Ketika tindakan menyucikan sesuatu (takdis) merupakan fitrah
dalam diri manusia, maka menyembah sesuatupun sebenarnya merupakan fitrah
manusia.
Namun, demikian ibadah ini tidak boleh diserahkan begitu
saja kepada hati sanubari (wijdan) untuk menentukan apa yang harus disembah.
Widjan pada dasarnya merupakan perasaan yang bersifat
naluriah (ihsas gharizy), atau perasaan batiniyah, yang muncul kerena adanya
fakta yang diindera.
Manusia tidak boleh serta merta memenuhi tuntunan
gharizah-nya, kecuali dengan menggunakan akalnya.
Maka taqdis (menyucikan sesuatu) tersebut harus dibangun
berdasarkan proses berpikir sekaligus wijdan.
Akal manusia memastikan, bahwa penyembahan itu hanya layak
dilakukan kepada al khaliq (Dzat yang maha pencipta). Karena Dialah yang
mempunyai sifat Azali, dan wajib al-wujud (wajib ada).
Adanya pengakuan, bahwa Dia adalah Al-khaliq, baik secara
fitrah ataupun nalar, telah mengharuskan seseorang yang mengakuinya untuk
menyembah-Nya.
Kita bisa melihat, bahwa orang-orang yang hanya tunduk
kepada wijdan-nya sebagai bentuk reaksi perasaan taqdis-nya, dengan tanpa
mempergunakan akanya, pada akhirnya terjerumus dalam kesesatan, sehingga dia
terjerumus menyembah banyak sesembahan, disamping mengakui adanya al-khaliq,
yang wajib al-wujud dan maha esa.
Fitrah manusia memang akan meniscayakan adanya al-khaliq,
tetapi reaksi alami dari taqdis yang harus dimunculkan ketika ada sesuatu yang
menggerakkan rasa keberagamaannya bisa menyebabkan taqdis tersebut dilakukan
terhadap apa saja yang dianggap layak untuk disembah.
Islam datang sebagai landasan (hidup) bagi seluruh umat
manusia. Islam menyatakan, bahwa ibadah hanyalah dilakukan terhadap Dzat yang
wajib al-wujud. Dan Dialah Allah SWT.
Dengan mengakui Allah adalah pencipta segalanya; di
tangan-Nyalah terdapat kekuasaan atas segalanya, maka mereka pun telah
mewajibkan diri mereka sendiri untuk menyembah Allah semata
Islam membawa ajaran tauhid al-‘ibadah (mengesakan
penyembahan) terhadap Dzat yang wajib al-wujud, yang secara nalar maupun
fitrah, telah ditetapkan keberadaan-Nya.
Illah, secara harfiah, tidak memiliki arti lain, kecuali
“dzat yang disembah” (al-ma’bud). Sementara illa-Llah, secara harfiah ataupun
syar’i, artinya adalah dzat yang wajib al-wujud, yaitu Allah SWT.
Maka makna syahadat pertama dalam islam bukanlah kesaksian
atas kemahaesaan al-khaliq saja, sebagaimana anggapan kebanyak orang, tetapi
makna yang dimaksud dalam syahadat tersebut adalah kesaksian, bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah selain Allah, yang memiliki sifat wajib al-wujud,
sehingga penyucian semata-mata hanya kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar