikan ghanimah yang telah diambilnya, sehingga harta tersebut terbagi dengan adil. Kemudian beliau membaginya menjadi lima bagian. Seperlimanya dipisahkan untuk dirinya sendiri dan sisanya dibagikan kepada para sahabatnya. Beliau memberikan dari bagian yang seperlimanya kepada orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap beliau di masa lalu yaitu Abu Sufyan dan anaknya, Mu’awiyah, Harits bin Harits, Harits bin Hisyam, Suhail bin ‘Amru, Huwaithib bin ‘Abdul ’Uzza, Hakim bin Hazam, al-’Alla bin Jariyah ats-Tsaqafi, ‘Uyainah bin Hashan, Aqra’ bin Habis, Malik bin ‘Auf an-Nashariy dan Shafwan bin Umayyah, berupa 100 ekor sebagai tambahan terhadap bagian mereka sekaligus untuk membujuk hati mereka. Setiap orang diberi 100 unta sebagai tambahan atas bagian mereka sendiri, sekaligus sebagai upaya melunakkan hati mereka. Beliau juga memberikan 50 ekor unta kepada orang-orang selain mereka (mu’allaf) sebagai tambahan. Beliau telah memenuhi semua kebutuhan orang-orang mu’allaf. Dalam pembagian ghanimah ini, beliau saw berada dalam puncak kedermawanan dan kemuliaan serta kearifan dan kegeniusan sikap politisnya.

Hanya saja, sebagian kaum Muslim belum menyadari hikmah beliau saw dengan cara pembagian dan pendistribusian ghanimah tersebut. Hal itu sempat membuat kaum Anshar saling membicarakan di antara sesama mereka tentang apa yang telah Rasulullah saw lakukan. Sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya: “Demi Allah, Rasulullah telah berpihak kepada kaumnya!” Perkataan itu berpengaruh pada jiwa mereka. Bahkan Sa’ad bin Ubadah pun ikut terlibat di dalamnya. Hanya saja, ucapan Sa’ad sampai kepada Nabi saw dan beliau saw bertanya kepadanya: “Dimanakah posisimu dalam hal ini, hai Sa’ad?!” Dia menjawab: “Wahai

Perang Hunain  163

Rasulullah, aku bukan siapa-siapa melainkan bagian dari kaumku”. Dia bahkan mendukung perkataan kaumnya. Nabi saw berkata lagi kepadanya: “Kalau begitu, kumpulkan kaummu untukku di tempat penginapan unta!”.

Sa’ad kemudian mengumpulkan mereka, lalu Rasul saw berbicara kepada orang-orang yang tidak puas ini: “Wahai masyarakat Anshar, ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian yang saat itu dalam keadaan sesat, lalu Allah memberi kalian hidayah; dan dalam keadaan kekurangan, lalu Allah menjadikan kalian kaya; serta dalam keadaan saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan di antara hati kalian”. Mereka menjawab: “Memang benar, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.” Rasul saw berkata lagi: “Mengapa kalian tidak memenuhiku, hai orang-orang Anshar?!” Mereka menjawab: “Dengan apa kami harus memenuhimu, wahai Rasulullah? Padahal hanya milik Allah dan Rasul- Nya segala keamanan dan keutamaan”. Rasul kemudian melanjutkan sabdanya: “Ada pun demi Allah, seandainya kalian menghendaki, sungguh pasti kalian akan mengatakan dan membenarkan dengan sungguh-sungguh: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu; dalam keadaan terlunta-lunta lalu kami menolongmu; dalam keadaan terusir lalu kami menolongmu; dan dalam keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Anshar, apakah kalian menemukan dalam diri kalian kecenderungan pada dunia, padahal aku telah melunakkan suatu kaum agar mereka masuk Islam. Sedangkan kepada kalian aku telah mewakilkan keIslaman kalian. Apakah kalian tidak ridha wahai masyarakat Anshar terhadap orang-orang yang pergi dengan kambing-kambing dan unta-unta lalu mereka kembali bersama Rasulullah ke tempat tinggal kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti aku menjadi salah seorang di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku berjalan di bukit kaum Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak dan cucu-cucu mereka”. Belum selesai ucapan Rasul tersebut, kaum Anshar menangis

(2)            Daulah Islam

sejadi-jadinya hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka dan berkata: “Kami ridha dengan Rasul sebagai bagian (kami),”. Kemudian mereka kembali ke tempat tinggalnya.

Setelah itu, Rasul saw keluar dari Ji’ranah menuju Makkah dalam keadaan ihram untuk umrah beserta pasukannya. Setelah selesai melakukan umrah, beliau mengangkat ‘Atab bin Usaid menjadi Wali di Makkah, sementara Mu’adz bin Jabal dijadikan sebagai pembina masyarakat di Makkah dan memahamkan mereka tentang Islam. Sedangkan beliau bersama kaum Anshar dan Muhajirin kembali ke Madinah.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar