Perang Tabuk
Telah sampai
kepada Rasulullah saw berita dari negeri Romawi bahwa mereka sedang menyiapkan pasukan untuk
memerangi negeri-negeri Arab bagian utara, dengan perang yang akan menjadikan
manusia lupa tentang penarikan mundur pasukan kaum Muslim yang memperoleh
keberhasilan di Mu’tah. Berita ini semakin lama semakin santer. Karena itu,
beliau memutuskan untuk menghadapi kekuatan ini dengan memimpinnya secara
langsung. Beliau telah menyiapkan strategi khusus menghadapi Romawi dengan
pukulan yang mampu menghapus angan-angan mereka untuk menyerang kaum Muslim
atau menghancurkannya. Ketika itu bertepatan dengan akhir musim panas dan awal
musim gugur. Kemarahan menambah panasnya udara yang memang sudah panas. Apalagi
perjalanan dari Madinah ke wilayah Syam sangat panjang dan berat, membutuhkan
kekuatan, kesabaran, dan persediaan bahan makanan dan air yang cukup. Maka,
persoalan ini harus disampaikan kepada kaum Muslim dan tidak perlu
disembunyikan. Di samping itu, harus disampaikan kepada mereka dengan jelas
bahwa mereka harus teguh dalam perjalanan ke wilayah Romawi untuk berperang.
Strategi ini berbeda dengan strategi beliau saw yang pernah disusun dalam
peperangan sebelumnya. Beliau ketika itu menyembunyikan
18
Daulah
Islam
strateginya dan arah yang hendak ditempuhnya.
Dalam banyak kesempatan, beliau sering mengarahkan pasukannya ke arah lain yang
berbeda dengan arah sebenarnya yang beliau maksudkan untuk mengelabui musuh,
sehingga berita perjalanannya tersebut tidak tersebar luas.
Kali ini, Rasul justru mengumumkan
tujuannya sejak awal, yaitu hendak pergi untuk memerangi Romawi di daerah
perbatasan negara mereka. Karena itu, beliau mengirimkan sejumlah utusan kepada
beberapa kabilah untuk mengajak mereka mempersiapkan pasukan yang sangat besar
yang mungkin dapat dipersiapkan. Beliau juga mengirimkan beberapa utusan untuk
menemui para hartawan dari kaum Muslim dan memerintahkan mereka mengeluarkan
infak dari rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka, untuk digunakan dalam
mempersiapkan pasukan yang jumlah dan perbekalan yang dibutuhkannya sangat
banyak. Beliau juga mendorong kaum Muslim untuk bergabung dengan pasukan ini.
Kaum Muslim menerima seruan ini dengan
sikap yang jelas dan tegas. Orang-orang yang telah menerima Islam dengan hati
yang dipenuhi petunjuk dan cahaya, menyambut seruan Rasulullah saw dengan
lapang, ringan, dan gesit. Di antara mereka ada yang fakir, yang tidak memiliki
tunggangan yang dapat membawa mereka ke kancah peperangan. Ada pula yang kaya
dan menyumbangkan hartanya di jalan Allah dengan hati ridha dan mantap,
sekaligus mengorbankan nyawanya dengan kerinduan yang mendalam untuk mati
syahid di jalan Allah. Adapun orang-orang yang masuk agama Allah dengan harapan
besar, yakni harapan untuk memperoleh ghanimah perang dan takut pada kekuatan
kaum Muslim, maka mereka merasa berat, berusaha mencari-cari alasan, saling
melempar tugas di antara mereka dan tidak menghiraukan ajakan Rasul saw untuk
berperang di medan yang sangat jauh itu dan di tengah cuaca panas yang
membakar. Mereka ini adalah orang-orang munafik. Satu sama lain saling berbicara,
“Janganlah kalian pergi perang dalam suasana yang panas membakar”. Kemudian
turun firman Allah SWT :
Perang Tabuk
167
SÈ5[
×SŠ
XmO\ ri [‰
]2‰=I\\B Ãq W5
×#É
JmSVÙ
r¯Û
T
Äm°Ý =V"
Y
SÅVXT@
SÈ5[ \-
¯
.Ä
Ws\B
<n m°9[ SÅ×XjÙXT
9Zk¯ V
SÅU\Õ²XkÚ
VÙ §±ª¨ WDSÀIV ÙÝWc
>§±«¨ WDSȦÖcW
“Dan mereka berkata, “Janganlah kamu
berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, “Api
Neraka Jahanam itu jauh lebih panas, andai saja mereka memahaminya.” Maka,
mereka tertawa sedikit sekali dan menangis banyak sekali sebagai balasan dari
apa yang selalu mereka kerjakan” (TQS. at-Taubah [9]: 81-82).
Rasul saw berkata kepada Al-Jad bin Qais salah
seorang dari Bani Salamah, “Wahai Jad, apakah engkau memiliki keluarga di
Bani Ashfar?” Dia menjawab, “Ya Rasulullah, berikanlah izin
kepadaku dan janganlah menjerumuskanku dalam kebinasaan. Demi Allah, kaumku
benar-benar telah mengetahui bahwa tidak ada laki-laki yang lebih kagum pada
kaum wanita melebihi aku. Aku takut jika melihat wanita-wanita Bani Ashfar, aku
menjadi tidak bersabar”. Rasulullah saw berpaling darinya lalu
turunlah ayat sebagai berikut:
SżV y\
°R=XØ*°ÝÙ
r¯Û YU
ܳ®JB°*ÙÝ"V
YTX
r®M Dk[ Ù} Ä$SÁcW
C‰% 1ÀIØ=°%TX @
>§²¨ |ÚÏ®o°Ý›[Ù¯ R¼V j¦UÀ-V
2]‰<I\\ B E¯XT
“Di antara mereka ada yang berkata, “Berilah
saya izin (untuk tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikanku
terjerumus ke dalam kebinasaan.” Ketahuilah, bahwa mereka benar-benar telah
terjerumus ke dalam kebinasaan itu. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar
meliputi orang-orang yang kafir.” (TQS. at-Taubah [9]: 49).
Kaum munafik tidak hanya berlambat-lambat dan
bermalas-malasan untuk pergi berperang, bahkan mereka terus-menerus mendorong
kaum Muslim untuk mengundurkan diri dari perang.
(14)
Daulah
Islam
Rasul saw memandang perlu untuk mengambil
tindakan tegas dan menghukum mereka dengan keras. Beliau menerima kabar bahwa
sekelompok orang berkumpul di rumah Suwailam, seorang Yahudi, untuk merintangi
masyarakat dan menghasutnya agar tidak memberi bantuan sekaligus tidak ikut
berangkat perang. Beliau mengutus Thalhah bin ‘Ubaidillah dalam sekelompok
kecil para sahabat untuk mendatangi mereka dan membakar rumah Suwailam. Sewaktu
rumah itu dibakar, seseorang dari penghuninya berhasil lari melalui pintu
belakang sehingga kakinya luka-luka, sementara sisanya terjebak ke dalam api
dan lari meloloskan diri dengan luka bakar yang cukup parah. Tindakan tegas ini
menjadi pelajaran bagi yang lainnya agar tidak seorang pun dari mereka berani
melakukan tindakan bodoh seperti itu.
Keteguhan dan ketegasan Rasul saw ini
membawa pengaruh cukup kuat dalam mempersiapkan pasukan, sehingga pasukan besar
dapat terkumpul yang jumlahnya mencapai 30.000 orang kaum Muslim. Pasukan ini
diberi nama Jaisy al-‘Usrah, karena ditugaskan dalam keadaan cuaca yang
sangat panas untuk menghadapi musuh yang sangat besar, menyongsong pertempuran
yang sangat jauh dari Madinah dan pembiayaan yang sangat besar yang diperlukan
untuk mempersiapkan pasukan tersebut.
Pasukan telah berkumpul dan Abu Bakar
bertindak sebagai imam shalat jama’ah sambil menunggu kembalinya Rasul saw
menyelesaikan pengaturan urusan di Madinah sepanjang kepergian beliau. Beliau
telah mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai penguasa di Madinah. Beliau
meninggalkan Ali bin Abi Thalib dengan keluarga beliau, dan memerintahkan untuk
menjaganya, menetapkan jalan keluar dalam berbagai persoalan yang harus
diselesaikan dan mengatur berbagai hal. Kemudian beliau kembali ke pasukannya
untuk memimpin dan memerintahkannya bergerak. Debu-debu padang pasir pun
berhamburan diterjang kaki-kaki kuda dan pasukan berderap maju di hadapan
penduduk Madinah. Para wanita naik ke atas balkon-balkon rumah menyaksikan
pasukan besar yang sedang bergerak menerobos padang pasir menuju Syam.
Perang Tabuk 169
Pasukan
bergerak dengan ringan seolah-olah tanpa beban, padahal mereka sedang menuju
peperangan di jalan Allah di tengah panas yang membakar, kehausan yang
menusuk-nusuk tenggorokan, dan lapar yang melilit perut.
Pasukan terus bergerak menuju negeri musuh.
Sepuluh ribu pasukan berkuda melesat lebih dulu. Penampakkan kekuatan yang
menakutkan tersebut mampu menggerakkan sebagian jiwa yang ingin mundur dan
enggan, untuk segera bergabung dengan pasukan itu. Orang-orang yang berangkat
dengan setengah hati tersebut segera menyusul pasukan dan bergabung dengannya
lalu berangkat bersama menuju Tabuk. Sementara itu, di pihak lain pasukan
Romawi sudah berkemah di Tabuk dan siap memerangi kaum Muslim. Ketika telah
sampai kepada mereka keberadaan pasukan kaum Muslim, kekuatannya, dan jumlahnya
yang banyak, maka mereka teringat kembali perang melawan kaum Muslim di Mu’tah.
Di mana mereka pada waktu itu memiliki tekad dan keberanian yang tidak kenal
menyerah, padahal pasukan mereka tidak sebesar dan sebegitu menakutkan seperti
ini. Ketakutan mereka semakin bertambah ketika mengetahui Rasul saw sendiri
yang memimpin pasukan itu. Mereka sangat takut hal itu, lalu segera menarik
mundur pasukannya masuk ke kota Syam untuk berlindung di dalam benteng mereka.
Mereka meninggalkan Tabuk dan semua batas teritorial Syam dari arah gurun pasir
dan lebih memilih mengundurkan diri ke dalam negeri.
Ketika Rasul saw mengetahui perihal mundurnya
pasukan Romawi dan merebaknya kekhawatiran yang menimpa mereka, maka beliau
terus bergerak maju hingga Tabuk, menguasainya dan berkemah di sana. Pada waktu
itu beliau belum memandang perlu untuk mengejar pasukan Romawi hingga masuk
kota Syam. Beliau tinggal di Tabuk sekitar satu bulan sambil meladeni siapa
saja yang ingin berperang tanding untuk mengusir atau menyerang beliau dari
kalangan penduduk daerah tersebut. Beliau juga menggunakan kesempatan untuk
mengirimkan surat kepada para pemimpin beberapa kabilah dan negara-negara bawahan
Romawi. Beliau
20
Daulah
Islam
mengirim sepucuk surat kepada Yahnah bin Rukbah
penguasa Ailah, penduduk Jirba’ dan penduduk Adzrah dengan menyampaikan dua
pilihan, yaitu mereka menyerah atau beliau memerangi mereka. Mereka menerima
tawaran pertama yaitu tunduk, bersedia taat dan berdamai dengan Rasul saw serta
membayar jizyah.
Kemudian beliau kembali ke Madinah dan
menemukan kaum munafik telah memanfaatkan kepergian Rasul saw dari Madinah
untuk menyebarkan racun -racun kemunafikan dan mengkonsentrasikan kekuatan
mereka untuk memperdaya kaum Muslim. Sekelompok dari mereka berhasil membangun
sebuah masjid di Dzu Awan yang terletak di antara perkampungan mereka dan
Madinah yang berjarak satu jam perjalanan. Di dalam masjid tersebut, kaum munafik
berlindung dan berusaha untuk melakukan perubahan terhadap firman-firman Allah
dari tempatnya semula. Mereka melakukan aksinya itu untuk memecah-belah kaum
Mukmin dengan kedengkian dan kekufuran. Kelompok yang telah membangun masjid
itu sebelumnya pernah meminta kepada Rasul saw, sebelum beliau berangkat dalam
perang Tabuk, agar shalat di masjid mereka. Namun beliau menunda-nundanya
hingga beliau kembali. Ketika beliau kembali dan mengetahui sepak terjang kaum
munafik, serta diwahyukan kepadanya tentang masjid dan hakikat tujuan
pendiriannya, maka beliau memerintahkan para sahabat untuk membakar masjid itu,
dan mengambil sikap yang lebih keras terhadap kaum munafik. Maka peristiwa ini
pun menjadi pelajaran yang menggentarkan mereka, sehingga mereka takut dan
tidak berani melakukannya lagi.
Dengan adanya perang Tabuk maka telah
sempurna ketentuan Tuhanmu di seluruh Jazirah Arab. Rasul saw berhasil
mengamankan setiap perlawanan dan serangan yang diarahkan ke wilayahnya.
Delegasi-delegasi dari berbagai suku Arab menerima ketaatan kepada Rasul saw
dan menyatakan keislaman karena Allah.[]
Penguasaan Daulah Islam Terhadap
Jazirah Arab 171
Penguasaan
Daulah Islam
terhadap
Jazirah Arab
Perang Tabuk
merupakan sarana bagi Nabi saw untuk memantapkan aspek (politik) luar negeri dengan
cara mengamankan batas teritorial negara di satu sisi dan memunculkan rasa
takut dalam benak musuh-musuh beliau di sisi yang lain. Setelah itu, beliau
membuat strategi untuk kaum Muslim agar mampu mengemban dakwah Islam ke seluruh
dunia di luar jazirah Arab. Belum lama sejak berakhirnya perang Tabuk, wilayah
selatan jazirah yaitu Yaman, Hadramaut, dan Oman telah bersedia menyatakan
keislaman mereka dan menaati Negara Islam. Belum genap tahun ke-9 Hijriayah
berjalan, beberapa utusan datang susul-menyusul
menyatakan
keislaman dirinya dan kaumnya.
Dengan demikian, penguasaan Negara Islam
terhadap seluruh jazirah Arab telah sempurna dan berhasil mengamankan
daerah-daerah perbatasannya dari arah Romawi. Di seluruh Jazirah sudah tidak
ada yang tersisa kecuali orang-orang musyrik yang tetap dalam kemusyrikannya
dan orang-orang yang menjalankan ibadah haji ke Baitullah al-Haram serta masih
menyembah berhala di dalamnya berdasarkan perjanjian yang telah ditetapkan oleh
Rasul saw untuk mereka agar siapa pun yang datang ke Baitullah tidak
dihalang-halangi dan tidak ada seorang pun yang merasa takut pada bulan Haram.
Sekalipun seluruh jazirah Arab telah menyatakan
22
Daulah
Islam
ketaatan kepada Muhammad saw dan tunduk kepada
hukum Negara Islam, masih banyak sisa-sisa kaum musyrik yang menyembah selain
Allah. Mereka belum meninggalkan kebiasaan mereka, sementara beliau tidak akan
membiarkan Baitullah al-Haram menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang
saling bertentangan, yaitu antara kaum Muslim yang menolak prinsip keberhalaan
dan kemusyrikan dengan orang -orang musyrik yang setia terhadap keberhalaan dan
kemusyrikan. Tidak seorang pun bisa menerima dua kelompok penyembah yang saling
bertentangan dan sama-sama berkumpul di sekitar Baitullah yaitu sekelompok yang
berusaha menghancurkan berhala dan sekelompok lagi yang menyembah berhala yang
telah dihancurkan. Karena itu, beliau harus memusnahkan kemusyrikan tersebut di
seluruh penjuru Jazirah. Beliau pun harus membuat dinding pemisah antara kaum
musyrik dengan Baitullah. Kemudian turunlah surat Baraah (at-Taubah) kepada
Nabi saw setelah perang Tabuk dan setelah kepergian Abu Bakar memimpin
rombongan haji ke Makkah. Lalu Nabi saw mengutus Ali bin Abi Thalib agar
menyusul Abu Bakar dan berkhutbah di tengah-tengah manusia dan membacakan surat
at-Taubah. Ali pun pergi dan ketika orang-orang telah berkumpul di Mina, Ali
berdiri di samping Abu Hurairah lalu dia menyeru manusia:
>§ª¨ WÛܰ¯nÕ“À -Ù ]C°K% 1|"i\I›Wà ÛÏW°Š rQ¯ à°
¯SÀyqXXT ]C°K% ¸QÄXmW W@
(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari
Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrik yang kamu (kaum
Muslim) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) (TQS. at-Taubah [9]: 1).
Hingga sampai pada firman Allah SWT :
ßSÀ-Q ØÆ XT <RŠÙ ×1ÅW5SÉ °*›V Äc \- <RŠÙ[ |Úܦ¯nÕ“À-Ù SÉ
°*›VXT@
>§¬¯¨ ÛÜW ª*Ä.Ù \ÌW% ‹ ‰DU
Penguasaan Daulah Islam Terhadap
Jazirah Arab 173
Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu semua; dan ketahuilah bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertaqwa. (TQS. at-Taubah [9]: 36).
Selesai membaca ayat-ayat ini, Ali berdiri
dengan tenang di hadapan mereka, lalu berseru dengan lantang, “Hai manusia!
Sesungguhnya orang kafir tidak akan masuk surga dan orang musyrik tidak
boleh berhaji serta thawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang setelah tahun
ini. Siapa saja yang di sisi Rasul saw ada perjanjian, maka perjanjian itu
masih berlaku hingga jatuh tempo”.
Ali meneriakkan empat perintah ini, kemudian
menentukan batas akhirnya selama 4 bulan setelah hari itu. Setiap kelompok
diminta kembali ke tempat perkemahan dan negeri mereka. Sejak hari itu, tidak
satu pun orang musyrik yang berhaji dan thawaf di Baitullah dalam keadaan
telanjang. Dengan demikian, perintah Allah di jazirah Arab telah sempurna
dengan ditegakkannya institusi negara yang didirikan dengan asas Akidah Islam.
Dengan turunnya surat Baraah dan ditetapkannya ketentuan bagi kaum musyrik di
jazirah Arab, maka kedudukan Negara Islam telah sempurna dengan melenyapkan
semua pemikiran yang tidak islami termasuk semua institusi selain negara Islam
dan dengan menyiapkan pengembanan dakwah Islam ke seluruh dunia.[]
24
Daulah
Islam
Struktur Daulah
Islam
Sejak
Rasul saw tiba di Madinah, beliau memerintah kaum Muslim, memelihara semua kepentingan mereka,
mengelola semua urusan mereka, dan mewujudkan masyarakat Islam. Beliau juga
mengadakan perjanjian dengan Yahudi, dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, Quraisy,
penduduk Ailah, Jirba’, dan Adzrah. Beliau memberikan janji kepada manusia
tidak akan menghalang-halangi orang yang berhaji ke Baitullah dan tidak boleh
ada seorang pun yang takut dalam bulan-bulan haram. Lalu beliau mengutus Hamzah
bin Abdul Muthallib, ‘Ubaidah bin al-Harits dan Sa’ad bin Abi Waqash dalam berbagai
ekspedisi untuk memerangi Quraisy. Beliau juga mengutus Zaid bin Haritsah,
Ja’far bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Rawahah untuk memerangi Romawi. Beliau
mengutus Abdurrahman bin ‘Auf untuk memerangi Daumatul Jandal dan mengutus ‘Ali
bin Abi Thalib beserta Basyir bin Sa’ad ke daerah Fidak. Selanjutnya Rasul saw
mengutus Abu Salamah bin ‘Abdul Asad ke Qathna dan Najd, mengutus Zaid bin
Haritsah ke Bani Salim lalu ke Judzam kemudian ke Bani Fuzarah di Lembah Qura
terakhir ke Madyan, mengutus ‘Amru bin Al ‘Ash ke Dzati Salasil di wilayah Bani
‘Adzrah dan mengutus yang lainnya ke berbagai daerah. Beliau sering memimpin
sendiri pasukan dalam berbagai
Struktur Daulah Islam 175
peperangan
terutama perang yang sangat besar.
Beliau mengangkat para wali untuk berbagai
wilayah setingkat propinsi dan para amil untuk berbagai daerah setingkat kota.
Beliau mengangkat ‘Atab bin Usaid menjadi wali di kota Makkah setelah difutuhat
dan Badzan bin Sasan setelah dia memeluk Islam menjadi wali di Yaman,
mengangkat Mu’adz bin Jabal al-Khazraji menjadi wali di Janad, mengangkat
Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash menjadi amil di Sanaa, Ziyad bin Labid bin
Tsa’labah al-Anshari menjadi amil di Hadhramaut, mengangkat Abu Musa
al-Asy’ariy menjadi amil di Zabid dan ‘Adn, ‘Amru bin Al-‘Ash menjadi amil di
Oman, Muhajir bin Abi Umayyah menjadi amil di Sanaa, ‘Adi bin Hatim menjadi
wali Thuyyia, al-’Alla bin al-Hadhramiy menjadi amil di Bahrain dan Abu Dujanah
sebagai amil Rasul saw di Madinah. Ketika mengangkat para wali, beliau saw
memilih mereka yang paling dapat berbuat terbaik dalam kedudukan yang akan
disandangnya, selain hatinya telah dipenuhi dengan keimanan. Beliau juga
bertanya kepada mereka tentang tata cara yang akan mereka jalani dalam mengatur
pemerintahan. Diriwayatkan dari beliau saw pernah bertanya kepada Mu’adz bin
Jabal al-Khazraji saat mengutusnya ke Yaman, “Dengan apa engkau akan
menjalankan pemerintahan?” Dia menjawab, “Dengan Kitab Allah.” Beliau
bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?” Dia menjawab, “Dengan
Sunah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Jika engkau tidak
menemukannya?” Dia menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya.”
Selanjutnya beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
pemahaman kepada utusan Rasulullah terhadap yang Allah dan Rasul-Nya
cintai”. Diriwayatkan dari beliau saw pernah mengangkat ‘Abban bin Sa’id
menjadi Wali di Bahrain, lalu beliau berpesan kepadanya, “Bersikap baiklah
kepada ‘Abdul Qais dan muliakanlah orang-orangnya”.
Beliau saw selalu mengirim para wali dari
kalangan orang yang terbaik dari mereka yang telah masuk Islam. Beliau
memerintahkan mereka untuk membimbing orang-orang yang telah masuk Islam dan
mengambil zakat dari mereka. Dalam banyak kesempatan beliau
26
Daulah
Islam
melimpahkan tugas kepada para wali untuk
mengurus berbagai kewajiban berkenaan dengan harta, memerintahkannya untuk
selalu menggembirakan masyarakat dengan Islam, mengajarkan al-Quran kepada
mereka, memahamkan mereka tentang agama dan berpesan kepada seorang wali supaya
bersikap lemah lembut kepada masyarakat dalam kebenaran serta bersikap tegas
dalam kezaliman. Juga agar wali tersebut mencegah mereka bila di tengah-tengah
masyarakat muncul sikap bodoh yang mengarah kepada seruan-seruan kesukuan dan
primordialisme, lalu mengubah seruan mereka hanya kepada Allah yang tiada
sekutu bagi-Nya. Beliau juga memerintahkan wali untuk mengambil seperlima harta
dan zakat yang diwajibkan kepada kaum Muslim. Orang Nasrani dan Yahudi yang
masuk Islam dengan ikhlas dari dalam dirinya dan beragama Islam, maka dia
adalah bagian dari kaum Mukmin. Hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum
Mukmin. Siapa saja yang tetap dalam kenasranian atau keyahudiannya, maka
sesungguhnya dia tidak akan diganggu. Di antara pesan yang disampaikan Rasul
kepada Mu’adz ketika mengutusnya ke Yaman adalah, “Sesungguhnya engkau
akan mendatangi kaum dari kalangan Ahli Kitab. Jadikanlah seruan pertama yang
akan engkau sampaikan kepada mereka adalah menyembah Allah SWT. Jika mereka
telah mengenal Allah SWT, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah SWT
mewajibkan mereka zakat yang diambil dari orang yang kaya dan diserahkan kepada
orang-orang fakirnya. Jika mereka menaatinya, maka ambillah dari mereka. Dan
jagalah kehormatan harta mereka. Takutlah pada doa orang-orang yang teraniaya,
karena sesungguhnya antara mereka dan Allah tidak ada penghalang”.
Kadang-kadang beliau saw mengirim
petugas khusus untuk urusan harta. Setiap tahun beliau mengutus Abdullah bin
Rawahah ke Yahudi Khaibar untuk menghitung hasil pertanian mereka. Mereka
pernah mengadu kepada Rasul saw gara-gara Ibnu Rawahah begitu teliti dalam
melakukan perhitungan, lalu berencana untuk menyuap Ibnu Rawahah. Kemudian
mereka mengumpulkan sejumlah perhiasan yang digunakan istri-istri mereka seraya
berkata, “Ini dipersembahkan untuk anda dan ringankanlah beban kami serta
Struktur Daulah Islam 177
longgarkanlah
dalam pembagian”. Abdullah berkata, “Hai orang-orang Yahudi! Sesungguhnya kalian
adalah mahluk Allah SWT yang paling aku benci. Perhiasan-perhiasan yang kalian
sodorkan kepadaku agar aku membuat keringanan kepada kalian sama sekali tidak
membebaniku. Adapun risywah yang kalian ajukan kepadaku sesungguhnya itu adalah
haram dan kami tidak akan memakannya!”. Mereka menanggapi, “Ya, dengan
begitulah langit dan bumi tegak”.
Beliau saw selalu mengungkap keadaan para wali
dan amil serta mendengarkan informasi tentang mereka. Beliau telah memberhentikan
al-’Alla’ bin al-Hadhrami, amil beliau di Bahrain, karena utusan ‘Abdul Qais
mengadukannya kepada beliau. Beliau saw senantiasa mengontrol para amil dan
mengevaluasi pendapatan serta pengeluaran mereka. Beliau mengangkat seseorang
untuk tugas penarikan zakat. Ketika kembali, petugas tersebut menghitung
bawaannya dan berkata, “Ini bagian anda dan yang ini dihadiahkan untukku”.
Nabi saw menanggapi, “Tidak patut seseorang yang kami pekerjakan pada
suatu pekerjaan dengan sesuatu yang Allah kuasakan kepada kami, lalu dia
berkata, ‘Ini bagian anda dan yang ini dihadiahkan untukku.’ Kenapa dia tidak
diam saja di rumah bapak dan ibunya, lalu menunggu, apakah akan datang hadiah
kepadanya atau tidak?!” Beliau melanjutkan, “Siapa saja yang kami
tugasi untuk suatu pekerjaan dan kami telah memberikan upah kepadanya,
maka apa yang dia ambil selain upah itu adalah ghulul”.
Penduduk Yaman pernah mengadu tentang Mu’adz
yang suka memanjangkan shalat (ketika jadi imam), lalu beliau menegurnya dan
bersabda, “Siapa saja yang memimpin manusia dalam shalat, maka
ringankanlah!”. Beliau saw telah mengangkat para Qadhi yang bertugas
menetapkan keputusan hukum di tengah- tengah masyarakat. Beliau mengangkat ‘Ali
bin Abi Thalib sebagai Qadhi di Yaman, ‘Abdullah bin Naufal menjadi Qadhi di
Madinah dan menugaskan Mu’adz bin Jabal serta Abu Musa al-Asy’ariy sebagai
Qadhi di Yaman. Beliau bertanya kepada keduanya, “Dengan apa kalian
berdua akan menetapkan hukum?” Keduanya menjawab, “Jika kami tidak
menemukan hukum dalam al-Kitab dan as-Sunah, kami
28
Daulah
Islam
akan mengqiyaskan satu perkara dengan perkara
lainnya. Mana yang lebih dekat pada kebenaran, itulah yang akan kami gunakan”. Nabi saw
lalu membenarkan keduanya. Ini menunjukkan bahwa beliau memilih para Qadhi dan
menetapkan tata cara bagi mereka dalam memutuskan suatu perkara. Beliau tidak
cukup dengan mengangkat para Qadhi melainkan menetapkan juga mahkamah mazhalim.
Beliau saw mengatur langsung
kemaslahatan masyarakat dan mengangkat para petugas pencatat untuk mengelola
kemaslahatan-kemaslahatan tersebut. Mereka itu menempati posisi setingkat
kepala biro. Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian bila ada perjanjian
dan penulis perjanjian perdamaian bila ada perjanjian damai. Mu’aiqib bin Abi
Fatimah adalah petugas pembubuh stempel beliau serta pencatat ghanimah.
Hudzaifah bin al-Yaman bertugas mencatat hasil pertanian Hijaz. Zubair bin
‘Awwam bertugas mencatat harta zakat. Mughirah bin Syu’bah mencatat berbagai
hutang dan muamalah. Syurahbil bin Hasanah bertugas membuat berbagai naskah
perjanjian yang ditujukan kepada para raja. Beliau mengangkat seorang pencatat
atau kepala untuk setiap urusan kemaslahatan yang ada, walau sebanyak apapun
jumlahnya.
Beliau saw banyak bermusyawarah dengan
para sahabatnya. Beliau selalu bermusyawarah dengan para pemikir dan
berpandangan luas, orang-orang yang berakal serta memiliki keutamaan, memiliki
kekuatan dan keimanan serta yang telah teruji dalam penyebarluasan dakwah
Islam. Mereka adalah 7 orang dari kaum Anshar dan 7 lagi dari Muhajirin.
Diantaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud,
Sulaiman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad dan Bilal. Beliau juga
kadang-kadang bermusyawarah dengan selain mereka, hanya saja merekalah yang
lebih banyak dijadikan tempat mencari pendapat. Mereka itu berkedudukan sebagai
sebuah majelis tempat melakukan aktivitas syuro.
Beliau saw telah menetapkan beberapa
pungutan atas kaum Muslim dan selain mereka. Juga pungutan atas tanah,
buah-buahan dan ternak. Pungutan tersebut antara lain berupa zakat, ‘usyur,
fai-iy, kharaj, dan jizyah. Sedangkan harta anfal dan ghanimah
Struktur Daulah Islam 179
dimasukkan
ke Baitul Mal. Beliau mendistribusikan zakat kepada delapan golongan yang
disebutkan dalam al-Quran dan tidak diberikan kepada selain golongan tersebut,
serta tidak digunakan untuk mengatur urusan negara. Beliau membiayai pemenuhan
kebutuhan masyarakat dari fai-iy, kharaj, jizyah dan ghanimah. Itu semua sangat
memadai untuk mengatur pengelolaan negara serta penyiapan pasukan militer.
Negara tidak pernah merasa memerlukan tambahan harta selain itu.
Demikianlah Rasul saw telah menegakkan sendiri
struktur Daulah Islam dan telah menyempurnakannya semasa hidupnya. Negara
memiliki kepala negara, para mu’awwin, para wali, para qadhi, militer, kepala
biro, dan majlis tempat beliau melakukan syuro. Struktur ini, baik bentuk
maupun wewenangnya, merupakan thariqah yang wajib diikuti dan secara
globalnya ditetapkan berdasarkan dalil mutawatir. Beliau saw menjalankan
fungsi-fungsi kepala negara sejak tiba di Madinah hingga beliau saw wafat. Abu
Bakar dan ‘Umar adalah dua orang mu’awwin beliau. Para sahabat telah sepakat,
setelah beliau saw wafat, untuk mengangkat seorang kepala negara yang akan
menjadi Khalifah bagi Rasul saw dalam aspek kepemimpinan negara saja, bukan
aspek risalah maupun nubuwah. Karena hal tersebut telah ditutup oleh beliau
saw. Demikianlah, Rasul saw telah membangun struktur negara secara sempurna
selama hidupnya dan meninggalkan bentuk pemerintahan serta struktur negara yang
keduanya dapat diketahui serta nampak jelas sekali.[]
30
Daulah
Islam
Kedudukan
Yahudi
di Mata Daulah
Islam
Komunitas
Yahudi bukan hal yang perlu diperhitungkan di hadapan Rasul saw. Yang justru harus
diperhitungkan perlawanannya adalah bangsa Arab pada umumnya dan Quraisy pada
khususnya. Karena itu, Rasul saw cukup mengadakan perjanjian dengan Yahudi yang
mengharuskan mereka tunduk kepada beliau dan menjauhkan diri mereka dari setiap
orang yang berdiri menentang beliau. Hanya saja, karena mereka telah
menyaksikan Daulah Islam berkembang pesat dan kekuasaan kaum Muslim semakin
kokoh, maka mereka menggunakan perdebatan
dan ‘tikaman’ sebagai alat untuk
menyerang kaum Muslim. Ketika terjadi perang Badar dan kemenangan berpihak
kepada kaum Muslim, Yahudi merasakan adanya
bahaya yang mengancam mereka. Karena itu, mereka menohok kaum Muslim dan
bersekongkol untuk menghadapi Rasul saw. Sepak terjang Yahudi itu akhirnya
sampai kepada Rasul saw dan kaum Muslim, sehingga jiwa mereka semakin dipenuhi
sifat dengki dan hasud. Baik Yahudi maupun kaum Muslim saling mengintai dan
menunggu kesempatan di tempatnya masing-masing. Kedongkolan Yahudi makin
bertambah-tambah, sehingga Abu ‘Afak, salah seorang Yahudi Bani ‘Amru bin ‘Auf,
melontarkan syair-syair untuk ‘menikam’ Muhammad saw dan kaum Muslim. Ashma’
binti
Kedudukan Yahudi di Mata Daulah
Islam 181
Marwan
telah menjelek-jelekan Islam dan menyakiti Nabi saw serta mendiskreditkan
beliau. Ka’ab bin al-Asyraf memuji-muji para istri kaum Muslim dan pergi ke
kota Makkah guna mendendangkan syair-syair dan mendiskreditkan Muhammad saw.
Kaum Muslim tidak bisa bersabar melihat tingkah mereka yang menjijikkan ini.
Maka kaum Muslim pun membunuh mereka hingga berhasil menghentikan kebusukan
Yahudi. Tetapi bersamaan dengan ketakutan mereka itu, ternyata perbuatan mereka
yang menyakitkan itu justru semakin bertambah. Akhirnya Rasul saw meminta
mereka supaya menghentikan perbuatan menyakiti kaum Muslim dan memelihara
perjanjian damai atau beliau akan menjatuhkan hukuman kepada mereka sebagaimana
yang telah beliau timpakan kepada Quraisy. Mereka takut pada ancaman beliau dan
mereka menanggapi, “Janganlah engkau membanggakan diri, hai Muhammad. Sesungguhnya
engkau menjumpai suatu kaum yang tidak tahu apa pun tentang perang. Maka engkau
dapat mengambil kesempatan dari mereka. Demi Allah, sesungguhnya jika kami
memerangimu, pasti engkau akan tahu siapa kami”.
Setelah
kejadian itu tidak ada hal lain kecuali memerangi mereka. Kaum Muslim keluar
dan mengepung Bani Qainuqa’ di kampung halaman mereka selama 15 hari
berturut-turut. Tidak satu orang pun dari mereka yang bisa meloloskan diri dari
kepungan dan tidak satu orang pun yang bisa mengirimkan makanan pada mereka,
hingga tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali menyerah pada pemerintahan
Muhammad saw dan menerima keputusannya. Kemudian beliau memberi kemurahan
kepada mereka dengan hanya mengusir mereka dari Madinah, lalu mereka pun keluar
dari Madinah hingga sampai di lembah Qura’. Mereka tinggal di sana beberapa
lama dan dari sana dengan membawa segala apa yang ada, mereka terus berjalan ke
arah utara hingga tiba di Adzra’at yang ada di perbatasan Syam. Dengan
terusirnya mereka, maka melemahlah jaringan Yahudi, sehingga mereka menampakkan
ketundukannya kepada kaum Muslim. Hanya saja, hal itu mereka lakukan semata
karena takut pada kekuatan dan kekerasan kaum
32
Daulah
Islam
Muslim. Sehingga ketika mereka memperoleh kesempatan,
maka mereka pun bergerak untuk kedua kalinya.
Tatkala kaum Muslim dikalahkan pada
perang Uhud, maka perasaan dengki dalam jiwa mereka serta merta bergerak dan
bersekongkol untuk membunuh Rasul saw. Rasul saw sendiri telah menyadari niat
mereka tersebut, maka beliau memutuskan untuk mendekati mereka secara sembunyi-
sembunyi agar mengetahui niat mereka yang sebenarnya. Beliau berangkat beserta
sepuluh orang kaum Muslim senior, di antaranya Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Ali,
menuju Bani Nadhir. Ketika rombongan kecil ini tiba, orang-orang Yahudi Bani
Nadhir menyambutnya dengan menampakkan kegembiraan dan rasa senang. Akan
tetapi, di tengah- tengah kegembiraan sebagian mereka bersama beliau, justru
beliau melihat mereka tengah melakukan persekongkolan. Salah seorang dari
mereka pergi ke suatu sudut dan seorang lainnya memasuki rumah tempat Rasul saw
sedang bersandar pada dindingnya. Hal ini menjadikan beliau mulai ragu-ragu
terhadap urusan mereka. Keraguan itu semakin bertambah ketika sampai kepada
beliau pembicaraan mereka tentang diri beliau dan persekongkolannya untuk
menghadapi beliau. Karena itu, beliau segera undur diri dari tempatnya dengan
meninggalkan para sahabat di belakang beliau, sehingga mereka (para sahabat)
menduga bahwa beliau pergi untuk suatu urusan.
Saat itulah segala rencana yang ada di
tangan Yahudi berantakan dan urusan mereka menjadi kacau, sehingga mereka
berusaha meminta kerelaan kaum Muslim. Akan tetapi, para sahabat Rasul menolak
dengan keras, lalu mereka mencari beliau dan menemukannya telah pergi menuju
masjid. Para sahabat pergi menemui beliau, lalu beliau menceritakan
keragu-raguannya tentang persoalan orang-orang Yahudi tersebut. Beliau mengutus
Muhammad bin Maslamah pergi ke Bani Nadhir untuk menyuruh mereka agar keluar
dari negeri beliau. Beliau menetapkan batas waktu kepada mereka selama sepuluh
hari, kemudian mengepung mereka dan akhirnya berhasil mengusir mereka. Mereka
segera
Kedudukan Yahudi di Mata Daulah
Islam 183
keluar
dari Madinah dan sebagian mereka tinggal di Khaibar, sementara sisanya
meneruskan perjalanan hingga tiba di Adzra’at dekat wilayah Syam.
Dengan demikian, upaya pembersihan Madinah dari
fitnah Yahudi telah berjalan dengan sempurna dan tidak ada lagi yang tersisa di
Madinah kecuali Bani Quraizhah. Mereka memang belum melakukan pelanggaran
terhadap perjanjian Nabi, maka Nabi saw tidak memperkarakan mereka. Setelah
melihat apa yang menimpa Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir, mereka menampakkan
kecintaannya kepada Muhammad saw. Hanya saja, itu berlangsung sesaat yaitu
sebatas ketika mereka melihat kekerasan dan khawatir terhadap kekuatan kaum
Muslim. Sampai akhirnya ketika mereka melihat ada kesempatan, yaitu pada waktu
melihat pasukan Ahzab datang ke Madinah untuk menghancurkan kaum Muslim, Bani
Quraizhah bersedia mendengarkan bujukan Huyay bin Akhthab. Disusul dengan aksi
mereka membatalkan perjanjiannya dan bersiap menyerang kaum Muslim. Mereka
mulai menampakkan kebusukan dan pelanggaran terhadap janjinya. Karena itu,
Rasul saw lebih mendahulukan untuk menyelasikan persoalan mereka setelah
penarikan mundur pasukan Ahzab. Beliau dan kaum Muslim bergerak ke markas
mereka dan mengepungnya selama dua puluh lima hari. Selama pengepungan, tidak
satu pun Yahudi yang berani keluar.
Setelah yakin bahwa benteng mereka tidak akan
mampu dipertahankan dari kepungan ini, mereka mengirim utusan kepada Rasul saw
untuk mengusulkan, “Hendaknya Rasul mengirimkan Abu Lubabah pada kami
agar kami bisa berunding dengannya tentang urusan kami.” Abu Lubabah adalah
orang Aus yang pernah menjadi sekutu mereka di masa jahiliyah. Ketika
melihat kedatangan Abu Lubabah, kaum laki-laki mereka berdiri menyambut dan
menyiapkan para wanita dan anak-anak supaya menangis tersedu-sedu dengan
harapan bisa melunakkan hati Lubabah dan membuatnya simpati pada mereka. Mereka
berkata, “Duhai Abu Lubabah, apakah menurut anda kami harus tunduk
kepada pemerintahan Muhammad?”. Dia
>
Daulah
Islam
menjawab, “Ya,” sementara dia memberi
isyarat dengan tangannya ke leher, yang menunjukkan bahwa mereka akan
disembelih.
Ketika Abu Lubabah pulang, Ka’ab bin
Asad mengusulkan sejumlah pendapat kepada mereka, namun mereka tidak
menerimanya. Dia berkata kepada mereka, “Tidak ada pilihan lain
kecuali kalian harus tunduk kepada pemerintahan Muhammad”. Lalu
mereka mengirimkan utusan kepada Muhammad saw dan mengusulkan bahwa mereka akan
keluar ke Adzra’at dengan meninggalkan apa yang mereka miliki. Beliau menolak
usulan itu kecuali satu hal yakni agar mereka tunduk kepada pemerintahan Islam.
Mereka meminta tolong kepada Suku Aus agar datang menolong mereka. Rasulullah
saw bersabda, “Hai orang-orang Aus, apakah kalian rela seseorang dari
kalian memutuskan hukuman kepada mereka?”. Mereka menjawab, “Tentu saja”.
Rasulullah saw berkata lagi, “Kalau begitu, mintalah kepada Sa’ad bin
Mu’adz”.
Kemudian Sa’ad mengambil beberapa
keputusan terhadap kedua kelompok tersebut agar keduanya menerima dan rela
kepada keputusannya. Ketika mereka memberikan janji-janji kepadanya, Sa’ad memerintahkan
Bani Quraizhah supaya menyerah dan meletakkan senjata, lalu mereka
melakukannya. Kemudian Sa’ad memutuskan untuk membunuh siapa pun yang melakukan
perlawanan dan membagi-bagikan harta serta tawanan baik anak-anak maupun
wanita. Ketika Rasul saw mendengar keputusan ini, beliau bersabda, “Sungguh,
engkau menjatuhkan hukum pada mereka dengan hukum Allah dari atas tujuh
langit.”
Kemudian Sa’ad keluar ke pasar Madinah
dan memerintahkan agar digali sejumlah lubang, kemudian orang -orang Yahudi itu
digiring, leher mereka dipenggal lalu dikubur di dalam lubang-lubang tersebut.
Nabi saw membagi-bagi harta Bani Quraizhah, kaum wanita dan anak-anak mereka
kepada kaum Muslim setelah mengeluarkan seperlima diantaranya dan menyisakan
sebagian harta ghanimah untuk dikirimkan bersama Sa’ad bin Zaid al-Anshariy ke
Najd agar dia menjualnya untuk membeli kuda dan senjata sebagai tambahan untuk memperkuat
pasukan kaum Muslim.
Keberlangsungan Daulah Islam 185
Dengan demikian, persoalan Bani Quraizhah sudah
terselesaikan. Meski demikian bukan berarti semua orang Yahudi sudah berhasil
diselesaikan. Di sana masih ada orang -orang Khaibar yang merupakan kabilah
Yahudi yang terkuat di antara kabilah-kabilah Yahudi lainnya. Yahudi Khaibar
belum masuk dalam persekutuan bersama Rasul saw. Bersama orang-orang Quraisy,
mereka telah membuat kesepakatan untuk membunuh Rasul saw sebelum perjanjian
Hudaibiyah terbentuk. Di samping itu, keberadaannya merupakan duri dalam tubuh
Daulah Islam. Sebelum menyempurnakan perjajian Hudaibiyah, Rasul saw telah
bersiap-siap untuk menyerang Khaibar dengan pukulan mematikan. Maka dari itu,
beliau memerintahkan umat Islam untuk bersiap-siap memerangi Khaibar. Kaum
Muslim berangkat dengan kekuatan 1600 orang prajurit beserta 100 orang
penunggang kuda. Mereka semua percaya dengan pertolongan Allah. Mereka
berangkat ke Khaibar dan berhenti di depan benteng Khaibar dalam keadaan siap
siaga dengan penjagaan yang sempurna. Orang-orang Yahudi bermusyawarah tentang
urusan mereka, lalu Salam bin Masykam mengusulkan agar mereka memasukan seluruh
harta dan keluarganya ke dalam benteng Wathih dan Salalam, serta memasukan
tempat cadangan mereka ke benteng Na’im. Sementara para ksatria dan tentara
masuk ke benteng Nithah dan Salam bin Masykam pun masuk bersama mereka ke dalam
benteng tersebut untuk mendorong mereka siap berperang.
Kedua kelompok itu akhirnya bertemu di sekitar
benteng Nithah yang menjadi tempat pertahanan para ksatria dan tentara. Dua
pasukan itu terlibat peperangan yang sangat sengit sampai dikatakan bahwa
jumlah yang terluka dari pihak kaum Muslim saja di hari itu mencapai 50 orang.
Dalam pertempuran itu, Salam bin Masykam tewas, lalu Harits bin Abi Zainab
menggantikan posisinya untuk memimpin pasukan Yahudi. Harits keluar dari
benteng Na’im yang menjadi tempat penyimpanan harta cadangan menuju perkemahan
kaum Muslim. Tetapi Bani Khazraj berhasil mengusir dan memaksanya kembali ke
bentengnya semula untuk menjaga
:
Daulah
Islam
anak-cucunya. Sementara kaum Muslim kesulitan
untuk mengepung benteng Khaibar, sedangkan Yahudi mempertahankannya
mati-matian. Setelah pengepungan berlangsung beberapa hari, Rasul saw mengutus
Abu Bakar menuju benteng Na’im agar dibukakan pintunya. Dia berangkat dan
terlibat dalam pertempuran dan akhirnya kembali tanpa bisa membuka benteng
tersebut. Esok harinya, beliau mengutus Umar bin Khaththab. Nasibnya juga sama
dengan yang dialami Abu Bakar, sehingga Rasulullah saw bersabda, “Besok,
sungguh aku akan memberikan rayah ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan
Rasul-Nya dan melalui tangan orang itu Allah akan memberikan kemenangan, bukan
dengan cara melarikan diri”. Beliau memanggil Ali bin Abi Thalib,
lalu berkata kepadanya, “Ambillah rayah ini olehmu, lalu berangkatlah
dengan membawanya hingga Allah memberikan kemenangan atasmu”.
Ali ra. berangkat dengan membawa rayah.
Ketika sudah dekat dengan benteng, penghuninya keluar menyongsongnya dan Ali
memerangi mereka. Seorang laki-laki Yahudi berhasil memukulnya, maka perisai
yang ada di tangannya terpental. Ali segera mendekat ke pintu benteng dan
menjebolnya, lalu daun pintunya dipakai Ali untuk perisai dirinya. Pintu
benteng yang dijadikan perisai itu terus dipertahankan, sementara dia masih
terus sibuk bertempur hingga benteng jebol. Kemudian pintu itu dijadikan
jembatan penyeberangan kaum Muslim memasuki bangunan-bangunan yang ada di dalam
benteng. Setelah benteng Na’im ditaklukkan, kaum Muslim menaklukkan benteng
lainnya satu per satu hingga tiba di Wathih dan Salalam yang keduanya merupakan
benteng terakhir. Keputusasaan menggerogoti jiwa Yahudi, lalu mereka mengajukan
perdamaian, agar Muhammad saw melindungi darah mereka. Rasul saw menerima
permohonan mereka dan membiarkan mereka tetap tinggal di tanah mereka yang
telah beralih penguasaannya kepada beliau sesuai dengan ketentuan penaklukkan
yakni bagi penduduknya memperoleh separuh dari hasil bumi itu sebagai imbalan
atas jerih payah mereka. Dengan demikian, Khaibar telah ditundukkan. Kemudian
Yahudi Fadak mendengar tentang
Keberlangsungan Daulah Islam 187
Khaibar.
Kecemasan merayapi hati mereka, lalu mereka meminta damai dengan jaminan separuh
harta mereka agar tidak diperangi. Rasul saw kembali ke Madinah melalui lembah
Qura. Di tengah perjalanannya, Yahudi Taima’ menyetujui untuk membayar jizyah
asal tidak diperangi dan tidak ada pembunuhan. Dengan demkian, semua kabilah
Yahudi telah tunduk pada kekuasaan Nabi saw. Semua kekuasaan yang pernah mereka
miliki telah berakhir. Rasul saw berhasil mengendalikan jazirah Arab dan
kekuasaannya semakin stabil sehingga ketenangan dalam negeri betul-betul
tercapai.[]
34
Daulah
Islam
Keberlangsungan
Daulah Islam
Rasul
saw telah wafat, lalu para sahabat bersepakat untuk membai’at
seorang khalifah bagi beliau dalam kepemimpinan negara. Kaum Muslim terus
-menerus mengangkat seorang pemimpin bagi negara hingga tahun 1342 H/1924 M.
Mereka menamakan pemimpin negaranya itu dengan sebutan Khalifah, Amirul
Mukminin, Imam atau Sultan; dan tidak seorang pun menjadi Khalifah kecuali
dengan bai’at. Daulah Islam tersebut berjalan dengan cara seperti itu sepanjang
keberadaannya hingga Khalifah terakhir atau hingga berakhirnya Daulah Islam itu
sendiri; yaitu tidak seorang pun menjadi Khalifah kecuali dengan bai’at. Cara
penerapan bai’at bermacam-macam. Seorang Khalifah kadang dibai’at secara
langsung dan dia mewariskannya kepada yang lain di luar kerabatnya. Kadang dia
mewariskannya kepada anaknya atau salah seorang kerabatnya. Kadang juga dia
mewariskannya kepada lebih dari seorang yang ada di kalangan keluarganya. Akan
tetapi, pewarisan ini bukanlah satu-satunya yang menjadikan seseorang sebagai
Khalifah. Orang yang bersangkutan akan mengambil bai’at saat dia akan menguasai
Khilafah. Tidak pernah ditemukan seorang Khalifah yang menguasai kepemimpinan
negara tanpa bai’at. Pengambilan bai’at juga bermacam-macam, kadang diambil
dari ahlul halli wal ’aqdi, kadang dari seluruh masyarakat dan kadang
dari
Keberlangsungan Daulah Islam 189
syaikhul
Islam. Kadang pula proses pengambilannya berlangsung buruk, namun tetap
dikategorikan sebagai bai’at. Seorang putra mahkota tidak berhak menguasai
Khalifah. Setiap Khalifah mengangkat para Muawin, yang dalam periode tertentu,
mereka ini disebut para menteri, (yang berkedudukan sebagai) Muawin. Khalifah
pun mengangkat para wali, qadhi al-qudhah, komandan-komandan pasukan,
dan para kepala biro negara. Demikianlah, bentuk pemerintahan berlanjut
sepanjang masa, seperti halnya tidak pernah mengalami perubahan sedikit pun
kedudukannya. Tegaknya Daulah Islam terus berlangsung hingga kafir penjajah
meruntuhkannya, ketika mereka berhasil menghancurkan negara Utsmaniyah dan
memecah-belah dunia Islam menjadi sejumlah negara kerdil.
Di dalam Daulah Islam telah terjadi sejumlah
peristiwa internal pada berbagai periode yang berbeda. Kemunculan peristiwa
-peristiwa tersebut bukan sebagai akibat dari faktor-faktor di luar Islam,
melainkan muncul dari pemahaman Islam terhadap keadaan yang sedang berlangsung
saat kejadiannya. Orang-orang yang memiliki pemahaman terhadap keadaan yang
sedang berlangsung tersebut, bekerja menurut pemahamannya untuk membuat
pembenahan yang sesuai dengan pemahamannya itu sendiri. Mereka seluruhnya
adalah mujtahid yang memahami jalan ke luar yang ditetapkan dengan metode yang
berbeda dari metode yang ada. Masing-masing pemahaman tersebut merupakan
pemahaman yang Islami dan ide yang Islami. Karena itu, kita akan mendapati
perbedaan tentang seseorang yang layak menjadi Khalifah, bukan berkenaan dengan
Khilafah itu sendiri. Perbedaan tersebut juga berkenaan dengan siapa yang
menjadi pejabat dalam pemerintahan, bukan tentang bentuk pemerintahan.
Perbedaan tersebut terbatas dalam masalah-masalah cabang dan rincian-rincian,
bukan berkenaan dengan pokok atau garis-garis besar. Tidak satu pun dari
kalangan kaum Muslim yang menyalahi al-Quran dan as-Sunah. Mereka hanya berbeda
pendapat dalam memahami keduanya. Mereka tidak berbeda pendapat dalam hal
36
Daulah
Islam
pengangkatan seorang Khalifah, melainkan berbeda
pendapat tentang siapa orangnya yang akan menjadi Khalifah. Mereka juga tidak
berbeda pendapat dalam kewajiban penerapan Islam secara menyeluruh dan
mengembannya ke seluruh dunia.
Mereka semua berjalan di atas asas
tersebut dalam melaksanakan hukum-hukum Allah dan mengajak manusia ke agama
Allah. Memang benar, sebagian mereka buruk dalam penerapan sebagian hukum Islam
karena berangkat dari pemahaman mereka yang buruk. Sebagian mereka juga buruk
dalam penerapan Islam karena keburukan tujuan mereka. Akan tetapi, mereka semua
menerapkan Islam, bukan yang lain. Mereka semua mengadakan hubungan dengan
negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lainnya berlandaskan Islam dan
pengembanan dakwah Islam ke seluruh dunia. Karena itu, perbedaan-perbedaan
internal tersebut tidak pernah menghalangi aktivitas pembebasan dan penyebaran
Islam. Daulah Islam terus melakukan pembebasan negeri-negeri demi penyebaran
Islam sepanjang keberadaannya hingga abad kesebelas Hijriyah yang bertepatan
dengan abad ketujuh belas Miladiyah. Negara Khilafah membebaskan Persi, India,
Kaukasus hingga batas teritorial Daulah Islam mencapai Cina dan Rusia, bahkan
hingga ke seberang Laut Qazwin Timur. Daulah Islam membebaskan Syam bagian
Utara, Mesir, Afrika Utara, dan Spanyol bagian Barat, sebagaimana juga
membebaskan Anatolia, Balkan, Eropa Selatan dan Timur hingga menembus bagian
Utara Laut Hitam yang meliputi wilayah Qarmus dan selatan Ukrania. Pasukan
Daulah Islam bergerak terus hingga mencapai Aswar dan kota Wina di Austria.
Juga tidak pernah berhenti melakukan pembebasan dan pengembanan dakwah kecuali
ketika kelemahan menggerogotinya dan keburukan pemahaman Islam mulai tampak.
Kelemahan negara dalam pemahaman Islam telah mencapai batas yang amat kritis
hingga mengantarkan kekacauan dalam penerapan Islam dan hingga menggunakan
bagian dari sistem lain yang diyakininya tidak bertentangan dengan Islam, lalu
menerapkannya.
Perjalanan Daulah Islam bergerak seiring dengan
kekuatan
Keberlangsungan Daulah Islam 191
pemikirannya
dan derasnya kemampuan menciptakan hal-hal baru serta kehandalannya dalam
berijtihad. Pada abad pertama, misi-misi pembebasan terus bertambah dan ijtihad
terus meluas. Daulah Islam menghadapi berbagai problem baru di negeri yang
dibebaskan, yang menuntut penetapan cara-cara pemecahannya. Selain itu juga
mengantarkan kepada penerapan hukum-hukum syara’ terhadap berbagai masalah baru
yang muncul di Persia, Irak, Syam, Mesir, Spanyol, India, Kaukasus, dan yang
lainnya. Semua penduduk negeri-negeri yang dibebaskan ini masuk dalam haribaan
Islam. Hal itu menunjukkan kebenaran penggalian dan kuatnya kreativitas dan
ijtihad. Karena Islam itu dapat dipastikan kebenarannya dan pemahamannya yang
benar adalah yang akan mengantarkan penglihatan manusia padanya sebagai cahaya
dalam upaya penerapan dan pembelajaran hukum-hukumnya.
Kreativitas, ijtihad, dan penggalian (istinbath)
ini terus berlangsung hingga abad kelima Hijriyah atau kesebelas Miladiyah.
Ketika itu, kreatifitas mencipta mulai melemah dan ijtihad menyusut di mana hal
itu mengantarkan kepada lemahnya institusi negara. Apalagi keadaan ini disusul
dengan Perang Salib secara beruntun, sehingga kaum Muslim sibuk dengan perang
sampai perang berakhir dengan kemenangan kaum Muslim. Kemudian datang Dinasti
Mamalik dan mereka memerintah padahal sama sekali mereka tidak mampu berijtihad
dan tidak memahami pemikiran apa pun, sehingga kelemahan tingkat berpikir
semakin buruk yang berakibat kepada kelemahan politik. Kemunduran itu ditambah
lagi dengan serangan pasukan Tartar. Pasukan Mongol yang liar ini melemparkan
kitab-kitab Islam ke dalam Sungai Tiggris dan menghancurkan khazanah pemikiran
Islam yang sangat banyak. Kelemahan pemikiran inilah yang menghentikan ijtihad.
Sementara pembahasan masalah-masalah yang baru sebatas pada pengeluaran fatwa,
ta’wil terhadap nash, sehingga tingkat pemikiran dalam negara merosot tajam dan
mengantarkan kepada kemerosotan prestasi politik. Kemudian datang Dinasti Utsmaniyah
dan mengambil alih pemerintahan dalam sebuah Daulah Islam dan
38
Daulah
Islam
mereka menyibukan diri dengan kekuatan militer
dan pembebasan. Mereka membebaskan Istanbul dan Balkan serta mendesak Eropa
dengan kuat sehingga menjadikan mereka sebagai negara adidaya satu-satunya di
dunia. Akan tetapi, tingkat pemikiran belum juga meningkat. Kekuatan militer
yang berhasil melompat jauh tidak memiliki sandaran pemikiran. Tidak lama
kemudian kekuatan militer ini terkelupas dari negeri-negeri Islam secara
sedikit demi sedikit hingga akhirnya berakhir. Meski kondisinya demikian,
negara tetap mengemban dakwah Islam, menyebarkan Islam. Berjuta-juta penduduk
negeri-negeri yang dibebaskan masuk Islam dan senantiasa dalam keadaan muslim.
Memang benar, beragamnya pemahaman
Islam serta tidak adanya tabani dari Khalifah terhadap hukum-hukum tertentu
dalam sistem pemerintahan, meskipun mentabani sistem perekonomian dan yang
lainnya, memiliki pengaruh yang besar dalam memantapkan sebagian penguasa dari
kalangan para Khalifah dan para wali dalam pengendalian pemerintahan dan
pengarahan yang mempengaruhi kesatuan negara serta kekuatannya. Akan tetapi,
hal itu tidak berpengaruh terhadap eksistensi Daulah. Kekuasaan yang bersifat
menyeluruh yang diberikan kepada para wali dan wewenang yang sangat luas
sebagai wakil Khalifah menyebabkan tergeraknya keinginan untuk berkuasa dalam
diri mereka. Sehingga mereka seolah-olah memisahkan diri di wilayahnya
masing-masing dan pengakuan terhadap Khalifah dianggap cukup dengan
membai’atnya saja, mendoakannya di berbagai mimbar, membuat mata uang
bertuliskan namanya dan sebagainya. Sementara persoalan pemerintahan masih
tetap berada di tangan mereka yang menjadikan wilayah-wilayah tersebut
seolah-olah sebagai negara yang terpisah, seperti pemerintahan Bani Hamidiyah,
Bani Saljuk dan lainnya. Hanya saja, kekuasaan yang bersifat menyeluruh itu
tidak berpengaruh terhadap kesatuan negara dalam posisinya sebagai kekuasaan
menyeluruh. Kedudukan ‘Amru bin al-‘Ash di Mesir adalah sebagai wali umum,
demikian pula kedudukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Syam adalah sebagai wali
Politik Dalam Negeri Daulah Islam 193
umum.
Bersamaan dengan itu seorang wali tidak akan memisahkan sedikit pun dari
Khalifah, dan kesatuan negara tetap terpelihara karena kekuatan para Khalifah.
Namun, ketika para Khalifah lemah dan menerima pendiktean dari para wali,
terjadilah penampakan gejala tersebut di berbagai wilayah; yaitu penampakan
negara dalam suatu wilayah padahal wilayah tersebut adalah bagian dari
institusi negara. Meski demikian, negara tetap satu dan utuh. Khalifah adalah
yang mengangkat dan memberhentikan seorang wali sekuat apa pun wali tersebut.
Dia tidak akan berani untuk tidak mengakui Khalifah. Daulah Islam saat itu
bukan merupakan federasi dari wilayah yang ada di dalamnya, walaupun begitu
besar keinginan para walinya untuk memisahkan diri. Negara tetap utuh sebagai
sebuah negera yang memiliki seorang Khalifah. Dialah satu-satunya yang memiliki
wewenang dalam segala aspek kenegaraan, baik di pusat, wilayah-wilayah,
kota-kota, desa-desa besar maupun desa-desa kecil.
Adapun peristiwa munculnya Khilafah di Andalus
(Spanyol) dan tumbuhnya Negara Fathimiyyah di Mesir, maka persoalannya berbeda
dari permasalahan para wali. Hal ini karena Andalus sebenarnya dikuasai oleh
para wali dan mereka memisahkan Andalus, tanpa membai’at seorang khalifah pun
bagi kaum Muslim. Hanya saja, berikutnya diberi nama Khalifah, khusus untuk
penduduk wilayah tersebut, bukan bagi kaum Muslim secara umum. Karena itu,
Khalifah kaum Muslim tetap satu dan pemerintahan tetap di tangannya. Andalus dipandang
sebagai wilayah yang tidak masuk dalam pemerintahan khalifah, seperti halnya di
Iran pada masa Daulah Utsmaniyah. Di wilayah tersebut tidak ada khalifah yang
kedua, karena wilayahnya tidak masuk dalam pemerintahan khalifah. Adapun Negara
Fatimiyyah, negara tersebut telah didirikan oleh firqah Ismailiyyah, yaitu
sebuah firqah yang kafir. Karena itu, sepak terjangnya tidak diperhitungkan dan
keberadaannya tidak dianggap sebagai Daulah Islam atau Khilafah Islamiyah.
Demikian juga berdirinya yang bersamaan dengan Khilafah Abbasiyah tidak
dianggap sebagai bentuk berbilangnya khilafah, karena negara tersebut bukanlah
khilafah yang syar’iy.
40
Daulah
Islam
Keberadaannya hanya merupakan aksi revolusi yang
dijalankan oleh kelompok kebatinan untuk mengubah Daulah Islam menjadi sebuah
negara yang berjalan menurut hukum-hukum mereka yang batil. Karena itu, Daulah
Islam masih terus berlangsung dalam pemerintahan sebagai negara yang satu serta
kesatuan yang utuh tidak terbagi-bagi dan tidak pula menjadi sejumlah negara.
Upaya-upaya untuk mencapai kekuasaan hanyalah merupakan dorongan untuk
mengimplementasikan pemahaman tertentu tentang Islam di bidang pemerintahan,
kemudian upaya-upaya tersebut berakhir, sehingga khilafah tetap utuh dan Daulah
Islam tetap sebagai negara kesatuan yang utuh. Hal itu juga menunjukkan bahwa
kesatuan Daulah Islam, meski harus menghadapi berbagai kondisi pemerintahan,
namun seorang muslim yang berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya, mulai
dari ujung timur hingga bagian barat, dalam wilayah yang diperintah oleh Islam,
maka dia tidak ditanya tentang asal negerinya, juga tidak ditanya izin
perjalanan baginya, karena negeri-negeri Islam adalah satu. Begitulah Daulah
Islam tetap menyatukan kaum Muslim dalam kesatuan yang utuh sebagai Daulah
Islam. Negara ini terus berlanjut dengan kuat dan bertahan di berbagai masa,
hingga orang- orang kafir penjajah berhasil menghancurkannya dari kedudukan
sebagai Daulah Islam pada tahun 1924, yakni ketika Khilafah Islamiyah
dilenyapkan eksistensinya melalui tangan Kamal Attaturk.[]
Politik Dalam Negeri Daulah Islam 195
Politik Dalam
Negeri
Daulah Islam
Politik dalam
negeri Daulah Islam adalah melaksanakan hukum-hukum Islam di dalam negeri.
Daulah Islam memberlakukan hukum-hukum Islam di negeri -negeri yang tunduk pada
kekuasaannya. Negara mengatur muamalah, memberlakukan hudud, melaksanakan
uqubat, memelihara akhlak, mengarahkan penegakan syiar-syiar dan ibadah, serta
memelihara seluruh urusan
masyarakat
sesuai hukum-hukum Islam.
Islam telah menjelaskan tata cara melaksanakan
hukum-hukumnya terhadap masyarakat yang tunduk pada kekuasaannya, baik yang
memeluk Islam maupun yang tidak. Daulah Islam menerapkan hukum Islam sesuai
tata cara tersebut, karena metode penerapan (Islam) merupakan hukum syara,
seperti halnya solusi (Islam) terhadap problematika manusia juga merupakan
hukum syara. Yang diseru oleh Islam adalah seluruh manusia, karena Allah telah
menyeru seluruh manusia dengan Islam dalam kedudukannya semata sebagai manusia,
bukan dengan pertimbangan lain. Allah berfirman:
×1ÅÈ\V‹×1Å×V¯C°%ÛÏW °TXŠ×1ÅQ]VV
s°Ä1ŠÅqXTÀÈÕiȉ<MS{‘›cWi@U >§«ª¨ DSW ÁV"
42
Daulah
Islam
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa” (TQS.
al-Baqarah [2]: 21).
>§¯¨ ª2c[mÙ\¯PmW¯[‚Î[o%W
ÀC5›0_MS{U‘›cWi@
“Hai manusia, apa yang telah memperdayakanmu
terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah” (TQS. al-Infithar [82]: 6).
Ulama uhsul fiqih menganggap bahwa yang
diseru dengan hukum syara’ adalah setiap orang yang berakal dan memahami seruan
itu sendiri, baik dia Muslim atau bukan Muslim. Imam Al-Ghazali dalam kitab
Al-Mustashfa Min ‘Ilmil Uhsul berkata: “Sesungguhnya yang dikenai hukum
adalah mukallaf dan syaratnya adalah berakal serta memahami seruan . . . Adapun
kelayakan penetapan hukum dalam diri seseorang diperoleh dari sisi kemanusiaan
yang dengan itu diperhitungkan berdasarkan penerimaan kekuatan akal yang
dengannya dapat memahami taklif.”
Dengan demikian, yang diseru oleh Islam
adalah semua manusia dengan seruan dakwah dan taklif. Adapun seruan dakwah,
maksudnya adalah mengajak manusia memeluk Islam. Sedangkan seruan taklif
maksudnya adalah memaksa manusia melakukan perbuatan sesuai hukum Islam. Hal
ini berkaitan dengan manusia secara umum, sedangkan berkaitan dengan
orang-orang yang berada dalam kekuasaan Daulah Islam, maka Islam menganggap
kelompok manusia yang diperintah berdasarkan sistem tersebut adalah satu yakni
manusia tanpa memperhatikan golongannya dan jenisnya. Tidak disyaratkan dalam
hal tesebut kecuali kewarganegaraan (yaitu loyalitas kepada negara dan aturan).
Tidak didapati adanya aspek minoritas, tetapi seluruh manusia dipertimbangkan
semata dari sisi kemanusiaannya dan mereka adalah rakyat Daulah Islam selama
memiliki kewarganegaraan tersebut. Setiap orang yang mengemban kewarganegaraan
tersebut akan menikmati semua hak yang telah ditetapkan oleh hukum syara
baginya, baik dia muslim ataupun
Politik Dalam Negeri Daulah Islam 197
bukan
muslim. Setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan diharamkan memperoleh
hak-hak tersebut meski dia seorang muslim. Andaikan seorang muslim memiliki ibu
seorang nasrani yang memiliki kewarganegaraan Islam dan bapak seorang muslim
yang tidak memiliki kewarganegaraan Islam, maka ibunya berhak memperoleh nafkah
dari orang tersebut sedangkan bapaknya tidak. Andaikan ibunya menuntut nafkah
dari anaknya, maka qadhi akan memutuskan kepadanya untuk memperolehnya karena
dia memiliki kewarganegaraan Islam. Adapun bila bapaknya menuntut nafkah dari
anaknya, maka qadhi menetapkan hukum bahwa permintaan si bapak ditolak karena
dia tidak memiliki kewarganegaraan Islam. Hal ini berarti Islam menganggap
sekelompok manusia yang berada dalam kekuasaan pemerintah Islam sebagai rakyat
dan menjadikan kewarganegaraan sebagai penyatu di antara mereka dalam
hak-haknya untuk memperoleh pemeliharaan urusan mereka dengan Islam. Sehingga
mereka hidup dalam Daulah Islam.
Ini kaitannya dengan pandangan negara pada
rakyat dari aspek hukum dan otoritas pemeliharaan berbagai urusan. Adapun aspek
penerapannya, maka negara memformulasikan hukum-hukum Islam dalam undang-undang
negara, tidak pada sisi ruhani. Demikian itu karena Islam dipandang sebagai
sebuah sistem untuk diterapkan pada rakyat. Penerapannya kepada mereka adalah
dalam posisinya sebagai perundang-undangan bukan sebagai agama ritual belaka.
Dengan kata lain, dalam posisinya sebagai hukum syara’, bukan aspek keagamaan.
Hal ini karena nash-nash syara’ sangat memperhatikan aspek perundang-undangan,
sebab nash itu sendiri memang datang untuk memecahkan problem. Asy-Syaari’ memerintahkan
untuk mengikuti makna-makna bukan berhenti hanya pada nash-nash saja.
Karena itu, dalam penggalian hukum harus diperhatikan adanya bentuk ‘illat dari
hukum. Yakni, harus diperhatikan aspek perundang-undangan dalam nash saat
melakukan penggalian hukum. Perudang-undangan ini, ketika Khalifah
memerintahkannya kepada kaum Muslim, maka berubah menjadi undang-undang yang
wajib dilaksanakan oleh seluruh
44
Daulah
Islam
masyarakat. Dari sini ketundukan seluruh manusia
pada Daulah Islam menyangkut hukum-hukum syara’ merupakan sebuah keniscayaan:
Orang-orang yang meyakini Islam yakni kaum Muslim, maka yang menjadikan mereka
harus terikat dengan seluruh hukumnya adalah kenyataaan mereka memeluk dan
meyakini Islam. Karena, ketundukan terhadap akidah berarti ketundukan kepada
semua hukum yang terpancar darinya. Keyakinan itu mengharuskan mereka terikat
dengan semua hal yang didatangkan oleh akidah tersebut secara pasti. Karena
itu, kedudukan Islam sehubungan dengan kaum Muslim adalah sebagai syari’at yang
di dalamnya ada perundang-undangan. Dengan kata lain sebagai agama yang di
dalamnya ada undang-undang. Mereka dipaksa menjalankan semua hukumnya, baik
yang berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah yakni ibadah, hubungan
mereka dengan diri mereka yakni akhlak dan makanan, atau yang berhubungan
dengan sesama manusia yaitu muamalat dan uqubat.
Kaum Muslim sepakat dalam akidah Islam.
Mereka juga menyepakati bahwa al-Quran dan as-Sunah sebagai dua sumber dalil syara’,
kaidah-kaidah syara’ serta hukum-hukum syara’. Tidak ada seorang pun dari
mereka yang berselisih dalam hal tersebut sama sekali. Akan tetapi, berkaitan
dengan ijtihad mereka berbeda pendapat dalam memahami al -Quran dan as-Sunah.
Adanya perbedaan tersebut menjadikan mereka ada dalam pemahaman madzhab-madzab
yang berbeda dan firqah-firqah yang bermacam-macam. Hal ini karena Islam
menjadikan kaum Muslim harus berijtihad untuk menggali hukum. Karena secara
alami terjadinya beragam cara memahami, maka terjadilah perbedaan pendapat
dalam memahami pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan akidah, tata cara
penggalian (istinbat) juga dalam hukum-hukum serta pendapat-pendapat yang
tergali. Seluruhnya mengantarkan kepada wujudnya firqah-firqah dan madzhab-madzhab.
Rasul saw telah mendorong untuk
berijtihad dan menjelaskan bahwa seorang penguasa jika berijtihad dan keliru,
maka baginya memperoleh satu pahala dan jika benar, maka baginya dua pahala.
Politik Dalam Negeri Daulah Islam 199
Islam
telah membuka pintu ijtihad. Maka tidak heran jika di tengah umat Islam ada
Ahlus Sunah, Syi’ah, Mu’tazilah dan firqah-firqah Islam lainnya. Juga tidak
heran jika ada Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, Ja’fariyah,
Zaidiyah dan lainnya dari madzhab Islam. Semua firqah Islam dan madzhab Islam
tersebut memeluk akidah yang satu, yaitu akidah Islam. Mereka semua diseru
untuk mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mereka juga
diperintah mengikuti hukum syara’ bukan mengikuti madzhab tertentu, karena
madzhab itu tidak lain adalah pemahaman tertentu tentang hukum syara’ yang
diikuti oleh selain mujtahid, saat dia tidak mampu berijtihad. Seorang Muslim
diperintahkan untuk mengikuti hukum syara’ bukan madzhab. Dia harus mengambil hukum
ini dengan ijtihad jika mampu dan melakukan ittiba’ atau bertaklid jika
tidak mampu berijtihad. Sehingga, semua firqah dan madzhab yang meyakini akidah
Islam; meyakini al- Quran dan as-Sunah, bahwa keduanya merupakan sumber dalil
syara’, kaidah-kaidah syara’, dan hukum-hukum syara’, maka seluruhnya adalah
islami. Mereka semua dianggap sebagai Muslim dan hukum Islam diberlakukan
kepada mereka. Negara tidak boleh menghalang-halangi firqah-firqah Islam
tersebut, selama mereka tidak keluar dari akidah Islam. Negara juga tidak boleh
mengikuti madzhab-madzhab fiqih. Jika mereka keluar dari akidah Islam, baik
secara individu maupun kelompok, maka dianggap murtad dari Islam. Lalu
diterapkan kepada mereka hukum orang-orang murtad. Kaum Muslim dituntut (untuk
terikat) dengan hukum Islam. Hanya saja, hukum-hukum tersebut ada yang qath’iy
sehingga tidak ada pendapat lain selain satu pendapat saja, seperti hukum
potong tangan bagi pencuri, pengharaman riba, kewajiban zakat, shalat wajib
lima waktu, dan sebagainya. Dengan demikian, semua hukum tersebut dilaksanakan
kepada seluruh kaum Muslim dalam satu pemahaman karena bersifat qath’iy.
Ada pula hukum-hukum, pemikiran-pemikiran, dan
pendapat-pendapat yang diperselisihkan oleh kaum Muslim dalam memahaminya.
Setiap mujtahid berbeda pemahamannya dengan
46
Daulah
Islam
mujtahid yang lain, seperti tentang sifat-sifat
Khalifah, pengambilan ‘usyur dari tanah kharajiyah, penyewaan
lahan pertanian dan lainnya. Terhadap hukum-hukum yang diperselisihkan
tersebut, khalifah boleh mentabani (mengadopsi) satu pendapat darinya sehingga
ketaatannya merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara. Ketika itu setiap
orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat yang ditabani oleh
seorang Imam, wajib baginya untuk meninggalkan pendapatnya dan beramal dengan
pendapat Imam tersebut saja, karena perintah Imam menghilangkan perbedaan dan
metaati Imam dalam kondisi tersebut adalah wajib.
Kaum Muslim wajib melaksanakan semua
perintah Khalifah dalam segala perkara yang ditabani olehnya, karena
perintahnya harus dilaksanakan lahir maupun batin yakni secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Setiap orang yang melaksanakan hukum
syara’ selain hukum yang yang telah ditabani oleh Imam dan dia
memerintahkannya, maka dia berdosa. Hal ini karena, setelah Khalifah
memerintahkan sesuatu, maka hukum syara’ pada diri seluruh kaum Muslim adalah
yang diperintahkan oleh Imam tersebut dan yang lainnya tidak dianggap sebagai
hukum syara’ pada diri kaum Muslim. Karena hukum syara’ dalam satu permasalahan
tidak boleh berbilang pada diri satu orang. Hanya saja seorang Khalifah tidak
boleh mentabani apapun dalam akidah, karena tabani tersebut akan menjadikan
beban bagi kaum Muslim dalam perkara yang mereka yakini. Namun bila muncul ahli
bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang berakidah tidak benar, maka
negara harus meluruskan mereka dengan sanksi pencegahan. Hal itu dilakukan bila
akidah mereka tersebut tidak menjadikan pemeluknya kufur, namun bila menjadikan
pemeluknya kufur maka diberlakuukan kepada mereka status orang-orang murtad.
Demikian pula khalifah tidak boleh mentabani apapun dalam perkara ibadah,
karena tabani tersebut menjadikan kesulitan bagi kaum Muslim dalam ibadah
mereka. Karena itu, dia tidak boleh memerintahkan dengan hanya satu pendapat
tertentu dalam perkara akidah selama masih terkategori sebagai akidah Islam.
Begitu pula dia tidak boleh
Politik Dalam Negeri Daulah Islam 201
memerintahkan satu hukum tertentu dalam perkara
ibadah, kecuali zakat, jihad, dan penetapan dua hari raya, selama bentuk-bentuk
peribadahan tersebut masih merupakan hukum syara’. Dia boleh mentabani dalam
seluruh perkara muamalah, seperti jual-beli, perdagangan, pernikahan,
perceraian, nafkah, syirkah, pemeliharaan dan lainnya. Begitu juga dalam
perkara uqubat, seperti hudud dan ta’zir dalam perkara makanan, pakaian serta
akhlak. Kaum Muslim wajib mentaati seluruh yang ditabani oleh khalifah.
Memang benar, seorang khalifah adalah yang
melaksanakan hukum-hukum ibadah. Dia akan menjatuhkan sanki kepada yang
meninggalkan shalat dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Dia jugalah yang
melaksanakan semua hukum ibadah sebagaimana halnya melaksanakan seluruh hukum
lainnya secara sama. Pelaksanaan ini wajib bagi negara karena kewajiban shalat
bukanlah lahan ijtihad dan tidak dianggap sebagai aksi tabani dalam perkara
ibadah, melainkan pelaksanaan terhadap hukum syara’ yang dipastikan untuk semua
masyarakat. Khalifah mentabani satu pendapat syara’ untuk pelaksanaan uqubat
dalam perkara ibadah dan mengharuskan manusia untuk melaksanakannya. Dia pun
mentabani untuk pelaksanaan uqubat terhadap satu hukum tertentu dari seluruh
hukum yang ada. Hal ini berhubungan dengan kaum Muslim. Adapun kaitannya dengan
non Muslim yaitu orang-orang yang menganut selain akidah Islam, yaitu:
23
Anak-anak orang murtad yang terlahir
setelah bapaknya murtad. Kepada mereka diberlakukan muamalah non Muslim sesuai
posisi mereka, apakah sebagai kaum Musyrikin ataukah ahli kitab.
24
Orang-orang yang mengaku dirinya
sebagai kaum Muslim dan berakidah yang bertentangan dengan akidah Islam, maka
kepada mereka diberlakukan status orang-orang murtad.
25
Orang-orang dari kalangan ahli kitab.
26
Kaum Musyrikin yaitu orang-orang
penyembah berhala, Majusi, Hindu dan semua penganut agama selain ahli kitab.
25
Daulah
Islam
Dua golongan terakhir dibiarkan
(dibebaskan) atas mereka perkara-perkara yang menyangkut keyakinan dan
peribadahan. Demikan pula dalam urusan pernikahan dan perceraian, mereka boleh
lakukan sesuai agama mereka. Negara akan mengangkat seorang qadhi untuk mereka
dan dari kalangan mereka sendiri yang bertugas menyelesaikan perselisihan di
antara mereka di mahkamah negara. Adapun masalah makanan dan minuman, mereka
diberlakukan sesuai hukum agama mereka dalam koridor peraturan umum (yaitu
sepanjang yang dibolehkan oleh syari’at Islam) . Selain ahli kitab diperlakukan
seperti halnya ahli kitab, beliau saw bersabda tentang Majusi: “Posisikan
mereka pada posisi ahli kitab”.
Adapun muamalah dan uqubat, harus diterapkan
terhadap non Muslim sama persis dengan kaum Muslim. Uqubat yang diberlakukan
kepada non Muslim sama dengan yang diberlakukan kepada kaum Muslim. Pelaksanaan
dan pembatalan muamalah yang diberlakukan pada non Muslim sama persis dengan
yang diberlakukan pada kaum Muslim, tanpa adanya perbedaan maupun diskriminasi
di antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena, semua orang yang
memiliki kewarganegaraan, meski berbeda agama, etnis, dan madzhab, seluruhnya
diseru oleh hukum syari’at Islam dalam urusan muamalah dan uqubat. Mereka pun
dibebani untuk mengikuti hukum dan beramal dengannya. Hanya saja, pembebanan
terhadap mereka tersebut ditetapkan dari aspek perundang-undangan bukan dari
aspek spritual keagamaan. Karena itu, mereka tidak boleh dipaksa meyakininya
karena mereka tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Allah SWT berfirman:
>
©ÛϰG r¯Û PRmWÙ¯ ,Y@
“Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (TQS. al-Baqarah [2]: 256).
Rasulullah saw juga melarang menggangu ahli
kitab
Politik Dalam Negeri Daulah Islam 203
sehubungan dengan agama mereka, tetapi mereka
dipaksa untuk tunduk kepada hukum Islam dari aspek perundang-undangan sehingga
mereka wajib melaksanakannya.
Kesimpulannya adalah bahwa negara dalam
menyelenggarakan politik dalam negerinya harus melaksanakan syariat Islam
kepada setiap orang yang memiliki kewarganegaraan Islam, baik mereka kaum
Muslim atau non Muslim. Bentuk pelaksanaannya sebagai berikut:
27
Seluruh hukum Islam dilaksanakan kepada kaum
Muslim.
28
Membiarkan non Muslim dengan akidah dan
peribadahan mereka.
29
Memperlakukan non Muslim dalam urusan
makanan dan pakaian sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum.
30
Ditetapkan urusan pernikahan dan
perceraian di antara non Muslim sesuai dengan agama mereka oleh para qadhi yang
berasal dari kalangan mereka sendiri di Mahkamah Negara bukan di Mahkamah
Khusus. Ditetapkan urusan-urusan tersebut di antara mereka dengan kaum Muslim
sesuai hukum Islam dan oleh oleh qadhi dari kalangan kaum Muslim.
31
Negara melaksanakan syari’at Islam
lainnya seperti muamalah, uqubat, sistem pemerintahan, perekonomian dan
sebagainya kepada seluruh warga negara. Pelaksanaan tersebut diberlakukan sama,
baik kepada kaum Muslim maupun non Muslim.
32
Setiap orang yang memiliki
kewarganegaraan Islam adalah rakyat negara, sehingga negara wajib memelihara
mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan antara kaum Muslim dan non
Muslim.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar