Minggu, 17 Maret 2019

lailahaillah


Ketika tindakan menyucikan sesuatu (takdis) merupakan fitrah dalam diri manusia, maka menyembah sesuatupun sebenarnya merupakan fitrah manusia.
Namun, demikian ibadah ini tidak boleh diserahkan begitu saja kepada hati sanubari (wijdan) untuk menentukan apa yang harus disembah.
Widjan pada dasarnya merupakan perasaan yang bersifat naluriah (ihsas gharizy), atau perasaan batiniyah, yang muncul kerena adanya fakta yang diindera.
Manusia tidak boleh serta merta memenuhi tuntunan gharizah-nya, kecuali dengan menggunakan akalnya.
Maka taqdis (menyucikan sesuatu) tersebut harus dibangun berdasarkan proses berpikir sekaligus wijdan.
Akal manusia memastikan, bahwa penyembahan itu hanya layak dilakukan kepada al khaliq (Dzat yang maha pencipta). Karena Dialah yang mempunyai sifat Azali, dan wajib al-wujud (wajib ada).
Adanya pengakuan, bahwa Dia adalah Al-khaliq, baik secara fitrah ataupun nalar, telah mengharuskan seseorang yang mengakuinya untuk menyembah-Nya.
Kita bisa melihat, bahwa orang-orang yang hanya tunduk kepada wijdan-nya sebagai bentuk reaksi perasaan taqdis-nya, dengan tanpa mempergunakan akanya, pada akhirnya terjerumus dalam kesesatan, sehingga dia terjerumus menyembah banyak sesembahan, disamping mengakui adanya al-khaliq, yang wajib al-wujud dan maha esa.
Fitrah manusia memang akan meniscayakan adanya al-khaliq, tetapi reaksi alami dari taqdis yang harus dimunculkan ketika ada sesuatu yang menggerakkan rasa keberagamaannya bisa menyebabkan taqdis tersebut dilakukan terhadap apa saja yang dianggap layak untuk disembah.
Islam datang sebagai landasan (hidup) bagi seluruh umat manusia. Islam menyatakan, bahwa ibadah hanyalah dilakukan terhadap Dzat yang wajib al-wujud. Dan Dialah Allah SWT.
Dengan mengakui Allah adalah pencipta segalanya; di tangan-Nyalah terdapat kekuasaan atas segalanya, maka mereka pun telah mewajibkan diri mereka sendiri untuk menyembah Allah semata
Islam membawa ajaran tauhid al-‘ibadah (mengesakan penyembahan) terhadap Dzat yang wajib al-wujud, yang secara nalar maupun fitrah, telah ditetapkan keberadaan-Nya.
Illah, secara harfiah, tidak memiliki arti lain, kecuali “dzat yang disembah” (al-ma’bud). Sementara illa-Llah, secara harfiah ataupun syar’i, artinya adalah dzat yang wajib al-wujud, yaitu Allah SWT.
Maka makna syahadat pertama dalam islam bukanlah kesaksian atas kemahaesaan al-khaliq saja, sebagaimana anggapan kebanyak orang, tetapi makna yang dimaksud dalam syahadat tersebut adalah kesaksian, bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, yang memiliki sifat wajib al-wujud, sehingga penyucian semata-mata hanya kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar